Share

5. MAAF

Tok! Tok! Tok!

Suara pintu diketuk dari arah luar membuyarkan lamunanku. "Boleh aku masuk, Sayang?" Suara yang begitu ku kenal, ya … suara dari suamiku.

Aku tak menjawab, malas rasanya harus kembali bertemu. Masih ada sesak di dada yang tersisa. Aku memejamkan mata, tak ingin melihat wajahnya. Pintu terbuka perlahan, mas Rama masuk ke dalam kamar lalu menutup pintu perlahan. Dia berbalik menatapku lalu berjalan mendekat lalu mendudukan diri di atas kasur.

Kurasakan sebuah jemari memijat lembut kakiku. Aku tetap memilih diam tak bereaksi dengan apa yang lelaki itu lakukan. Entah ada angin apa sehingga dia memijat lembut diriku, sudah pasti dia ingin membicarakan sesuatu.

"Sayang …" sapanya lembut.

Diam. Aku tak bereaksi apapun mendengar sapaan lembut darinya.

"Aku tau, kamu belum tidur." ucapnya lagi.

Sial! Aku memang bukan tipe orang yang pandai berbohong apalagi tentang diriku sendiri. Terpaksa kubuka mata perlahan seraya menyipitkan mata melihat ke arahnya. Dia malah tersenyum simpul. Senang mungkin, karena aku merespon dirinya.

Dia meraih jemariku dalam genggamannya. "Tolong jangan abaikan aku seperti ini, Qina."

"Kamu boleh memukulku. Lampiaskan saja segala amarahmu itu padaku. Tapi tolong … tolong jangan diamkan aku seperti ini." ucapnya lagi.

Sungguh aku muak melihatnya kembali mengiba. Sekarang aku terlihat seperti orang yang begitu jahat. Padahal dirinya sendiri yang membuatku tak ingin berbicara dengannya, bahkan untuk melihat wajahnya saja, jujur aku sangat enggan. Rasanya tak sanggup harus bertatap muka dengan dirinya, setiap kali melihatnya … hatiku hancur kala mengingat jika dia sudah mengkhianati cinta suci kami. 

Kutepis tangannya yang masih menggenggam jemariku. Dia menatapku lekat, aku lantas membuang wajah tak ingin beradu pandang.

Jemarinya meraih daguku agar menatap matanya. Aku memejamkan mata merasakan sesak di dada saat mata kami beradu. Ya Tuhan … aku tak bisa.

Dia menghela napas. "Tolong jangan seperti ini, Qina."

"Maaf aku telah melukai hatimu."

"Maaf … maaf aku telah membuatmu hancur seperti ini." lanjutnya lagi.

Entah sudah berapa kali dia mengucapkan kata maaf. Mungkin puluhan.

Aku menatapnya seraya menahan gemuruh di dada. "Apa maumu?" 

"Belum cukupkah kamu menyakitiku, Mas?" lanjutku sinis.

Dia menggelengkan kepala, "Tolong jangan seperti ini." Pandangannya mengiba.

"Dimana istriku yang hangat? Kamu sangat berbeda," lanjutnya lagi.

Aku tersenyum sinis mendengar ucapannya. "Aku pernah hangat, namun kamu mengabaikanku sampai sedingin ini."

Semudah itukah dia menilai perubahanku. Seharusnya dia sadar, seberapa besar luka yang sudah ditorehkan hingga aku bisa berubah seperti ini. Kopi saja bisa dingin jika terlalu lama diabaikan. Apalagi tentang rasa.

"Aku tahu, aku sangat bersalah dalam hal ini." Mas Rama menatapku.

"Tapi tolong … tolong jangan terus menerus mengabaikanku." lanjutnya lagi.

Andai … andai saja kamu tak menyakitiku sedalam ini. Mungkin memaafkan dirimu itu suatu hal yang mudah. Setidaknya, aku tak mungkin akan semarah ini sampai tak ingin berbicara denganmu.

"Aku ingin beristirahat. Pergilah." usirku.

Dia menggeleng tegas membantahku. "Kenapa kamu keras kepala seperti ini?"

"Aku rindu kamu yang dulu." 

Bagai api yang disiram bensin, ucapannya membuat diri ini kembali dikuasai amarah yang sejenak telah reda.

"Aku juga rindu kita yang dulu, kita tanpa Ayu." ucapku sinis.

Dia sendiri yang memulai perbedaan di antara kami. Dia sendiri yang membuat jarak di antara kami. Lalu mengapa kini dia malah balik menyalahkan aku. Orang egois memang seperti itu, dia yang bersalah namun balik menyalahkan orang lain.

"Kenapa kamu membahas masalah itu lagi, Qina?"

Aku mendelik ke arahnya. Apa dia berpikir jika masalah ini sudah selesai? Apa dia berpikir masalah serumit ini bisa dengan mudah aku lupakan. Sungguh aku tak tahu apa jalan pikirannya itu. 

