Share

Because Our Wedding
Because Our Wedding
Penulis: wulannita

01.

Seorang pria tengah berjalan sembari membawa sebuah tas yang tidak terlalu besar di tangan kirinya. Kacamata hitam yang melekat tak mampu menutupi wajah tampannya. Ketika melangkah, ia terlihat gagah dengan balutan pakaian kebesarannya yang terdiri dari kemeja putih dengan jas berwarna hitam navy dan dasi berwarna senada dengan jasnya. Di sisi kiri, terlihat seorang pria lain yang berjalan beriringan dengannya dengan berpakaian serupa. Beberapa wanita dengan berpakaian seragam yang berjalan di belakangnya menatap kagum pada sosok pria tersebut. Bahkan salah satu dari mereka dengan terang-terangan memuji ketampanan yang dimilikinya.

"Kapan sih Kapten Nala bisa aku ajak makan malam bersama? Dia selalu saja menolak jika aku mengajaknya," ucap salah satu dari pramugari tersebut dengan wajah ditekuk.

"Kau masih berharap padanya?" Wanita itu mengangguk.

"Tidak ada yang salah kan dengan harapan?"

"Sudahlah, menyerah saja. Ia sudah memiliki kekasih. Jadi percuma saja kalau kita masih mengharapkan Kapten Nala untuk naksir salah satu dari kita."

"Ck. Benarkah? Aku jadi penasaran seperti apa pacar Kapten Nala.”

“Yang aku dengar pacarnya sangat cantik. Bahkan jauh lebih cantik dari kita.”

Mata pramugari itu melebar, tetapi kemudian ia mencondongkan diri ke temannya dengan rasa penasaran. Siapa pun tahu, pramugari di maskapai tempat mereka bekerja dikenal sebagai pramugari yang cantik-cantik, tetapi temannya barusan berkata kekasih Nakula lebih cantik dari mereka?

“Heh. Yang benar saja?”

Temannya itu lalu mengibaskan tangan. "Sudahlah. Sebaiknya kita segera kembali. Percuma kita bahas ini. Toh Kapten Nala tidak akan melirik kita. Aku sudah rindu rumahku dan juga ibuku."

"Baiklah. Ayo."

Pria yang baru saja dibicarakan tak lain adalah Nakula hanya menggelengkan kepalanya sembari tersenyum tipis saat mendengar perbincangan para pramugari itu. Ia terus berjalan menjauhi para pramugari tersebut tanpa ingin berkomentar apa pun.

"Kau tidak dengar apa yang dibicarakan para pramugari itu?" tanya seorang pria yang berjalan bersisian dengan Nakula.

"Aku mendengarnya dengan sangat jelas. Telingaku belum tuli jika untuk sekadar mendengarkan ucapan mereka yang sama sekali tidak berguna."

"Ck. Nala. Nala. Tidak berguna kau bilang? Hey ... mereka itu tertarik padamu. Apa kau tidak tertarik sama sekali pada salah satu dari mereka?"

"Tidak," ucapnya dengan tegas.

"Baiklah. Aku paham. Kau sudah memiliki Nesya dan tidak akan tertarik lagi dengan wanita mana pun selain Nesya."

"Pria pintar. Akhirnya kau paham juga," ucap Nakula sembari memberikan senyuman terbaiknya.

Keduanya meneruskan langkah mereka. Nakula tampak mengeluarkan ponselnya. Ia mengotak – atik ponsel itu dan terlihat tengah menghubungi seseorang.

"Hallo, Bunda."

Suara wanita paruh baya di seberang sana pun segera terdengar.

"Iya Bunda, Nala sudah sampai."

"............."

"Iya, Nala langsung pulang,” jawab Nakula seraya melirik kawan yang tengah menatap dirinya.

"Nggak, Bunda. Hari ini Nala pulang ke rumah bunda dan ayah. Nala udah kangen sama ayah sama bunda."

Sang pria yang masih berdiri di sisi Nakula menggelengkan kepalanya. Sementara Nakula menatap jengkel rekannya tersebut.

"Tapi sebelumnya Nala akan pulang ke apartemen dulu untuk mengambil beberapa pakaian."

"............."

"Baik, Bunda. Dah Bunda," tutup Nakula dan langsung mematikan ponselnya.

"Kau pulang ke rumah orang tuamu?"

"Yahhh … memangnya ke mana lagi aku harus pulang?"

