Share

001c

“Gue lagi nggak mood, Sal…” Kataku dengan malas.

“Justru itu. Gue bakalan bantuin lo buat balikin mood lo yang acak kadut nggak jelas ini.”

“Dugem nggak akan bisa ngebalikin mood gue ya...”

Salma mendengus geli. “Memangnya siapa yang mau ngajakin lo clubbing sih, Din? Tempat dugem juga belum ada yang buka kali. Orang masih terang, bersinar nan benderang kayak begini juga…” Ekspresi berlebihan Salma membuatku tertawa.

“Lo sama Salma, pergi ke spa dulu aja mendingan…” Kata Kartika sambil membuka tasnya. “Nih, buat kalian berdua…” Kartika lalu menyerahkan beberapa lembar voucher diskon kepadaku sambil menjelaskan. “Yang ini, khusus buat perawatan wajah sama badan. Terus yang ini, buat kalian belanja. Masing-masing potongan tiga puluh lima persen. Lumayan kan, bisa buat beli tas, baju, atau apa pun yang kalian mau… Pokoknya, gue mau lo seneng-seneng hari ini. Putus dari Gani bukan berarti lo jadi berlarut-larut nggak mood dan ngurung diri sampe semingguan lebih.”

“Masih seminggu juga. Dan gue biarpun putus, tapi masih bisa profesional kerja tau…”

“Ya, tapi kan, lo palingan cuma pergi kerja, nge-gym, balik apartemen, dan bergaul sama kita-kita doang kan?” Tanya Salma dengan intonasi meledek.

+

Iya juga sih...

+

“Gue ngobrol sama orang lain juga kok.” Kataku yang membela diri.

“Siapa?” Tanya Salma. “Selain orang kantor, palingan juga kita-kita doang yang lo ajak bicara.”

Aku diam saja, karena tanpa aku jawab pun, Salma dan Kartika juga sudah bisa menebak lingkaran pertemananku yang memang tidak terlalu besar.

“Tuh kan... Lo terlalu fokus pacaran sama Gani sih, jadi nggak punya temen cowok kan akhirnya…”

“Gue temen cowok ada kali, Sal…”

“Ya, kalo gitu, ajak dong salah satu dari mereka buat jalan sama kita hari ini. Atau dua orang juga boleh. Mumpung gue juga lagi free.”

“Salma, tujuan kita ke sini bukan buat ngelakuin hal gila ya.” Intonasi Kartika berubah menjadi tegas dan serius. “Temen lo baru putus, jangan malah lo suruh nyari laki yang baru.”

Aku tersenyum geli. “Marahin aja tuh, Kar. Salma memang rada-rada sukanya.”

“Lo juga ya, Dinda.” Kartika berbalik menatapku dengan sedikit kesal. “Berhenti mikirin Gani yang nggak jelas sama lo. Gue tau, putus itu nggak ada yang enak dan cuma bikin sedih doang, tapi jangan malah nyiksa diri lo sendiri kayak gini dong... Muka lo tuh sampe surem dan nggak enak banget dilihatnya!”

Salma gantian tersenyum dan meledekku. “Bener banget tuh. Kebanyakan nangis. Padahal yang ditangisin juga belum tentu nangisin dia balik. Jadi mendingan cari laki baru dong...”

Kartika melotot ke arah Salma, lalu berbalik menatapku secara serius lagi. “Gue nggak mau dengerin alesan lo yang nggak mood lagi ya, Dinda. Gue udah berusaha gimana caranya biar bisa ikut Salma buat datengin lo hari ini. Jadi lo mendingan mandi dulu deh! Siap-siap, terus buruan pergi sama Salma!”

“Iya, iya…” Jawabku setengah terpaksa, lalu duduk dengan posisi tegak. “Lo beneran nggak bisa ikutan?”

“Nggak bisa…” Suara Kartika berubah lagi menjadi lebih lembut. “Supir gue lagi nunggu di lobby. Gue mesti balik sebelum makan siang. Anak-anak nggak bisa gue titipin di neneknya terlalu lama, karena gue takut ngerepotin. Dan gue juga mau lunch sama Mas Andy.”

+

Ibu rumah tangga mah memang beda.

+

Akhir pekan seharusnya menjadi hari-hari yang sakral untuk Kartika, karena dia harus mendedikasikan waktunya untuk anak dan suaminya. Tapi kali ini, dia menyempatkan diri datang pagi-pagi sekali, dan membawa sarapan untuk kita berdua. Ditambah lagi, Kartika juga masih menyempatkan dirinya untuk bercengkerama, sekaligus mendengarkan kesedihanku. Mungkin itu kenapa, pada akhirnya, aku memilih untuk mengikuti ajakan dari dua temanku ini.

“Inget ya, Sal…” Kartika berbalik menatap ke arah Salma. “Temen lo lagi vulnerable, jadi jangan lo hasut yang aneh-aneh.”

“Ya ampun, Kartika… Gue? Ngehasut?” Salma malah tertawa geli seolah himbauan Kartika adalah sebuah lelucon baginya. “Di mata lo, gue sesetan apa sih, Kar?” Tanya Salma sambil menunjukkan ekspresi polosnya.

“Lo memang nggak nyampe ke level setan sih. Tapi, di antara semua temen-temen cewek gue, cuma lo doang yang suka ngide gila dan nekat.” Jawaban dari Kartika barusan justru membuat Salma semakin tertawa dengan bangganya.

Kartika sengaja menghiraukan Salma, untuk kemudian berbalik menatapku lagi. “Din, hari ini, lo pokoknya harus bisa hibur dan senengin diri lo sendiri… Coba lo mulai pikirin hidup lo tanpa Gani. Gue mau lo relax dan bener-bener renungin semuanya. Gue tau, putus memang nggak enak dan pasti bikin lo sedih. Tapi, please, mulai pikirin mana yang bener-bener terbaik buat lo…”

+

Iya, juga ya… Kartika bener…

Gue memang kangen sama Gani, dan masih bingung sama hubungan kita bakalan kayak gimana habis ini, tapi gue nggak bisa galau dan nggak jelas kayak gini terus-terusan…

Gue harus bisa merenungi semuanya. Ada, atau nggak ada Gani pun, gue tetep harus mikirin mana yang terbaik buat kehidupan gue.

Hffft… Kenapa gue baru nyadar sekarang ya?

+

“…Sori, gue nggak bisa ikutan. Tapi, kalian berdua wajib ya, buat kabarin gue kalo ada apa-apa…”

Aku mengangguk dan tersenyum kecil. “Iya, siap, bundaaaa… Thank you juga ya voucher-nya.” Lalu kuacungkan beberapa lembar voucher yang kupegang di tangan kananku.

Kartika mengangguk padaku, lalu kembali menatap Salma. “Jangan aneh-aneh ya, Sal... Gue mesti balik sekarang soalnya…” Katanya sambil mengecek layar ponselnya yang menyala. Dia bangkit berdiri, lalu aku dan Salma ikut beranjak berdiri dan mengikuti Kartika ke pintu keluar.

“Siap, bundaku sayang… Mau gue anterin turun nggak nih?”

“Nggak usah... Lo di sini aja. Pastiin tuh Dinda, biar nggak ngurung diri lagi...”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status