Share

7. Most Wanted Duda

Author: Caramelodrama
last update Huling Na-update: 2024-06-14 15:33:47

Banyak anak Goldera yang berharap bisa bekerja di E-First.

“Lah, kerja aja belum udah ditanyain begituan, hahaha!” Naira tertawa santai.

“Yah, ‘kan kamu sempat interview di sana!” Helena cemberut.

Sambil mengulum senyum, akhirnya Naira menjelaskan. 

“Di sana kayak satu kompleks gitu, sih Len. Ada 4 gedung yang melingkar mengitari gedung utama. Semuanya terpisah-pisah yang terhubungnya ama koridor khusus satu sama lain. Dan gedung pusatnya yang berbentuk lingkaran ada di tengah-tengah, lebih gede dan tinggi, sekitar 7 lantai.”

“Emangnya yang 4 gedung berapa lantai masing-masingnya?” tanya Helena.

“Untuk 4 gedung yang mengelilingi gedung utama sih masing-masing ada 4 lantai,” jawab Naira sambil mengingat-ingat.

Raut wajah Helena semakin memelas karena ingin merasakan bekerja di E-First, salah satu perusahaan startup paling berkembang di negara Scarlet. Dia tidak lolos seleksi awal dikarenakan kurangnya nilai akademik.

Sejak itu, Naira menjadi pegawai magang di anak perusahaan milik Bastian, sebagai asisten Lead Editor GoodRead. 

‘Aku harus bisa buktikan ke mami dan semua orang kalau aku bisa masuk ke sini karena kemampuanku! Bukan sekedar koneksi doang!’ tekad Naira ketika dia melangkahkan kakinya di gedung GoodRead.

Dia malas mendapat tudingan beberapa kawan kuliahnya terkait diterimanya dia di E-First yang disangkutpautkan dengan Elvita.

“Naira Karl?” tanya Amy Yolanda, Lead Editor yang akan menjadi atasan langsung Naira.

“Iya, Bu Amy.” Naira mengangguk sambil sedikit membungkukkan badan ke Amy.

Dia baru saja tiba di kantor pribadi Amy.

“Di sini santai aja, Naira. Gak usah terlalu kaku atau tegang. Bos sendiri yang minta gitu ke semua karyawannya.” Amy melanjutkan, “Itu meja kamu di sana, yah!”

Telunjuk Amy mengarah ke sebuah meja di sudut ruangan besar itu. Naira satu ruangan dengan Amy.

“Naira, aku kasi tau tugas-tugasmu sebagai asisten editor, yah! Tugasmu membaca naskah, mengedit tulisan, membuat catatan, mengkoordinasikan komunikasi antara penulis dan editor, memantau jadwal publikasi, mengatur dan memeriksa bab naskah, dan melakukan tugas-tugas administratif lainnya. Paham, ‘kan?” papar Amy mengenai apa yang harus dikerjakan Naira.

Meski belum paham sepenuhnya, Naira bertekad akan mempelajarinya dengan sebaik-baiknya.

Dia mengangguk sambil menjawab, “Iya, Bu Amy. Paham.”

“Panggil Sis Amy aja, hahaha! Jangan terlalu kaku. Aku belum begitu tua, loh! Belum nikah pula!” Amy terlihat santai.

Naira mengangguk sekali lagi. Maka, hari itu, dia mulai menyesuaikan diri dengan pekerjaannya. 

‘Aku harus bisa! Magangku di sini sekitar 6 bulan, dan untung aja digaji.’ Naira sambil fokus mempelajari pekerjaannya.

Setelah itu, mereka kembali fokus ke pekerjaan masing-masing, hingga jam bergulir mendekati waktu makan siang. Amy menerima telepon dari Bastian.

“Kamu dan anak magang yang di tempatmu, kumpul ke lobi, aku bakalan ajak kalian makan siang.” Demikian suara Bastian di telepon.

Kedua alis Amy terangkat tinggi-tinggi mendengar ajakan Bastian di telepon.

“Oke, Bos!” Setelah itu, Amy menyudahi telepon dan menatap Naira sambil tersenyum. “Kita diajakin makan siang ama Bos dan anak magang lainnya! Sana ke toilet dulu untuk siap-siap!”

Sedangkan Naira tak paham dan hanya mendengarkan saja. Terserah saja bila Bastian hendak melakukan itu, toh semua diajak, bukan hanya dia saja.

