Share

BAB 3. Teringat Kembali

Sebuah batu nisan baru saja di pasang di tempat pemakaman umum. Wangi bunga khas kuburan menyeruak tersebar di pusaranya. Para pelayat satu persatu meninggalkan pemakaman tersebut. Hanya ada tiga orang yang masih setia menemani di samping kuburan. Aku, ibu dan Dayat.

Dengan pakaian dan kacamata yang serba hitam, aku menatap lama kuburan bapak. Sesekali tanganku mengusap air mata yang jatuh di pipiku. Meskipun sudah memakai kacamata, tetapa saja orang lain akua tahu jika aku sedang menangis.

Aku rasa wajar saja seperti ini, menangisi kepergian seseorang. Apalagi jika orang itu begitu berarti. Semua orang juga akan sepertiku, jika orang yang di sayang pergi meninggalkan mereka untuk selamanya.

Apalagi aku belum sempat memberikan dan membahagiakan bapak. Bahkan belum sempat mewujudkan impian bapak melihat anaknya menikah.

“Nak, ayo kita pulang,” ajak ibu padaku.

“Risa masih mau di sini Bu,” jawab Risa.

“Sa, sebaiknya kita pulang saja, sudah mau hujan. Lagi pula kasihan ibu kamu pulang sendirian,” jawab pria yang sedari tadi menemaniku.

Pandanganku pun beralih kearah langit. Benar saja di sana sudah ada awan hitam yang menyelimuti. Awan tersebut seperti mengerti tentang kesedihanku sekarang.

Aku menghela napas pelan dan mengusap batu nisan bapak yang terakhir kali hari ini. Mengikuti usulan pria itu dan ibu untuk segera pulang. Kasihan ibu jika berjalan sendirian ke rumah.

“Ayo Bu, kita pulang,” ajakku menggenggam tangan ibu yang sudah terlihat keriput.

Akhirnya kami pergi meninggalkan pemakaman umum itu. Selangkah demi selangkah meninggalkan kenangan indah bersama bapak. Tak terasa air mata kembali mengalir ketika langkahku semakin menjauhi pemakaman.

“Nak, sabar. Ini sudah menjadi takdir.” Suara ibu yang lembut terdengar menjadi penguat diriku.

“Iya, Bu. Risa berusaha tegar dengan cobaan ini,” jawabku membalas senyuman wanita yang sudah menjagaku selama ini.

Mobil yang ku tumpangi bersama ibu pun kembali menuju rumah.Tidak banyak orang yang masih ada di rumah. Sebagian besar dari mereka sudah pulang setelah mengantar jenazah bapak tadi. Hanya ada tersisa  teman-teman kerjaku yang masih setia membantu membereskan bekas acara.

“Bu, maaf saya tidak bisa mengantar Bapak ke tempat peristirahatan yang terakhir,” kata Ian membantu ibu duduk di sofa.

Aku berdiri tak jauh dari mereka duduk dan tak berani mendekati Ian dan Dilla. Ketakutanku pun ada alasannya. Aku tidak ingin Dilla merasa cemburu kembali padaku.

Tatapanku pun langsung tertuju pada Dilla dengan perut besarnya di samping Ian. Matanya terlihat sembab, aku yakin tadi Dilla menangis. Wajar Dilla juga merasakan kehilangan atas kepergian bapak, karena semenjak remaja, Dilla sudah dekat dengan bapak dan ibu. Bahkan kedua orang tuaku sudah menganggap dia sebagai anaknya begitu pun sebaliknya.

Aku tersenyum saat Dilla melihat kearahku. Namun, bukannya mendapatkan senyum, Dilla malah dengan cepat membalikkan tatapannya kearah lain. Perasaan kecewa sedikit muncul ketika dia melakukan itu padaku. Padahal dulu kami begitu dekat. Jika salah satu merasa sedih, maka satu diantara nya akan memberikan semangat dan tersenyum.

Kini semua itu hanya tinggal kenangan. Cukup aku saja yang mengingat kenangan tersebut. Biarlah Dilla menjauhi, yang penting sekarang dia sudah bahagia.

“Bu, semua, saya pamit mau ke kamar dulu,” pamitku sambil berdiri.

Seakan mengerti situasi yang kuhadapi sekarang, ibu mengangguk. Sepertinya dia tahu jika aku membutuhkan waktu sendiri.

