Share

4. Luka 2

Mas Rama memandangku dengan wajah mengiba. Biarlah. Aku sudah tak peduli lagi dengan perasaannya. Andai dia tak terlalu menyakitiku, aku mungkin masih berpikir dua kali untuk membongkar tabiatnya itu. Tapi, dia bahkan tak memikirkan perasaanku sama sekali. Untuk kali ini, aku tak ingin membelanya lagi.

"Sebenarnya, sebelum aku keguguran … Mas Rama dan Ayu sudah mengutarakan niat mereka untuk menikah. Tapi aku menolaknya." ujarku seraya menatap wajah tegang suamiku itu.

"Kami bertiga berdebat hebat, sampai akhirnya Mas Rama menendang perutku lalu meninggalkanku begitu saja dengan keadaan sekarat." lanjutku lagi.

Air mataku sudah tak bisa kubendung lagi. Buliran bening menetes deras di pipi mengiringi tangisku yang sendu.

Bugh!

Sebuah bogem mentah dilayangkan Ayah pada pada Mas Rama hingga jatuh tersungkur di lantai. Aku terkejut melihat ayah begitu emosi. Inilah yang aku takutkan jika keluargaku mengetahui hal yang sebenarnya. 

"Satu pukulan bahkan tak ada apa-apanya dibandingkan rasa sakit hati putriku!" teriak Ayah penuh emosi.

"Kamu perlu ingat satu hal sebelum menyakitinya. Ingat bagaimana perjuangan kalian berdua untuk mendapatkan restu." Ayah menuding wajah Mas Rama.

"Satu penyesalan dalam hidupku, aku menyesal telah melepaskan putriku untuk seorang pria brengsek sepertimu!" lanjut Ayah penuh emosi.

Jujur saja, aku senang melihat lelaki pengecut itu jatuh tersungkur akibat pukulan Ayah. Tapi aku lebih sedih melihat kemarahan dari orang tuaku. Ingatanku kembali pada saat aku memaksa Ayah agar mengizinkan aku menikah dengan Mas Rama. Andaikan aku tak menikah dengan Mas Rama, akankah aku tak mungkin sesakit ini?

Meski tak bisa dipungkiri, aku masih sangat mencintai suamiku itu. Meski dia telah menorehkan begitu dalam luka. Sedih melihatnya babak belur. Tapi lebih sesak mengingat perbuatannya yang sulit kumaafkan.

"Maafkan Mama, Qina. Mama gagal mendidik Rama hingga dia bahkan menyakiti kamu," Mama tergugu sambil memelukku.

"Tidak, Ma. Mama adalah wanita baik yang kukenal. Ini kesalahan suamiku, tak ada hubungannya dengan Mama." ujarku.

Mama melepaskan pelukannya, lalu berbalik menatap suamiku. "Kamu dengar sendiri 'kan, Rama. Isteri sebaik ini malah kamu sia-sia. Isteri sebaik ini kamu sakiti."

"Sebelum kamu menyakitinya, bayangkan jika Mama yang berada di posisinya. Apakah kamu masih tega untuk menyakiti wanita sebaik ini, hah?!" Mama masih murka dengan perilaku putranya itu.

Mas Rama diam menunduk tak berani menatap ibu kandungnya. Aku tahu persis jika dia memang begitu menyayangi ibunya bahkan tak sekalipun berani membantah.

Sejujurnya dia adalah pria yang baik. Aku begitu mengenalnya, bahkan saat masa pacaran dulu, dia tak sekalipun membuatku marah. Tutur katanya lembut dan perilakunya sopan. Itu sebabnya aku memutuskan untuk menerima pinangan darinya.

Namun, sejak kedatangan Ayu dalam rumah tanggaku. Semuanya hancur. Perilaku Mas Rama mulai berubah kasar. Bahkan dia sampai tega menyakitiku di depan wanita licik itu.

"Maafkan aku, Saqina …," Mas Rama merangkak ke arahku seraya mengiba.

"Maafkan aku yang telah melukai hatimu. Aku … aku telah dibutakan oleh nafsu," lanjutnya lagi.

