“Gue lagi nggak mood, Sal…” Kataku dengan malas.
“Justru itu. Gue bakalan bantuin lo buat balikin mood lo yang acak kadut nggak jelas ini.”
“Dugem nggak akan bisa ngebalikin mood gue ya...”
Salma mendengus geli. “Memangnya siapa yang mau ngajakin lo clubbing sih, Din? Tempat dugem juga belum ada yang buka kali. Orang masih terang, bersinar nan benderang kayak begini juga…” Ekspresi berlebihan Salma membuatku tertawa.
“Lo sama Salma, pergi ke spa dulu aja mendingan…” Kata Kartika sambil membuka tasnya. “Nih, buat kalian berdua…” Kartika lalu menyerahkan beberapa lembar voucher diskon kepadaku sambil menjelaskan. “Yang ini, khusus buat perawatan wajah sama badan. Terus yang ini, buat kalian belanja. Masing-masing potongan tiga puluh lima persen. Lumayan kan, bisa buat beli tas, baju, atau apa pun yang kalian mau… Pokoknya, gue mau lo seneng-seneng hari ini. Putus dari Gani bukan berarti lo jadi berlarut-larut nggak mood dan ngurung diri sampe semingguan lebih.”
“Masih seminggu juga. Dan gue biarpun putus, tapi masih bisa profesional kerja tau…”
“Ya, tapi kan, lo palingan cuma pergi kerja, nge-gym, balik apartemen, dan bergaul sama kita-kita doang kan?” Tanya Salma dengan intonasi meledek.
+
Iya juga sih...
+
“Gue ngobrol sama orang lain juga kok.” Kataku yang membela diri.
“Siapa?” Tanya Salma. “Selain orang kantor, palingan juga kita-kita doang yang lo ajak bicara.”
Aku diam saja, karena tanpa aku jawab pun, Salma dan Kartika juga sudah bisa menebak lingkaran pertemananku yang memang tidak terlalu besar.
“Tuh kan... Lo terlalu fokus pacaran sama Gani sih, jadi nggak punya temen cowok kan akhirnya…”
“Gue temen cowok ada kali, Sal…”
“Ya, kalo gitu, ajak dong salah satu dari mereka buat jalan sama kita hari ini. Atau dua orang juga boleh. Mumpung gue juga lagi free.”
“Salma, tujuan kita ke sini bukan buat ngelakuin hal gila ya.” Intonasi Kartika berubah menjadi tegas dan serius. “Temen lo baru putus, jangan malah lo suruh nyari laki yang baru.”
Aku tersenyum geli. “Marahin aja tuh, Kar. Salma memang rada-rada sukanya.”
“Lo juga ya, Dinda.” Kartika berbalik menatapku dengan sedikit kesal. “Berhenti mikirin Gani yang nggak jelas sama lo. Gue tau, putus itu nggak ada yang enak dan cuma bikin sedih doang, tapi jangan malah nyiksa diri lo sendiri kayak gini dong... Muka lo tuh sampe surem dan nggak enak banget dilihatnya!”
Salma gantian tersenyum dan meledekku. “Bener banget tuh. Kebanyakan nangis. Padahal yang ditangisin juga belum tentu nangisin dia balik. Jadi mendingan cari laki baru dong...”
Kartika melotot ke arah Salma, lalu berbalik menatapku secara serius lagi. “Gue nggak mau dengerin alesan lo yang nggak mood lagi ya, Dinda. Gue udah berusaha gimana caranya biar bisa ikut Salma buat datengin lo hari ini. Jadi lo mendingan mandi dulu deh! Siap-siap, terus buruan pergi sama Salma!”
“Iya, iya…” Jawabku setengah terpaksa, lalu duduk dengan posisi tegak. “Lo beneran nggak bisa ikutan?”
“Nggak bisa…” Suara Kartika berubah lagi menjadi lebih lembut. “Supir gue lagi nunggu di lobby. Gue mesti balik sebelum makan siang. Anak-anak nggak bisa gue titipin di neneknya terlalu lama, karena gue takut ngerepotin. Dan gue juga mau lunch sama Mas Andy.”
+
Ibu rumah tangga mah memang beda.
+
Akhir pekan seharusnya menjadi hari-hari yang sakral untuk Kartika, karena dia harus mendedikasikan waktunya untuk anak dan suaminya. Tapi kali ini, dia menyempatkan diri datang pagi-pagi sekali, dan membawa sarapan untuk kita berdua. Ditambah lagi, Kartika juga masih menyempatkan dirinya untuk bercengkerama, sekaligus mendengarkan kesedihanku. Mungkin itu kenapa, pada akhirnya, aku memilih untuk mengikuti ajakan dari dua temanku ini.
