Sri baru sampai di pondok setelah azan Maghrib. Sudah tiga hari berturut-turut dia diantarkan oleh Novan setiap kali pulang bekerja. Sejauh ini, dalam pikiran Sri, Novan adalah laki-laki yang baik dan ramah. Dia tidak seperti orang kaya pada umumnya, Novan tidak sombong, dia tak membedakan status sosial karyawannya. Dan diakui oleh Sri, dia mulai merasa nyaman dan kagum akan kerendahan hati bosnya itu.Seperti biasa, dia mendapati Aryo yang duduk di kursi kayu setiap kali dia pulang. Aryo masih memakai sarung dan peci, serta Al-Qur'an di tangannya. Aryo terbiasa menunggu Azan isya dengan membaca Al-Qur'an. Begitu juga dengan Sri dulu, kebiasaan itu telah berlangsung sejak mereka menikah. Setelah mereka shalat berjamaah, mereka akan tadarus bersama.Akan tetapi semenjak bekerja, Sri tak sempat melakukan itu. Tenaganya terkuras bekerja di pabrik, setiap hari Sri harus menyelesaikan target pekerjaannya.akhir-akhir ini, setelah mandi dan makan malam masakan yang dimasak Aryo, dia biasany
"Mau pesan apa?" tanya Novan sambil menyodorkan buku menu ke hadapan Sri. Wanita cantik itu tersenyum canggung, bahkan tak satu pun menu yang ada di buku itu yang dipahaminya. Isinya berbahasa Inggris semua."Saya sama kayak Pak Novan aja.""Oh, gitu ya? Oke." Novan mengamati menu itu satu persatu. Siang ini Novan sengaja mengajak Sri makan siang bersama, memang ini bukan pertama kalinya. Novan sekarang sedang gencar-gencarnya mendekati Sri. Sebuah kebahagiaan tersendiri baginya jika berdekatan dengan gadis lugu itu."Pak, sebenarnya saya merasa tak enak diajak makan siang dan diantar pulang. Orang-orang mulai heboh menggunjingkan saya. Dibilang saya wanita penggoda." Sri menyampaikan unek-unek dalam hatinya. Sebenarnya, dalam hatinya ada kenyamanan tersendiri setiap Novan memberi perhatian khusus padanya. "Santai saja, Sri. Tak semuanya harus dipikirin, orang akan berhenti ngomong kalau udah capek. Oh ya, boleh aku bertamu ke rumahmu, Sri. Ingin silaturrahmi dengan orangtuamu."Sri
Hujan turun makin deras, menyapa rumput yang tumbuh di sekitar pondok. Air yang mengalir di saluran irigasi bewarna kecoklatan dan keruh, bahkan melimpah masuk ke dalam sawah.Di dalam pondok, seorang wanita cantik jelita tengah memandang ujung jalan dengan gelisah, lampu lima Watt menerangi jalan setapak yang biasa mereka lalui setiap menuju jalan desa.Wanita itu adalah Sri, ketika dia pulang, dia mendapati pondok dalam keadaan gelap gulita, biasanya Aryo sudah duduk di kursi rotan sambil mengaji dan ditemani segelas kopi. Tapi, malam ini, suaminya itu tak ada di pondok."Kemana kamu, Mas?" Sri menggigit kukunya gelisah. Ini sudah jam delapan malam, bahkan suaminya itu tak pernah pulang ke pondok seterlambat ini.Seharusnya Sri membelikan suaminya itu handphone, sehingga dia tak perlu kebingungan.Benda pipih yang dinamakan ponsel pintar milik Sri bergetar. Novan, memanggilnya."Halo, Pak?""Hai, kok masih panggil "pak"?""Eh, iya. Mas." Sri tersenyum canggung."Udah di rumah kan? T
Matahari sudah merangkak naik. Cahayanya menyusup masuk ke jendela yang ditutup gorden tipis, jendela itu tepat berada di samping bangkar Aryo.Brenda muncul, dengan plastik berisi makanan di tangannya. Entah kenapa, wanita itu selalu membawa makanan setiap masuk ke ruang perawatan, padahal makanan yang dibeli semalam belum tersentuh. Bukannya tidak lapar, tapi melihat apa yang dibeli wanita itu, selera Aryo langsung surut. Pizza, mungkin enak bagi sebagian orang, tapi tidak baginya, lidahnya merasa asing saat pertama kali mencoba makanan itu beberapa tahun lalu. Tak hanya merasa asing, parahnya dia merasa perutnya bergejolak saat sebuah cairan dari makanan itu meleleh dalam mulutnya.Mungkin benar, lidah orang kaya berbeda dengan lidah orang miskin sepertinya, jika ditawarkan makan pizza atau makan singkong rebus, dia memilih makan singkong rebus. "Makanan semalam sudah dingin." Tanpa banyak kata, Brenda memasukkan makanan itu ke dalam tong sampah, Aryo hanya tak habis pikir, begit
