“Hei, apa yang kau lakukan. Ayo berdiri?” ucap Arnand.
Renata terlihat tidak bergeming, ia seperti terpaku di tempatnya. Arnand pun meraih tangannya dan coba menariknya untuk berdii. “Jangan seperti anak kecil nata, ayo bangun.” Bujuknya.
“Kalau kau membenciku, tinggalkan aku dan jangan pedulikan aku.” teriak Renata sambil menepis tangan Arnand. Ia menunduk dan menangis lagi. Arnand terdiam sejenak menatap Renata. Bagaimana pun juga di mata Arnand Renata hanyalah seorang adik perempuan yang harus ia lindungi.
Perlahan Arnand pun berjongkok di hadapan Renata. “Maafkan aku.” ucapnya lembut. Renata menoleh dan menatapnya.
“Tidak, tadi kau membentakku. Kau berteriak padaku, kau membenciku Arnand?” jawab Renata sambil menangis sesenggukan.
“Iya maaf, maafkan aku nata. Aku terlalu keras padamu.” Ucapnya dengan nada menyesal.
“Aku tahu aku salah, tapi jangan membentakku Arnand. Sampai-sampai kau menghindariku seperti tadi!” jawab Renata di sela tangisannya.
“Baiklah, aku salah maafkan aku.” ucap Arnand pelan sambil mengelus lembut kepala Renata.
Entah mengapa Arnand malah jadi merasa bersalah membuat Renata menangis seperti ini, amarahnya tadi seakan sirna. Kini malah dia sendiri yang kerepotan untuk meredakan tangisan Renata.
.
Air mata Renata terlihat belum mengering. Ia terlihat masih sesenggukan sambil duduk di sebuah kursi taman kampus. Tak lama Arnand pun datang dengan sekotak es cream. Arnand duduk lalu memberikan ice cream tersebut pada Renata.
“Maaf.” ucap Arnand sambil memberikan es cream tersebut pada Renata. Renata tidak menjawab, ia mengambil lalu membuka ice cream tersebut dan mulai memakannya dalam diam. Arnand tersenyum melihat sikap Renata seperti anak kecil yang tengah merajuk.
“Sejujurnya aku begitu marah karena ini untuk pertama kalinya kau membohongiku.” ucap Arnand sambil mendudukan dirinya di samping Renata.
Renata pun menoleh mendengarnya. Jujur ia juga menyesali perbuatannya. Perlahan Renata menunduk. “Maafkan aku Arnand. Aku tidak bermaksud membohongimu. Aku- hanya belum siap menceritakannya.” jelas Renata.
“Ya, tapi melihat sikapmu tadi sungguh di luar dugaanku, aku sampai terkejut.” tanggap Arnand sambil terkikik. Renata langsung menatap kesal mendengar ucapan Arnand tersebut. “Aku kira kau akan melempar tasmu lalu balik membentakku. Tapi ternyata kau malah menangis seperti anak kecil.” sambung Arnand sambil mencubit gemas pipi Renata. “Dan itu malah membuatku harus balik meminta maaf dan menyongokmu dengan sekotak es cream. Wah sungguh senjata yang menyeramkan.” jelas Arnand berhenti menyubit pipi Renata.
Renata kembali menatap kesal pada Arnand. Ia menyimpan ice creamnya lalu meraih sebuah buku besar di dalam tasnya. Arnand yang melihat itu segera menghalangi lengan Renata.
“Apa yang ingin kau lakukan?”
“Melemparnya seperti katamu tadi.”
“Kapan aku bilang begitu?”
“Barusan, bukankah kau bilang begitu?”
“Ha.. ha tidak, kau pasti salah dengar.” ucap Arnand segera mengamankan buku yang sedang di pegang Renta. “Wah.. lihat ice creammu mencair, cepat habiskan.” ucap Arnand coba mengalihkan pembicaraan. Renata mendelik kesal sambil kembali mengambil ice creamnya. Arnand hanya tersenyum masam melihat Renata yang kembali memakan ice creamnya.
