Share

BAB 4. Dia tak Dapat Kuraih

Aku menarik napas lalu mengembuskannya perlahan sebelum memasuki toko swalayan. Hari ini adalah hari di mana aku kembali bekerja setelah mengambil cuti beberapa hari. Tiga hari cukup bagi diriku untuk menenangkan diri.

“Semangat Ris, kamu pasti bisa!” ujarku memberi semangat pada diri sendiri.

Dengan semangat kulangkahkan kaki memasuki toko swalayan. Senyumku pun terbit ketika melihat karyawan lain menyapa.

“Pagi Nin,” sapaku dengan senyuman hangat.

“Pagi Ris,” balas Nina tak kalah lembut.

Seperti biasa aku dan Nina berjalan bersama menuju ruang ganti. Kami pun mulai berganti pakaian sambil mengobrol ringan.

“Ris, apa kamu tidak ingin istirahat saja di rumah beberapa hari lagi?” tanya Nina sedikit khawatir saat melihatku tiba-tiba terdiam.

Risa tersenyum pada Nina dan berkata, “Enggak Nin, kalau aku libur terus nanti enggak dapat gaji. Memangnya kamu mau kasih setengah gajimu untukku?” tanyaku sedikit bercanda dengan Nina.

“Idih, gaji segitu aja aku kurang, mau kasih ke kamu, ogah?” jawab Nina.

“Hahahaha, bercanda Nin,” balasku sambil terkekeh melihat wajah konyolnya.

“Tapi Ris....” ucapan Nina terpotong.

“Aku baik-baik saja sekarang. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku.” Senyum tulus pun kuberikan.

“Itulah sahabat Ris dan kamu harus kuat,” jawab Nina ikut tersenyum.

“Pasti,” jawabku mantap memberikan dua jempol.

“Yaelah pada ngerumpi, kalian ditungguin tuh. Sudah mau buka toko.” Salah satu karyawan memanggil mereka berdua.

“Isssh.... Ganggu,” cetus Nina dengan wajah jengkel.

Aku menyenggol tangan Nina untuk diam. Setelah itu langsung menarik Nina agar segera keluar menuju tempat berkumpul.

Sudah kebiasaan di toko ini 10 menit sebelum buka, semua karyawan akan dikumpulkan. Kami semua akan di beri semangat dan berdoa agar selalu lancar dalam bekerja. Terkadang juga bos Ian akan memberikan kejutan yang membuat siapa saja senang.

Seperti saat ini setelah semuanya berkumpul, bos Ian memberi pengumuman akan mengadakan makan malam bersama di toko. Sehingga toko akan tutup lebih awal dari biasanya.

Semua karyawan bersorak senang, tidak terkecuali denganku. Sungguh beruntung diriku bisa bekerja di toko ini. Selain mendapat teman yang baik dan peduli, aku juga mempunyai bos yang bisa diandalkan.

Ian Fauzan, itulah namanya. Hidungnya mancung dengan kulit yang putih dan berperawakan tinggi. Semua karyawan termasuk diriku senang memanggilnya bos Ian.

“Oke, kalau begitu selamat bekerja semua.” Suara bos Ian terdengar di ruangan itu.

Semua karyawan bergegas mengambil tempat masing-masing kecuali diriku.

Aku memandang sambil tersenyum pada bos Ian. Namun, senyumanku itu luntur, ketika Dilla datang dan menatap remeh kearahku. 

“Selamat datang kembali Ris dan semangat bekerjanya,” ucap Ian.

“Terima kasih bos Ian,” jawab Risa, “Kalau begitu saya permisi bos Ian,” tambah Risa.

Mendapat anggukan kepala, aku segera menuju tempat kasir. Sesampai di meja dekat komputer kasir, aku masih menyempatkan diri untuk melihat bos Ian dan Dilla naik ke ruangan mereka. 

Dilla diperlakukan begitu baik oleh Ian. Apalagi sekarang sahabatku itu sedang hamil besar. Ian seperti memanjakan Dilla dan selalu berada di sisinya. Seandainya saja aku berada di posisi Dilla, pasti hidup menjadi lebih bahagia.

Aku menggelengkan kepala untuk menghilangkan pikiran jelek itu. diriku tidak ingin benar-benar dianggap seperti pelakor dalam rumah tangga mereka berdua.

“Eh Nin, kamu mengagetkanku,” teriakku ketika Nina dengan santainya memukul pundakku.

“Makanya jangan melamun, lihat tuh antrean panjang,” tunjuk Nina ke depan kasir.

“Eh iya. Kok bisa?” tanyaku polos.

