Share

BAB 5. Kebersamaan

“Aduh Ris, aku enggak mau lagi deh berurusan sama pak Dayat, dia nyeremin,” tukas Nina.

“Makanya jangan ajak aku bicara tadi,” jawabku lagi.

“Huh, ini semua kan gara-gara wanita tua tadi. Coba saja dia bisa sedikit sabar, pasti enggak bakal begini,” omel Nina.

“Jangan keras-keras, nanti ibu-ibu itu dengar,” jawabku sedikit menyikut Nina.

“Biarin. Lagian juga pak Dayat, marah-marah gak jelas gitu. Nyesal aku jadi penggemarnya,” celetuk Nina lagi. Terlihat kesal dengan Dayat.

“Dia marah karena kita memang salah Nin,” Jelasku.

“Iya sih, tapi kan jangan mengancam pakai dipecat segala Ris. Aku sama Udin mau makan apa kalau di pecat,” ucap Nina dramatisir.

“Makan pakai batu,” jawabku cuek.

“Sialan, tegakah seorang Risa melihat sahabatnya makan batu?” tanya Nina dengan nada baca puisi.

“Sudah deh, kita lanjut kerja. Nanti pak Dayat datang lagi. Bisa-bisa kita berdua diusir dari toko,” ungkapku kesal melihat Neni seperti itu.

Nina memukul keningnya pelan dan berkata, “Lupa aku Ris. Kamu jangan ajak aku bicara dulu.”

Aku menggelengkan kepala melihat tingkah Nina. Nina adalah salah satu teman dekat yang bisa membuat diriku tersenyum hari ini.

Aku pun mulai menata belanjaan pelanggan. Mengambil dan meletakkan bar Code  di mesin bar Code scanner. Lalu memasukkannya ke dalam plastik.

Aku sudah terbiasa dengan pekerjaan ini, jadi tak butuh waktu lama satu pelanggan sudah selesai kulayani. Di akhir aku selalu mengucapkan kata ‘Terima kasih sudah berbelanja di toko kami’.

Waktu terus berjalan hingga tak terasa kami sudah bekerja selama 8 jam lamanya. Nina menepuk punggung belakangku agar segera ke ruang ganti.

“Ayo Ris, biar bisa bantu yang lain,” ajak Nina setelah selesai berganti pakaian.

Saat kami selesai berganti pakaian, ternyata beberapa karyawan sudah sibuk menyiapkan peralatan untuk makan malam. Beberapa orang membawa kotak berisi minuman.

“Ris sini,” teriak Nina yang entah kapan sudah berada di depan sana.

Di sana sudah siap tersaji makanan dan minuman. Aku pikir, bos Ian memesan makanan cepat saji melalui go food.

“Terima kasih semuanya, sudah mau meluangkan waktunya malam ini. Acara ini saya buat untuk perayaan minggu ini penjualan toko ini meningkat.”

Samar terdengar suara bos Ian membuka acara. Semua orang bertepuk tangan dan mengucapkan kata selamat termaasuk diriku.

“Dan satu hal lagi, acara ini dibuat untuk kembalinya bekerja Risa,” ucap Ian menatapku. “Risa, kamu tidak perlu sedih lagi. Di sini kami semua sudah menganggap kamu keluarga. Jadi jika perlu bantuan bilang saja sama kami,” tambah Ian.

Aku merasa terharu, tak terasa setetes air mata keluar. Kuucapkan banyak terima kasih pada mereka semua.

“Terima kasih bos Ian, terima kasih semua,” ungkapku pada semuanya di sana.

“Oke, sekarang waktunya kita makan. Silahkan makan sepuasnya,” teriak Ian pada karyawannya.

Semua orang yang menunggu momen ini pun langsung berjalan ke arah meja. Menu malam ini serba bakaran, seperti ikan bakar, ayam bakar, udang bakar, sosis bakar dan lain-lain.

Aku mengambil beberapa sosis dan udang bakar. Tak lupa juga mengambil minuman untukku dan Nina.

“Enak ya Ris, kalau tiap minggu diadain acara begini,” kata Nina setelah aku duduk dan memberikan minuman miliknya.

“Itu sih mau nya kamu,” cibir Asep salah satu karyawan toko.

“Kan lumayan, makan gratis,” jawab Nina sewot.

“Iya, nanti bos Ian jadi bangkrut gara-gara kamu makannya banyak,” celetukku membuat semua yang mendengar tertawa.

