Plak....
Sebuah temparan keras mendarat di pipi Hanna begitu ia jujur kepada orangtuanya jika dirinya kini tengah berbadan dua. Apapun yang akan orangtuanya lakukan kepadanya tidak akan membuat dirinya mundur untuk mempertahankan calon anak yang ada di dalam rahimnya. Ia akan melakukan apa saja untuk melindungi calon anaknya. Sudah cukup dosa yang ia perbuat hingga akhirnya Tuhan menyadarkan dirinya dengan menghadirkan calon anak yang harus ia rawat dan jaga sepenuh hati.
"PAPA!" Teriak Shinta ketika melihat suaminya menampar anak tunggal mereka.
"Diam kamu, Shin! aku rasa ini sudah paling ringan hukuman yang aku berikan untuk Hanna. Bisa-bisanya dia tidak mau memberitahu siapa laki-laki yang sudah menghamili dia."
Shinta langsung berjalan ke arah Hanna dan ia menarik tangan anaknya untuk menjauhi Arman yang sedang marah besar. Seumur hidup Shinta, ia bahkan baru pertama kali ini melihat Arman memperlakukan anak tunggal mereka dengan begitu kejam.
"Enggak, Pa! Mama enggak akan membiarkan Hanna menjadi samsak kemarahan Papa."
"Aku tidak melenyapkan Hanna dan calon anak yang ada di dalam rahimnya saja itu sudah bagus. Kamu tahu bukan kalo Hanna kita persiapkan sejak kecil untuk meneruskan Aledra Group. Jadi bagaimana bisa dia setolol ini dengan melakukan sex bebas tanpa pengaman sampai hamil seperti ini."
"Hanna bisa melanjutkan kuliahnya nanti setelah dia melahirkan. Lagipula melakukan tindakan aborsi itu sebuah dosa besar dan bisa mengancam nyawa Hanna. Apa Papa mau kehilangan anak kita satu-satunya? Tolong ingat bagaimana perjuangan kita untuk memiliki Hanna dulu, Pa."
Mendengar kata dosa dan kemungkinan bila nyawa Hanna yang akan terancam jika melakukan aborsi, Arman mulai melunak. Ia menurunkan rasa kesalnya pada sosok Hanna yang kini terlihat menunduk dan tak berani menatapnya.
"Baik, kita tidak melakukan aborsi tapi Hanna harus keluar dari rumah ini. Papa enggak mau orang-orang tahu bahwa Hanna punya anak tapi tidak punya suami."
Shinta membalikkan tubuhnya dan ia memeluk anak perempuannya ini yang harus mengalami nasib menyedihkan seperti ini.
"Han, kamu dengarkan apa kata Papa. Nanti kamu bisa tinggal di rumah kita yang ada di Bali atau Jogja," ucap Shinta yang hanya bisa Hanna tanggapi dengan air mata yang terus mengucur dari kedua mtanya.
"Kalo anak itu lahir, Papa mau anak itu dibuang ke panti asuhan dan Hanna kembali ke sini untuk melanjutkan pendidikan."
Mendengar komentar Papanya ini, Hanna memilih mengurai pelukan Shinta. Kini ia angkat pendangannya untuk menatap Arman. Entah keberanian ini datang dari mana, namun kali ini Hanna tak merasa takut melawan kehendak Papanya.
"Sampai kapanpun juga aku enggak akan pernah menyerahkan anak ini kepada orang lain, Pa."
"Kalo begitu silahkan angkat kaki dari rumah ini dan jangan pernah kamu berpikir untuk menjadi pewaris Aledra Group kalo kamu tetap mempertahankan anak kamu."
Hanna tersenyum kala mendengar perkataan sang Papa. Jika Papanya berpikir ia akan merubah keputusannya ini, maka salah besar. Sekali ia sudah mengambil keputusan, Hanna tetap akan mempertahankannya terlebih jika keputusannya ini adalah benar.
"Baik, Pa. Aku tetap memilih mempertahankan anak ini meskipun aku tidak menjadi bagian dari keluarga ini."
Setelah mengatakan hal itu, Hanna memilih berjalan meningalkan ruang keluarga. Kepergian Hanna ini membuat beberapa asisten rumah tangga yang sudah bekerja bertahun tahun bahkan ada yang sudah puluhan tahun di rumah ini merasa sedih. Air mata mereka menetes ketika menyadari bahwa sosok gadis yang ceria, ramah dan baik hati itu akan pergi meninggalkan rumah ini. Kala Shinta mulai berjalan menuju ke arah kamar utama, semua orang yang sedang mengintip ini segera bubar karena mereka tidak mau tingkah kepo mereka diketahui oleh sang majikan.
Di dalam kamarnya, Hanna kembali mengepak barang-barang yang baru ia keluarkan dua hari lalu. Ia tidak tahu dirinya harus pergi ke mana saat ini yang jelas ia harus keluar dulu dari rumah ini agar calon anaknya aman.