"Aku pikir kau akan pulang ke apartemenmu menjemput Nesya membawanya ke sana dan akan menghabiskan malam panjang dengan Nesya di sana."

"Heh! Singkirkan pikiran kotormu itu, Fan. Aku dan Nesya memang sudah lama menjalin hubungan tapi bukan berarti kami harus melakukan hal-hal yang seharusnya belum saatnya kami lakukan."

Mata Nakula memicing tegas tak suka. Ia lalu mulai berderap melanjutkan langkah melewati para pengunjung bandara untuk keluar.

"Aku hanya mengatakan apa yang ada di pikiranku saja," ujar sang teman menyamai langka Nakula.

Ia menaikkan kedua bahu dengan santai. Baginya, di zaman sekarang ini sudah hal biasa untuk melakukan kesenangan intim sebelum menikah. Ia hanya tak menyangka bahwa pria rupawan yang digilai banyak wanita seperti Nakula masih memegang prinsip-prinsip dan norma tersebut.

"Itulah kalau pikiranmu terlalu kotor. Setiap kali kita mendarat di suatu tempat kau selalu melakukan hal gila itu."

"Mau bagaimana lagi aku tak punya kekasih untuk melampiaskan semuanya. Jadilah aku harus melampiaskannya pada wanita-wanita di luar sana."

Nakula menggelengkan kepalanya saat mendengarkan ucapan Arfan teman sekaligus co-pilot dan sahabatnya tersebut.

"Hey, Nala, sekali-sekali cobalah kau nikmati masa mudamu sebelum akhirnya nanti kau menikah dengan Nesya."

Nakula hanya menggelengkan kepalanya pelan.

"Sudah ya, jemputanku sudah datang," pamit Nakula mengakhiri percakapannya dengan Arfan karena taksi online yang sudah ia pesan sudah berada di hadapannya.

"Baiklah sampai bertemu dua minggu lagi," ucap Arfan yang mengambil jalur lain karena melihat orang suruhan orang tuanya sudah berdiri menantinya.

Nakula menganggukkan kepala. Ia pun segera mengangkat tasnya ke dalam bagasi taksi dengan bantuan sopir taksi online. Setelahnya ia langsung masuk ke dalam taksi.

"Kita langsung ke alamat yang saya beritahu tadi dulu ya, Pak. Setelahnya baru ke alamat yang kedua," kata Nakula mengisntruksikan sang sopir taksi online.

"Baik, Pak."

Taksi pun melaju dengan cepat dari tempat tersebut dan meninggalkan bandara.

* * * * * * *

Seorang gadis tampak berlari dengan cepat dan sekencang mungkin. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai begitu saja. Peluh keringat membasahi wajahnya yang putih. Namun, tak dapat dipungkiri raut wajahnya terlihat begitu ketakutan. Dari jarak yang cukup jauh tampak beberapa pria tengah mengejarnya.

"Hey …. Jangan lari kau!!" teriak pria tersebut menginstruksi agar wanita tersebut berhenti. Namun, wanita itu tak menggubrisnya dan terus berlari.

Karena ingin terus menghindari kejaran dari pria-pria tersebut ia sampai tak melihat sebuah kendaraan yang melaju cukup kencang hingga membuat tubuh gadis tersebut tersenggol.

"Aaahhkkk!" teriaknya.

Tentu saja hal itu membuat sang pengendara mobil menghentikan mobilnya secara mendadak. Satu pria yang tengah duduk di belakang terjengkit kaget saat mobil tiba-tiba saja berhenti.

"Ada apa, Pak?"

"Sepertinya saya menabrak seseorang."

"Apa?"

Sang pengendara mobil pun tampak keluar. Begitu juga pria yang duduk di bangku belakang. Mereka melihat seorang gadis yang tengah terduduk sembari menutup kedua telinganya dengan wajah pucat pasi dan menangis. Pakaian yang ia kenakan juga cukup berantakan. Dress selutut yang dikenakannya sudah tampak terlihat sedikit lusuh dengan lengan kanan dress yang sudah sedikti terkoyak.

"Kau tidak apa-apa, Nona?" tanya pria yang duduk di belakang tadi. Ia terlutut untuk menyamakan tingginya dengan gadis tersebut.

Gadis tersebut menatap memohon pada pemilik suara.

"Tolong saya, Tuan," ucapnya dengan pelan dan bibir bergetar serta air mata yang mengalir.

Pria tersebut mengerutkan dahi saat mendengar ucapan gadis tersebut.

