Home / Romansa / Begin Again With You / 4. Kartu Nama Untuk Hanna

Share

4. Kartu Nama Untuk Hanna

last update Last Updated: 2025-08-14 11:13:30

Dua hari setelah keluar dari rumah, pikiran Hanna jauh lebih tenang daripada kemarin. Kini ia mulai bisa berpikir dengan jernih. Ada rasa syukur yang berlipat-lipat karena calon anaknya sama sekali tidak 'rewel' saat ini. Tidak ada rasa mual muntah yang Hanna rasakan. Kini mau tidak mau Hanna segera mengambil tasnya dan pergi ke rumah sakit. Tidak peduli seberat apapun pikirannya namun salah satu upaya untuk tetap membuat anaknya sehat di dalam kandungannya adalah memeriksakan kandungannya ke dokter kandungan.

Hanna pergi ke salah satu rumah sakit yang tidak jauh jaraknya dari lokasi hotel tempat dirinya tinggal. Saat sampai di sana, Hanna segera mendaftar di poli Obstetri Ginekologi (obgyn). Saat menunggu antrian namanya di panggil oleh perawat untuk masuk ke ruang pemeriksaan, mau tidak mau kedua mata Hanna menangkap pemandangan yang ada di sekitarnya. Kebanyakan pengunjung di sini datang bersama pasangannya. Hanya dirinya sendiri yang tidak ditemani pasangan. Apalagi dari wajah serta penampilan saja orang-orang sudah pasti tahu bahwa ia terlalu muda untuk menjadi seorang ibu. Alamak... tanpa diumumkan menggunakan toa saja orang-orang pasti tahu jika dirinya tengah hamil tanpa memiliki suami. Sebagai orang yang masih waras, sejujurnya Hanna merasa malu saat ini. Tapi ia tahu bahwa rasa malu ini telah membuatnya tidak berani menambah dosanya lagi dengan menggugurkan kandungannya.

Ada perasaan benci yang tidak bisa ia lukiskan jika mengingat bagaimana Adit memperlakukan dirinya. Ketulusannya untuk menemani Aditya dua tahun belakangan ini nyatanya hanya dibalas Adit dengan menghancurkan kehidupannya. Lebih daripada rasa sakit hati yang ia rasakan kepada Adit, ada rasa tidak percaya yang muncul di diri Hanna ketika Adit bisa berpikiran untuk 'membunuh' calon anaknya sendiri meskipun itu masih berada di dalam rahim Hanna. Perlakuan Adit ini tidak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya. Hanna juga tidak akan pernah memunculkan batang hidungnya di depan Adit. Ia berharap laki-laki itu tidak akan pernah kembali ke negara ini. Sampai kapanpun juga, Hanna tidak akan pernah mengatakan kepada anaknya siapa ayahnya. Lebih baik ia mengatakan jika laki-laki itu sudah meninggal dalam sebuah kecelakaan di luar negri.

"Ibu Hanna Kartika Aledra, silahkan masuk ke ruang konsultasi."

Suara dari seorang perawat membuat Hanna kembali menapaki realitasnya setelah sibuk memikirkan tentang Adit yang telah sukses memporak porandakan kehidupannya. Kini Hanna menghapus air matanya yang tanpa ia sadari sudah menetes membasahi pipinya. Kini ia segera masuk ke dalam ruang konsultasi dokter.

Hal pertama yang Hanna temui kala memasuki ruang konsultasi ini adalah sebuah sapaan ramah dari dokter kandungan yang bernama dokter Edo. Setelah bercakap-cakap singkat, akhirnya dokter Edo meminta Hanna berbaring di atas ranjang dengan diantarkan oleh perawat. Saat tirai ditutup oleh perawat itu, siapa sangja jika sang perawat justru terlau cerdas untuk menilai ekspresinya yang kemungkian besar tidak menyiratkan kebahagiaan.

"Apa kamu sedih karena harus datang ke tempat ini sendirian?"

