Salah satu tanda dari seorang perempuan yang hendak memasuki usia kepala tiga adalah, ketika pijat dan spa menjadi hal yang lebih menyenangkan dan mewah daripada nongkrong di kafe yang Instagramable dan kekinian. Bukti nyatanya aku rasakan saat ini. Selesai pijat dan perawatan seluruh badan, rasanya tubuhku menjadi lebih ringan, pikiranku jadi lebih santai, dan hatiku juga jadi lebih tenang. Bahkan, aroma terapi khas bahan-bahan alami Indonesia yang aku hirup pun, sanggup membuatku lebih relax. Dan untuk pertama kalinya setelah putus dari Gani, aku bisa merasakan tidur nyenyak, meskipun hanya sekitar dua jam saja.
“Lebih enak kan badan lo?” Tanya Salma sambil melirikku melalui cermin yang ada di depan kita.
Aku tersenyum mengangguk. “Agak nyesel gue, kenapa nggak dari awal aja gue pergi ke spa. Kayaknya gue mulai sekarang bakalan jadwalin buat rutin pergi ke spa deh…”
“Gue bilang juga apa… Wajah lo juga jadi lebih keliatan seger tuh… Nggak sekucel dan sesurem tadi.” Salma bercermin di sebelahku sambil meratakan cairan tabir surya ke wajahnya.
Aku tersenyum sambil berkaca dan menyisir rambutku. “Sayang banget ya, Kartika nggak bisa ikutan bareng kita…”
“Duh, Kartika mah udah ada yang mijetin kali. Plus, plus, pula tuh… Sampe beranak tiga kali dia…”
Aku tertawa geli sambil mengambil bajuku yang hendak kupakai lagi.
“Betewe, lo mau potong rambut sekalian nggak?” Tanya Salma.
“Lo nanyain potong rambut karena gue habis putus?”
“Ya, biasanya kan, orang yang habis putus cinta itu butuh potong rambut. Biar otaknya segeran dikit…”
Aku tersenyum geli. Menurutku secara pribadi, hal tersebut hanyalah mitos belaka. “Cukup Gani aja yang pergi ninggalin gue. Rambut gue, jangan. Lagian, segini juga udah pas. Nggak terlalu panjang, dan nggak terlalu pendek.”
“Kalo gitu, kita tetep harus nyalon habis ini.”
“Harus banget ya nyalon hari ini? Kan kita cuma mau shopping, Sal?”
“So?” Salma menutup kembali lipstiknya yang belum sempat dia pakai. Dia kemudian beralih menatapku secara serius. “Lo jujur deh sama gue. Selama ini, lo dandan, nyalon, perawatan, dan sebagainya itu cuma buat Gani doang memangnya?”
“Ya, nggak gitu juga kali... Buat diri gue sendiri lah yang paling utama. Cuma kan, selama gue punya pacar, ya otomatis juga, buat pacar gue sekalian kan?”
“Dan sekarang, saat lo lagi nggak punya pacar, itu artinya lo nggak butuh alesan dong buat nyalon? Kan tadi katanya yang utama itu buat diri lo sendiri…”
Aku terdiam beberapa detik karena perkataan Salma ada benarnya. “Ya, oke. Abis ini kita nyalon dulu.” Aku tersenyum dan mengangguk. “Tapi, abis kita nyalon, makan dulu ya, baru kita shopping.”
“Okay!”
---
Ada yang mengalihkan pandanganku ketika aku dan Salma hendak menuruni eskalator. Di sisi seberang, tepatnya pada eskalator yang bergerak naik, Gani sedang sibuk bercengkerama dengan seorang perempuan di sebelahnya. Dengan cepat aku menarik tangan Salma supaya kita berdua bisa segera bergeser, tepat di balik tembok pilar yang berukuran besar. Salma yang awalnya bingung, akhirnya menurut ketika aku bisikkan penyebab mengapa kita berdua harus segera bersembunyi.
“Kayaknya mereka jalan ke arah kita deh, Din…” Bisik Salma sambil sesekali mengintip.
“Serius lo?”
“Kita tungguin aja gimana?”
“Ya, jangan dong.” Bisikku sambil menarik pergelangan tangan Salma dengan cepat supaya mengikutiku masuk ke sebuah toko peralatan olahraga.