"Apa yang terjadi padamu?"

"Hey … kembali kau!! Jangan coba-coba melarikan diri!!"

Dari kejauhan terlihat beberapa orang pria tengah berlari mendekat pada gadis.

"Saya mohon, Tuan.  Tolong saya. Ada seseorang yang ingin berbuat jahat pada saya. Saya mohon," ucapnya lagi dengan sorot mata ketakutan. Air mata terus mengalir dari kedua matanya.

Pria tersebut langsung melihat ke arah di mana beberapa orang pria yang tengah mengejar gadis tersebut berjalan semakin mendekati mereka. Tak ingin membuat masalah pria tersebut langsung membantu gadis itu untuk berdiri.

"Ayo ikut aku," katanya sembari membawa gadis tersebut masuk ke dalam taksi bersamanya. Mereka pun langsung melaju pergi dari tempat tersebut saat para pria tersebut sudah mendekat.

"Sial!! Dia kabur!! Apa yang harus kita katakan pada Tuan Rendy?" geram salah satu dari mereka.

"Mau bagaimana lagi? Sebaiknya kita pasrah saja kalau wanita itu sudah berhasil lolos dari kita."

Pria yang duduk di samping gadis tersebut terus menatap ke arah gadis tersebut. Sementara gadis yang di tatap hanya dapat menundukkan kepalanya sembari menangis meratapi nasibnya yang tidak beruntung sama sekali. Selama dalam perjalanan keduanya hanya saling diam satu sama lain.

"Kau tidak apa-apa?" tanya pria tersebut karena tak bisa diam saja.

Ia melihat luka kecil di lutut gadis tersebut dan pergelangan tangan yang terlihat memerah. Pria itu menyipitkan kedua matanya melihat luka memar bekas ikatan tali yang pasti sangat ketat sekali.

Gadis itu hanya mengangguk pelan. Pria tersebut menghela napasnya dengan dalam.

"Sekarang katakan padaku ke mana aku harus membawamu?"

Gadis tersebut masih diam di tempatnya. Pria itu masih menunggu jawaban dari wanita itu.

"Kalau kau diam saja bagaimana aku tahu dan bisa mengantarmu?"

"Saya ... saya ... saya tidak tahu harus ke mana," tuturnya terbata.

"Apa maksudmu?"

Gadis tersebut menutup wajah dengan kedua tangan. Ia menangis terisak di tempat.

"Hey, jangan menangis. Jangan buat aku seolah-olah aku ini orang kejam yang sudah membuat seorang wanita menangis."

"Aku tidak tahu harus ke mana. Aku juga bingung. Tadinya aku datang karena aku mau bertemu kakakku, tapi saat aku sampai kakakku malah ...," ujarnya terputus. Ia masih menangis terisak.

Pria tersebut menghela napasnya dengan dalam. Ia akhirnya mengerti mengapa wanita tersebut menangis apalagi melihat kondisi wanita itu. Ia tampak berpikir dengan cukup dalam untuk mengambil keputusan apa yang akan ia ambil. Membawa pulang bersamanya ke rumah orang tuanya itu tidaklah mungkin. Bisa-bisa ayah dan bundanya terkejut jika pulang membawa seorang gadis apalagi melihat kondisi gadis tersebut. Apa yang akan dipikirkan oleh ayah dan bundanya jika ia membawa wanita lain selain kekasihnya?

"Baiklah begini saja. Kau ikut denganku saja untuk malam ini."

Gadis tersebut menoleh dengan cepat ke arah pria itu. Ia menatap tak percaya dan ragu serta penuh curiga dengan ucapan pria tersebut. Ia takut apa yang baru saja ia alami akan terjadi jika ia ikut pria itu. Pria yang baru saja ia kenal walau sudah menolongnya tidak menutup kemungkinan bahwa pria tersebut bukanlah pria yang baik. Melihat sorot mata wanita tersebut yang menatap curiga terhadapnya membuat pria itu akhirnya membuka suaranya.

"Dengar ya, Nona …," ucap pria tersebut menggantung kalimat seraya menaikkan sebelah alisnya berharap dapat mengetahui nama gadis itu.

"Kya. Sakya." Gadis itu memperkenalkan diri.

"Ohhh … Sakya. Dengar. Aku tidak akan berbuat hal-hal yang aneh terhadapmu. Kau juga tidak perlu takut padaku karena aku bukan orang jahat. Aku hanya ingin menolongmu. Aku akan membawaku ke apartemenku."