. “Ah kenyangnya.” ucap Renata senang menatap wadah kosong di hadapannya.“Kalau kau ingin berkencan, berkencanlah.” Renata menoleh ke arah Arnand mendengar ucapan tersebut. “Kau hanya harus jujur padaku dan jangan membuatku khawatir. Jangan pernah berbohong lagi, mengerti! “ sambung Arnand di sanggupi dengan anggukan patuh Renata.
“Satu hal yang harus kau ingat, berkencanlah dengan pria baik yang tidak akan menyakitimu.” Renata merasa terenyuh sambil menatap Arnand yang kini tersenyum manis padanya. Ia merasa menyesal karena belum sepenuhnya jujur pada Arnand. Tapi ia masih belum siap menceritakan semuanya. “Kau tahu aku tidak suka melihatmu menangis..” sambungnya.
Mendengar hal itu membuat Renata benar-benar terharu. Ia pun memberikan sebuah pelukan pada Arnand sebagai rasa terima kasih dan sesalnya. “Maafkan aku Arnand.” ucap Renata pelan.
“Ya, maafkan aku juga telah membuatmu menangis.”
Renata tersenyum sambil melepaskan pelukannya. Ia kembali menatap Arnand. “ARNAND.. apa yang kau lakukan!” jeritnya kesal karena secara tiba-tiba Arnand malah mengacak-acak rambutnya.
Arnand segera bangkit karena kini Renata berusaha membalasnya. Renata berusaha menggapai kepala Arnand yang tentu tidak sampai. Hal itu begitu lucu hingga Arnand pun tertawa sambil berusaha menghindari Renata.
Sementara itu.
Dari kejauhan terlihat seorang pria yang tengah memperhatikan mereka sedari tadi. Ia hanya diam sambil menatap Renata dan Arnand yang terlihat begitu akrab.
“Rey, sedang apa kau di sana!” Pertanyaan itu membuat pria itu sedikit terkejut. Ia pun membalikan badannya mendapati temannya tengah berjalan ke arahnya.
“Ayo kembali.” Ucapnya sambil berlalu.
“Apa ada yang menarik?”
“Tidak ada, ayo pergi.” Jawabnya menegaskan.
.
Beberapa hari kemudian.
Siang itu Renata terlihat berjalan santai menuju perpustakaan. Namun di tengah perjalanannya tanpa sengaja ia berpapasan dengan Reynand. Ia terlihat sedikit terkejut melihat pria yang hampir seminggu ini ia hindari. Renata mencoba bersikap tenang dan segera mengalihkan pandangan pada ponselnya. Begitu pun dengan Reynand ia juga hanya menatap ke depan tanpa melirik Renata sedikit pun bahkan saat mereka berpapasan.
"Aku sudah terbiasa dengan ini." gumam Renata sambil melangkah mantap. Ia pun mempercepat langkahnya menuju perpustakaan.
Sesampai di sana ia pun menyimpan tasnya di salah satu meja kosong. Sesaat kemudian ia merasakan ponselnya bergetar cukup lama. Ia merogoh isi tasnya dan mendapati ponselnya menerima sebuah panggilan.
“Ya, Arnand.” Jawabnya sedikit berbisik.
“Kau di mana?“ tanyanya.
“Perpustakaan.”
“Ok.”
Tut.
Panggilan pun berakhir begitu saja. Renata tahu mungkin Arnand hanya ingin mengetahui keberadaanya saja. Ia menyimpan kembali ponselnya lalu mengeluarkan laptop dan beberapa buku untuk mulai mengerjakan tugasnya.
“Sepertinya aku butuh materi lain.” ucapnya lalu bangkit dari kursinya. Ia pun berjalan dan mulai berkeliling mencari buku yang ia butuhkan.
“Itu dia.” ucap Renata tersenyum sambil menunjuk sebuah buku di rak paling atas. Ia melihat sekitarnya mencari tangga atau mungkin saja ada seseorang yang bisa membantunya. Namun sepertinya keduanya tidak ada.
