Share

6. Sudahi sandiwara ini

Tid. did

Aku menghentikan langkahku saat sebuah mobil asing berhenti tepat di sampingku. Aku menunggu sejenak sampai si pemilik mobil menurunkan kaca mobilnya.

“Hai kau mau pulang, mau ku antar?” Tawarnya sambil tersenyum ramah.

.. 

“Kau mencari reynand?” Tanyaku sambil mengaduk hot chocolate di hadapanku. Juna menggeleng dan tersenyum.

“Tidak, kebetulan saja aku lewat sini.” 

“Oh.”  Tanggapku singkat. Dan kami pun terdiam untuk beberapa saat. Juna terlihat meniup kopi panas di tangannya dan perlahan ia meminumnya. 

“Bagaimana hubunganmu dengan reynand, baik-baik saja kan?” Tanyanya sambil meletakan cangkirnya. Juna terlihat tersenyum ramah sambil menatapku.

“Aku sangat senang saat mendengar rey tidak sendiri lagi.” Sambungnya antusias.

Aku terdiam mendengarnya, sesaat aku menatapnya ragu. Sebenarnya aku tidak tega memberitahukan kebenaran yang mungkin akan membuatnya sedikit sedih. Namun di sisi lain aku tidak bisa berbohong lagi.

“Juna..” panggilku membuatnya menoleh menatapku. “Maafkan aku, sebenarnya.. aku dan rey-“

“Sedang apa kalian di sini?” Ucapanku terpotong saat tiba-tiba saja Reynand muncul dan berdiri di samping meja kami.

Aku dan Juna sontak menoleh kaget. Entah sejak kapan ia sudah ada di sana. Juna terlihat tersenyum dan menyambut Reynand.

“Hai rey, aku tadi tidak sengaja bertemu renata saat di jalan. Kau jangan salah paham yah?“ Jelasnya sedikit bergurau.

Reynand tidak menjawab ia melirik ke arahku. Kemudian ia menduduki kursi di sampingku. 

“Apa yang kalian bicarakan?” tanya Reynand datar. 

“Tidak, kami baru mau berbincang. Oh ya renata tadi apa yang ingin kau katakan. Ada apa denganmu dan reynand?” tanya Juna membuat Reynand menoleh kaget. 

“Ada yang harus kau tahu juna.” Ucapku sambil melirik sinis pada reynand. Reynand tak mau kalah dia kini menatap tajam padaku. 

“Kalian bertengkar?” tanya Juna bingung melihat suasana suram diantara aku dan Reynand. 

“Tidak.” Jawabku cepat lalu menatap ke arah juna. “Juna maaf tapi sebenarnya aku dan reynand tidak pa-“ Seketika aku tidak bisa melanjutkan ucapanku. Mataku membulat karena terkejut. Aku tidak mengerti apa yang di pikirkan Reynand saat ini. Hingga ia nekat menutup mulutku dengan sebuah ciuman. 

“Hei, a-apa yang kalian lakukan?” Juna terlihat bingung melihat ke arah kami. Aku dengan cepat mendorong tubuh Reynand. Ia pun menjauh dan masih menatapku.

“Kau-“ ucapku kesal. 

“Ini cara agar dia diam.” potong Reynand cepat lalu meraih tanganku untuk bangkit. “Maaf sepertinya kami harus pergi.” Ucapnya menyeretku pergi dari sana. 

“Ah, apa yang terjadi?“ tanya Juna bingung melihatku dan Reynand keluar dari cafe dengan tergesa-gesa.

Sementara itu aku coba berontak untuk melepaskan diri saat Reynand menyeretku. 

“LEPAS?” teriakku untuk kesekian kalinya. Reynand tidak ada niatan untuk melepas tanganku. Tanganku malah terasa sakit saat aku coba menarik dan Reynand akan semakin mengencangkan cengramannya.