"Apa?"

"Tenanglah. Malam ini aku tidak akan berada di apartemenku karena aku sudah janji pada ibuku kalau aku akan menginap di rumahnya. Jadi untuk malam ini kau bisa menginap di apartemenku. Paham?"

Sakya menatap pria tersebut dengan lekat. Ia pun mengangguk pelan untuk memberikan jawaban karna pria tersebut sedang menunggu jawaban darinya.

"Terima kasih, Tuan ..."

"Nakula. Panggil saja Nala. Itu namaku."

Sakya mengangguk paham.

"Terima kasih, Tuan Nala."

Nakula hanya mengangguk pelan.

Selang beberapa menit mobil yang membawa mereka sampai di apartemen Nakula. Setelah Nakula membayar biaya taksi ia bersiap untuk masuk ke dalam apartemennya.

"Loh, kenapa dibayar sekarang, Pak? Bukankah Bapak meminta saya untuk mengantarkan Bapak ke satu alamat lainnya lagi?"

"Tidak apa-apa. Mungkin saya akan lama karena saya harus mengurus wanita ini dulu."

"Oh begitu, tapi tidak apa-apa, Pak. Saya akan menunggu Bapak saja."

"Benar tidak apa-apa? Apa nanti Bapak tidak ada orderan lain?"

"Tidak ada, Pak. Kebetulan setelah ini saya juga sudah mau pulang setelah mengantar Bapak. Jadi saya bisa menunggu saja di sini."

"Oh begitu. Ya sudah Bapak tolong tunggu sebentar ya. Kira-kira setengah jam lagi saya akan kembali."

"Baik, Pak."

Nakula pun melangkah masuk ke dalam lobi apartemen diikuti Sakya di belakangnya. Sakya hanya mengikuti langkah Nakula dengan kepala sedikit menunduk. Saat di dalam lift pun keduanya hanya saling diam satu sama lain. Tak lama keduanya sampai di depan pintu apartemen Nakula. Nakula membuka kode pintu apartemennya. Ia masuk lebih dahulu. Lalu menyalakan lampu di ruangan tamu serta membuka pintu kamarnya dan masuk ke dalam untuk meletakkan tasnya.

Tak lama Nakula kembali keluar dari kamarnya. Ia tak menemukan Sakya di ruang tamu. Ia mengedarkan padangannya dan masih melihat Sakya yang tampak hanya berdiri di depan pintu apartemen. Nakula melihat Sakya yang tampak diam tak bergeming.

"Mau sampai kapan kamu berdiri di sana?"

Sakya memberanikan diri untuk melihat Nakula.

"Masuklah."

Sakya masih diam bergeming.

"Ayo masuklah. Jangan buat orang-orang penghuni apartemen di sini berpikir kalau aku pria yang kejam yang tak memberikan pintu masuk untuk tamunya."

Sakya masih tetap di tempatnya. Nakula mengerti dari kediaman Sakya.

"Tenanglah. Aku tidak akan berbuat hal yang aneh padamu. Jadi sebaiknya kamu masuk sekarang atau tidak sama sekali sebelum orang -orang yang mengejarmu tadi menemukanmu di sini."

Mendengar ucapan Nakula akhirnya membuat Sakya melangkah pelan. Walau ragu ia akhirnya masuk juga ke dalam apartemen milik Nakula. Ia melihat sekeliling apartemen Nakula yang tampak sedikit berantakan. Nakula yang menyadari tatapan Sakya yang melihat isi apartemennya hanya bersikap cuek saja.

"Dengar, aku harus pergi lagi ke rumah orang tuaku. Jadi kamu bisa bermalam di sini. Setelah itu kamu bisa meninggalkan tempat ini. Memang agak sedikit berantakan karena aku tinggal seorang diri di sini. Lagi pula karena aku seorang pria jadi aku pikir sedikit berantakan tidak akan masalah buatku."

Sakya mengangguk pelan.

"Aku tidak akan berada di sini selama seminggu karena aku ingin menghabiskan waktuku bersama orang tuaku. Tapi setelah satu minggu dan saat aku kembali aku harap kau juga sudah tahu akan ke mana. Aku tak ingin membuat masalah apalagi sampai bundaku tahu kalau aku membawa seorang wanita ke apartemenku."

Kembali, Sakya hanya mengangguk paham.