“Inget ya, Sal…” Kartika berbalik menatap ke arah Salma. “Temen lo lagi vulnerable, jadi jangan lo hasut yang aneh-aneh.”
“Ya ampun, Kartika… Gue? Ngehasut?” Salma malah tertawa geli seolah himbauan Kartika adalah sebuah lelucon baginya. “Di mata lo, gue sesetan apa sih, Kar?” Tanya Salma sambil menunjukkan ekspresi polosnya.
“Lo memang nggak nyampe ke level setan sih. Tapi, di antara semua temen-temen cewek gue, cuma lo doang yang suka ngide gila dan nekat.” Jawaban dari Kartika barusan justru membuat Salma semakin tertawa dengan bangganya.
Kartika sengaja menghiraukan Salma, untuk kemudian berbalik menatapku lagi. “Din, hari ini, lo pokoknya harus bisa hibur dan senengin diri lo sendiri… Coba lo mulai pikirin hidup lo tanpa Gani. Gue mau lo relax dan bener-bener renungin semuanya. Gue tau, putus memang nggak enak dan pasti bikin lo sedih. Tapi, please, mulai pikirin mana yang bener-bener terbaik buat lo…”
+
Iya, juga ya… Kartika bener…
Gue memang kangen sama Gani, dan masih bingung sama hubungan kita bakalan kayak gimana habis ini, tapi gue nggak bisa galau dan nggak jelas kayak gini terus-terusan…
Gue harus bisa merenungi semuanya. Ada, atau nggak ada Gani pun, gue tetep harus mikirin mana yang terbaik buat kehidupan gue.
Hffft… Kenapa gue baru nyadar sekarang ya?
+
“…Sori, gue nggak bisa ikutan. Tapi, kalian berdua wajib ya, buat kabarin gue kalo ada apa-apa…”
Aku mengangguk dan tersenyum kecil. “Iya, siap, bundaaaa… Thank you juga ya voucher-nya.” Lalu kuacungkan beberapa lembar voucher yang kupegang di tangan kananku.
Kartika mengangguk padaku, lalu kembali menatap Salma. “Jangan aneh-aneh ya, Sal... Gue mesti balik sekarang soalnya…” Katanya sambil mengecek layar ponselnya yang menyala. Dia bangkit berdiri, lalu aku dan Salma ikut beranjak berdiri dan mengikuti Kartika ke pintu keluar.
“Siap, bundaku sayang… Mau gue anterin turun nggak nih?”
“Nggak usah... Lo di sini aja. Pastiin tuh Dinda, biar nggak ngurung diri lagi...”
Segala cara aku lakukan untukku bisa mengalihkan perhatianku dari perasaan gelisah yang sejak kemarin menghantuiku. Mendadak selera makanku hilang begitu saja. Aku mencoba untuk bekerja pun juga malah berakhir dengan melamun. Lagu-lagu yang aku dengarkan untuk membuat perasaan cemasku lebih tenang juga sama sekali tidak bekerja. Dinda masih belum pulang, dan belum memberiku kabar, dan rasanya waktu sedang berjalan dengan sangat lambat. + Gue tiduran di kamar aja apa ya? Kali aja gue bisa beneran ketiduran dan berhenti overthinking? + Mencoba untuk tidur adalah cara yang saat ini sedang aku coba untuk membunuh perasaan cemasku. Tubuhku berbaring lurus, kedua mataku terpejam, akan tetapi pikiranku masih saja terus berjalan. Aku lalu mengambil ponselku yang terletak di atas nakas. + Dinda kok lama? Lagi apa ya dia? Gue dengerin lagu lagi aja deh… Gue sambungin speaker aja… Biar kencengnya satu ruangan dan bisa ngalahin kencengnya pikiran gue… + Aku kembali memejamkan kedua m
“Sori ya, aku telat. Macet banget tadi.” Kata Gani yang terdengar seperti habis berlari. “It’s okay. Aku juga baru aja nyampe kok.” Kataku dengan intonasi suara yang santai. “Kita pesen dulu aja ya? Kamu mau makan apa?” “Kamu aja yang pesen, aku nggak usah.” “Yah, jangan kayak gitu dong… Masa aku makan sendiri sih?” “Aku buru-buru soalnya. Tapi kalo kamu mau makan, pesen aja nggak apa-apa.” “Ya udah, aku pesenin makanan sama cemilan buat kita ngobrol dulu ya? Kamu mau apa?” “Es Americano aja.” + Gue bales chat Deo nanti aja deh, kalo udah selesai… Biar gue fokus dulu ngobrolnya sama Gani… Toh, Deo udah gue kasih tau kalo gue udah di kafe… Gila, gue padahal nggak ngapa-ngapain dan Cuma mau nyelesaiin masalah gue sama Gani aja, tapi rasanya kok aneh ya? Berasa kayak gue jahat banget dan udah nyelingkuhin Deo secara halus… Tapi, nggak lah. Gue kan cuma mau ngobrol doang sama Gani. Bukan ngajakin dia balikan… Ini gue yang bayar apa Gani yang bayar ya? Dia sih bilangnya mau
