Share

Belahan Jiwa
Belahan Jiwa
Penulis: Meni Bari

BAB 1. Salahkah

'Dasar penggoda, tidak tahu malu!'

'Perempuan murahan.'

Perawan Tua.'

Ucapan itulah setiap paginya selalu terdengar.

Kata-kata itu seperti nyanyian di pagi hari bagiku. Setiap melewati rumah tetangga, akan ada kata-kata kasar mencemooh dari mulut mereka. Padahal itu tidak benar, aku tidak pernah menggoda siapa pun. Suami merekalah yang tidak bisa menjaga hati untuk istrinya.

Salah kah jika aku belum menikah? Kenapa mereka tega mengatakan hal seperti itu? Bukan kehendakku di usia 28 tahun masih belum mendapatkan pasangan. Bukan tidak ada yang mendekati, banyak. Bukannya juga karena diriku yang pemilih. Namun, aku tidak ingin, karena mereka hanya menginginkan tubuhku tidak diriku.

Bukan terlalu percaya diri tentang bentuk tubuhku, tapi memang aku bisa menjaga dan menghargai diri sendiri. Memiliki tubuh yang tinggi dan wajah yang ayu membuat laki-laki senang menggoda.

Awalnya aku merasa risih dan selalu menangis dalam diam setelah mendengar cemooh dari para tetangga. Ejekan dari mereka membuat sakit dan tidak tenang. Padahal aku tidak pernah mengganggu bahkan berbuat masalah dengan mereka. Namun, tetap saja pada dasarnya mereka suka menggunjing, apa pun yang kulakukan akan tetap jadi pergunjingan.

Sekarang aku sudah terbiasa mendengar perkataan mereka. Meskipun tidak dapat kupungkiri, hatiku masih tetap sakit setiap mendengar kata-kata itu. Apalagi ketika berjalan bersama Ibu. Rasanya sudah membuat malu Ibu. Terkadang aku meminta maaf pada Ibu setelah melewati para penggunjing itu.

Seperti pagi ini, ketika melewati beberapa rumah tetangga. Di sana sudah ada ibu-ibu penggosip yang selalu memandang rendah diriku.

Sebenarnya aku tidak ingin melewati jalan ini ketika pergi dan pulang bekerja. Namun, apa daya rumah yang kutinggali tepat berada di paling ujung jalan. Jadi mau tidak mau harus melewati jalan satu-satunya itu.

Setiap pukul 07.15 aku pergi bekerja dan akan pulang sore hari. Biasanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit untuk sampai menuju tempat kerja.

Aku bekerja di sebuah toko swalayan milik suami sahabatku sebagai seorang pramusari.

“Pagi Ris,” sapa Nina ketika berpapasan saat masuk ke dalam toko.

“Pagi Nin.”

Senyumanku pun terbit membalas Nina. Kami berdua menuju ruang ganti yang dikhususkan untuk karyawan.

“Ris sudah dengar kabar tidak?” tanya Nina mendekatiku sedikit berbisik.

"Kabar apa? Gosip?” tanyaku tidak tertarik.

Nina mengangguk, “Tapi bukan gosip murahan, kemarin aku dengar dari karyawan lain kalau hari ini akan ada manager baru di toko ini,” ucap Nina antusias.

“Lalu?” tanyaku masih tidak tertarik.

Nina menggerakkan bola matanya, lalu mencubit wajahku gemas.

“Dia masih muda, dan katanya tampan seperti pemilik toko ini. Apa kamu tidak tertarik untuk mengetahuinya?’ tanya Nina.

“Tidak! Bisa saja dia sudah mempunyai istri,” jawabku cuek keluar dari ruang ganti pakaian.

Nina keluar mengikutiku, “Aku dengar manager baru ini masih single. Dan ini kesempatan buat kamu Ris, untuk melupakan dia,” kata Nina.

“Sudahlah Nin, aku tidak ingin memikirkannya sekarang.” sedikit kupercepat langkah ketika melihat sudah banyak karyawan lain yang berkumpul.

