Share

BAB 2. Kau Kembali pada-Nya

Aku bernapas lega setelah tahu apa yang terjadi. Ibu pun juga sudah sedikit tenang. Tadi pagi tiba-tiba saja penyakit bapak kambuh. Hari ini orang yang kusayang harus di rawat inap lagi, dokter tidak ingin mengambil risiko jika kondisi bapak drop kembali. Maka dari itu dokter menyarankan untuk rawat inap.

“Bu, biar Risa saja yang menjaga Bapak. Ibu istirahat saja di rumah,” ucapku lembut. Aku tidak tega melihat keadaan ibu. Sejak pagi ibu sudah menemani bapak di rumah sakit.

“Tidak Risa, Ibu mau di sini saja,” jawab Ibu dengan mata yang masih sembab.

“Ya sudah, Ibu di sini. Risa kembali ke rumah dulu ambil beberapa pakaian Ibu,” pamitku sebelum keluar dari ruang inap bapak.

“Iya, hati-hati di jalan Risa.”

“Baik Bu, kalau terjadi sesuatu cepat hubungi Risa Bu, Risa pamit.”

Sebelum pulang ke rumah, aku menyempatkan ke ATM untuk mengambil beberapa uang. Setelah itu langsung pulang mengendarai motor.

Perjalanan pulang begitu lama, sore ini jalanan cukup macet membuatku sedikit tidak suka. Aku baru sampai di rumah pukul 16.45, sekitar 1 jam di perjalanan. Padahal jika jalanan lengang, hanya butuh 30 menit untuk sampai ke rumah.

Saat sudah memasukkan motor ke halaman rumah, aku melihat beberapa ibu-ibu yang masih berkumpul di samping rumah. Mereka selalu melakukan itu setiap sore. Entah apa enaknya berkumpul seperti itu. Tiba-tiba saja salah satu tetangga berbicara padaku.

“Ris, mana laki-laki yang suka mengantarmu itu? Kok naik motor sendiri? Dilabrak ya sama istrinya?”

“Makanya jangan keganjenan, lebih baik pikirkan bagaimana mencari uang untuk bapakmu,” celetuk ibu-ibu yang lain.

“Jangan gitu jeng, itu kan kerjaan dia juga. Menggoda laki-laki biar bisa diporoti uangnya,”

“Hahahaha.... Iya benar....” Mereka tertawa puas melihat keadaanku. 

“Maaf  Bu, apa kalian sudah memasak untuk suami? Kalau tidak, nanti suami kalian bakal diambil pelakor,” jawbku dengan nada mengejek.

Tanpa menunggu ibu-ibu tersebut mengamuk. aku masuk ke rumah dan segera menutup pintu. Malas mendengarkan ocehan tetangga yang tukang gibah. Bukannya tidak bisa melawan, hanya saja sekarang aku tidak ingin mencari masalah dengan mereka. Sebenarnya bisa saja melawan mereka jika aku mau. Namun, kurasa percuma karena besok mereka akan menggunjingku lagi.

Semua ini berawal ketika seorang laki-laki datang mengantarku pulang dari tempat kerja. Padahal laki-laki yang mengantarku beberapa bulan itu hanya membantu saja. Namun, ibu-ibu di samping rumah selalu berpikir jika aku seorang penggoda. Ditambah lagi suaminya yang sering menyapaku.

Beberapa bulan yang lalu aku memang sedikit dekat dengan Ian, suami Dilla. Namun, kedekatan itu hanya semata-mata karena membantu menjaga bapak. Penyakit bapak kambuh lagi, hingga harus menjalani rawat jalan selama beberapa bulan sebelum harus dirawat inap.

Jadi, aku selalu meminta tolong pada Ian. Hanya Ian yang dapat membantu saat itu.  Jika meminta tolong pada tetangga, aku yakin tidak akan ada yang mau menolong keluarga kami.

Sampai pernah suatu hari, Ian bertengkar dengan istrinya di rumahku. Semua orang datang untuk mencari tahu termasuk para tetangga. Dia merasa diriku akan merebut Ian, hingga aku di sebut pelakor olehnya. Padahal kebenarannya, Ian hanya menolongku. Sejak saat itulah aku sering digunjingkan.

Karena hal itu juga sampai sekarang, aku dan Dilla tidak seperti dulu lagi. Meskipun, waktu itu aku dan Ian berusaha menjelaskan, tetap saja Dilla membenci diriku.

Saat memikirkan masa lalu, aku terkesiap ketika mendengar suara dering telepon. ‘Ian,’ nama yang tertera dilayar.

“Halo Pak,” jawabku.