Pagi menjelang siang, Aryo tak mempedulikan kakinya yang masih terasa nyeri karena bekas jahitan luka robek itu. Harapannya, agar dia cepat sampai ke pondok dan bertemu dengan Sri, dia akan meminta maaf karena tak pulang semalaman, pasti istrinya itu khawatir dengan keadaannya. Dia tau betul, betapa penakutnya Sri tinggal sendiri di pondok pada malam hari.Bahkan sesekali, telapak kakinya terpeleset ke dalam sawah, mengotori celana jins baru yang dibelikan oleh Brenda. Tapi, Aryo sama sekali tak peduli.Tak lama kemudian, Aryo sampai di pondok. Dahinya berkerut, ini hari Minggu, kenapa tak ada tanda-tanda Sri ada di rumah, pondok terkunci rapat dan lampu lima Watt masih menyala di halaman kecil mereka.Aryo tak bisa menyembunyikan wajah muram dan kecewanya. Dia berharap, bisa bertemu dengan Sri, bertanya secara langsung pada wanita itu, dan berharap dia salah lihat kemaren sore. Dia berharap, Sri memberi penjelasan dan pernikahan mereka baik-baik saja.Dengan lunglai, Aryo berjalan ke
"Apa kau tega meninggalkanku, Sri?" Laki-laki muda berbaju lusuh itu tak mampu menahan air matanya."Mas, Maaf!" jawab wanita cantik itu menunduk, air mata terus saja meleleh di pipinya."Pergilah!" Laki-laki itu membalikkan tubuhnya. Sri, bukan lagi wanita lugu yang dikenalnya. Wanita itu bersimpuh, memeluk kaki suaminya sambil terisak."Aku yang salah, aku yang salah, Mas.""Pergilah! mungkin laki-laki kaya itu yang akan membuatmu bahagia."Mimpi itu, ternyata terjadi di dunia nyata. Mungkin ini firasat baginya, bahwa istrinya itu telah berselingkuh.Aryo merasakan bagaimana rasa sakit yang menikam jantungnya, tak ada darah, tak ada benda tajam menghujamnya, namun Aryo merasa kesulitan bernafas karena dadanya yang terasa sesak menahan marah dan kesedihan."Kapan?" Aryo mendesis. Sri memucat, dia menyadari kemana mata Aryo memandang saat ini. Buru-buru Sri menutupnya kembali dengan rambutnya."Aku nggak ngerti pertanyaan, Mas?""Katakan padaku apakah bosmu pelakunya, kapan? Sudah sam
Pulang ke pondok, tak lagi memberi kebahagiaan pada Aryo. Baginya Sri bukan lagi istri yang dipujanya dulu. Dia begitu jijik membayangkan apa yang menjadi miliknya sudah dinikmati oleh laki-laki lain. Dia tak habis pikir sejauh itu istrinya tersesat."Mas," Sri menghidangkan makan malam untuknya. Hal yang beberapa bulan ini tak pernah dilakukannya lagi. Aryo mengambil nasi dan lauk seadanya, sepertinya Sri sengaja memasak malam ini. Bagi Aryo perubahan ini sudah terlambat."Mas masih marah sama aku?" Aryo menatap Sri sekilas, mata sembabnya tak menggugah Aryo sama sekali. Bayangan akan istrinya bercumbu dengan laki-laki lain membuatnya semakin membenci Sri."Sekarang mas yang bertanya padamu, jika mas yang melakukan apa yang kau lakukan, apa kau marah?"Wajah Sri menegang. Tentu saja dia marah, bahkan dia jengkel jika ada wanita lain yang mumuji kegantengan suaminya."Jadi jangan tanya apakah mas marah atau tidak. Kau tau jawabannya." Aryo mengakhiri makan malamnya. Mencuci tangannya
Mereka makan dalam diam, hanya suara jangkrik dan katak sawah yang terdengar.Sri mencuri pandangan pada Aryo. Sejak pertengkaran mereka dua hari yang lalu, Aryo memperlihatkan sikap yang sama."Hmmm, Mas," tegur Sri. Aryo hanya membalas dengan tatapan sekilas."Bagaimana pekerjaan, Mas?" "Aku belum mulai bekerja. Besok aku akan pergi pelatihan. Selama satu bulan."Sri berhenti mengunyah nasi dalam mulutnya, lalu buru-buru menelannya dengan air."Maksud mas, sebulan itu mas takkan pulang?" "Ya, begitulah!""Kenapa mas tak minta pendapatku dulu? Aku tak mungkin tinggal sendiri di pondok kecil ini." Suara Sri terdengar kalut."Kenapa mas harus minta pendapatmu? Apa kau pernah minta pendapat mas saat pergi ke sana ke mari dan akhirnya menyeleweng.""Mas, aku berusaha untuk berubah, aku berusaha untuk memperbaiki pernikakan kita. Aku mohon, beri aku kesempatan sehingga aku bisa membuktikan bahwa aku takkan mengulangi lagi kesalahanku.""Sri, semua tak lagi sama. Mas mencintaimu Sri, tap