Aku menatap matanya lekat. Ada penyesalan di sorot matanya itu. Namun, rasa sakit hatiku masih juga terasa. Ada denyut nyeri di dada yang terasa ngilu. Kuputuskan untuk membuang pandanganku darinya. Sakit sekali melihat dirinya saat ini.

Ayah mengelus pucuk kepala ku, "Saqina, Ayah sedih melihatmu seperti ini. Pulanglah, Nak …"

Aku menggelengkan kepala tanda tak setuju. Aku tak ingin pulang ke rumah orang tuaku dengan keadaan luka yang masih basah. Sakit hati atas pengkhianatan dua orang yang begitu kupercaya. Sakit hati yang harus terbalaskan.

"Tapi Rama sudah mengkhianatimu, bahkan dia melimpahkan kesalahannya padamu. Pulang-lah … sembuh-kan rasa sakitmu bersama kami," ucap Ayah lagi.

"Tidak, Ayah. Aku tidak akan pulang ke rumah sebelum menyadarkan kembali suamiku." tukasku.

Ayah kembali menatap Mas Rama yang kini sudah berdiri tegak. "Hanya lelaki pengecut yang menyalahkan wanitanya. Bahkan menjatuhkan segala kesalahan pada wanita yang tak pantas dijatuhkan." ucap Ayah sinis.

"Ingat satu hal, kali ini aku masih memberimu satu kesempatan untuk berubah. Jika sekali lagi kamu membuat anakku sakit hati, maka bukan lagi tamparan yang aku layangkan padamu. Bahkan lebih buruk!" Ayah mengancam.

Mas Rama terlihat terkejut mendengar ancaman dari Ayah. Memang ayahku ini selalu serius menyangkut diriku. Beruntungnya aku mempunyai orang tua sepengertian ini.

Setelah agak suasana agak dingin tak sepanas tadi. Mama dan Ibu berebut untuk merawatku. Aku lebih memilih Mama yang merawatku saat ini, sebab aku tahu jika kondisi Ibu sedang tak terlalu baik. Aku takut terlalu merepotkan beliau nanti.

Terpaksa Ibu setuju dengan pilihanku. Mama memutuskan untuk menginap selama satu minggu bersama kami. Awalnya aku menolak sebab satu minggu terlalu lama dan takut merepotkan. Tapi beliau bersikukuh untuk tetap merawatku selama itu. 

"Pokoknya satu minggu mama akan menginap disini. Titik." tukas Mama saat aku membujuknya.

Mau tak mau aku harus tetap mengalah. Mama mertuaku ini memang tak bisa dilawan. Dia terlalu khawatir menantu kesayangannya ini terluka lebih jauh. Sungguh aku sangat bersyukur memiliki mertua sebaik mereka.

"Nduk, sejujurnya ibu masih ingin menemanimu disini, tapi apa boleh buat, kondisi fisik tak memungkinkan." Ibu berseloroh membuyarkan lamunanku.

Aku mengangguk memaklumi alasan Ibu, memang fisik beliau lemah bahkan rentan sakit. Jika berfikir berat sedikit saja, pasti tubuhnya akan drop. Alasan inilah yang menyebabkan aku jarang menceritakan keluh kesahku. Sebab takut kalau akan menambah pikiran Ibu.

"Qina baik-baik saja, Bu. Lagi pula sudah ada mama disini." ujarku menenangkannya.

Ibu tersenyum seraya menoleh ke arah Mama dan menyentuh lembuh punggung tangannya. "Besan, tolong jaga putriku, ya?"

Mama mengangguk, "Tentu saja, Jeng. Qina sudah kuanggap seperti anakku sendiri, kamu tak perlu khawatir."

Setelah berbincang untuk pamitan. Ibu dan Ayah berdiri dari duduknya bermaksud untuk pergi. 

Mas Rama ikut berdiri. "Mari saya antar, Pak-Bu."

Ayah membuang muka, "Tak perlu." tukasnya kasar.

Mas Rama terlihat kikuk menghadapi sikap dingin Ayah. Biarlah. Aku tak ingin membelanya sedikitpun. Lelaki pengecut itu memang pantas mendapatkan sikap dingin dari Ayah.