“Iya sudah membaik Pak.”

“tidak perlu repot-repot Pak dan terima kasih Pak,” jawabku lagi sebelum telepon dimatikan oleh Ian.

Selesai berbicara dengan Ian, aku segera mengambil barang-barang yang diperlukan. Beberapa potong pakaian ibu serta diriku masuk dalam tas yang tak terlalu besar.

Satu jam berlalu, aku sudah siap dengan pakaian yang bersih dan rapi. Tak lupa memoles sedikit make up di wajah agar terlihat segar sebelum kembali ke rumah sakit.

Kali ini aku sedikit merasa tenang, pasalnya di sepanjang jalan kompleks rumah sekarang sudah tidak ada tetangga yang berkumpul. Sepertinya mereka sedang sibuk dengan kegiatan di dapur masing-masing.

Kulajukan motor ke jalan besar dengan tas berada di depan. Matahari sudah mulai menyembunyikan dirinya ketika aku memasuki jalan besar. Kali ini jalanan cukup lenggang, jadi bisa cepat sampai di rumah sakit.

Diperjalanan aku teringat akan ibu. Beliau pasti belum makan. Aku mencari dan berhenti di depan warung makan. Dua porsi nasi goreng menjadi pilihanku. Tak butuh waktu lama, nasi goreng tersebut jadi.

Selesai membayar, aku kembali memacu motor menuju rumah sakit. Hari sudah malam saat aku sampai.

Para perawat di bagian rawat inap tersenyum padaku saat berpapasan. Hampir semua perawat di sini mengenalku. Alasannya, tentu karena Bapak sudah menjadi langganan keluar masuk. Selain itu, aku juga seorang yang gampang untuk akrab dengan orang lain.

Namun senyumanku pudar ketika melihat Ibu menangis tersedu-sedu di luar kamar bapak. Satu hal yang aku pikirkan sekarang. Dengan perasaan campur aduk, aku berlari ke arah ibu.

“Ibu, kenapa menangis?” tanyaku sambil memeluknya.

“Bapak Ris..., Bapak...,” ucap Ibu sambil menangis.

“Bapak kenapa Bu? Bapak baik-baik saja kan?” tanyaku masih tidak mengerti maksud dari ibu.

“Bapak sudah pergi, Nak,” jawab Ibu sambil terus menangis.

“Enggak Bu, Bapak enggak kenapa-kenapa, Risa yakin,” jawabku berusaha berpikir positif.

Berat rasanya kakiku melangkah. Tiba-tiba saja pikiran negatif muncul. Aku tak mampu menahan air mata yang keluar begitu saja.

Di dalam sana terbaring sosok yang sudah menjadi panutanku. Sosok yang selalu menemaniku ketika sedih. Sosok yang selalu mengerti akan diriku.

Tanpa pikir panjang lagi, aku berlari masuk ke dalam ruangan. Bersamaan dengan penutup wajah yang hampir ditutup oleh perawat.

“Bapak bangun,” ucapku terisak tak bisa menahan air mata.

“Maaf Bu, kami sudah mengusahakan yang terbaik buat Bapak. Tuhan berkehendak lain.” Kata-kata yang terdengar di telinga Risa.

“Bapak!” teriak Risa, “Jangan pergi, nanti siapa yang akan membangunkan Risa setiap minggu pagi,” lanjutku sambil terus terisak.

Tubuh kaku dan dingin semakin kurasakan ketika bersentuhan dengan mayat bapak. Aku tak menyerah, kugoyang-goyangkan tubuhnya berharap akan ada keajaiban. Walaupun aku tahu itu tidak mungkin terjadi.

“Nak, relakan Bapak.” Ibu datang memelukku

“Tidak Bu, Bapak hanya tidur. Dia pasti akan bangun Bu,” jawabku masih terisak.

“Risa, dengarkan Ibu. Bapak sudah tenang di sana. Jangan biarkan Bapak sedih melihat kamu seperti ini!” nasihat ibu sambil mengeratkan pelukannya.

“Tapi Bu....” Kata-kataku terputus begitu saja. Rasanya lidahnya kaku untuk mengeluarkan kata-kata.

“Sudah, bukan cuma kamu yang kehilangan, tapi Ibu juga kehilangan Bapak, nak.”

Para perawat mendorong brankar yang ditempati bapak. Melihat brankar itu menghilang dari hadapanku, membuatku lemas seketika.

Tiba-tiba saja mataku berkunang-kunang. Teriakan Ibu tak kuhiraukan lagi. Semuanya menjadi gelap gulita dan aku tidak ingat apa-apa lagi setelahnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status