Beranda / Mafia / Belenggu Cinta Sang Don Juan / Bab 4 Belenggu yang Sesungguhnya

Share

Bab 4 Belenggu yang Sesungguhnya

Penulis: Silentia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-02 19:34:07

Cahaya lampu kristal berpendar hangat di ruang utama rumah keluarga itu, tetapi kehangatannya sama sekali tidak terasa bagi Alessia. Ia duduk di kursi panjang berlapis beludru, gaun hitam yang baru saja dipilihnya pagi tadi membalut tubuhnya, membuatnya tampak anggun sekaligus rapuh. Hatinya gelisah, sebab di ruangan itu akhirnya ia harus berhadapan langsung dengan sosok yang sejak malam pertama nyaris menghilang, Drazhan.

Pintu berat kayu ek terbuka. Langkah-langkah tegap bergema, seolah dunia ikut berhenti menyimak. Drazhan masuk, jasnya rapi, dasi merah darah menonjol di balik dada bidangnya. Wajahnya tanpa senyum, matanya tajam seperti bilah baja. Aroma asap tembakau dan parfum maskulin melekat, membuat udara di ruangan tiba-tiba lebih pekat.

Alessia menelan ludah. Jantungnya berdegup tidak karuan.

Drazhan berdiri beberapa detik menatapnya, lalu melangkah mendekat. “Kamu sudah belajar bersikap di depan keluarga?” katanya dingin. Suaranya dalam, bergema, membuat tubuh Alessia bergetar halus.

“Aku mencoba,” jawab Alessia lirih, hampir tidak terdengar.

Sudut bibir Drazhan terangkat samar, entah senyum entah ejekan. Ia duduk di kursi di hadapan Alessia, bersandar santai namun aura menguasainya tak bisa disangkal. “Mereka menatapmu malam ini. Setiap gerakmu dinilai, setiap senyummu ditimbang. Kamu harus paham, mulai saat ini kamu bukan lagi sekadar perempuan biasa. Kamu adalah istriku. Itu artinya wajahmu adalah wajahku.”

Alessia menggenggam jemarinya sendiri. Ia ingin berkata banyak, menjerit mungkin, tapi kata-kata yang keluar hanyalah, “Apakah aku hanya simbol?”

Tatapan Drazhan menusuknya. “Simbol adalah kekuatan. Banyak orang membunuh demi simbol. Kamu harus belajar melihatnya begitu.”

Ada jeda panjang. Hening itu membuat napas Alessia kian berat. Ia menatap suaminya, seorang pria yang dari jauh tampak sempurna, dari dekat ternyata seperti labirin penuh rahasia.

“Lalu apa gunanya pernikahan ini bagiku?” pertanyaan itu lolos sebelum sempat ia tahan.

Drazhan mencondongkan tubuh, kedua sikunya bertumpu di lutut. Matanya menatap lurus, nyaris tanpa kedip. “Kamu hidup. Keluargamu tetap utuh. Itu lebih dari cukup.”

Kata-kata itu bagai belati menembus dada Alessia. Ia menunduk, air mata hampir lolos, namun segera ia tahan. Ia tahu menangis di depan pria ini hanya akan membuat dirinya semakin kecil.

Tak lama kemudian, Rafael masuk, menyampaikan sesuatu dalam bisikan cepat. Drazhan mendengarkan dengan wajah dingin, lalu bangkit berdiri. “Ikut,” katanya pada Alessia.

“A-apa?” Alessia kaget.

“Sudah saatnya kamu tahu di dunia mana kamu berdiri. Jangan kira aku menikahimu untuk sekadar mengisi kursi kosong.”

Alessia bangkit, meski tubuhnya bergetar. Ia mengikuti langkah Drazhan melewati lorong panjang, menuruni tangga menuju ruang bawah tanah yang belum pernah ia jamah. Pintu besi besar terbuka, aroma logam dan asap rokok langsung menyergap.

Ruangan itu penuh pria bertubuh besar, beberapa bersenjata, beberapa berjas rapi. Di tengahnya meja panjang berlapis kaca, di atasnya peta kota dengan tanda-tanda merah, foto-foto, serta tumpukan berkas. Alessia terdiam, merasa seperti masuk ke dunia film kriminal, hanya saja ini nyata, dan ia adalah bagian dari perannya.

Drazhan duduk di kursi utama, semua orang menunduk sedikit tanda hormat. Alessia berdiri agak jauh, mencoba berbaur dengan bayangan.

Salah satu pria membuka berkas, berbicara dengan nada tegang. “Tuan, shipment dari Odessa berhasil sampai. Tapi ada kabar buruk. Salah satu jalur kita dibongkar oleh polisi. Ada orang dalam yang membocorkan.”

