Share

002

Salah satu tanda dari seorang perempuan yang hendak memasuki usia kepala tiga adalah, ketika pijat dan spa menjadi hal yang lebih menyenangkan dan mewah daripada nongkrong di kafe yang Instagramable dan kekinian. Bukti nyatanya aku rasakan saat ini. Selesai pijat dan perawatan seluruh badan, rasanya tubuhku menjadi lebih ringan, pikiranku jadi lebih santai, dan hatiku juga jadi lebih tenang. Bahkan, aroma terapi khas bahan-bahan alami Indonesia yang aku hirup pun, sanggup membuatku lebih relax. Dan untuk pertama kalinya setelah putus dari Gani, aku bisa merasakan tidur nyenyak, meskipun hanya sekitar dua jam saja.

“Lebih enak kan badan lo?” Tanya Salma sambil melirikku melalui cermin yang ada di depan kita.

Aku tersenyum mengangguk. “Agak nyesel gue, kenapa nggak dari awal aja gue pergi ke spa. Kayaknya gue mulai sekarang bakalan jadwalin buat rutin pergi ke spa deh…”

“Gue bilang juga apa… Wajah lo juga jadi lebih keliatan seger tuh… Nggak sekucel dan sesurem tadi.” Salma bercermin di sebelahku sambil meratakan cairan tabir surya ke wajahnya.

Aku tersenyum sambil berkaca dan menyisir rambutku. “Sayang banget ya, Kartika nggak bisa ikutan bareng kita…”

“Duh, Kartika mah udah ada yang mijetin kali. Plus, plus, pula tuh… Sampe beranak tiga kali dia…”

Aku tertawa geli sambil mengambil bajuku yang hendak kupakai lagi.

“Betewe, lo mau potong rambut sekalian nggak?” Tanya Salma.

“Lo nanyain potong rambut karena gue habis putus?”

“Ya, biasanya kan, orang yang habis putus cinta itu butuh potong rambut. Biar otaknya segeran dikit…”

Aku tersenyum geli. Menurutku secara pribadi, hal tersebut hanyalah mitos belaka. “Cukup Gani aja yang pergi ninggalin gue. Rambut gue, jangan. Lagian, segini juga udah pas. Nggak terlalu panjang, dan nggak terlalu pendek.”

“Kalo gitu, kita tetep harus nyalon habis ini.”

“Harus banget ya nyalon hari ini? Kan kita cuma mau shopping, Sal?”

So?” Salma menutup kembali lipstiknya yang belum sempat dia pakai. Dia kemudian beralih menatapku secara serius. “Lo jujur deh sama gue. Selama ini, lo dandan, nyalon, perawatan, dan sebagainya itu cuma buat Gani doang memangnya?”

“Ya, nggak gitu juga kali... Buat diri gue sendiri lah yang paling utama. Cuma kan, selama gue punya pacar, ya otomatis juga, buat pacar gue sekalian kan?”

“Dan sekarang, saat lo lagi nggak punya pacar, itu artinya lo nggak butuh alesan dong buat nyalon? Kan tadi katanya yang utama itu buat diri lo sendiri…”

Aku terdiam beberapa detik karena perkataan Salma ada benarnya. “Ya, oke. Abis ini kita nyalon dulu.” Aku tersenyum dan mengangguk. “Tapi, abis kita nyalon, makan dulu ya, baru kita shopping.”

Okay!”

---

Ada yang mengalihkan pandanganku ketika aku dan Salma hendak menuruni eskalator. Di sisi seberang, tepatnya pada eskalator yang bergerak naik, Gani sedang sibuk bercengkerama dengan seorang perempuan di sebelahnya. Dengan cepat aku menarik tangan Salma supaya kita berdua bisa segera bergeser, tepat di balik tembok pilar yang berukuran besar. Salma yang awalnya bingung, akhirnya menurut ketika aku bisikkan penyebab mengapa kita berdua harus segera bersembunyi.

“Kayaknya mereka jalan ke arah kita deh, Din…” Bisik Salma sambil sesekali mengintip.

“Serius lo?”

“Kita tungguin aja gimana?”

“Ya, jangan dong.” Bisikku sambil menarik pergelangan tangan Salma dengan cepat supaya mengikutiku masuk ke sebuah toko peralatan olahraga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status