“Ini kenapa jadi kita yang malah lari dan sembunyi sih?” Protes Salma sambil terus mengawasi ke arah pintu kaca untuk memantau pergerakan Gani dan perempuan yang berjalan di sebelahnya tersebut. “Kan kita nggak punya salah apa pun, ngapain malah kita yang kayak takut ketemu Gani?” “Gue…” Mendadak aku terdiam dan sadar, karena tidak seharusnya aku lari dan sembunyi seperti orang yang sedang ketakutan atau merasa bersalah. “Kalo kita… ikutin mereka diem-diem gitu gimana?” Tanyaku dengan intonasi ragu. “Aneh nggak menurut lo?” Salma diam saja dan menatapku untuk beberapa detik. Dia kemudian bergegas dan meninggalkanku yang masih berdiri di belakangnya. “Buruan! Sebelum kita kehilangan jejak mereka.” Desisnya tegas. Hatiku berdegup dengan sangat kencang. Langkahku harus kupercepat supaya bisa mengimbangi langkah kaki Salma, yang secara hati-hati mengikuti dua orang yang masih sibuk bercengkerama dan tertawa, sambil berjalan beberapa langkah di depan kita. Dari belakang, aku bisa mengen
+ Dasar nyebelin! Jahat banget tau nggak! Bilangnya butuh waktu sendiri dulu buat mikir! Taunya udah sama cewek baru! Gue kurang pengertian apa lagi coba? + Aku rasa, yang aku lihat barusan, sudah cukup menjawab semua pertanyaanku beberapa hari belakangan ini. Hubungan kita benar-benar sudah selesai, Gani sudah move on, dan itulah kenyataan yang sudah aku saksikan sendiri. Sesakit dan sesedih apa pun perasaanku, aku harus bisa, dan mulai belajar untuk berhenti berharap pada mantan kekasihku itu. “Dinda…” Suara Salma yang memanggilku, terdengar cukup lembut. Lalu terdengar suara ketukan sebanyak tiga kali pada pintu bilik yang ada di depanku. “Toilet-nya udah sepi. Udah gue tutup pintu masuknya. Nggak akan ada yang berani masuk dulu. Ke luar, please… Ngobrol sama gue, Din…” Aku mengusap air mataku dengan cepat, lalu bergegas ke luar dari bilik persembunyianku. Belum sempat aku berdiri di depan westafel untuk cuci tangan, air mataku sudah mengalir lagi dengan sendirinya. “My Go
“Din, gue kalo jadi lo juga udah pasti akan marah dan cemburu sih. Lebih parah malahan! Percuma ganteng kalo kelakuannya nyakitin hati cewek aja. Cowok tipe kayak Gani itu, minta gue sakitin balik, berkali-kali lipat lebih parah dari yang pernah dia lakuin. Gue bakalan hajar habis-habisan dan tendang tuh selangkangan mantan lo yang nyebelin itu!” Kata Salma dengan penuh penekanan emosi, hingga membuatku tertawa geli sambil menghapus air mataku. “Pacaran serius udah lama banget, minta putus karena alesan sepele! Bilangnya masih sayang! Sayang, sayang, pala lo peyang! Mana buktinya? Kok enak bener dia, udah jalan sama yang baru. Kan berengsek juga tuh cowok!" "Kalo dia memang beneran mau putus, alesannya yang jelas kek! Jangan malah ngomong butuh waktu dan malah kasih lo harapan yang dia sendiri nggak bisa penuhi! Jahat banget tau nggak sih! Mainin perasaan cewek doang bisanya!" Kayaknya aja tiga tahun lebih tua dari lo, tapi kelakuannya kayak anak kecil. Sumpah! Emosi banget gue sam
Selain pemicu lain yang aku belum ketahui secara pasti, sebenarnya aku tahu ada faktor trauma yang juga memicu ketakutan dan kekhawatiran Gani itu apa. Namun, semarah dan sekecewa apa pun aku dengan Gani, aku tetap tidak bisa menceritakan privasi hidup dia ke orang lain. Bahkan ke teman baikku sendiri. “Kalo Gani bilangnya ke lo itu butuh mikir, tapi kenyataannya malah dia sekarang udah enak-enakan sama yang baru… Berarti, antara dia yang proses mikirnya udah selesai, atau selama ini tuh, Gani sebenernya cuma sengaja bikin alesan aja. Dia kepengen putus dari lo, tapi bingung caranya gimana. Makanya kan, dia ngebohongin lo dengan alesan yang goblok banget!” Mungkin memang benar bahwa proses berpikir Gani sudah selesai dan dia memutuskan untuk move on. Akan tetapi, jika ternyata benar bahwa dia cuma mencari alasan hanya untuk bisa putus denganku, di mana letak kesalahanku sampai dia memilih untuk menyudahi hubungan kita? “Din…” Intonasi suara dan raut wajah Salma mendadak berubah. Sep