“Tolong lepaskan aku.. “ Pintaku dan setelah itu Reynand menghentikan langkahnya lalu berbalik ke arahku. Ia terlihat terkejut menatapku. Jujur saat ini aku coba menahan tangis karena kesal. Sedari tadi mataku sudah mulai terasa panas.

“Kau sudah puas mempermainkanku?” Tanyaku dan sesaat kemudian aku merasa cengramannya melonggar dengan cepat aku menarik dan mengelus lenganku yang memerah. Ia menatapku tanpa berakata apa-apa. 

“Kenapa kau begitu senang bersandiwara?” Tanyaku lagi dengan nada sedikit bergetar. Emosiku  sungguh terasa campur aduk. Aku begitu marah dan kesal hingga rasanya aku ingin menangis dan  berteriak padanya.

“Kau mungkin menikmati peranmu. Tapi tidak denganku rey?” Ucapku dengan nada meninggi. Ia tertunduk sesaat lalu kembali menatapku. Kini sorot matanya tidak setajam tadi.

“Aku harap ini yang terakhir. Aku mohon berhenti melibatku dengan ini. “ Pintaku sungguh-sungguh. Aku membalikan badan dan hendak pergi namun Reynand menahan lenganku. 

“Tidak, maafkan aku renata.” Ucapnya pelan. Aku pun menoleh padanya. Ia melepaskan tangannya saat melihatku berbalik menghadapnya.

“Maafkan untuk semuanya. Terutama tadi saat di cafe aku terpaksa men-“

PLAK

Sebuah tampar melesat cepat di pipi kanan Reynand. Aku tidak bisa menahan diri lagi. Aku menatap penuh amarah padanya. Reynand terdiam sambil mengelus pipinya yang memerah. 

“Itu sakit kan rey.” Tanyaku dengan nada mencibir. Reynand tanya mentapku tanpa menjawab.

“Semoga tamparan itu bisa membangunkanmu. Kau harus sadar kau tidak  akan mati karena menghadapi kenyataan?” Lanjutku kesal lalu melangkah pergi. 

“Tapi kau tidak pernah merasakan rasanya ingin mati karena sebuah kenyataan!” ucap Reynand membuatku menghentikan langkahku.

“Pernah, pernah rey karena di hidup ini bukan kau saja yang punya masalah.” Ucapku lalu benar-benar pergi dari sana.

.. 

Tepat pukul 10.00 malam jam kerjaku berakhir. Aku pun bergegas keluar dari cafe tempatku bekerja. Aku memperhatikan sekitarku dan tak melihat keberadaan Arnand di sana. Aku meraih ponselku dan menelponnya.

“Hallo kau di mana?“

“Di rumah, kenapa?“

“Kenapa katamu, kau tidak menjemputku?“

“Hari ini aku harus packing renata, kau tahu kan besok aku harus pergi.”

“Lalu, aku pulang bagaimana?“

Tut.

Arnand tiba-tiba mengakhiri pembicaraan, aku menatap bingung ponselku. Aku kembali menelponnya namun ia tidak juga mengangkatnya. Aku melihat jam di tanganku. Walaupun pesimis aku pun berusaha berlari menuju halte bus. Kalau tidak bagaimana aku pulang. 

“Hei, tunggu.." Teriakku saat bus terakhir itu pergi. Sungguh hari ini sangat luar biasa.

Bertemu Juna, bertengkar dengan Reynand dan bus untukku pulang sudah pergi. Rasanya aku ingin menangis karena kesal. Kenapa hari ini terasa begitu berat. Aku terduduk di pinggir trotoar dan menunduk lemas. Namun tiba-tiba saja sebuah helm mendarat di kepalaku. 

“Ayo pulang?” Aku mendongak kaget saat Arnand sudah ada di hadapanku. "Ayo.."

Aku terdiam sejenak lalu entah mengapa air mataku menetes deras. Aku menangis tidak menyangka Arnand akan muncul di situasi seperti ini.