"Tidak. Saya tidak sedih karena datang sendirian ke sini, Sus. Saya sedih karena memikirkan betapa bodohnya saya yang mudah saja percaya pada ucapan laki-laki hanya karena rasa cinta tolol yang saya rasakan. Ujungnya masa depan saya hancur berkeping-keping saat ini."

Setelah mengatakan Hal itu, Hanna segera melepas celana dalam yang ia pakai karena dokter Edo akan melakukan USG Transvaginal.

"Apapun yang kamu rasakan saat ini, saya bersyukur karena kamu tetap memilih mempertahankan calon anak yang ada di dalam rahim kamu. Jika kamu merasa sendiri dan dunia seakan tidak adil pada hidupmu, coba kamu datang atau hubungi nomer ini," ucap perawat itu sambil mengulurkan sebuah kartu nama yang ada di saku celana kerjanya.

Hanna segera menerima kartu tersebut. Setelah membacanya beberapa saat, ia ucapkan terimakasih. Kini ia segera naik ke atas ranjang pemeriksaan. Begitu semua siap, perawat itu membuka tirai yang membatasi ruang pemeriksaan itu dan segera memanggil dokter Edo untuk melakukan USG.

***

Ccciiiiittttt.....

Sanusi hampir saja menabrak seorang penjual mie ayam yang sedang menyebrang di jalan depan gang rumah majikan barunya. Untung saja ia bisa mengerem secara tepat meskipun efeknya adalah boss-nya yang duduk di kursi penumpang belakang mobil ini sampai terhuyung ke depan. Semoga saja boss-nya ini tidak akan marah dan memecatnya karena ia baru bekerja satu bulan di sini.

"Pak, kenapa ngerem mendadak?" 

"Maaf, Pak... Saya kurang konsentrasi. Sejujurnya saya kepikiran anak mantan majikan saya setelah mendengar kabarnya dari teman-teman kerja saya dulu di rumah itu," ucap Sanusi dengan nada yang benar-bnar terdengar sedih dan bersalah.

Kini Sanusi mulai melajukan mobilnya lagi untuk keluar dari gang ini. Hari ini dirinya baru saja mengantarkan boss-nya ke panti asuhan anak di Jakarta. Sambil menyetir, akhirnya Sanusi menceritakan tentang sosok Hanna yang diusir dari rumah karena hamil dengan laki-laki yang tidak dikenal. Padahal Hanna baru satu tahunan tinggal di luar negri. Karena merasa sepi sejak Hanna melanjutkan pendidikan di luar negri dan jarang memiliki pekerjaan meskipun digaji secara penuh, akhirnya Sanusi memilih resign dan mencari majikan baru.

"Oh, jadi ini alasan bapak resign dulu padahal sudah bekerja 18 tahun?"

"Betul, Pak Dana. Sejak Mbak Hanna usia 1 tahun saya bekerja di sana sampai akhirnya pindah ke luar negri. Kalo dulu jaman SMA saya sering antar dia ketemuan sama pacarnya di mall atau cafe, tapi dia tidak pernah memperlihatkan pacarnya. Saya hanya sering dengar suaranya ketika mereka bertelepon di dalam mobil."

"Kenapa dia harus sembunyi-sembunyi. Pacaran untuk anak SMA sudah hal yang wajar. Jangan 'kan SMA, anak SD -SMP saja sudah banyak yang melakukan itu."

"Bagi anak lain mungkin memang wajar dan bisa dimaklumi tapi untuk seorang Mbak Hanna yang merupakan penerus Aledra group tentunya bukan hal yang mudah. Dia satu-satunya harapan keluarganya karena dia anak tunggal. Kejadian ini tentu saja membuat penghuni rumah termasuk orang-orang yang bekerja di sana sedih. Karena Mbak Hanna itu orang yang sangat baik tidak seperti kebanyakan anak perempuan dari keluarga kaya yang sombong dan boros."