Renata mulai berjinjit mencoba meraih buku tersebut. “Eghh... aku pasti bisa mengambilnya.” ucap Renata menyemangati dirinya sendiri.
Namun di tengah perjuangannya tiba-tiba saja seseorang terlihat meraih buku itu dengan mudahnya. Renata seketika berbalik hendak protes dan ingin meminta buku tersebut karena dialah yang pertama menemukannya.
Dan saat berbalik betapa terkejutnya Renata mendapati Reynand berdiri tepat di belakangnya sambil memegang buku tersebut. Ia hanya terdiam tanpa mengucap satu kata pun. Begitu pun Renata yang ikut terdiam karena sungguh bingung dengan situasi yang ada.
Sesaat kemudian Renata mendengar seseorang memanggil namanya dengan nada pelan. Dan benar saja ternyata itu Arnand yang tengah berjalan di samping lorong. Dengan cepat ia pun memanggilnya.
“Arnand.” Teriaknya sedikit tertahan. Arnand yang sudah berlalu pun kembali dan mendapati Renata yang tengah berlari kecil menghampirinya.
“Sedang apa kau di sana?“ tanya Arnand saat mendapati Renata sudah di hadapannya.
“Ambilkan buku di sebelah sana!“ pinta Renata sambil menarik lengan kemeja yang Arnand kenakan. Arnand pun menurut dan mengikuti langkah Renata. Arnand langsung melirik ke arah Reynand yang kini tengah menatapnya.
“Buku yang mana?“ tanya Arnand coba mengabaikan orang yang menurutnya asing itu.
“Yang itu..“ ucap Renata sambil melirik buku di tangan Reynand.
“Yang mana maksudmu?” tanya Arnand sambil menoleh ke arah Renata. Renata terdiam melihat Reynand yang tengah menyimpan kembali bukunya dan berlalu pergi.
“Yang itu, yang paling atas.“ Jawabnya sambil tersenyum menunjuk buku yang dimaksud.
“Yang ini.”
“Bukan sebelahnya.”
“Ini.”
“Iya.” jawab Renata senang karena Arnand mengambil buku yang ia inginkan.
"Kenapa tidak kau minta saja pada orang tadi, sepertinya ia sudah selesai membacanya." tanggap Arnand heran.
"Tidak mau, aku kan tidak mengenalnya." jawab Renata sambil mengambil buku yang disodorkan Arnand.
"Hm.. terserah kau sajalah." ucap Arnand lalu segera berlalu pergi. Renata menoleh dan memperhatikan sekitarnya lalu berjalan menyusul langkah Arnand. Ia yang mengira Reynand sudah pergi dari sana. Namun ternyata tidak, sedari tadi Reynand berdiri di balik rak tersebut dan ia mendengar semuanya.
"Hah.. jadi dia sengaja mengabaikanku?" Dengusnya tersenyum kecut dan merasa sedikit kesal.
.
Satu bulan sudah berlalu. Dan selama itu Renata selalu berusaha menghindar dari Reynand. Ini memang sedikit merepotkan. Namun lebih baik dari pada harus bertemu dan berpura-pura tidak saling mengenal. Karena hal itu membuat Renata merasa tidak nyaman.
"Aku yakin aku akan terbiasa." gumam Renata saat tanpa sengaja ia harus berpapasan dengan Reynand.
Kadang Renata tidak mengerti di kampus yang seluas ini mengapa sering sekali mereka berpapasan. Padahal gedung jurusan mereka berbeda dan jaraknya berjauhan.
.
Siang itu Renata terlihat tengah duduk santai di sebuah bangku taman sambil mendengarkan music melalui earphonenya. Ia hanya terdiam sambil melihat sekitarnya. Tak berapa lama seorang muncul mencabut sebelah earphonenya. Karena hal itu Renata pun menoleh dan mendapati Arnand tersenyum jail padanya.
"Sedang apa kau di sini?" Tanyanya lalu duduk di samping Renata.
“Kembalikan.” Renata tidak menjawab pertanyaan dan coba merebut earphone miliknya.