Wajah Drazhan berubah kelam. “Siapa?”

“Kami masih melacak. Tapi kemungkinan besar orang dari lingkaran dalam keluarga sendiri.”

Ruangan mendadak dingin. Alessia menggigil, meski udara tidak berubah. Ia menatap punggung Drazhan yang tegap, menyadari bahwa pria ini bukan hanya pemimpin, tapi juga penguasa dalam dunia kelam.

“Cari dia. Seret kepalanya padaku sebelum matahari berikutnya terbit,” ucap Drazhan. Kalimatnya pelan, namun mengandung ancaman yang begitu nyata.

Semua orang mengangguk. Beberapa segera bergerak keluar, langkah mereka berat dan penuh tekad.

Alessia nyaris tak bisa bernapas. Ia sadar, ia menikah dengan pria yang mengendalikan maut dengan kalimat sesingkat itu.

Drazhan menoleh ke arahnya. “Takut?” tanyanya tenang, seakan baru saja tidak mengirim orang menuju eksekusi.

Alessia menatapnya lama. “Aku tidak tahu harus bagaimana.”

Mata Drazhan menyipit. Ia mendekat, jaraknya hanya beberapa langkah darinya. “Kamu harus belajar cepat. Dunia ini tidak memberi waktu untuk ragu. Kamu istri Don. Artinya, jika musuh mengincar, kamu adalah target pertama.”

Kalimat itu menghantam keras. Alessia mendadak merasa seluruh tubuhnya terperangkap, bukan hanya oleh cincin di jarinya, tapi juga oleh lingkaran api yang tak bisa ia elak.

♣♣♣

Malam semakin larut. Rapat usai, para pria pergi dengan urusan masing-masing. Drazhan tetap berdiri, memandangi peta kota dengan sorot mata penuh hitung-hitungan.

Alessia mendekat pelan, keberaniannya datang dari rasa putus asa. “Kenapa aku harus di sini? Kenapa aku harus melihat semua ini?”

Drazhan menoleh singkat. “Karena aku ingin kamu tahu siapa aku sebenarnya. Tidak ada kebohongan. Tidak ada dongeng cinta. Hanya kenyataan. Jika kamu tetap ingin bertahan, maka bertahanlah. Jika tidak…” ia berhenti, menatap tajam. “Tidak ada jalan keluar.”

Alessia tercekat.

Untuk pertama kalinya ia benar-benar melihat belenggu yang sesungguhnya, bukan gaun, bukan pesta, bukan keluarga yang serakah. Melainkan pria di hadapannya, dengan kuasa yang menjerat bukan hanya tubuh, tapi juga jiwa.

Namun di balik dinginnya tatapan itu, ada sesuatu yang sulit ia mengerti, bekas luka mungkin, atau kesepian yang tidak pernah ia ucapkan.

Ia berbalik, menatap bayangan dirinya di dinding beton. Dalam hati ia tahu, malam itu hanyalah awal. Awal dari pertempuran sunyi antara dirinya, belenggu cinta yang tak pernah ia pilih, dan dunia mafia yang kini menutup rapat setiap jalan pulang.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Belenggu Cinta Sang Don Juan   Bab 61 Runtuhkan Hatinya, Maka Tubuhnya Mengikuti

    Lima menit setelah kejadian di balkon, seluruh komplek mansion berubah menjadi benteng perang. Lampu sorot dinyalakan, alarm keamanan tersembunyi aktif dan puluhan anak buah Drazhan diposisikan di sudut-sudut strategis. Senjata berat muncul dari ruang bawah tanah seperti hewan buas yang dibangunkan.Drazhan duduk di tepi ranjang Alessia, mengusap perlahan pipi istrinya yang masih berdarah. Luka tipis, tapi cukup untuk membuat amarahnya melonjak melewati batas manusia.Dokter pribadi Drazhan mengobati luka Alessia tapi tangan Drazhan tidak pernah sekali pun melepaskan pinggangnya. Tubuh Alessia masih gemetar, ekspresinya pucat dan itu saja cukup untuk menyalakan neraka di dada Drazhan.Ketika dokter selesai, Drazhan berdiri dalam diam yang mematikan.Rafael tahu tanda itu. Semua orang di ruangan tahu. Drazhan bukan hanya marah. Dia berubah menjadi sesuatu yang tidak boleh dibangunkan.“Rafael,” vokalnya rendah bagai racun.“Ya, Tuan?”“Siapkan mobil lapis baja. Bawa orang-orang yang se

  • Belenggu Cinta Sang Don Juan   Bab 60 Orang yang Seharusnya Mati Dua Belas Tahun Lalu