Dana menghela napas panjang. Ia tahu apa yang dipikul oleh Hanna ini tentunya bukan sesuatu yang mudah. Karena ada segelitir orang yang bernasib seperti Hanna, maka keluarganya mengambil tindakan preventif untuk mencari cadangan calon pewaris meskipun tidak memiliki hubungan darah. Nasibnya menjadi anak angkat hanya untuk mem-backup saja jika tejadi hal yang tidak diinginkan di masa depan yang dialami oleh pewaris utama keluarga. Meskipun keluarga angkatnya sangat menyayanginya namun hubungannya dengan keponakannya tidak cukup dekat karena umur mereka hanya selisih 8 tahun saja.

"Saya ingin mencari Mbak Hanna. Kalo dia tidak ada tempat untuk tinggal, dia bisa pulang ke rumah saya di Bantul. Istri saya akan senang karena sejak gempa 2006 dulu kami kehilangan dua anak kami selama-lamanya. Biar dia punya teman di rumah. Lagipula dia juga sudah mengenal Mbak Hanna sejak Mbak Hanna masih batita."

Dana tidak bisa membayangkan seorang pewaris yang terbiasa hidup dalam kenyamanan dan kemewahan harus hidup dalam penderitaan seperti ini. Dana hanya berharap jika Hanna tidak akan berpikiran sempit dengan mengakhiri kehidupannya begitu saja hanya karena 'plan A' masa depannya harus berantakan.

Di waktu yang sama dan tempat yang berbeda, Hanna keluar dari rumah sakit ini dengan senyum yang mengembang di wajahnya. Usia kandungannya sudah menginjak enam minggu. Dan calon anaknya dalam keadaan sehat meskipun ia sudah melakukan penerbangan jarak jauh dari Amerika ke Indonesia. Sambil berjalan, Hanna memandang kartu nama yang diberikan perawat itu. Meskipun aneh karena ia justru mendapatkan kartu nama seorang wanita beserta alamat kantornya, namun Hanna sangat penasaran dengan apa yang bisa ia temukan di sana jika mengunjungi kantor itu.

Daripada Hanna merasa penasaran, akhirnya Hanna memilih mencari taxi untuk menuju ke alamat itu yang tidak terlalu jauh dari tempatnya saat ini berada. Sekitar 15 menit perjalanan dengan menggunakan taxi, kini Hanna sampai di sebuah gedung lima lantai yang dari bentuknya, Hanna tahu bahwa tempat ini adalah sebuah kantor. Saat Hanna datang ke sana dan mengatakan jika ia ingin bertemu dengan ibu Veranda, sang resepsionis kantor ini seperti sudah tahu tujuannya datang ke sini dan memintanya menunggu di sofa yang ada di lobby karena ibu Veranda sedang ada meeting di lantai tiga.

Sambil menunggu ibu Veranda selesai melakukan meeting, Hanna mengecek emailnya yang ternyata hanya dipenuhi oleh email dari Adit. Andai tidak berada di kamar hotelnya, kemungkinan besar Hanna sudah membanting handphone yang ada di tangannya ini sekuat tenaga.

"Selamat siang, anda mencari saya?" suara seorang wanita membuat Hanna menutup handphonenya.

Saat ia menggangkat pandangannya sosok seorang wanita berusia 40 tahunan dan terlihat cantik ada di hadapannya. Hanna segera berdiri.

"Selamat siang. Saya mencari ibu Veranda. Apakah ibu adalah ibu Veranda?"

"Benar, saya Veranda. Mari ke ruangan saya saja."

Hanna menganggukkan kepalanya dan kini ia segera mengikuti Veranda berjalan menuju ke arah lift. Sambil menunggu pintu lift itu terbuka, Veranda menanyakan dari mana Hanna mendapatkan kartu namanya. Dengan jujur Hanna menjawab bahwa ia mendapatkan kartu nama Veranda dari asisten dokter Edo di rumah sakit ketika ia memeriksakan kandungannya.