"Sebentar aku ingin bicara denganmu." ucap Arnand dengan nada serius.
“Apa?” tanya Renata sambil mencopot sebelah earphonenya lagi.
“Hm, bulan depan aku akan mulai magang."
"Oh begitu, lalu?"
"Mungkin aku akan ada di sana sekitar 3 sampai 6 bulanan?"
"Hm.. baiklah.” tanggap Renata sambil mengangguk-ngangguk.
"Itu saja tanggapanmu?” protes Arnand.
“Ya, lalu aku harus seperti apa?”
"Tidak, Hanya- bagaimana kalau nanti kau merindukanku?” goda Arnand sambil terkikik.
"Issh.. siapa juga yang akan merindukanmu?" Tepis Renata pura-pura jutek.
"Hm.. kau yakin?" tanya Arnand sambil menaik turunkan alisnya.
"Yakin. Eh tapi tidak, kalau kau pergi siapa yang akan menjemputku sepulang kerja?" ucapan Renata tersebut berhasil merubah ekpresi Arnand menjadi cemberut.
"Ternyata selama ini aku hanya di anggap tukang jemputmu saja?"
"He..he.. kau sahabatku Arnand. Kau yang terbaik." jawab Renata tersenyum dan menaikan dua jempol tangannya.
"Hm.. dasar penjilat." ucap Arnand bangkit dan meraih tasnya.
"Mau kemana kau?"
"Lab, aku ada tugas."
"Lalu aku bagaimana?"
"Temui saja kekasihmu."
"Hah.." Renata melongo mendengar ucapan Arnand.
"Lain kali aku akan menemuinya?" ucap Arnand sambil berlalu pergi.
“Untuk apa?” teriak Renata melihat Arnand semakin menjauh.
“Ini urusan kakakmu, kau tidak usah tau.” Jawabanya sambil melambai tanpa membalikkan badannya.
Renata seketika terdiam, sepertinya ia harus segera menjelaskan semuanya. Ia tidak mau Arnand salah paham dan mengira ia sengaja membohonginya. Dan ia juga tidak mau Arnand marah seperti waktu itu.
“Jika ada waktu yang tepat aku akan jelaskan semuanya.” gumam Renata dalam hati.
.
Beberapa hari kemudian.
Siang itu.
Renata terlihat berjalan memasuki sebuah kantin. Ia pun mendekati meja kasir untuk memesan makanan untuk makan siangnya.
"Mau pesen apa?" Tanya salah seorang penjaga kantin.
“Hm.. saya mau nasi goreng satu."
"Nasi goreng satu bu?" Renata sontak menoleh mendengar seseorang yang terlihat memesan hal yang sama dengannya secara bersamaan.
“Reynand.." ucapnya tanpa suara. Reynand terlihat maju dan berdiri sejajar dengannya. Sekilas Renata melirik wajah datar andalan Reynand.
"Baik nasi gorengnya 2, pedas atau tidak?"
"Pedas."
"Tidak." Lagi-lagi mereka menjawab dengan bersamaan. Penjaga terlihat tersenyum melihatnya.
"Oh baik. Mohon ditunggu?"
"Ya, saya duduk di sebelah sana. Pesanan saya yang pedas.” jelas Renata sambil menunjuk pada sebuah meja di sudut kantin.
"Baik kak."
Renata pun segera berjalan menuju mejanya. Sementara itu Reynand terlihat belum menyelesaikan pesanannya.
“Ada yang lain kak?”
"Saya tambah Ice Cappucino 1." ucap Reynand cepat.
"Ya. Baiklah."
Drttzzz.
Reynand merasakan ponselnya bergetar dan dengan cepat ia menjawab panggilan masuk tersebut. Namun sebelum itu ia menyimpan selembar uang untuk membayar.
"Hallo, ada apa yan?" ucapnya.
"...."
“Ucapkan sekali lagi, aku tidak dengar?" Ucapnya lagi sambil melihat suasana kantin yang semakin ramai.” Sebentar aku cari tempat yang lebih sepi." ucap Reynand sambil berjalan keluar kantin.