Dengan langkah lelah berjalan menuju kamar. Sesampai di sana aku langsung berbaring, berharap hari ini cepat berlalu. Tanganku memijit pelan kening yang mulai terasa sakit. Pelan tapi pasti menyentuh bekas luka di kening sebelah kiri. Luka tersebut memutar ulang memori di mana aku mendapatkan bekas luka sepanjang 3 cm tersebut.

“Pak, Risa takut,” teriakku.

Tubuhku bergerak ke kiri dan kanan menyeimbangkan diri agar tidak terjatuh.

“Jangan takut, pelan-pelan saja bawanya!” teriak bapak dari jauh.

“Ini sudah pelan Pak, kenapa masih laju!” teriakku lagi.

“Lurus Ris, jangan belok-belok!”

“Pak, aku bisa. Lihat ini, aku sudah bisa menyeimbangkan badanku!” teriakku senang melihat kearah bapak.

“Awas Risa!” teriak bapak.

“Aaaaaa....”

Bugghh.... Suara sepeda jatuh begitu saja bersamaan dengan tubuhku. Rasa perih pun timbul di kening kiri.

Saat itu juga bapak dan ibu panik melihat putri satu-satu mereka terluka. Darah mengalir dari kening sebelah kiriku.

Aku tersenyum mengingat kejadian itu. Betapa hebohnya kedua orang tuaku saat itu juga. Namun, baru saja mengenang kejadian lucu, bayangan bapak dimasukkan ke dalam liang lahat kembali muncul di pikiran.

Air mata tak dapat dibendung lagi. Tanganku menutup mulut agar suara tangis tidak terdengar sampai keluar. Sesak di dada pun kembali hadir. Sakit, itulah yang kurasakan saat ini.

“Risa, sudah jangan menangis lagi,” ucap ibunya memeluk tubuhku.

“Sakit Bu, sakit.” Aku memukul dada sendiri.

“Sabar Nak, ini ujian. Kita pasti bisa melewatinya.” Ibu menasihatiku sambil menghapus air mata yang keluar begitu saja.

Aku mengerti ibu berpura-pura tegar dihadapan anaknya. Padahal sebenarnya dialah yang lebih tersiksa kehilangan sosok suami. Saat itu juga tangisku berhenti. Aku tidak ingin ibu merasa sedih melihatku seperti ini sekarang.

“Risa,” panggil ibunya, “kita kuat, jangan seperti ini. Nanti kamu sakit. Ibu harap kamu bisa menerima semuanya,” tutur ibu lagi.

Aku mengangguk mengiyakan dan mulai tersenyum lemah. “Bu, apa semuanya sudah pulang?” tanyaku sambil membersihkan sisa-sia air mata.

“Ya, mereka sudah pamit dengan Ibu. Tadi mereka ingin pamit denganmu, tapi Ibu melarang.”

“Terima kasih Bu, Ibu selalu mengerti diriku,” ungkapku memeluk tubuh ibu.

“Ya, tapi Ibu minta sama kamu. Jangan sedih berlarut-larut. Perjalanan hidup kita masih panjang, Nak,” nasihat ibu yang langsung aku iyakan.

“Maafin Risa, Bu, sudah buat ibu khawatir.”

Ibu tersenyum lembut dan melangkah mendekati meja, mengambil sesuatu yang tidak kutahu apa.

“Ris sebelum Bapak meninggal, Bapak ingin memberikan sesuatu untuk kamu.” Ibu memberikan sebuah kotak kecil berwarna ungu, warna kesukaanku.

Entah apa yang ingin diberikan oleh bapakku. Aku menerima kotak tersebut dan mulai mengguncang-guncangkannya, berharap bisa mengetahui isi kotak tersebut.

“Ini apa Bu?” tanyaku masih mengguncang kotak tersebut..

Ibu mengangkat bahu dan berkata, “Ibu tidak tahu Ris. Ibu hanya diminta untuk memberikan kotak itu pada kamu. Kalau begitu Ibu mau ke dapur dulu. Kamu istirahatlah,” ucap Ibu sambil berdiri dan keluar kamar.

Aku yang penasaran pun langsung membuka kotak tersebut. Betapa terkejutnya diriku saat mengetahui isi kotak tersebut.

Tes.... Tes.... Air mataku jatuh mengenai benda berwarna ungu dari dalam kotak tersebut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status