Mata Audrey mengerjap beberapa kali ketika merasakan silau matahari menyentuh wajahnya. Audrey memijat pelan pelipisnya saat rasa sakit di kepalanya menyerang. Hingga ketika sakit di kepala Audrey mulai membaik, wanita itu membuka kedua matanya seraya mengendarkan pandangan ke sekitarnya—namun seketika raut wajah Audrey berubah kala melihat dirinya berada di sebuah kamar nuansa abu-abu kombinasi hitam. Kamar yang tak asing. Ditambah aroma parfume yang dia hafal menyeruak ke indra penciumannya.
“Kenapa aku ada di apartemen Xander?” Audrey langsung menyadari bahwaa dirinya berada di apartemen pribadi Xander. Tentu Audrey tak akan mungkin lupa kamar di apartemen pribadi Xander. Tatanan kamar maskulin. Ranjang. Aroma parfume. Semua sangat Audrey hafal.
Sesaat, Audrey terdiam berusaha mengingat kenapa dirinya bisa ada di apartemen Xander. Seingatnya tadi malam dirinya mendatangi klub malam akibat begitu frustrasi dengan sikap Xander yang selalu mengabaikannya.
Pun Audrey mengingat dirinya minum sangat banyak dan pastinya mabuk. Tapi kenapa sekarang bisa ada di apartemen Xander? Apa mungkin Xander menjemputnya di klub malam? Tidak. Itu sangat mustahil! Tidak mungkin Xander menjemputnya. Audrey sangat mengenal dengan baik tunangannya itu.
“Selamat pagi, Nona Audrey.” Seorang pelayan melangkah menghampiri Audrey seraya membawakan nampan yang berisikan susu cokelat hangat. “Silahkan diminum, Nona. Saya membuatkan susu cokelat hangat untuk Anda.”
“Terima kasih.” Audrey menerima susu cokelat itu, dan meminumnya perlahan. Lalu ketika susu yang diberikan oleh pelayan telah habis, Audrey mengembalikan gelas itu pada sang pelayan sambil bertanya, “Di mana Xander? Kenapa aku tidak melihatnya?”
“Tuan Xander berada di ruang kerjanya, Nona. Beliau sedang memeriksa pekerjaannya. Mungkin sebentar lagi Tuan Xander akan ke sini,” jawab sang pelayan sopan.
Audrey menganggukan kepalanya. “Kau boleh pergi sekarang. Terima kasih sudah membuatkanku susu hangat.”
“Dengan senang hati, Nona Audrey. Kalau begitu saya permisi.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Audrey.
Saat pelayan itu sudah pergi, Audrey menyibak selimut, turun dari ranjang dan hendak menuju kamar mandi. Namun gerak Audrey terhenti kala kenop pintu bergerak menandakan akan ada yang masuk ke dalam kamar.
Ceklek!
Pintu terbuka. Tampak senyuman samar di wajah Audrey terlukis melihat Xander melangkah masuk ke dalam kamar. Rasa sakit di hatinya seakan lenyap kala melihat Xander. Sejak dulu, Audrey memang tak pernah bisa marah lama dengan Xander. Berkali-kali diabaikan dan ditolak tetap saja tidak akan membuat cinta Audrey berkurang.
“Xander, tadi malam kau yang menjemputku?” Audrey melangkahkan kakinya mendekat pada Xander. Wanita itu menatap Xander dengan tatapan lembut dan penuh kasih sayang.
“Bisakah kau satu kali saja tidak menyusahkan hidupku, Audrey? Kenapa kau pergi ke klub malam sendirian? Kalau terjadi sesuatu padamu maka aku yang akan disalahkan!” seru Xander meninggikan suaranya. Tatapan pria itu menatap Audrey begitu tajam.
Audrey sedikit menunduk. Harus Audrey akui dirinya lah yang bersalah karena pergi ke klub malam seorang diri. Rasa putus asa dan patah hati yang mendorong Audrey melampiaskan pergi ke klub malam.
Sebenarnya Audrey pun cukup sering mendatangi klub malam tapi biasanya Audrey akan bersama dengan sepupunya dan tentu dijaga dua pengawal yang menemeninya. Namun, tadi malam Audrey memutuskan melarikan diri beralasan pada kedua orang tuanya ingin mengerjakan pekerjaan di apartemen pribadinya.
“Aku pergi ke klub malam karena aku kesepian, Xander. Setelah pesta ulang tahunku, kau tidak pernah membalas pesanku,” ucap Audrey pelan dan raut wajah yang begitu muram.
Tak lagi terhitung berapa ratus kali Audrey mengirimkan pesan untuk Xander. Meski hati Audrey terluka dengan kata-kata Xander tetap saja Audrey mengirimkan pesan untuk sang tunangan. Tapi tak ada satu pun pesan yang dijawab oleh Xander.
“Aku sibuk,” jawab Xander dingin dan begitu acuh.