"Apa kamu ingin aku begitu mudah melupakan ini semua? Tidak akan semudah itu!" tukasku.

Mas Rama menghela napas kasar. "Bukan itu maksudku, kenapa kamu keras kepala seperti ini?"

Lagi. Perkataan suamiku itu berhasil membuat luka di dada bertambah. 

"Kamu yang membuatku berubah, Mas!" Pekikku kasar.

Tiba-tiba tangan kekarnya meraih tubuhku ke dalam pelukannya. Pelukan hangat yang begitu aku rindukan. Aku menangis tergugu di atas dada bidangnya. Sungguh, aku sangat merindukanmu.

Dia mengelus lembut pucuk kepalaku, tubuhku masih didekapnya erat. Sesekali dia mencium pucuk kepalaku dengan lembut seraya menyelipkan kata maaf.

"Sudah, jangan menangis lagi, Qina … aku sakit melihatmu seperti ini." Jemarinya mengusap lembut air mata yang meluncur di pipi.

Aku masih sesenggukan, kutatap sorot matanya, ada kesedihan jelas tergambar disana. Apa dia benar-benar merasa sedih saat melihatku menangis? Entahlah.

Wajah mas Rama berubah serius, "Aku tidak akan menyakitimu lagi, Qina. Aku akan meninggalkan Ayu, kita pertahankan rumah tangga ini sama-sama, ya?"

Aku tersenyum bahagia mendengar penuturannya. Meski separuh hatiku tak terlalu percaya akan ucapannya itu. Aku takut kembali kecewa.

"Apa kamu serius, Mas?" tanyaku memastikan.

Dia mengangguk seraya kembali merengkuh tubuh ini dalam dekapannya. Perasaan bahagia kembali membuncah. Aku yakin dia tak akan lagi membuatku kecewa untuk kedua kalinya. Sebab dia tahu persis, aku tak sebaik itu untuk kembali memberi sebuah kesempatan.

Mas Rama yang pertama kali bersuara setelah kami berdua membisu dibuai angan. Dia menatapku lekat, "Kamu bersedia memaafkan aku, kan?"

Aku mengangguk pelan. Sebuah kecupan ringan mendarat tepat di keningku.

🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼

Tepat pukul tiga sore, aku terbangun dari buaian mimpi. Tepat di sampingku, kulihat Mas Rama masih terlelap. Wajahnya yang teduh kembali menenangkanku, bahkan aku bisa mendengar dengkuran halus darinya. 

Mataku melirik, sebuah benda pipih miliknya tergeletak tepat di atas meja samping tempat tidur. Entah mengapa aku ingin sekali meraih benda itu dan membukanya. Padahal aku bukan tipe orang yang terlalu waspada dengan isi di dalamnya. Sejak awal menikah, kami sudah saling bersepakat jika masing-masing memiliki privasi. Namun, lagi-lagi perasaan berkecamuk, aku ingin tahu lebih banyak.

Kuraih benda pipih itu dan mengusap layarnya. Untunglah tak disandi. Ada lebih dari 10 telepon masuk yang tak diangkat. Nama yang tertera adalah Ayu, sudah pasti dia adalah sahabatku yang licik itu.

Untuk apa wanita ini masih menelepon suamiku, apakah mereka masih berhubungan? Padahal jelas-jelas mas Rama mengatakan jika dia ingin memperbaiki hubungan kami yang nyaris hancur. Ada perasaan yang mengganjal dalam hati. Apa mungkin ucapan Mas Rama hanya janji penenang, apa iya?

Jika memang benar adanya, aku tak menyangka dia akan setega itu membohongiku dengan janji palsu.

Tring!

Sebuah pesan masuk di HP suamiku. Jemariku hendak membuka pesan itu tapi tiba-tiba tangan suamiku merebut dengan cepat benda itu.

Aku sedikit tersentak kaget, bukannya dia sedang tidur tadi. Dia menatapku dengan pandangan curiga, seakan aku adalah orang asing baginya.

Mas Rama membuka suara, "Kenapa kamu memegang ponselku?" Nada bicaranya seakan menyelidik.

Aku menatapnya bingung, sebab tak biasanya dia seperti ini. "Kenapa? Apa aku tak boleh membuka HP milikmu, Mas?"

Kulihat wajah Mas Rama terlihat gugup, entah apa yang dia sembunyikan hingga bersikap seperti itu. Atau mungkin … memang ada hal yang dia sembunyikan dariku. 

"Ayu meneleponmu beberapa kali, kenapa tak diangkat?" tanyaku.

Lagi, wajahnya terlihat kikuk.

"Biarlah, aku tidak ingin menerima panggilannya." tukasnya.

"Jangan lagi membuka HP tanpa izin dariku ya, Sayang?"

"Bukankah kita berjanji jika ini adalah hal privasi?" lanjutnya lagi.

Aku diam beberapa saat. Memang ini adalah hal privasi, tapi … kini kepercayaanku mulai terkikis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status