Ceklek....
Suara pintu kamar yang dibuka membuat Hanna menoleh. Ia bisa melihat Mamanya yang sedang berjalan ke arahnya. Meskipun Mamanya mencoba terlihat tegar, namun Hanna bisa melihat kegundahan hati di wajahnya. Hanna memilih diam dan membiarkan Mamanya sampai di dekatnya. Begitu Mamanya sampai di sana, ia memberikan sebuah amplop coklat yang Hanna tahu berisi uang. Hanna hanya menatap amplop itu, namun gerakan tangan Mamanya yang memindahkan amplop itu ke tangannya membuat Hanna hampir menangis kembali saat ini.
"Mama kagum sama kamu, Han. Apapun yang dunia katakan tentang kamu, kamu tetaplah anak Mama sampai kapanpun. Mama bangga dengan pilihan yang sudah kamu buat. Gunakan uang ini untuk biaya hidup kamu dan cucu Mama."
Hanna tidak bisa menahan tanggul air matanya agar tidak jebol. Sambil terisak, ia mengucapkan maaf dan terimakasih kepada Mamanya.
"Maaf kalo aku mengecewakan Mama. Tapi aku enggak mau menambah dosa lagi, Ma. Terimakasih sudah menjadi ibu yang baik untuk aku selama ini."
"Sudah kewajiban Mama, Han karena Mama yang menginginkan kamu hadir di dunia ini. Mama cuma berharap kamu akan kembali ke rumah ini suatu hari nanti. Mama ingin melihat anak kamu tumbuh besar di sini. Semoga kemarahan Papa kamu akan hilang dalam waktu dekat. Mama ingin kita berkumpul seperti kemarin sebelum kamu tinggal di Amerika."
Hanna menghapus air matanya dan ia memeluk Mamanya untuk yang terakhir kalinya sebelum ia meninggalkan rumah. Setelah beberapa saat memeluk sang Mama, akhirnya Hanna mengurainya.
Meskipun berat, namun Shinta memilih untuk merelakan kepergian anaknya. Bukan karena ia tidak mencintai anaknya atau tidak bisa mempertahankannya di depan suaminya. Namun untuk saat ini, inilah yang terbaik untuk Hanna dan Arman. Sifat kedua orang itu yang sama-sama keras dan teguh pendirian tentu saja membuat mereka akan sulit tinggal di bawah satu atap. Lagipula ia bisa meminta tolong pada orang-orang kepercayaannya untuk tetap mengawasi Hanna meskipun dari jarak jauh.
Setiap langkah kaki yang Hanna lakukan sejak ia keluar dari pintu gerbang rumah orangtuanya, ia sibuk memikirkan di mana ia bisa tinggal malam ini? Baiklah, untuk satu dua hari ia bisa berada di hotel dengan uang yang ada di tangannya, namun bagaimana untuk hari-hari ke depannya. Tidak mungkin ia bisa melakukan itu. Ia harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan anaknya dan melanjutkan pendidikannya setelah anaknya lahir.
***
Sudah beberapa waktu Hanna meninggalkannya dan Adit tidak pernah bisa tidur dengan tenang setiap malam. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas terlihat saat ini. Bayang-bayang Hanna yang ternyata berbohong kepadanya membuat Adit ketakutan sendiri. Demi apapun, jika tidak terpaksa, Adit tidak akan mau memberikan solusi ini untuk Hanna. Memilih melakukan aborsi tentu saja sesuatu yang Adit tahu salah besar belum lagi resiko dan dosa yang harus mereka berdua tanggung.
Adit menghela napas panjang. Daripada stress memikirkan Hanna, kali ini Adit memilih untuk pergi ke club malam bersam Luke dan pacarnya. Siapa tahu saja gemerlapnya lampu serta minuman beralkohol sedikit bisa membantu dirinya agar tidur dengan tenang malam ini.
***
Setelah memasuki mobil, Adit mencoba mengatur dirinya kembali agar bisa tenang dan mencoba menyingkirkan semua prasangka-prasangka yang mulai menggelayuti dirinya sejak ia bertemu dengan Puspa. Adit berusaha untuk berpikiran positif dan ia tidak boleh cemburu kepada Dana. Tapi kenapa itu sulit sekali ia lakukan? baikah, ia sudah berusaha sekuat tenaga melakukan hal itu sesuai permintaan Hanna, tapi kenyataannya Puspa masih berhubungan baik dengan Dana bahkan mencarikan tempat tinggal yang tersembunyi dari keluarga. Dan Adit yakin kedatangan Puspa ke tempat ini ada sangkut pautnya dengan Raga.Adit mencoba duduk dengan tegak di dalam mobilnya dan pelan-pelan ia menarik napas dalam-dalam lalu ia embuskan perlahan. Beberapa kali Adit melakukan ini hingga ia merasa jauh lebih tenang. Setelah merasa tenang, ia segera mengirimkan pesan untuk Raga.