"Kalau kamu lapar, kamu bisa makan, tapi kamu harus memasaknya lebih dulu. Semua bahan ada di dalam kulkas. Aku sudah meminta tolong kakakku mengisinya dan aku harap itu cukup untukmu selama seminggu. Lalu untuk kamarmu, kamu bisa tidur di kamar yang ada di sana," terang Nakula sembari menunjuk satu kamar yang terletak di sebelah kamarnya.

Sakya mengangguk paham.

"Dan untuk pakaianmu itu," ujar Nakula yang melihat ke arah Sakya dengan pakaian yang entah seperti apa saat ini. Sakya hanya menunduk saja. Ia sendiri malu melihat keadaannya saat ini.

"Kamu pakailah pakaian yang ada di dalam lemari kamar itu, di sana ada beberapa pakaian milik kakakku yang sudah tidak dipakainya lagi. Aku rasa cocok untukmu karena tubuh kakakku yang tidak jauh berbeda denganmu."

Sakya kembali mengangguk.

"Dan satu lagi. Obati lukamu itu. Peralatan P3K ada di sana," ucap Nakula sembari menunjuk sebuah lemari yang berdiri tegak di dekat jendela balkon apartemennya.

Sakya mengangguk. Suara dering telepon Nakula membuat Nakula teralihkan dari Sakya yang terus menatapnya.

"Ya, Sayang."

"............."

"Iya, aku sudah pulang."

"............."

"Tidak, Sayang. Aku masih di apartemen untuk mengambil beberapa pakaian. Sekitar sepuluh menit lagi aku akan ke rumah bunda."

Nakula melirik Sakya yang tengah melihat apartemennya.

"Iya, Sayang aku tahu."

"............."

"Nggak apa-apa, aku mengerti kenapa kamu enggak bisa jemput aku."

Nakula sedikit menjauh saat Sakya melihatnya. Rasanya sedikit kurang nyaman membiarkan orang asing mendengar pembicaraan ia dan sang kekasih.

"Aku juga ingin segera bertemu denganmu. Aku sudah sangat rindu padamu."

"............."

"Baiklah. Sampai nanti ya."

"............."

"Dah, Sayang," ucap Nakula mengakhiri percakapannya.

Sakya hanya menatap Nakula dengan lekat. Ia sedikit mendengar pria tersebut memanggil sayang pada sang penelepon dan ia paham bahwa pria ini pasti sudah memiliki seorang kekasih.

"Sekarang aku harus ke rumah orang tuaku. Terserah kamu mau melakukan apa di sini, tapi kau jangan pernah berani masuk ke dalam kamarku. Apalagi mencoba mengambil sesuatu di apartemenku. Kalau sampai aku mendapati ada yang hilang satu saja dari tempat ini aku tidak akan segan-segan memenjarakanmu. Mengerti?" tegas Nakula yang berhasil membuyarkan lamunan Sakya.

Sakya mengangguk paham akan semua ucapan Nakula. Lagi pula ia juga tidak akan mungkin berani masuk ke dalam kamar Nakula karena itu merupakan tempat yang paling pribadi menurutnya apalagi mengambil barnag-barang yang ada di ruangan ini. Ia memang miskin, tetapi ia tidak ingin harga dirinya terlihat semakin rendah karena harus mengambil barang milik orang lain. Almarhum kedua orang tuanya mendidiknya untuk tidak menjadi seorang pencuri dan keduanya sangat melarang keras hal itu.

Nakula pun langsung keluar dari apartemennya meninggalkan Sakya yang masih asyik menatap setiap sudut ruangan apartemen tersebut. Sakya lalu memberanikan diri masuk ke dalam kamar yang dikatakan oleh Nakula tadi.

Sakya ingin segera membersihkan tubuhnya yang sudah lengket akibat keringat yang mengguyur tubuhnya. Saat masuk ia melihat ranjang yang sangat bagus di dalam kamar tersebut. Ia berjalan mendekat lalu memosisikan dirinya duduk di ranjang empuk itu. Senyumnya terukir indah saat merasakan betapa empuknya kasur tersebut. Kemudian Ia bangkit dari tempatnya dan berjalan mendekati lemari. Sakya membuka lemari yang berukuran cukup besar. Di sana ia menemukan beberapa pakaian wanita yang bagus-bagus. Ia melihat satu per satu isi dalam lemari tersebut. Matanya tertuju pada satu pakaian berupa rok pendek selutut dan sebuah kaos berwarna putih. Kemudian ia berjalan menuju kamar mandi yang ada di kamar tersebut untuk segera mandi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status