“Kau bisa membalas pesan dari asistenmu ataupun karyawanmu di kantor. Tapi kenapa kau satu kali saja tidak bisa membalas pesanku, Xander?” seru Audrey dengan wajah yang memerah menahan rasa kesal.
“Aku tidak mau bertengkar, Audrey! Berhenti bersikap kekanakan!” Xander menatap Audrey tajam dan penuh peringatan.
Mata Audrey memerah menahan air matanya agar tak tumpah. Setiap kali berdebat dengan Xander; maka Xander akan selalu mengatakan dirinya selalu kekanakan. “Aku tunanganmu, Xander. Aku bukan bersikap kekanakan tapi aku hanya ingin kau memberikan kabar padaku! Apa sulit bagimu untuk memberikan kabar padaku? Aku setiap hari selalu memberikan kabar padamu. Tapi kenapa kau tidak bisa melakukan apa yang seperti aku lakukan padamu?”
Xander memejamkan mata singkat. Berusaha untuk tidak terpancing emosi. “Jangan meminta aku untuk melakukan hal yang sering kau lakukan. Kau jelas tahu, sejak dulu aku tidak pernah menginginkan itu. Berhenti mengharapkan sesuatu hal yang tidak mungkin!”
Audrey mati-matian menahan air matanya agar tidak jatuh. Sejak dulu Audrey memiliki keyakin kalau sifat dingin dan kasar Xander adalah bentuk dari ungkapan perasaan pria itu padanya. Namun, setelah Audrey beranjak dewasa, Audrey merasakan kekosongan. Bahkan Audrey merasakan Xander tidak pernah benar-benar peduli padanya.
“Tuan Xander?” Seorang pelayan melangkah mendekat pada Xander. Refleks, Xander mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu.
“Ada apa?” tanya Xander dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.
“Maaf mengganggu, Tuan. Tapi saya ke sini ingin memberitahu kalau Tuan Marco datang. Beliau sudah menunggu Anda di depan,” jawab sang pelayan yang langsung membuat raut wajah Xander berubah menjadi kesal.
‘Shit!’ Xander mengumpat dalam hati mendengar ayahnya datang. Sejak kejadian di pesta ulang tahun Audrey; Xander memang tidak pernah muncul di depan keluarganya. Tak hanya itu saja tapi Xander selalu menghindari kedua orang tuanya. Pasalnya setiap kali bertemu keluarganya, Xander akan selalu terpancing emosi.
Beberapa bulan kemudian … Tokyo, Japan. “Rikkard … Rachel … jangan bermain di air mancur. Nanti kalian terjatuh.” Audrey hendak menghampiri kedua anaknya yang tengah asik bermain di air mancur. Akan tetapi gerak Audrey terhenti kala Xander menahan lengannya.“Sayang, ada pengawal yang menjaga anak-anak kita. Tidak usah mencemaskan mereka.” Xander menarik tangan Audrey, masuk ke dalam pelukannya, dan mengecupi puncak kepala sang istri. Musim semi di Tokyo sangatlah indah. Bunga-bunga sakura bermekaran tumbuh dengan sangat sempurna.Audrey tersenyum samar. Rikkard dan Rachel memang anak yang sangat aktif. Dua kakak beradik itu kerap membuat Audrey sedikit pusing akibat dua anaknya terlalu aktif. Well, meski demikian tentu hidup Audrey penuh warna. Kehadiran Rikkard dan Rachel melengkapi kebahagiaannya dengan Xander. “Xander, aku senang sekali Serry dan Frank sudah menikah. Aku berharap mereka bisa segera mendapatkan anak dan hidup bahagia seperti kita,” ujar Audrey hangat mengingat
Pagi yang cerah membaur dengan suara kicauan burung. Sinar matahari menyinari bumi begitu indah. Tampak Audrey sibuk di ruang makan membuat pudding cokelat dan strawberry kesukaan anak-anaknya. Hari ini kedua anaknya akan pulang dari rumah orang tuanya. Itu kenapa Audrey khusus membuatkan pudding. Satu hari tak bertemu kedua anaknya itu membuat Audrey benar-benar merindukan kedua anaknya. Walau sebenarnya memang kedua anaknya kerap menjadi rebutan kedua orang tuanya dan kedua orang tua Xander.“Nyonya, apa Anda membutuhkan bantuan?” tanya seorang pelayan pada Audrey.“Tidak usah. Ini sudah selesai.” Audrey menyimpan pudding buah ke kulkas “Kau kerjakan pekerjaanmu yang lain saja.”“Baik, Nyonya. Saya permisi.” Pelayan itu menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Audrey.Saat Audrey sudah memasukan pudding buah ke dalam kulkas, Audrey berbalik, dan hendak melangkah keluar meninggalkan dapur, menghampiri Xander yang berada di ruang kerjanya. Namun tiba-tiba tanpa sengaja
Pelupuk mata Audrey bergerak-gerak, menandakan wanita itu akan segera membuka matanya. Malam yang sunyi dan gelap, membuat Audrey tertidur sangat nyaman. Akan tetapi, suara ketukan pintu yang berasal dari luar menjadi pemicu Audrey yang terlelap itu langsung terbangun dari tidur lelapnya.Audrey membuka mata, menyeka sedikit kedua matanya, lalu melihat ke samping—Xander sudah tidak ada di sana. Tampak Audrey mengembuskan napas panjang. Tatapan Audrey melihat ke tubuhnya sendiri—yang sudah memakai gaun tidur. Audrey ingat setelah pergulatan panasnya dengan sang suami, Audrey langsung tertidur pulas. Kalau sekarang dirinya sudah memakai gaun tidur, pasti suaminya itu yamg memakaikannya.“Xander pasti ada di ruang kerjanya.” Audrey menghela napas dalam. Audrey yakin kalau tadi ketika dirinya tidur, suaminya pergi ke ruang kerja. Padahal Audrey sudah dibuat lemas oleh sang suami. Tapi malah suaminya masih saja memiliki energy untuk memeriksa pekerjaan.Suara ketukan pintu masih terdengar.