Ayah dan Ibu berlalu pergi diantar oleh Mama dan Papa mertuaku. Sedangkan aku masih duduk di kursi bersama suamiku. Sesekali Mas Rama memandang ke arahku. Tapi segera saja kupalingkan wajah tak ingin beradu mata dengannya.

"Ma, aku ingin masuk ke kamar." ujarku pada Mama yang baru saja masuk ke dalam rumah.

Mas Rama buru-buru berdiri menghampiri, "Biar aku saja,"

Kutepis tangannya yang berusaha memapah tubuh lemahku. Dia sedikit terkejut dengan penolakan dariku. Ia sedikit memundurkan badan. Mama beranjak mengajak masuk ke dalam kamar.

Sampai di dalam kamar, aku duduk bersandar di atas kasur. Mama duduk tak jauh dariku, matanya berkaca menatapku sendu. 

"Ma, kenapa melihatku seperti itu?" tanyaku pelan.

Mama mengusap matanya, lalu tersenyum ke arahku. "Mama masih tak menyangka dengan apa yang menimpamu, maaf … sekali lagi maafkan mama yang tak becus mendidik anak." ucapnya hampir menangis.

Aku menggeleng pelan seraya tersenyum, "Mama tak perlu minta maaf," ujarku.

"Kamu memang wanita yang sangat baik, beruntung sekali punya menantu sepertimu." ucap Mama seraya tersenyum.

"Apa kamu mau memaafkan Rama?" lanjutnya lagi.

Aku menimbang-nimbang ucapannya. Bingung harus menjawab apa. Secara logika, aku mungkin bisa memaafkannya. Tapi secara hati, sungguh sulit melupakan rasa sakit yang sudah ia torehkan padaku.

Mungkin aku egois, sebab setiap manusia pasti punya kesalahan. Begitu juga denganku sendiri. Tapi hati tak bisa dibohongi, rasa sakit masih terasa di relung hati, luka batin ini masih menganga.

Mama tersenyum padaku, "Mama paham dan tak akan memaksa, tapi mama sangat berharap kamu bisa memaafkan Rama." 

"Istirahat-lah, mama keluar dulu. Jangan banyak berfikir," lanjut Mama lagi.

Dia beranjak dari duduk, sesaat Mama mengelus pucuk kepalaku. Lalu pergi berlalu setelah menutup pintu.

Sepeninggal kepergian Mama, aku kembali menimbang ucapannya dan terus berfikir. Mas Rama memang bersalah, tapi aku juga turut bersalah karena lalai untuk memanjakan mata suamiku. Aku lalai hingga wanita licik itu bisa masuk ke dalam rumah tangga kami.

Orang terdekat pun bisa menjadi duri dalam daging. Apalagi Ayu, yang hanya sahabatku. Sahabat yang terlalu aku percaya hingga berani menusukku dari belakang.

Aku menarik napas perlahan berusaha menenangkan diri. Berusaha berfikir positif menggunakan logika. Haruskah aku membuka kesempatan kedua lagi untuknya?

Aku harus bisa mempertahankan rumah tanggaku. Aku tak ingin semudah itu menyerahkan suamiku pada wanita licik yang tak punya hati. Mungkin aku ditakdirkan untuk kehilangan calon bayiku, tapi aku tak akan membiarkan diri ini kehilangan sosok suami yang sudah bersamaku lebih dari 3 tahun. 

Aku tak boleh menyerah. Aku harus memperjuangkan hubungan kami dan harus membuang jauh-jauh wanita licik itu dari hidupku. Aku tak boleh mengalah dan membiarkan ia mendapatkan Mas Rama seutuhnya. Bukannya aku harus berjuang juga? Meskipun sudah sesakit ini, tapi aku masih sangat mencintai suamiku itu.

Aku harus bersabar lebih banyak lagi, bukankah Tuhan selalu bisa memaafkan hambanya, lalu mengapa aku tak bisa? Asalkan bisa membuat Ayu pergi jauh dari hubungan kami, aku yakin ... Aku yakin bisa mempertahankan rumah tanggaku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status