Aryo hanya tertunduk lesu. Padahal sore ini dia berharap Pak Maman memberi upahnya, tapi wajah sendu milik Pak Maman membuat Aryo tidak tega.
"Aku benar-benar minta maaf, Yo. Hasil panen tak seperti yang kita harapkan. Aku belum bisa memberi upahmu saat ini, uang hasil panen bahkan tidak cukup untuk biaya masuk uang kuliah anakku. Kau mengerti kan, Aryo?"Aryo hanya mengangguk, dia adalah orang yang tak tega terhadap orang lain. Apa lagi Pak Maman cukup baik padanya selama ini. Terhitung, sudah dua bulan upah bulanannya belum dibayar oleh Pak Maman."Terimakasih, Yo. Kau memang baik." Pak Maman menepuk punggung Aryo sambil tersenyum lega."Aku pamit dulu, mau ngantar Asih ke terminal.""Baik, Pak," jawab Aryo. Pak Maman bangkit dan meninggalkan Aryo yang masih duduk di pondok di tepi sawah.Aryo mengalihkan pandangannya pada sawah yang sudah dipanen, padahal dia berharap bisa membawa uang dan membelikan baju baru untuk istrinya. Besok, Sri mulai bekerja di pabrik sepatu, bahkan dia tau persis istrinya itu tak memiliki pakaian yang layak selain daster dan kebaya lusuh yang sudah robek di sana sini."Maaaaas," lamunan Aryo terhenti saat yang menjadi pusat pikirannya sudah berada di ujung pematang sawah, seperti biasa, wajah cantik ceria dan tanpa beban. Dia berlari kecil mendekati Aryo. Aryo rela, asalkan memiliki Sri yang begitu mencintainya, biarlah hidup mereka miskin seperti ini.Aryo bangkit, menyambut kedatangan istrinya yang tengah menenteng rantang makan siang."Alhamdulillah, Dek. Kau datang tepat waktu." Aryo memperbaiki posisi bersilanya.Sri tersenyum. "Tapi hanya ada ini, Mas." Sri membuka penutup rantang, dia melipat bibirnya tidak enak.Nasi putih, dengan tahu goreng tanpa sambal. Aryo tersenyum, mengusap pipi istrinya itu."Ini enak, Dek. Lebih enak dari pada daging." Aryo menggulung lengan bajunya semangat."Tak ada lagi cabe di pondok, Mas. Uang hanya tersisa dua ribu. Nggak enak ngutang lagi sama Mbak Sum, hutang bulan lalu saja belum dibayar.""Sabar ya, Sri. Mudah-mudahan kita dapat rezeki banyak." Aryo tak tega menyampaikan bahwa upahnya belum dikasih."Mas doakan saja, aku betah kerja di sana. Setidaknya bisa bantu ekonomi kita, tidak mungkin selamanya kita menumpang di tanah dan pondok Pak Maman, aku juga pengen punya rumah sendiri.""Sabar ya, Dek." Aryo mengelus rambut panjang Sri.***"Benarkah?" Mata Sri berbinar, memandang Yayuk yang tengah menceritakan betapa enaknya bekerja di pabrik sepatu."Iya, gajinya lumayan, dua juta sebulan, itu pun belum termasuk lembur, kalau kau masuk di hari Minggu bisa jadi gajimu ditambah lebih banyak.""Waah!" Sri tak bisa menahan mulutnya yang menganga. Dua juta? dia tak pernah melihat uang sebanyak itu. Pasti dia kebingungan bagaimana cara menghabiskan uang sebanyak itu."Kau bisa beli emas, beli baju bagus, beli sepatu baru," tambah Yayuk."Aduh, terimakasih banyak, Yuk. Semua atas bantuanmu.""Iya, tapi ada hal-hal yang harus kau ingat.""Apa itu?""Kalau bisa, jangan sampai ada yang tau, bahwa kau sudah menikah.""Tapi, di KTP?""Ah, takkan ada yang akan mencari tau sejauh itu, kita ini hanya karyawan rendahan.""Tapi, kenapa harus mengaku gadis segala, Yuk?""Terkadang perusahaan tak mau ngasih lembur pada wanita yang merangkap sebagai ibu rumah tangga.""Terdengar tak masuk akal.""Percayalah, Sri.""Baiklah," Sri menjawab tak ikhlas. Mengaku gadis, seolah-olah dia menghianati Aryo."Yuk, tapi ada masalah saat ini.""Apa?" Yayuk berhenti menyesap tehnya."Aku nggak punya seragam hitam putih, untuk besok.""Kau tenang saja, aku punya. Pakailah sampai kau punya uang untuk membeli.""Wah! Terimakasih banyak, Yuk. Kau memang baik.""Santai saja." Yayuk mengibaskan tangannya di depan wajah. Saat ini Sri tengah berada di rumah Yayuk.