Menjadi ibu rumah tangga sekaligus memimpin perusahaan membuat Audrey sempat kesulitan. Ditambah perusahaannya yang ada di Jepang benar-benar berkembang pesat. Membuat Audrey harus mengawasi dengan teliti.Dulu, Audrey memang fokus membesarkan perusahaannya di Jepang karena Audrey pikir dirinya akan menetap selamanya di Jepang, tapi siapa sangka kalau apa yang Audrey pikirkan salah. Takdir tetap membawanya kembali pada Xander. Menikah lagi dengan pria yang sejak dulu dia cintai.Beberapa tahun terakhir ini, sejak Rachel lahir, Audrey memang sangat fokus pada membesarkan kedua anaknya. Tentu, Audrey tidak melepas tanggung jawabnya akan perusahaannya. Selama ini, Audrey dibantu oleh Tina—asistennya—dalam mengurus perusahaan yang ada di dalam atau luar negeri.Tak hanya Tina saja, Xander pun kerap membantunya. Sedangkan Zack dan Rainer, dua adik Audrey itu memang fokus pada pendidikan di Boston. Adapun cabang perusahan yang Zack dan Rainer urus adalah cabang perusahaan di Amerika.“Sayan
“Rikkard, Rachel, ayo ini sudah waktunya kalian berangkat sekolah. Hari ini Mommy dan Daddy akan mengantar kalian ke sekolah.” Audrey berseru meminta Rikkard dan Rachel untuk cepat menghampirinya.Khusus hari ini, Audrey dan Xander memang akan mengantar Rikkard dan Rachel sekolah. Audrey dan Xander sengaja menyekolahkan Rikkard di satu sekolah dengan Rachel. Tujuan utama tentu agar Rikkard bisa selalu menjaga Rachel.“Ya, Momny. Aku dan Kak Rikkard sudah siap.” Rachel menghampiri Audrey bersama dengan Rikkard. Gadis kecil itu sudah rapi dan cantik dengan seragamnya. Rambut pirang Rachel diikat ke atas, membuat gadis itu seperti boneka hidup. Pun di samping Rachel ada Rikkard yang sangat tampan memakai seragam sekolahnya. Diusia yang masih 6 tahun, Rikkard memiliki tubuh yang tinggi menurun dari Xander.“Anak Mommy sangat tampan dan cantik.” Audrey mencium pipi Rachel dan Rikkard bergantian. Memeluk dengan erat kedua anaknya itu.“Aku cantik seperti Mommy. Kak Rikkard tampan seperti Da
Piazza Navona, Roma, Italia. “Rikkard, jaga adikmu. Jangan jauh-jauh dari adikmu.” Audrey berseru melihat Rikkard yang tengah berlari-lari bermain dengan Rachel. Meski ada empat pengawal yang menjaga Rikkard dan Rachel tetap saja Audrey mencemaskan kedua anaknya itu.“Sayang, mereka aman. Kau tenang saja.” Xander membelai pipi Audrey dan memberikan kecupan di sana.“Audrey, biarkan Rikkard dan Rachel bermain. Rikkard pasti menjaga adiknya dengan sangat baik. Lagi pula mereka tidak pergi jauh dari kita,” sambung Angela hangat.“Benar, Sayang. Kau tidak usah khawatir,” ucap Miranda lembut mengingatkan putrinya.Audrey tersenyum dan menganggukan kepalanya. Kini Audrey bersama dengan suami, anak, serta orang tua dan mertuanya berada di Piazza Navona. Mereka tengah duduk bersantai menikmati cuaca pagi yang cerah. Berada di tempat ini adalah permintaan Audrey.Audrey merasa jenuh selalu duduk di restoran mahal. Kali ini Audrey ingin lebih menikmati hidup dalam kesederhanaan. Piazza Navona