Kulihat sekilas wajah Nina yang cemberut ditertawakan, lalu dengan cuek melahap makananku. Setelah sekitar dua jam, acara pun selesai. Setelah membereskan sisa acara, Risa dan Nina pun bergegas keluar untuk pulang. Aku dan beberapa karyawan lainnya membersihkan sisa-sisa makanan tadi. Selesai itu, kami pun keluar toko bersama-sama.

“Ris aku duluan ya, sudah dijemput Udin,” pamit Nina sambil berlari ke arah Udin yang sudah menunggu di depan toko.

“Ris, ikut kami saja pulang. Kan searah,” tawar Ian padaku.

Aku menatap Dilla yang setia berada di samping Ian. Dilla sepertinya tidak senang dengan tawaran suaminya.

“Dilla, enggak apa-apa kan Risa kita antar pulang?” tanya Ian pada istrinya.

“Tidak usah Bos, nanti Dilla kecapean dan kurang istirahat,” jawabku tersenyum.

“Tapi...,” ucap Ian terputus saat Dayat datang menghampiri mereka bertiga.

“saya pulang sama Dayat saja Bos. Kata pak Dayat, tadi mau antar saya kan?” tanyaku sambil memainkan matanya.

Bersyukur Dayat mengerti dengan maksudku.

“Kalau begitu bos saya permisi dulu.” Aku langsung menarik tangan Dayat kearah mobil.

Di dalam mobil aku bernapas lega sudah terlepas dari mereka berdua. Tatapan Dilla begitu menggangguku.  Seolah-olah aku ini adalah wanita terjahat. Maka dari itu, saat melihat Dayat,  sebuah ide terlintas begitu saja.

“Pak, nanti turunkan saja saya di dekat halte bus,” ucapku tanpa menatap Dayat.

“Saya antar sampai rumah kamu Ris, tidak baik perempuan sendirian malam-malam.”

“Terima kasih Pak.”

“Dayat, jika diluar panggil saja namaku.”

“Terima kasih Dayat,” ulangku lagi.

“Tidak usah sungkan padaku, Ris.” Senyum Dayat membuatku sedikit terhibur. Senyumnya indah, apalagi saat lesung pipit itu terlihat.

Aku menatap keluar jendela. Gelapnya malam membuat suasana menjadi sunyi. Ditambah lagi jalanan yang mulai agak lenggang. Setetes demi setetes air mulai membasahi jalanan yang kami lewati.

“Ris, mau mampir sebentar belikan ibumu makanan?” tanya Dayat.

“Tidak usah Yat, tadi aku sudah membungkus sedikit makanan untuk Ibu,” jawabku sambil memperlihatkan bungkusan di tangannya.

Dayat mengangguk dan kembali melihat jalanan. Dayat memacu mobil di tengah gerimis malam itu. Sesampai di depan rumah, aku bergegas keluar dari mobil.

“Yat, mau mampir?” tawarku.

“Boleh?” tanya Dayat balik.

“Boleh, ayo mampir biaraku buatkan minuman sekalian,” ajakku mempersilahkan dia masuk.

Pintu mobil pun terbuka dan tertutup lagi. Itu artinya Dayat turun dan berjalan mengikutiku. “Ayo silahkan duduk Yat, aku ke dalam dulu.”

Setelah berpamitan, aku bergegas masuk ke kamar untuk mengganti pakaian. Tak lama keluar menuju dapur dan membuatkan minuman untuk Dayat.  Tampak Dayat sedang duduk dan memainkan telepon genggamnya diruang tamu.

“Di minum Yat, jangan diliat doang, enggak di kasih sianida kok,” candaku memulai pembicaraan.

Dayat terkekeh dan meminum minuman tersebut.

“Bisa saja kamu Ris. Kopi buatanmu enak juga,” puji Dayat membuatku tersenyum.

“Itu sudah pasti,” jawabku penuh percaya diri.

Aku dan Dayat terkekeh bersama. Wajahnya terlihat manis. Jika aku dipertemukan lebih dulu dengannya, mungkin aku akan jatuh cinta padanya.

“Ibu ke mana Ris, tidak ada di rumah?”

“Oh iya, mungkin ada di kamar. Sebentar aku panggilkan,” ungkapku lalu berlalu menuju kamar ibu.

Tok.... Tok.... Tok.... aku mengetuk pintu kamar yang tertutup.

“Bu....,” panggilku

“Bu, Ibu, ada Dayat Bu,” panggilku lagi.

Namun, ibu tidak menjawab panggilanku. Apa ibu sudah tidur? Dengan rasa penasaran dan khawatir, aku langsung membuka pintu kamar.

“Ibuuuu!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status