15 menit kemudian.
Reynand pun kembali dan langsung menuju meja kasir untuk mengambil pesanannya.
"Silahkan?"
"Terima kasih." ucap Reynnad sambil mengambil pesanannya. Ia berbalik dan terdiam sejenak sambil memperhatikan suasana kantin yang mulai penuh. Reynand melihat kursi kosong di salah satu sudut ruangan kemudian ia pun berjalan ke arah sana. Sesampai di sana ia berdiri sejenak menatap seorang gadis yang tengah makan di meja tersebut.
“Boleh aku duduk di sini?“ tanya Reynand sesaat gadis itu menyadari kehadirannya.
“Hah.”
“Tidak ada meja kosong.” jelas Reynand.
“Ah- Iya silahkan.” Ucapnya seperti sedikit kaget dan kebingungan.
Reynand pun menyimpan makanannya lalu menarik kursi kosong di hadapannya untuk ia duduki.
.
“Ya Tuhan bagaimana bisa aku makan semeja dengannya.” Gerutuku tertunduk sambil mengunyah makanan dengan susah payah. Aku melirik Reynand lalu mengambil kerupukku dan memakannya. Aku pun kembali mengambil sesendok penuh nasi goreng dan memasukannya ke mulutku. Aku heran mengapa nasi goreng ini seperti tidak bisa dengan cepat aku habiskan. Mulutku sampe penuh karena aku makan secara tergesa-gesa. Jujur aku merasa tidak nyaman dan ingin segera pergi dari sini.
"Kau lapar?"
Aku mendongak mendengar pertanyaan Reynand. Makanannya masih utuh apa sedari tadi dia memperhatikanku. Aku kaget dan sedikit tersedak hingga terbatuk. "Uhuuk.. uhuuk.." Aku segera mengambil beberapa tissue lalu menutup mulutku. “Uhuk.. uhuk.” Tenggorokanku terasa pedih karena tersedak nasi goreng pedas.
Reynand menatapku. Sementara aku merasakan tenggorakanku yang semakin panas. Aku pun coba mencari botol minumku di tas. Namun tidak ada, aku memperhatian meja dan melihat Ice cappuccino milik Reynand dan berpikir ingin meminumnya. Aku segera menggelengakan kepala sambil menatap Reynand.
“Minumlah.” ucap Reynand menyodorkan minumannya padaku sepertinya ia tahu apa yang kupikirkan. Karena kondisi yang tidak memungkinkan aku pun tidak menolaknya. Aku meraih gelas tersebut lalu meminumnya hingga tersisa setengahnya.
"Uhu.. thank's, nanti aku akan ganti." Ucapku melihat Reynand yang kini tengah memakan nasi gorengnya.
"Tidak usah." Jawabnya singkat.
“Kalo begitu minumannya biar aku yang bayar. “ ucapku lagi. Reynand kini terdiam lalu menatapku. Aku yang akan kembali menyuap nasi gorengku ikut terdiam karenanya.
Reynand terlihat berhenti makan lalu ia malah terfokus sambil menatap ke arah bibirku. Aku sedikit kikuk apalagi saat tiba-tiba tangannya menuju wajahku. Aku kira dia mau apa ternyata ia ingin menyingkirkan sebuah nasi yang menempel di sana.
“Maaf, tapi itu menggangguku.” Ucapnya lalu kembali menyantap makanannya.
Sementara aku mematung begitu terkejut dengan adegan kilat itu. Sesaat aku kembali tersadar sambil meraba-raba sekitar mulutku takut ada nasi yang masih menempel.
"Aku sudah selesai." Ucapnya.
Aku menatap bingung, ternyata makannya memang sudah habis. Entah sejak kapan aku tidak begitu menyadarinya. Reynand pun berdiri membawa piring kosongnya.
“Aku akan bayar.” Ucapnya dan aku hanya tersenyum canggung menanggapinya. Aku memperhatikan Reynand yang mulai menjauh. Tapi adegan saat Reynand mengambil nasi tadi teringat lagi membuat wajahku memanas.