Dahiku pun menjadi sasaran tangan Nina. Mungkin dia gemas mendengar pertanyaan polosku tadi.

“Aduh! Nin sakit tahu,” sungutku kesal.

“Banyak alasan, ayo cepat nanti di marah sama pak Dayat,” suruh Nina.

“Maaf ya Mbak agak lama.” Aku sedikit menundukkan kepala pada mbak-mbak yang menunggu di depan dengan wajah yang terlihat sedikit marah.

Di toko ini ada 4 meja kasir, 2 untuk grosir dan 2 untuk belanja biasa. Aku dan Nina mendapat tempat meja untuk belanja grosir.

Memang setiap hari toko ini penuh dengan pelanggan. Harga yang relatif murah menyebabkan banyak orang yang membeli ke toko Ian. Bahkan terkadang dalam satu hari ada puluhan orang yang datang untuk belanja grosir.

“Ris,” panggil Nina.

“Ya, ada apa?” tanyaku menatap Nina.

“Menurutmu bagaimana pak Dayat?”

“Apanya?”

“Isss... Pak Dayat bagaimana? Tampan kan? Baik loh. Kamu enggak mau dekati dia?” tanya Nina sedikit berbisik.

“Kalau kamu mau ambil aja Nin,” jawabku cuek melanjutkan pekerjaan.

“Yaelah Udin mau di kemanain, yang ada nanti aku digorok sama dia,” cetus Nina.

“Idih, ngeri juga ya lakimu,” kekeh Risa.

“Mbak, bisa tidak kalau kerja jangan sambil ngobrol. Saya ada urusan lain ini,” cela salah satu pelanggan.

“Maaf Mbak,” jawabku tidak enak hati.

“Sudahlah, saya tidak jadi beli. Toko sebesar ini masa punya karyawan seperti kalian,” sarkas pelanggan tersebut.

Aku dan Nina hanya terdiam hingga beberapa saat kemudian Dayat datang menghampiri kami.

“Maaf Bu, ada apa ya?” tanya Dayat memandang Ibu itu dan diriku bergantian.

“Bapak siapa?” tanya pelanggan.

“Saya kepala bagian toko ini Bu,” papar Dayat.

“Kalau begitu, tolong di ajari yang benar dua karyawan bapak ini. Mereka ngobrol sendiri padahal di depan banyak yang antre.”

Dayat menatap sekilas kearah kami berdua. Lalu menatap kembali ke arah Ibu itu dan berkata, “Baik Bu, kalau begitu silahkan ke kasir sebelah.”

Ibu itu pun mengikuti instruksi Dayat.

“Kalian berdua, ikut ke ruangan saya sebentar,” perintah Dayat.

Kami mengikuti Dayat dari belakang dengan langkah lemah. Pikiran tentang pemecatan pun langsung hadir. Dalam hati. aku berharap dia tidak akan memecatku karena kesalahan yang kubuat pertama kali.

Aku menyenggol Nina untuk masuk duluan ke ruangan. Saat itu juga Dayat berbalik menatap kami dengan raut wajah yang sulit ditebak.

“Apa kalian berdua hanya berdiri di situ?” seru Dayat.

“Ti__ Tidak Pak,” jawabku gugup.

Dayat membuka pintu dan segera masuk. Kami pun mengikuti di belakang. Aku menunduk ketika tahu di ruangan itu ada Ian dan juga Dilla.

“Ada apa Yat, kenapa kamu membawa mereka berdua?” tanya Ian menatap kami berdua bingung.

“Mereka membuat keributan di bawah,” jawab Dayat.

Ian menatap kami meminta penjelasan. Namun, yang kami lakukan hanya diam tanpa bergerak.

“Apa maksudnya? Keributan apa?”

Dayat mengembuskan napas kasar. “Mereka ngobrol saat banyak pengunjung yang mau membayar. Sampai salah satu pelanggan menegur mereka berdua,” jelas Dayat.

“Makanya kalau mau ngobrol enggak usah kerja di sini,” timpal Dilla tiba-tiba.

“Dilla, jangan bicara seperti itu. Ingat kamu sedang mengandung sayang,” ucap Ian lembut pada istrinya.

Aku yang mendengar kata-kata seperti itu, hanya berdoa. Berharap bisa mendapatkan jodoh seperti Ian kelak. Pria yang selalu memperhatikan istrinya.

Di setiap doa selalu ada satu nama yang Risa selipkan. Entah sampai kapan dia harus menunggunya. Menunggu sesuatu yang tak mungkin dia dapat. Pria itu sudah terlalu jauh darinya, hingga tak mungkin untuk Risa gapai kembali.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status