***Pagi yang ditunggu Sri akhirnya datang. Dia bangun pagi-pagi sekali, menyiapkan sarapan dan bersih-bersih. Aryo belum melepas sarungnya sehabis shalat subuh, dia masih menekuni membaca koran bekas ditangannya."Bagaimana, Mas?" Sri muncul, memakai kemeja putih dan rok selutut berwarna hitam. " Ini dipinjami Yayuk."Aryo tak langsung menjawab. Tapi dia merasa ada yang ganjil dengan kemeja itu. Yayuk bertubuh kurus, sedangkan istrinya itu lebih montok dan berisi. Kemeja itu lengket mencetak tubuhnya."Apa tidak terlalu sempit, Dek?""Tapi ini ukuran yang paling besar, Mas."Aryo memandang tak enak."Kemejanya terlalu kekecilan.""Ya, terus bagaiman lagi, Mas. Pagi ini nggak terkejar lagi untuk meminjam baju.""Tunggu di sini, biar mas tanya Harti. Dia kan pernah magang juga." Aryo bangkit menuju pintu ke luar pondok.Sri hanya membuang nafas.Tak lama setelah itu, Aryo datang. Menyodorkan kemeja milik Harti."Mas rasa ini lebih sopan, Dek."Sri meraih kemeja itu, warna putihnya sudah agak menguning."Pakai ini ya, Dek. Mas tak mau tubuh menjadi santapan mata laki-laki di luar sana."Sri hanya merenggut. Kemeja itu bahkan sudah ketinggalan mode. Namun, dia tetap memakainya, tapi memasukkan kemeja Yayuk ke dalam tasnya lebih dulu.Yayuk mengerutkan kening melihat Sri yang penampilannya tidak seperti yang diharapkannya. Kemeja lusuh yang warna putihnya sudah menguning dan terlihat kebesaran di tubuh Sri. Sama sekali tidak menarik bahkan terkesan aneh.Yayuk mematikan motornya, kemudian berjalan mendekati Sri yang juga menuju ke arahnya. Sedangkan Sri tersenyum tak enak. Dia mengetahui pandangan Yayuk berupa pandangan protes."Mana baju yang aku pinjami kemaren?""Mas Aryo tak mengizinkan pakai baju itu, Yuk. Katanya terlalu ketat.""Lah ini? Bikin kamu kayak tukang sapu." Yayuk memegang kerah baju yang dipakai Sri sekilas.Sri menunduk memandang tubuhnya sendiri. Memang, baju itu kebesaran dan modelnya juga ketinggalan zaman. "Ini hari pertamamu, hari pertama akan memberi kesan pada semua orang yang berjumpa denganmu, kalau kamu memberi kesan buruk, orang akan menganggapmu begitu untuk seterusnya.""Terus bagaimana, Yuk?" Sri mulai bimbang."Ya terserah padamu! Kau mau memberi kesan seperti apa. Lagi pula, suam
"Baju siapa itu, Sri?" Aryo tak bisa menahan rasa ingin tahunya, saat ini istrinya tengah memakai baju yang tak pernah dilihat sebelumnya."Punya Yayuk." Sri menatap puas penampilannya, ke arah cermin yang sudah memudar yang terletak di kamar tidur mereka yang kecil."Baju itu kelihatan kekecilan.""Kata Yayuk inj lagi trend saat ini, Mas.""Mas nggak suka, Sri. Dan rambutmu, bisakah kau gerai saja? Mas merasa terganggu melihat lehermu akan menjadi santapan mata laki-laki lain."Sri menghela nafas, kemudian berbalik menatap suaminya."Mas, penampilan sangat menentukan kualitas diri, Yayuk sudah mengajariku banyak hal. Aku tak ingin terlihat jelek dan kuno, Mas."Aryo terdiam. Baru seminggu, istrinya itu sudah berubah. Entah kenapa, mulai merasa Sri yang ini bukan Sri yang biasanya."Dan Rokmu, apa tak bisa diganti dengan celana panjang?" Aryo merasa terganggu dengan rok ketat di atas lutut itu.Sri berbalik, dengan wajah lelah."Mas, Mas nggak ngerti bagaimana berkerja di perusahaan.