“Wah.. Ada apa denganku?“ Ucapku menyambar gelas di hadapanku dan menenggaknya hingga habis.
.
Selesai makan aku pun menuju meja kasir untuk membayar. Aku menyebutkan pesananku namun jawaban dari penjaga kantin membuatku bingung.
"Sepertinya pacar kakak sudah membayar semuanya."
"Hah, pacar?"
"Ya, Mahasiswa yang sama-sama pesan nasi goreng." Jelasnya.
“Reynand?” ucapku tak percaya. Penjaga kantin hanya tersenyum dan berlalu.
Aku pun perlahan berjalan keluar dari kantin.
"Aku akan bayar." Aku baru mengerti ucapan itu sekarang. Aku kira ia akan membayar makanannya saja. Sepertinya aku harus mengganti uang makan hari ini karena tidak mau berhutang padanya.
Pagi itu renata sengaja bangun lebih pagi dari biasanya. Ia terlihat mengambil beberapa bahan di kulkas dan mulai memasak. Sesuai janjinya ia ingin membuat sarapan untuk reynand. Selesai memasak renata pun bergegas mandi dan bersiap ke kampus. Ia memilih pergi menggunakan bus karena tahu reynand tidak bisa menjemputnya hari ini. Sesampai di kampus renata pun coba menghubungi reynand. tut..tut.. “Hallo..” “Rey kau di mana?” “Di aula, kalau kau ingin bertemu reynand ke sini saja.” Jelasnya. “Ah, baiklah kak.” Tut. Renata masih memandangi ponselnya, entah siapa tadi yang berbicara dengannya. Yang pasti ia tahu keberadaan reynand sekarang. Tanpa berlama-lama renata pun segera menuju ke aula kampus. Sesampai di sana renata melihat banyak orang yang berlalu lalang di sana. Dengan segera ia mencari keberadaan reynand. Ia berlari kecil mendekati kerumunan orang dan coba menyelinap. “Rey..” Panggilnya pelan. Reynand berbalik sedikit terkejut dengan kehadiran renata di sana namun sesa
Sepanjang perjalanan reynand tidak berkata sedik pun. Wajahnya masih saja datar bahkan berkali-kali aku terang-terangan menatapnya. Namun ia seperti sengaja menghiraukanku. “Kau marah?” Tanyaku ragu. Reynand terdiam dan tidak menjawab aku yakin dia pasti marah. Bukankah baru saja aku berjanji tidak akan pergi dengan pria lain selainnya. “aku sungguh tidak tahu kalo gio akan menjemputku.” Sambungku menjelaskan. “Sudahlah, aku sedang menyetir.” Jawabnya cepat. Tak berapa lama mobil pun berhenti tepat di depan cafe tempatku bekerja.“Aku akan menjemputmu jam 10.” Ucapnya dingin tanpa menatapku. Aku terdiam sejenak memutar otak untuk mencari cara agar reynand tidak marah padaku. Entah dari mana datangnya tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalaku. Aku melirik reynand sesaat. Walaupun ragu aku akan coba melakukannya. Aku membuka seltbetku dan coba mengumpulkan keberanian. Aku mendekati reynand dan menutup mataku lalu.. Cup “Maafkan aku rey..” Ucapku membuka mata setelah memberi sebuah k
Tok. Tok. Tok. “Ya sebentar !” ucap Renata saat mendengar seseorang mengetuk pintu rumahnya. Ia berjalan dan segera membukanya. “rey..” Ucapnya lemah sedikit kecewa berbarengan dengan senyumannya yang memudar. “Kenapa, sepertinya kau tidak suka dengan kedatanganku?” tanya Gio malah tersenyum manis pada renata. “Bukan, hanya saja..” Renata menggantung ucapannya saat merasa ponsel yang di pegangnya bergetar. Ia melihat sebuah pesan dari reynand muncul di sana. Reynand: Aku masih di rumah sakit sekarang, sepertinya tidak bisa menjemputmu. Maaf. 8.30 “Kenapa, apa terjadi sesuatu?” tanya Gio bingung melihat renata masih menatap ponselnya. “Tidak. Hm.. ada apa pagi-pagi kau ke rumahku?” “Kau lupa percakapan kita kemarin malam.” ucap Gio balik bertanya. “Apa?” tanya Renata benar-benar lupa. Gio terdiam sejenak lalu ia melirik jam dinding di belakang Renata. Ini hampir jam setengah delapan dan ia tahu Renata kuliah pagi ini. “Sudah-sudah kita bahas nanti saja, kau m