Ketika Naira masuk ke toilet lantai dasar yang paling besar dan nyaman, dia melihat sudah ada banyak karyawati di sana, sibuk merias diri, memperbaiki dandanannya.

"Eh, kudengar Pas Bos ngajakin makan siang ke beberapa karyawan. Tumben, nih! Pasti karena ada karyawan magang," celetuk salah satu karyawati tetap. 

"Pak Tian makin hari keliatan makin cakep aja, ya nggak, sih?" Karyawati lainnya segera bergunjing mengenai Bastian.

"Iya! Ini pasti gara-gara kerjaan kita pada beres semua, makanya dia bahagia dan auranya terlihat lebih bersinar indah, hahaha!" Yang lain menimpali sembari menebalkan eyeliner sebelum mengoleskan maskara.

Semua orang di toilet itu sedang berdandan sebaik mungkin sebelum mulai pergi makan siang di beberapa tempat sekitar kompleks E-First. Hal yang sangat lazim. Siapa tau di tempat makan siang bisa bertemu koneksi baru yang bisa menawarkan kesempatan baru.

"Itu mungkin yang dinamakan pesona duda kaya, hahaha!" Ada juga yang berkelakar demikian.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Belaian Hangat Om Bastian   155. I Love You More

    Sebulan kemudian, Bastian berencana membawa Naira ke kantor E-First, tempat di mana mereka pernah bekerja bersama.“Ini beneran gak apa-apa, Tian?” tanya Naira untuk memastikan saja.Mereka sudah selesai berdandan rapi dan siap berangkat bersama ke kantor Bastian.“Tentu aja nggak apa-apa, Nai. Gimanapun, mereka harus tau ini. Nggak mungkin hubungan kita terus disembunyikan dan menjadi diam-diam aja, kan?” Bastian mengambil tangan Naira, ingin menguatkan hati calon istrinya.Saat ini, Naira sudah membubarkan segala ujian dan apa pun tes yang harus dilalui Bastian. Dia tidak lagi menginginkan itu karena dia sadar bahwa dia tak sanggup hidup tanpa Bastian.Pengalaman di ambang batas kematian membuat Naira memahami apa yang paling dia inginkan.“Kalo mereka marah, gimana? Ntar mereka demo, gimana?” Naira masih khawatir.Dulu rumor hubungan mereka sempat membuat geger kantor dan berhasil ditepis dengan berbagai cara. Sekarang justru hendak dibuka terang-terangan. Akan seperti apa respon pa

  • Belaian Hangat Om Bastian   154. Saling Menyatukan Diri

    “Beneran? Len lairan?! Kapan?” Naira bertanya dengan senyum penuh kebahagiaan, seolah rasa sakit yang tadi dialaminya seketika menghilang.“Setelah kamu kelar operasi dan mendadak aja ketubannya pecah sewaktu mau ngantar kamu ke kamarmu ini. Oh ya, bayinya perempuan,” lanjut Bastian.Naira menatap Bastian dengan tatapan penuh arti. Hari ini benar-benar penuh dengan emosi—kesedihan, harapan, dan kebahagiaan yang semuanya berkumpul di satu tempat.Namun, wajah Bastian kembali serius sejenak saat dia menghela napas. “Ada kabar lain yang perlu kamu tau,” ujarnya. “Vera udah ditahan di kantor polisi. Mereka memastikan dia nggak akan kemana-mana, dan proses hukumnya akan segera berjalan. Sidangnya mungkin akan berlangsung dalam beberapa minggu lagi.”Naira terdiam, memikirkan peristiwa yang hampir merenggut nyawanya. Meski dia merasa lega bahwa Vera akan mempertanggungjawabkan perbuatannya, hatinya tetap tergetar.Kejadian ini meninggalkan luka yang dalam, tapi dia merasa lebih kuat ketika

  • Belaian Hangat Om Bastian   153. Permohonan Naira

    Suster menatapnya dengan penuh empati. "Nyonya stabil untuk saat ini, Pak. Tapi kami harus memantau dengan ketat. Mengenai janinnya... kita perlu menunggu perkembangan lebih lanjut."Bastian mengangguk pelan, meski hatinya masih penuh kekhawatiran. Naira beserta janinnya harus baik-baik saja, mereka berdua harus baik-baik saja. Itu yang menjadi harapan utama Bastian.***Di kamar VIP yang tenang itu, Naira perlahan membuka matanya. Cahaya lembut dari jendela menembus tirai, menyinari wajahnya yang masih terlihat lemah.Saat kesadarannya mulai kembali, matanya terasa hangat dan basah. Mungkin efek samping dari obat, pikirnya.Tapi begitu dia sadar sepenuhnya, yang pertama kali dia rasakan adalah tangan Bastian yang menggenggam erat tangannya.“Om….” panggilnya dengan suara serak.“Nai… akhirnya kamu sadar.” Suara Bastian bergetar pelan, penuh dengan rasa syukur dan kelegaan.Dia menatap Naira dengan tatapan yang penuh kasih, seolah tidak ada yang lebih penting di dunia ini selain dia d