Group Lapak DosaAdit : Sabtu pagi besok gue mau ajakin kalian ke Bali dua hari. Free semuanya, gue yang tanggung. Ketemu di tempat biasa bagi yang mau.Gavriel : Lo kalo bikin jadwal liburan bisa enggak sih kagak dadakan begini? Gue sudah terlanjur janji pergi ke Solo. Ada acara sama orangtuanya Gadis.Elang : Sumpah... gue heran banget sama lo, Gav. Pacar lo justru menikmati masa jandanya buat keliling dunia, tapi lo di sini jagain emak bapaknya. Apa enggak takut lo kalo Gadis di sana cari terong yang lebih gede dari punya lo?Gavriel : Jodoh itu cerminan diri. Gue yakin kalo gue setia, dia pasti juga seti
Setelah Adit pergi mengantarkan Raga ke sekolah, Hanna segera menuju ke arah kamar mandi yang ada di kamarnya. Ia harus bersiap-siap secepat yang ia bisa dan pergi dari rumah ini sebelum Adit sampai di sini kembali. Sekitar setengah jam waktu yang Hanna butuhkan hingga akhirnya ia keluar dari kamarnya dan turun ke lantai satu rumahnya. Niat hati ingin langsung ngacir ke garasi rumah, namun saat melihat meja makannya yang masih berantakan, tangan Hanna gatal ingin membereskannya. Ia tidak biasa meninggalkan rumahnya dalam keadaan kotor seperti ini. Karena ia tidak mau pulang ke rumah dalam keadaan rumahnya yang sangat tidak nyaman dipandang apalagi di tempati. Kini Hanna berjalan menuju ke ruang makan dan ia taruh tas kerjanya di kursi. Ia lepaskan blazer warna hitam yang ia kenakan dan menyampirkannya pada sandaran kursi. Tanpa membuang banyak waktu, Hanna segera menuju ke arah dapur dan ia mencuci semua piring serta gelas
Raga menatap Adit yang baru saja selesai menyantap sarapannya dengan wajah penuh keheranan. Karena sepertinya tadi pagi Mamanya terlihat baik-baik saja tetapi saat ini Hanna mengatakan ia tidak enak badan sehingga tidak bisa ikut sarapan. Hanna juga mengatakan kepada Raga untuk meminta diantar oleh Adit ke sekolah pagi ini karena ia tidak bisa mengantarnya. "Kenapa lihatin Papa begitu?""Enggak, cuma penasaran aja. Kenapa Mama enggak mau ikut sarapan dan minta aku diantar om Adit? Padahal selama ini Mama selalu sarapan bareng dan antar aku ke sekolah kalo enggak ada meeting pagi di kantor.""Marah kali Mama sama Papa, jadinya enggak mau turun buat sarapan bareng kita.""Mama bukan tipikal orang yang baperan, Om. Kalo enggak sampai kebangetannya sikap orang itu, Mama enggak mungkin menghindar."
Pradnya : Okay, gue mau bantuin lo besok Sabtu. Gue akan ketemu sama Aiman. Kedua mata Hanna langsung membelalak lebar pagi hari ini karena Tuhan mengabulkan doanya secepat ini. Segera saja ia berdiri dan turun dari atas ranjang. Tanpa banyak mengulur waktu lagi, Hanna segera keluar dari kamarnya dan ia menuju ke kamar Raga untuk memberitahukan rencana liburan dadakan mereka ke Bali hari Sabtu besok. Sayangnya saat membuka kamar Raga, ternyata anaknya itu sudah bangun dan tidak ada di dalam kamarnya. Hanna segera menutup pintu itu dan menuruni tangga untuk mencari Raga di tempat gym pribadinya. Baru juga ia melewati ruang makan, langkah kakinya terhenti karena menemukan sosok tamu yang tidak ia harapkan ada di tempat ini. "Kamu ngapain pagi-pagi buta ke sini?" tanya Hanna kepada Adit yang kini seda
Suasana di dalam mobil Adit malam ini sudah sesepi di kuburan pada malam hari. Hanna yang tadi terlihat ceria saat bersama teman-temannya kini sudah memasang wajah lelah dan kantuk sudah mulai menghinggapi dirinya. Saat Hanna menguap, Adit hanya bisa tersenyum."Tidur, Han. Ini masih jauh perjalanan kita.""Duh, enggak deh, Dit. Merem dikit nanti arah tujuan kamu bukan lagi ke rumah aku.""Setakut itu kamu sama aku?""Bukan takut, tapi lebih ke waspada aja.""Kalopun aku sampai ganti arah tujuan kita malam ini, yang pasti bukan ke hotel tapi ke rumah orangtua kamu."Mendengar perkataan Adit ini, rasa kantu