Seminggu terakhir ini aku cukup sibuk karena harus bulak-balik untuk mengurus jessi di rumah sakit dan juga mengurusi urusan di kampus yang menguras waktu dan tenagaku. Aku berencana ingin beristirahat malam ini. Aku baru saja mendudukan diri di tepi ranjang sambil mengisi batrai ponselku yang mati sejak siang tadi. Tak lama beberapa pesan berderetan muncul memenuhi layar ponselku. Aku pun mulai mengeceknya dan menyingkirkan pesan yang menurutku tidak begitu penting. Tanganku terhenti nama renata muncul dengan sebuah pesan yang membuat perasaanku tidak enak. Aku pun dengan cepat membuka dan membacanya. Renata : Rey, maaf lebih baik kita akhiri saja hubungan ini. Terima kasih untuk semuanya.18.12 Aku sungguh terkejut membaca pesan tersebut. Aku tahu hubunganku dengannya sedang rumit, tapi aku tidak menyangka ia bisa semudah itu ingin mengakhiri semuanya. Aku akui aku yang salah karena memiliki ego yang terlalu tinggi. Tapi itu bukan berarti aku tidak peduli dengan hubungan ini.
Renata terlihat sudah berada di café tempatnya bekerja. Ia kini terlihat tengah berada di depan meja kasir sambil memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Sejenak ia termenung dan teringat dengan sikap reynand yang membuatnya sedih. Apalagi hari ini reynand seperti sengaja tidak ingin menemuinya. “Ah..” pekiknya saat merasa nyeri di bagian ulu hatinya. Renata seharusnya tidak melewatkan jadwal makannya, ia memiliki maag akut. Dan itu bisa memicu penyakitnya kambuh. “Nata..” panggil Gio tiba-tiba muncul di depan meja kasir. “Ya.” Renata menjawab sedikit meringis. “Kau baik-baik saja?” Tanyanya sedikit khawatir melihat wajah renata yang sedikit pucat. “Aku.. baik, ada apa gio?” jawab Renata mencoba menyembunyikan rasa sakitnya dengan tersenyum. “Hmm.. bisakah kau membantuku sebentar, Mr. Liem menyuruhmu mengecek stock sayur dan bumbu!” Jelasnya dan renata pun mengangguk. “Hani, aku harus ke gudang. tidak apakan kalau kau jaga kasir sendirian?” tanya Renata pada gadis yang tenga
Aku segera berlari keluar dari mobil saat melihat sebuah ambulance terparkir di depan rumah jessi dan juna. Di saat bersamaan aku melihat jessi di tandu untuk memasuki ambulance. “Apa yang terjadi.” Tanyaku melihat jessi yang menangis kesakitan sambil memegangi perutnya. "Sepertinya terjatuh di kamar mandi dan saat ini kondisinya sedang hamil. Jadi kami harus segera membawanya ke rumah sakit. “ Jelas salah satu paramedis. “Rey.” Panggil jessi sambil meraih tangan reynand. “Jangan takut, semua akan baik-baik saja.” ucap Reynard sambil mengelus kepala jessi menenangkan. Dan tak lama jessi pun di masukkan ke dalam ambulance. Reynand memasuki mobilnya untuk segera mengikuti jessi menuju rumah sakit. Sepanjang jalan reynand coba menghubunginya juna karena tadi tidak melihatnya di tempat kejadian. Entah sudah berapa kali namun juna tidak juga menjawab panggilannya... Reynand