Hanna heran karena Veranda tidak banyak bertanya kepadanya. Bahkan seakan informasi itu sudah cukup untuknya. Kini saat pintu lift terbuka, Hanna bisa melihat seorang laki-laki langsung tersenyum ke arahnya. Salah... salah, bukan ke arahnya namun ke arah ibu Veranda. Sepertinya dua orang ini cukup mengenal dekat entah sebagai rekan kerja atau rekan bisnis.

Hanna masih diam dan memperhatikan laki-laki ini yang saat turun dari lift tadi langsung menyapa ibu Veranda. Hanna menunggu dua orang ini berbasa-basi sebentar sebelum akhirnya laki-laki ini pamit untuk pergi.

"Ayo, Han kita masuk," ucap Veranda yang mengajak Hanna untuk masuk ke dalam lift.

Hanna anggukkan kepalanya dan ia kini segera mengikuti perintah Veranda. Sejujurnya ia mengikuti Veranda kali ini masuk ke dalam lift pun di dalam hatinya masih memiliki ketakutan yang sulit untuk ia artikan. Semoga saja perawat itu tidak memberikan kartu nama seorang  'pemain' human trafficking.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Begin Again With You   141. Suasana Pagi di Guest House

    Pernikahan Gadis dan Gavirel yang dilangsungkan hari ini membuat Hanna dan Adit cukup takjub. Tamu yang hadir kali ini mungkin bisa mencapai ribuan orang. Pengaruh orangtua Gadis serta keluarganya di dunia bisnis membuat tidak hanya mereka saja yang hadir di tempat ini namun juga keluarga Adit. Karena itu sejak Adit sibuk menemani Gavriel di beberapa acara Adat yang harus dijalani, Hanna, Raga dan Lean memilih menemani orangtua Adit berkeliling kota ini. Hanna tidak pernah menyangka jika Lean yang berusia 4 tahun lebih ini sudah lebih banyak mengenal kota ini daripada dirinya. Mereka bahkan mengunjungi beberapa tempat yang justru dipandu oleh Lean. Yang paling memalukan adalah Hanna beberapa kali salah mengambil jalan di sini. Terlalu banyak jalan satu arah yang membuat dirinya sedikit shack shick shock. Maklum saja dulu ketika tinggal di Klaten ia lebih banyak menghabiskan waktunya di Jogja daripada di Solo karena ia kuliah d

  • Begin Again With You   140. Bikin Mama Cemburu

    Hanna melihat jam tangan yang melingkari tangan kirinya malam ini. Ia bisa melihat jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan sampai saat ini baik Raga maupun Adit sama sekali belum memberikannya kabar sama sekali. Hmm... tidak ia sangka jika Adit dan Raga benar-benar menikmati waktu mereka berdua saja tanpa kehadiran dirinya. Kali ini mungkin ia bisa memaafkan hal itu karena ia masih berada di dalam mobil Pradnya dan masih dalam perjalanan pulang menuju ke rumahnya. Perjalanannya akan menempuh waktu yang cukup lama karena mereka terjebak macet parah. Hmm... sungguh, dulu ketika ia tinggal di klaten, mau ke Jogja saja tidak sampai satu jam perjalanan, tapi di Jakarta dari rumah ke kantor terkadang bisa menghabiskan waktu satu jam lebih. Bukan jarak yang jauh namun kemacetan adalah sumber masalahnya. Karena itu pula Hanna tidak bisa protes kepada Adit ketika Adit sering kali memilih memakai transportasi udara sebaga

  • Begin Again With You   139. Menemani Raga

    Hanna duduk di hadapan Pradnya dan Dana yang malam ini sudah ada di rumahnya. Khusus acara ini, Hanna membiarkan Raga dalam pengasuhan Adit. Karena bagaimanapun juga ia membutuhkan waktu untuk berbicara serius dengan kedua temannya ini. Kala Pardnya dan Dana hanya diam saja, Hanna memilih membuka percakapan lebih dulu."Gue ngundang kalian berdua ke sini karena mau minta maaf atas sikap gue beberapa waktu lalu. Seharusnya gue bisa jauh lebih bijak menanggapi semua itu."Pradnya dan Dana hanya saling pandang sebentar dan mereka tidak bisa menahan tawanya. Apalagi ketika mengingat pembicaraan mereka berdua di dalam mobil tadi menjadi kenyataan saat ini. Hanna yang tanpa tedeng aling-aling langsung meminta maaf membuat mereka menunggu adegan selanjutnya."Gue harap kalian m