Di saat Gagas, Desi, dan Fatima sedang sibuk membicarakan kemenangan kita di pengadilan tadi pagi, aku sibuk memikirkan Dinda yang malam ini akan bertemu dengan Gani. Sejujurnya aku merasa sangat gelisah sekali dan rasanya aku ingin mempercepat waktu supaya pikiranku bergerak menjadi lebih tenang. “Kevin di mana sih ini? Kok lama bener.” Tanya Fatima sambil mengamati jam tangannya. “Masih bimbingan dia.” Jawab Gagas. “Kita tunggu lima menit lagi aja. Kalo dia nggak dateng, kita pesen dulu berarti.” Kata Desi. “Pesen sekarang aja gimana? Buat makanannya lumayan lama soalnya. Sambil nunggu Kevin, sambil nunggu makanan dateng. Perut gue udah nggak kuat nih.” “Ya udah. Kevin gimana tapi?” Tanya Fatima. “Kita pesenin, atau dia nanti aja pesennya pas udah dateng?” “Pesenin aja. Kan kuahnya dipisah, jadi nggak akan medhok mienya.” “Gue nggak tau ya Kevin sukanya apa…” Kata Desi. “Dia mah apa aja suka. Pesenin komplit aja, kan kita juga belum pada makan dari tadi.” Kata Gagas. “Ya, u
Di rumah, aku lumayan heran dengan Dinda yang baru saja pulang kerja, dan langsung terlihat kebingungan mondar-mandir seperti sedang mencari sesuatu. “Kamu nyari apa sih, sayang?” Tanyaku sambil mengamati Dinda yang membuka beberapa laci di ruang tengah. “Ini…” + Ini? Ada apa ya ini? Dinda keliatan nggak kayak biasanya… + “Ini apa?” “Kamu jangan marah ya tapi?” Dinda menatapku dengan sorot mata yang khawatir. “Aku lagi nyari kalung pemberian. Tapi, aku lupa taruh di mana.” + Kalung? Oh, kalung dari Gani nih pasti… + “Kamu duduk dulu sebentar. Aku ambilin kalungnya.” Kataku yang kemudian bergegas menuju ruang kerjaku terlebih dahulu. + Dinda mendadak sadar kehilangan kalungnya, atau ada apa ya? Gue kirain dia udah lupa sama kalungnya… + “Ini bukan yang kamu cari?” Tanyaku sambil menunjukkan kalung yang pada saat itu tidak sengaja aku temukan. “Iya, ini…” Jawab Dinda sambil mengamati kalungnya yang berwarna rosegold itu. “Dari Gani kan itu?” “Iya… Kalungnya kok bisa
“Yo, besok jam sembilan pagi, lo bisa ngeluangin waktu buat hadir di persidangan nggak?” Tanya Kevin yang baru saja duduk di depanku. “Bisa.” Jawabku sambil tetap fokus dengan pekerjaanku sendiri karena aku sudah tidak terlalu kaget dengan berita ini. “Lo bawa surat panggilannya nggak?” “Bawa, nih. Gue memang mau tunjukin ke lo sekalian.” “Gagas sama yang lainnya udah tau?” Tanyaku sambil membuka amplop coklat dan mengeluarkan satu lembar kertas putih yang berisikan undangan untuk menghadiri pengadilan. “Udah. Ini Gagas lagi nemui Fatima sama Desi… Gue sampe tadi mampir ke pos polisi sebentar buat tanya ini logo suratnya asli atau nggak. Menurut lo asli kan ya ini, Yo? Bukan hoax.” “Iya, ini asli.” Jawabku dengan intonasi suara yang penuh keyakikan. “Lo udah siap buat besok?” “Ya, siap. Hadapi aja besok.” Jawab Kevin sambil mengeluarkan laptopnya. “Nanti gue mau nemuin Bu Dinda dulu. Besok gue pagi ada jadwal konsultasi, semoga dia nggak keberatan kalo gue minta jamnya dimunduri