Ketika sampai aku melihat sebuah mobil berwarna abu-abu parkir. Tak lama kemudian pemilik toko  keluar bersama istrinya. Di mataku mereka berdua begitu serasi. Sahabatku itu  begitu beruntung mendapatkan pasangan sepertinya. Senyuumku terukir ketika bertatapan dengan Dilla. Namun, bukan senyuman yang kudapat, melainkan sikap cuek dan acuh.

Aku tahu jika kesalahan dulu membuat persahabatanku menjadi seperti sekarang. Namun, itu tidak sepenuhnya salahku. Kejadian itu terjadi begitu saja terjadi dan Dilla menjadi salah paham.

“Pagi semua, bagaimana kabar kalian?” Pemilik toko mulai menyapa kami semua.

“Pagi. Baik pak,” teriak kami serempak dengan semangat.

“Baik, seperti yang kalian ketahui kemarin, hari ini saya perkenalkan manager baru toko ini. Aku rasa dia memperkenalkan dirinya sendiri.

“Pagi semua, perkenalkan nama saya Dayat Permana, usia saya 35 tahun. Semoga kita bisa bekerja sama, terima kasih,” ucap Dayat ramah.

“Wah dia tampan dengan pak Bos.” 

“Iya, aku berharap dia masih single, siapa tahu diantara kita ada yang kecantol.”

Kudengar beberapa karyawan wanita sedang berbisik-bisik mengenai manager baru itu. Memang benar seperti yang dikatakan oleh Nina, manager baru itu cukup tampan, tapi tetap tidak setampan seseorang yang masih ada dipikiranku.

“Ris... Ris....”

“Eh iya, ada apa Nin?” tanyaku yang terkesiap.

“Itu sepertinya manager baru sedang melihat kearah kamu.” Ucapan Nina membuat kepalaku refleks menghadap kearah manager baru itu.

Mataku langsung bertemu dengan mata Dayat. Pandangan kami bertemu beberapa detik sebelum aku berbisik pada Nina.

“Apa penampilanku buruk?” tanyaku dengan suara pelan.

“Sepertinya tidak, mungkin dia....”

Tiba-tiba ponselku bergetar. Tertulis jelas nama siapa yang memanggil. Dengan wajah sedikit khawatir, aku meminta izin pada bos dan menjauhi mereka untuk mengangkat telepon.

“Halo ada apa Bu?” tanyaku khawatir.

Aku tahu, jika ibu meneleponku di jam kerja pasti ada hal yang penting.

“Iya Bu, saya minta izin dulu. Ibu jangan panik, Risa akan ke sana setelah mendapat izin dari bos,” ucapku berusaha menenangkan Ibu.

Setelah selesai mematikan telepon, aku bergegas kembali dan meminta izin pada bos. Aku yakin semua orang bingung dengan sikapku sekarang.

“Bos, bisakah saya tidak bekerja hari ini. Kondisi Bapak saya menurun, saya harus menenangkan Ibu,” kataku dengan nada bergetar penuh harap.

“Bapak masih di rawat di rumah sakit Ris?” tanya pak Bos.

Aku mengangguk dan menunggu izin darinya.

“Kamu bisa pergi, tapi maaf saya tidak bisa menjenguk bapak dulu. Masih ada kerjaan yang harus diurus. Nanti kalau sudah selesai saya dan Dilla akan ke rumah sakit.”

“Terima kasih Bos, kalau begitu saya permisi,” pamitku bergegas masuk mengambil tas lalu pergi tergesa-gesa.

Aku senang bisa mendapatkan bos yang baik sepertinya. Sudah sering aku meminta izin karena Bapak, dan setiap kali itu juga bos selalu memberi izin. Bahkan tidak jarang bos selalu melebihkan gajiku dari karyawan lain. Alasannya untuk membalas budi Bapak dan Ibu yang sudah menjaga istrinya dulu.

Sesampai di parkiran, aku segera mengeluarkan motor. Motor itu adalah pemberian satu-satunya dari Bapak. Meskipun motor bekas tapi motor inilah yang selalu menemaniku ke mana-mana. Sepeda motor melaju dengan kecepatan sedang, menuju rumah sakit tempat Bapak dirawat.

Tiba-tiba rasa khawatirku semakin bertambah. Tanpa sadar kecepatan motor semakin melaju menuju rumah sakit.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status