"Hei-hei kenapa menangis, ayo aku akan mengantarmu pulang renata?" Ucapnya sedikit kebingungan. Ia mengira aku menagis karena tidak bisa pulang. Namun sebenarnya aku hanya merasa begitu lelah dengan hari ini. Dan kini dia datang sebagai penyelamat di hariku yang buruk.

..

“Kau baik-baik saja kan?“ Tanyanya  saat merasa aku terdiam saja sepanjang perjalanan. 

“Iya.” Jawabku pelan.

“Di mana kekasihmu?“

“Tidak ada. “ Jawabku cepat.

“Apa?” tanya Arnand coba meminta penjelasan dariku. Awalnya aku ingin jujur pada Arnand. Namun melihat situasi saat ini sepertinya ini bukan saat yang tepat. Arnand akan pergi dan dia harus fokus. Tak seharusnya aku membebaninya dengan masalahku.

“Dia di rumahnya. Dia sedang kurang enak badan.” Jelasku pada akhirnya. 

“Oh begitu.“

“Hm.“

“Kekasihmu junior di jurusanku kan, siapa namanya aku lupa lagi?“

“Ya, reynand.”

“Hm.. Sepertinya aku pernah dengar.”

“Hm.”

..

Beberapa hari kemudian. 

Siang itu aku berjalan lemas menyusuri koridor kampus. Entah mengapa akhir-akhir ini aku seperti  kehilangan semangatku.

Apakah imbas dari kepergian Arnand atau karena pertengkaranku dengan Reynand. Aku tidak mengerti atau mungkin karena keduanya.

“Nanti malam kita berkumpul di rumah dean?” 

“Baiklah.”

Aku segera menengakkan wajahku mendengar sepatah kata yang di ucapkan pria yang tidak lain adalah Reynand. Tanpa sadar aku memperlambat langkahku dan meliriknya.

Namun tanpa diduga tiba-tiba saja ia menatap ke arahku. 

1 detik

2 detik

3 detik

Ada apa dengannya kenapa ia masih menatapku, ini tidak seperti biasanya. Apa ada yang salah denganku, mengapa ia tidak menghiraukanku seperti biasa. Kami makin mendekat dan hampir berpapasan.

“Hai..!” Sapaan itu di ucapkan Dean sahabat Reynand. Aku hanya tersenyum menanggapinya.

Yang membuatku tidak mengerti kenapa Reynand masih menatap ke arahku.

“Hm, maaf tapi sepertinya ponselmu berdering.” ucap Dean mengingatkan. 

“Ah terima kasih.” Ucapku langsung segera merogoh ponsel di tasku.

“Arnand.” Ucapku pelan sambil menatap ponselku. Aku pun kembali berjalan. 

“Aku baru ingat aku sudah ada janji untuk nanti malam.” ucap Reynand yang masih terdengar olehku.

“Ya sudah tidak apa-apa masih bisa lain waktu.”

“Ok.”

Aku hampir saja lupa karena keasikan menguping pembicaraan mereka.

Drrtzzz...drttz

“Yah arnand. Ada apa?”

“Maaf aku baru sempat memberi kabar. Aku sudah sampai dengan selamat.”

“Oh. Syukurlah.” jawab Renata pelan.

“Kau kenapa, suaramu terdengar lemas?” Tanyanya khawatir.

“Tidak, aku baik-baik saja. Hanya sedikit lelah.”

“Hm.. apa kau tidur cukup?”

“Ya.”

“Bagaimana makanmu?”

“Tidak ada masalah.”

“Hm.. sepertinya bukan tubuhmu yang bermasalah?”

“Maksudmu?"

“Hatimu. Bagaimana hubunganmu dengan kekasihmu itu, ku dengar dia bukan pria yang ramah?”

“Hm..” aku bergumam cukup lama. Aku tidak menyangka Arnand sampai mencari tahu pria seperti apa Reynand itu.

“Hubungan kalian bermasalah?” Tebaknya membuat sedikit kaget.

“Ah tidak, kami baik-baik saja.”

“Syukurlah. Ku harap dia bisa menjagamu seperti janjinya.”