  • Belaian Hangat Om Bastian   152. Mengalami Komplikasi

    “Kamu ngancam aku, Bas? Kamu berani ngancam aku?!” jerit Vera, tak terima.“Jika itu memang harus, maka aku akan melakukannya. Kamu bisa memilih, ingin aku mengambil langkah yang mana.” Bastian menyahut dengan suara dingin.Keributan semakin membesar di bandara, dan Bastian bisa mendengar suara ibunya Vera yang semakin marah, memaki-maki anak buah Bastian.Namun, situasi itu berubah ketika polisi bandara tiba di tempat kejadian setelah mendengar keributan. Mereka segera menahan Vera dan ibunya dari keberangkatan, meminta keduanya untuk tidak meninggalkan negara Scarlet sampai masalah ini selesai.“Aku akan mengurus semuanya,” kata Bastian pada petugas bandara yang mencoba menenangkan situasi. “Jika perlu, aku akan membayar empat kali lipat dari harga tiket yang sudah mereka beli. Yang penting, jangan biarkan mereka terbang.”Polisi dan staf bandara menerima tawaran Bastian. Uang memang bisa menyelesaikan sebagian masalah, pikirnya dengan dingin. Dia menutup telepon, tetapi belum sempa

  • Belaian Hangat Om Bastian   151. Panik

    ‘Kumohon… aku ingin… terus bareng Om… selamanya….’ pinta Naira ketika dia memejamkan mata dan membiarkan dokter memulai operasinya.Di luar, Bastian sibuk mondar-mandir di depan kamar operasi.“Haahh… lama banget, sih?” rutuk Bastian, tak sabar.Helena yang juga ada di sana, hanya memutar matanya dengan jengah pada ucapan Bastian.“Ya elah… baru juga 10 menit, udah diprotes lama.” Helena merespon dengan suara nyinyir. “Buruan duduk! Mual aku liat kamu mondar-mandir rempong gitu!”Helena tidak takut sama sekali pada Bastian meski dia tahu siapa Bastian. Baginya, orang yang sudah membuat sahabatnya sedih, tak perlu ditakuti.Mau tak mau, Bastian menghentikan langkahnya yang bagaikan setrika. Dengan hembusan keras dari napasnya, dia pun duduk tak jauh dari Helena.“Bisa tolong ceritain, gimana kok Naira bisa kena tusuk gitu?” Bastian akhirnya teringat bahwa dia belum mengetahui mengenai kronologi dan latar belakang kejadiannya.Helena melirik sinis ke Bastian, menunjukkan permusuhan seca

  • Belaian Hangat Om Bastian   150. Perutnya Ditusuk

    “A-aku… aku….” Suara Vera bergetar.Vera kaget bercampur syok ketika menatap pisau lipat yang menancap di perut Naira. Meski dia benci Naira, tapi ketika usai menusukkan pisau ke Naira, rasa takut menyergapnya, seolah sebentar lagi dia akan dikejar iblis.“Arghh!” Vera menjerit panik dan bergegas pergi dari sana.Dia memang wanita jahat, tapi untuk berbuat lebih dari sekedar menusuk seseorang, dia tak memiliki nyali mengenai itu.Bahkan, menusuk perut seseorang merupakan kegilaannya paling maksimal dalam hidupnya.Sedangkan di kamar kosnya, napas Naira terengah-engah sambil terus memandangi perutnya.“Perutku… anak…ku….” Naira gemetaran.Takut dan sakit menguasai dirinya. Darah sudah mulai merembes banyak di bajunya.“Gak, gak boleh aku cabut pisaunya. Bahaya….”Di sela-sela kepanikan dan rasa takutnya, dia masih cukup bernalar mengenai itu.Maka, menahan rasa sakit dan dengan langkah tertatih, dia mengambil ponselnya, menghubungi nomor Bastian.“Ya ampun, buruan angkat, sialan! Aku b

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status