“Halo, iya, kenapa, Sal?” Tanyaku yang baru saja bangun tidur dan ke luar dari kamar tidur karena aku tidak ingin menganggu Deo yang sedang tertidur nyenyak. “Dinda! Gue ada kabar baik buat lo!” Kata Salma dengan intonasi suara yang penuh dengan semangat. “Sal, ini masih setengah empat dan lo kenapa bisa sesemangat ini?” “Gue baru mau tidur ini. Dengerin gue baik-baik ya. Lo udah bangun kan?” “Udah… Apa buruan? Gue mau balik tidur lagi…” “Jadi, mahasiswa lo yang begajulan dan anarkis keroyokan itu, semuanya, udah berhasil ditangkep dan diamanin di dalem sel. Surat panggilan buat sidang juga udah selesai dibuat, jadi bilangin ke laki lo, dia sama temen-temennya harus siap. Karena hari ini dikirim, dan lusa kalian maju ke persidangan?” “Lusa? Kok bisa cepet banget sih, Sal? Ini gue nggak ngelindur kan ya ngomong sama lo?” “Nggak, Dinda. Ini beneran. Gue tadinya dapet jadwal buat kalian hari Jumat pagi. Tapi, mendadak gue dikabarin dan tanggalnya dipercepat. Gue sendiri juga sempe
“Kamu kalo belum ngantuk, cerita aja, sayang…” “Kamu memang belum ngantuk?” Tanya Dinda balik. “Belum.” Jawabku sambil memiringkan badanku untuk menatap ke arah Dinda yang berbaring terlentang di sebelahku. “Tadi, sebenernya itu, aku sama Bu Jenny lebih banyak ngobrolin berbagai macam hal di luar kepentingan aku. Terutama kita ngobrolin soal makanan sih, karena Bu Jenny hobi kuliner gitu. Dan untungnya aku bisa masak, dan tau sama masalah dapur, jadi aku bisa cepet nyambung sama dia.” “Kalo soal Pak Henry, ya…” Dinda menghela nafas pelan terlebih dahulu. “Ternyata bener firasat aku. Memang dia yang nggak beres…” Kata Dinda yang kemudian terdiam dan menatap kosong ke arah langit-langit kamar kita. “Kenapa Pak Henry?” “Korupsi.” Jawab Dinda dengan pelan. “Jualan kursi mahasiswa juga.” Aku mengernyitkan dahiku yang bagian tengah. “Maksudnya jualan kursi mahasiswa?” “Ya, jadi kalo ada calon mahasiswa yang mau daftar, Pak Henry bisa jamin buat orang itu bisa diterima tanpa tes, asa
“Gimana tadi, sayang? Lancar kan?” Tanyaku langsung ketika Dinda berjalan menghampiriku. Dia tidak menjawab pertanyaaku barusan dan memilih untuk langsung memeluk tubuhku dengan erat. Aku tersenyum dan membalas pelukannya, sambil menciumi bagian kepalanya. “Aku anggep, pelukan dari kamu ini artinya rencana yang kita susun, akhirnya berjalan dengan lancar.” “Lancar banget.” Jawab Dinda sambil memelukku dan menatap kedua mataku. Kedua matanya berkaca-kaca dan bahkan terlihat seperti hampir menangis. “Thank you.” Katanya yang kemudian mengecup bibirku dengan lembut. “Aku udah beliin kopi pesenan kamu. Mau makan siang bareng nggak?” “Ugh, aku nggak bisa. Tadi aku dapet telepon dari orang HRD, dan aku mesti ketemuan sama mereka dulu.” “Ya udah, kamu habis itu balik ke gedung S1 atau S2.” “S2. Ada yang harus aku urus dulu sebelum resign. Maaf ya?” “Okay, tapi kamu jangan lupa makan ya, sayang?” “Iya…” “Karena urusan pentingnya biar kamu lancar buat resign, ya udah, nggak apa-apa. Se
Senin, tepat pukul sepuluh pagi, jantungku mendadak berdegup lebih cepat daripada biasanya karena aku sedang menunggu Bu Jenny untuk pergi ke bakery shop langganan dia. Pikiranku saat ini terbelah menjadi dua antara keselamatan Deo, dan Bu Jenny yang sebentar lagi akan muncul. Aku tau dan aku percaya dengan kemampuan Deo, hanya saja aku benar-benar khawatir dengannya. Dia sudah berani mengambil resiko untuk membantuku dan sekarang aku yang malah takut kehilangannya. + Dinda, tenang ya, Dinda… Semuanya bakalan baik-baik aja… Lo jangan terlalu overthinking dan parno nggak jelas. Tujuan lo kan bukan mau jahatin orang, jadi lo nggak perlu ketakutan berlebihan kayak gini… Inget, Deo udah berusaha banyak, sampe rela ngelakuin hal yang beresiko banget buat dia… Jadi lo mesti bisa fokus, dan kerjain semuanya dengan baik… Jangan bikin usaha yang udah Deo lakuin buat lo, jadi berantakan dan berakhir sia-sia… Pokoknya lo pasti bisa! Lo tinggal pura-pura nggak sengaja ketemu Bu Jenny…