Aryo tak berhenti melihat ke ujung jalan, azan Maghrib sudah selesai lima belas menit yang lalu, namun Sri belum juga pulang. Aryo akhirnya memutuskan keluar dari pondok, menyusul istrinya sampai jalan besar, melewati pematang sawah yang diterangi oleh lampu pijar yang di gantung di atas tiang bambu untuk menerangi jalan.Tidak jauh, kira-kira seratus meter dia sudah sampai di jalan desa. Deru motor mengalihkan perhatian Aryo, tidak salah lagi, itu motor Yayuk dan dibelakang gadis itu adalah istrinya.Motor berhenti tepat di depan Aryo. Mata Aryo terlihat membelalak, rahangnya mengeras. "Makasih ya, Yuk. Aku cukup senang hari ini." Sri turun dari motor Yayuk, agak kewalahan membawa barang belanjaan di tangannya. Yayuk mengangguk, dan melirik Aryo sekilas."Mas?""Kenapa rambutmu, Dek?"Sri agak tergagap, dia meraba rambutnya. Memang, sepulang bekerja mereka singgah ke salon, Yayuk mengatakan kalau rambut Sri tak bermodel, jadi dia menyarankan Sri untuk memotongnya dan langsung di iya
Aryo menghisap rokoknya dalam. Sudah jam sebelas malam, berulang kali dia berusaha merebahkan dirinya di tempat tidur dan memejamkan matanya, namun tak bisa membuatnya tertidur. Ranjang tanpa Sri adalah hal yang begitu aneh. Akhirnya dia memutuskan untuk keluar pondok, menyalakan rokok. Matanya memandang langit malam yang ditaburi bintang, seakan mengejek dirinya yang tengah kesepian.Tentu Sri saat ini sedang bersenang-senang dengan rekan kerjanya. Bagiamana pun, Sri adalah wanita pada umumnya, yang suka pesta, pakaian bagus dan makanan enak. Beberapa hal yang belum pernah diberikan untuk istrinya itu.Sri dan dia bernasib sama. Sama-sama yatim piatu sejak kecil. Sama-sama miskin dan terbiasa akan kesusahan hidup. Dua hal itu yang membuat dia dan Sri terasa cocok. Namun, hati Aryo mulai meragu, seminggu ini istrinya itu banyak berubah. Sri mulai berdandan seperti orang kota, mulai berbicara ini itu yang berkaitan dengan perusahaan yang bahkan tak dimengerti oleh Aryo. Terkadang, Ary
Sri dan Yayuk sudah siap dengan tas mereka masing-masing. Hari ini hari Minggu, tentu saja mereka bisa menghabiskan waktu di rumah masing-masing. Sri tidak memiliki rencana apa-apa hari ini, yang dia butuhkan adalah tidur, mungkin karena tak terbiasa tidur dengan AC, dia merasa tubuhnya meriang.Sri baru saja menerima helm dari Yayuk, ketika mereka dikejutkan dengan suara klakson mobil di samping mereka."Mobil Pak Bos tuh!" Yayuk menunjuk dengan dagunya.Benar, Novan menurunkan kaca mobil, tersenyum hangat pada Sri."Ayo, Sri! Saya antar.""Eh?! Nggak usah, Pak. Saya sama Yayuk saja.""Pergi sana!" Yayuk malah mendorong bahu Sri, dan dapat hadiah pelototan."Kamu tak keberatan pulang sendiri kan, Yuk?" tanya Novan."Ya enggaklah Pak. Lagian saya ada keperluan juga ke rumah saudara. Duluan ya, Sri." Tanpa menunggu Sri, Yayuk sudah kabur duluan dengan motornya.Tinggal Sri yang kebingungan."Cepat masuk! Orang akan semakin curiga melihat kamu." Novan membantu membuka pintu, Sri bagaika