Dan nggak perlu lo perpanjang lagi. Lo nggak perlu berharap untuk bisa balikan lagi sama Gani. Lo nggak perlu mikirin dia lagi. Udah nggak ada gunanya. Lagian, kalau sampe Gani beneran selingkuh, memangnya lo mau pacaran sama cowok yang pernah nyelingkuhin lo? Nggak mau kan? Kalo udah selesai, ya berarti jelas, memang udah selesai. Nggak usah lo berharap lagi! Kalopun Gani nggak selingkuh sama sekali, omongan Salma ada benernya. Meskipun lo paham soal latar belakang dan trauma Gani kayak gimana, tetep aja, kalo Gani itu beneran sayang sama lo, harusnya dia nggak ngelepasin lo gitu aja. Harusnya dia mau berjuang dan hadapi ketakutannya. Lagian, malah bagus kan kalo Gani minta putus? Kalo nggak gini kan lo jadi nggak sadar. Lo bakalan tetep jalan terus sama cowok yang nggak beneran sayang sama lo. Udah jelas sekarang semuanya gimana. Nggak perlu lo sesali, nggak perlu lo tangisi lagi. Fokus sama hidup lo dan kebahagiaan lo sendiri aja. Cowok kalo bisanya cuma nyakitin, jangan lo ka
“Lo bilang ke Mira ya, Din, kalo kita mau ke ‘Bear and Bar’?” Tanya Salma ketika aku sedang berganti pakaian di salah satu bilik toilet umum yang ada di sebuah hotel. “Iya. Kok lo bisa tau?” “Ini, ada notif masuk di hape lo. Nggak sengaja gue baca…” “Ohh… Bales apa lagi dia?” “Cuma bilang jaga diri doang sih ini… Tumben ya, nih anak nggak cerewet? Biasanya kan lamaan dia ngomelnya, ketimbang Kartika…” “Ya kan dia di Sydney, Sal… Dia pasti juga mikir kali. Bakalan percuma ngomelin kita yang jaraknya jauh dari dia…” Jawabku yang kemudian ke luar dari bilik dan menghampiri Salma yang sedang memakai blush on di kedua pipinya. “Gue yakin banget sih ini, kalo misalnya Kartika sama Mira ada di sini sekarang, mereka bakalan nyuruh lo balik ke apartemen dan kasih lo seribu satu pertanyaan…” Aku tersenyum geli di depan cermin. “Iya, bener banget. Gue bisa bayangin mereka ngomelnya gimana lagi…” Kataku sambil mengamati tubuhku yang dibalut dengan mini dress berwarna biru tua, yang baru saj
“Lo ngasih kondom se-box buat gue?” Tanyaku dengan ekspresi bingung. “Ya iyalah, oneng! Buat siapa lagi memangnya? Kartika?” Aku mengamati tanggal kadaluarsa yang ada di bagian bawah box. “Kapan lo belinya?” Tanyaku dengan heran karena sejak tadi, aku dan Salma sama sekali tidak memasuki apotek atau toko obat-obatan. “Tadi. Pas lo lagi sibuk milih-milih baju, gue melipir sebentar…” Jawab Salma sambil mencari sesuatu di dalam tasnya lagi. “Vaksin lo gimana?” “Vaksin?” “HPV, DPT, dan kawan-kawannya.” Jawab Salma dengan tidak sabar. “Udah lengkap semua.” “Lo masih rutin minum pil nggak?” Tanya Salma sambil menunjukkan kotak kontrasepsi kepadaku. “Pil tiap hari. Kan sekalian buat ngatur mens gue juga.” Dalam kondisi aktif, atau tidak aktif secara seksual, aku memang setiap hari mengkonsumsi pil kontrasepsi yang diresepkan khusus oleh dokter. Selain untuk mencegah kehamilan pada saat aku sedang aktif dengan Gani secara seksual, pil tersebut juga berfungsi untuk mengatur siklus men
*** Miranda Rineke: How’s there? === I think I wanna go home deh ini :( === What’s going on? === Idk. Maybe I’m too old for bear n bar... Lumayan ngantuk & mau rebahan di kasur === LoL. Salma gmn? === Udah foreplay sama cowok baru... *** “Dinda!” Aku mendongak dan tersenyum ke arah sosok yang menyapaku barusan. “Lo di sini juga...” Kataku sambil menyimpan ponselku ke dalam tas lagi. Rangga duduk di sebelahku. Ia kemudian memajukan wajahnya dan mendekat ke arah telingaku supaya aku bisa mendengar suaranya dengan lebih jelas lagi. “Gue padahal besok minggu mau hubungin lo tau. Eh, udah ketemu di sini aja.” Aku bergantian mendekatkan wajahku ke dekat telinga Rangga. “Ada job apa lagi?” Tanyaku langsung, karena sudah hafal dengan kebiasaan Rangga yang lebih sering meneleponku hanya untuk hal-hal yang berkaitan dengan pemotretan. “Tau aja lo.” Rangga menepuk lututku pelan sambil tersenyum manis. “Bentar. Gue mesen dulu.” Ia lalu memanggil salah seorang bartender dan meme