“Maksudnya menjaga.”

“Maaf nata. Aku harus pergi, nanti ku telpon lagi bye.”

Tut.

Aku masih terdiam menatap layar ponselku yang redup. Aku mencoba mencerna kata-kata Arnand. Namun tiba-tiba sebuah pesan singkat muncul di layar ponselku.

LINE

GIO:  Kau tidak lupa kan, hari ini masuk lebih awal. 

13.03

Aku menepuk jidatku. Hampir saja aku melupakannya. Hari ini adalah acara universary cafe tempatku bekerja. Dan aku diminta datang lebih awal. Dengan cepat aku pun mempercepat langkahku untuk pulang. 

..

Malam ini suasana di cafe sungguh sangat ramai. Di tambah dengan acara dan promo-promo menarik membuat para pengunjung rela mengantri untuk datang kemari.

“Nata antar ini?” teriak Yoland menyimpan nampan di meja kasir Renata.

“Tapi aku sedang menulis pesanan.” Sanggahku cepat. Aku masih trauma dengan tenguran Mr. Liem waktu itu.

“Kalian kan berdua, kau tidak lihat kita kekurangan orang.” Bentaknya. Aku menghela nafas lalu mengantar pesanan tersebut.

Saatku berbalik aku melihat Mr. Liem juga ikut turun tangan menangani pelanggan jadi menurutku kali ini tidak masalah. 

.. 

Malam harinya.

Setelah jam kerja usai Mr liem terlihat menyuruh seluruh karyawan berkumpul untuk memberikan briefing sebelum pulang. 

“Jadi terima kasih atas kerja keras hari ini. Sebagai hadiah untuk setiap karyawan akan mendapatka bonus di akhir bulan.” Ucap Mr. Liem panjang lebar yang di akhiri sorak senang para karyawan.

Sementara itu Renata terlihat gusar. Sedari tadi ia melirik jam di ponselnya. Bahkan ia tidak fokus dengan ucapan Mr. Liem. Yang ia pikirkan saat ini adalah bagaimanana cara agar ia bisa pulang dengan bus terakhir.

Tepat pukul 10.30 Renata dan yang lainnya pun terlihat keluar dari cafe. Renata berjalan lemas sambil menenteng tasnya.

“Dah nata.”

“Dah.” ucap Renata tersenyum getir. 

Renata terdiam di pinggir jalan. Ia masih bingung bagaimana caranya ia pulang. Ia menoleh Mr. Liem yang mulai mengunci cafe.

“Aku gila, kalau aku berpikiran akan menginap di cafe.” Gumamnya kesal.

“Kau tidak pulang?” Renata menoleh kaget mendapati Gio rekan kerjanya berada di depannya.

“Ah aku..”

“Kau tidak di jemput akhir-akhir, kemana dia?”

“Siapa maksudmu, arnand?”

“Kalian putus kan, baguslah. Ayo aku akan mengantarmu pulang?” Ucapnya sambil tersenyum senang.

“Ah tidak, seperti kau salah paham.” Jawab Renata sambil mengibas-ngibaskan tangannya.

“Ayo, sudahlah tidak apa-apa.” Lanjutnya sambil meraih tangan Renata untuk di tariknya. Renata terlihat sedikit terkejut. Bukan karena hal itu melainkan ada tangan lain yang menahannya. Renata menoleh melihat Gio menatap tajam pada orang di belakangnya.

“Kau siapa?” Tanyanya terlihat tidak senang. 

“Lepaskan?” Orang itu tidak menjawab pertanyaan Gio, ia malah memerintahnya untuk melepaskan tangan Renata. 

“Ku tanya kau siapa?” tanya Gio lagi sedikit emosi. 

“Aku kekasihnya. Jadi lepaskan.” Jawabnya cepat sambil menepis paksa tangan Gio agar terlepas dari tangan Renata. Dan setelah itu ia terlihat sedikit menyeret Renata memasuki mobilnya.

“Hei, tunggu.. “

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status