Sampai menjelang sore, Aryo dan Sri masih belum bertegur sapa, bahkan Aryo tak menyuruhnya membuat kopi seperti biasa. Memang, Sri belum sempat memasak hari ini, dia lebih banyak menghabiskan waktu di tempat tidur. Dia tak mencegah Aryo pergi ke pasar dengan motornya, membawa beberapa ikat sayur dan beberapa jenis lauk.Bahkan Aryo tak menunggu semua bahan mentah itu diolah oleh Sri, dia mengerjakan sendiri, membersihkan ikan dan memasaknya. Bahkan makan sendiri tanpa menunggu dihidangkan.Sri tau, Aryo tengah mengabaikannya. Suaminya itu, jika sudah marah akan mengunci mulutnya dan takkan menatapnya sama sekali. Sri pun sedang tidak mood untuk memberi penjelasan.Namun, sudah menunggu beberapa lama, Sri mulai jenuh diabaikan."Mas," Sri mendekati Aryo yang tengah melahap nasi di depannya. Dia tak menyahut, hanya memandang Sri sekilas, kemudian kembali dengan aktifitas makan siangnya walaupun ini sudah sore."Mas masih marah sama aku?""Kamu sudah dewasa, bisa menyimpulkan sendiri, ap
Sri hanya melongo menerima sebuah kotak yang tak tau apa isinya itu, Yayuk sengaja menghampirinya pas makan siang di kantin."Nih, ada titipan." Yayuk mencomot kentang goreng milik Sri. Kening Sri berkerut."Apa ini, Yuk?""Nggak tau, buka saja.""Siapa yang ngasih?""Pak Bos." Yayuk sedikit berbisik. "Aku mau ke meja yang di sana dulu ya," Yayuk bangkit. Sri mengangguk.Sejenak, Sri mengamati kotak yang dibungkus dengan kertas kado bewarna pink itu. Kemudian, dia membukanya hati-hati, mata Sri membola, sebuah Smartphone model terbaru. Mata Sri juga menangkap secarik kertas yang ditulis begitu rapi."Aku rasa, kamu butuh ponsel baru, karena ponsel lipatmu sepertinya sudah tak layak pakai. Tidak usah berterimakasih, karena aku hanya ingin kau mau ku antar pulang setelah bekerja. Novan."Sri buru-buru melipat kertas itu kembali, kemudian menyelipkan di dalam tas hitamnya. Tas itu juga diberikan Novan tiga hari yang lalu. Sri membuka segel kotak tersebut, kemudian tersenyum sumringah m
Sri baru sampai di pondok setelah azan Maghrib. Sudah tiga hari berturut-turut dia diantarkan oleh Novan setiap kali pulang bekerja. Sejauh ini, dalam pikiran Sri, Novan adalah laki-laki yang baik dan ramah. Dia tidak seperti orang kaya pada umumnya, Novan tidak sombong, dia tak membedakan status sosial karyawannya. Dan diakui oleh Sri, dia mulai merasa nyaman dan kagum akan kerendahan hati bosnya itu.Seperti biasa, dia mendapati Aryo yang duduk di kursi kayu setiap kali dia pulang. Aryo masih memakai sarung dan peci, serta Al-Qur'an di tangannya. Aryo terbiasa menunggu Azan isya dengan membaca Al-Qur'an. Begitu juga dengan Sri dulu, kebiasaan itu telah berlangsung sejak mereka menikah. Setelah mereka shalat berjamaah, mereka akan tadarus bersama.Akan tetapi semenjak bekerja, Sri tak sempat melakukan itu. Tenaganya terkuras bekerja di pabrik, setiap hari Sri harus menyelesaikan target pekerjaannya.akhir-akhir ini, setelah mandi dan makan malam masakan yang dimasak Aryo, dia biasany