  • Begin Again With You   138. Sebagai Pasangan VS Sebagai Relasi Bisnis

    Hanna tidak bisa menutupi wajah penuh bahagianya setelah beberapa hari ini dirinya mencari calon pengganti Bejo hingga akhirnya ia menemukan orang itu. Atas bantuan dari Adit dan Malik, akhirnya Hanna bisa menemukan sosok Bramajaya. Laki-laki berusia 28 tahun yang masih single dan tentunya sudah memiliki penngalaman bekerja selama 3 tahun di salah satu perusahaan multi nasional sebagai staff."Bram, mulai besok kamu bisa langsung mulai belajar dari Pak Bejo tentang apa saja yang harus kamu kerjakan. Banyaklah bertanya dan belajar selagi pak Bejo masih ada di tempat ini.""Baik, Bu.""Oh, iya, saya punya anak namanya Raga. Mungkin sesekali dia bakalan ngerepotin kamu dengan permintaan absurd-nya. Kalo kamu merasa dia sudah keterlaluan, kamu bisa langsung

  • Begin Again With You   137. Kembali ke Perusahaan

    Sejak pulang dari rumah Elang, Adit memperhatikan Hanna yang lebih banyak diam. Berkali-kali Hanna tampak kaget kala ia memanggilnya. Memang fisik Hanna ada di sini namun entah dengan pikirannya saat ini. Setelah Raga masuk ke kamarnya, Adit memilih duduk di samping Hanna yang sedang memperhatikan anggrek bulannya yang kini sudah berbunga lagi dan ia susun ke dalam sebuah vas bunga besar berbentuk bulat. "Ngiri aku sama anggrek-anggrek kamu, Han," ucap Adit yang membuat Hanna menoleh ke arah sumber suara. Hanna hanya tersenyum mendengar perkataan Adit ini. Sudah berkali-kali Adit mengucapkan hal itu setiap kali ia sedang sibuk memandangi bunga-bunga anggreknya yang sedang berbunga. Baiklah, lebih mudah jika ia hanya membeli bunga palsu yang selamanya akan mekar atau bunga anggrek asli yang sudah kenop besar bahkan mekar seluruhnya. Sayangnya hal itu tentunya sangat berbeda sekali dengan membesarkan bunga itu sejak seedling hingga bisa dewasa dan berbunga. Kepuasannya seperti orangtu

  • Begin Again With You   136. Ruang Makan Rumah Elang

    Malam ini Hanna, Adit dan Raga sedang berada di rumah Elang. Seperti biasa acara kumpul ini adalah acara kumpul mingguan Adit bersama ketiga temannya. Mengingat baik Adit serta Gavriel sudah memiliki pasangan, mereka mencoba meminimalisir pertemuan mereka di tempat karaoke atau bahkan nightclub. Ya, semua itu hanya tindakan preventif saja untuk membuat Gadis serta Hanna tidak cemburu buta atas apa yang mereka lakukan di sana. Kini saat berada di rumah Elang, Raga memilih bermain bersama Lean di dalam kamar bermain anak itu sedangkan Hanna harus puas berada di dapur bersama asisten rumah tangga Elang untuk menyiapkan makan malam. Ini jauh lebih baik daripada ia mengganggu waktu Adit bersama teman-temannya menonton acara bola. Di waktu yang sama, di ruang keluarga rumah Elang, keempat laki-laki ini sedang berkumpul untuk menonton pertandingan bola. Suara riuhnya sudah mengalahkan suara perdebatan Hanna dan Raga jika berada di rumah. "Cok... matane!""Shut up!" ucap Adit yang mencoba m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status