    Malam itu sunyi, terlalu sunyi. Tidak ada burung malam, tidak ada angin yang menerpa pepohonan. Seolah dunia menahan napas.Alessia berdiri di balkon kamarnya, memandang lampu-lampu taman sendirian. Drazhan sedang berada di ruang rapat bawah, mengatur serangan selanjutnya untuk memburu Seraphine san anehnya, Alessia merasa ada sesuatu di udara yang tidak bisa ia jelaskan. Rasa dingin yang bukan berasal dari hujan. Ia memeluk dirinya, hendak masuk kembali ke kamarSaat Alessia berjalan satu langkah, ia mendengar suara kecil. Suara yang tak wajar. Ia segera menoleh dan mendapati sebuah batu kecil memantul di lantai balkon. Terikat pada seutas tali tipis warna hitam.Alessia mendekat perlahan. Jantungnya mulai berdegup aneh ketika ia meraih benda itu..Batu itu diikatkan pada sebilah gigi manusia.Darahnya langsung membeku. Tangannya bergetar, hampir menjatuhkan benda mengerikan itu. Sebelum Alessia bisa bergerak, sesuatu berdesing cepat dari bawah. Suara tembakan cukup keras dan kaca bal

  • Belenggu Cinta Sang Don Juan   Bab 59 Sergei Pasti Meninggalkan Jejak di Sana

    Rumah besar milik Alexei dipenuhi ketegangan yang menajamkan udara malam. Pintu ruang kerja terbanting ketika Alexei masuk, wajahnya gelap, sorot matanya tajam seperti bilah yang baru diasah. “Dia kabur,” desisnya, suaranya rendah namun penuh ledakan yang tertahan. Viktor yang berdiri di dekat jendela langsung menoleh. “Seraphine tidak punya cukup orang untuk melakukan itu. Siapa pun yang membawanya keluar pasti bukan kelompok kecil.” Alexei menghantam meja kayu dengan tinjunya..“Dia tidak bisa menghilang begitu saja! Dia tidak cukup pintar untuk merencanakan pelarian bersih.” “Kami dapat laporan dari lapangan.” Mikhail meletakkan beberapa berkas dan foto di meja. “Orang yang membawa Seraphine kabur menghancurkan semua CCTV tapi ada satu hal, satu kesalahan kecil.” Alexei mendekat dengan langkah besar, meraih foto buram yang dicetak dari rekaman terakhir CCTV sebelum kamera dihancurkan. Gambar itu menunjukkan seorang pria berjas gelap keluar dari mobil van. Hanya sebagian wajah

  • Belenggu Cinta Sang Don Juan   Bab 58 Tuan Sergei

    Van hitam itu berhenti di sebuah gudang tua di pinggiran kota. Udara di dalam pengap, bau besi karat dan bahan bakar memenuhi ruangan. Seraphine terseret keluar oleh dua pria bersenjata, lalu diseret ke sebuah ruangan luas yang diterangi satu lampu gantung berayun pelan. “Lepaskan dia!” Suara itu berat, dalam, dan mengandung wibawa dingin yang langsung membuat seluruh penjaga menunduk. Seraphine mendongak pelan, pandangannya kabur tapi tajam. Di hadapannya berdiri seorang pria berusia sekitar lima puluhan, mengenakan mantel hitam panjang, dengan mata tajam yang mirip dengan mata milik Drazhan, namun lebih tua, lebih licik. Pipi kirinya menyimpan luka lama yang membentuk garis miring dari tulang pipi hingga rahang. “Sergei,” desis Seraphine pelan. “Aku pikir kamu sudah mati beberapa tahun lalu, bahkan aku sempat menghadiri pemakamanmu.” Pria itu tersenyum miring. “Dunia hanya tahu apa yang kuizinkan mereka tahu.” Seraphine menatapnya lekat-lekat, lalu tertawa lirih. “Jadi, paman

  • Belenggu Cinta Sang Don Juan   Bab 57 Aku Ingin Mereka Semua Hancur

    Langit sore di atas gedung pengadilan tampak berat, seakan ikut menindih setiap napas yang keluar dari dada Seraphine. Ia duduk di kursi terdakwa dengan borgol di pergelangan tangan, wajahnya pucat, rambutnya berantakan, dan senyum tipis yang selama ini menjadi senjata paling mematikan kini tak lagi mampu menyembunyikan kehancurannya.Ruang sidang dipenuhi wartawan dan pejabat tinggi. Mikrofon-mikrofon diarahkan padanya, kilatan lampu kamera menyambar tanpa henti. Di meja depan, jaksa membacakan tuntutan dengan suara lantang, setiap kata mengiris seperti belati.“Terdakwa Nona Seraphine dijatuhi dakwaan berlapis, penculikan, penyiksaan berat, percobaan pembunuhan terhadap Nyonya Alessia Drazhan, serta pembunuhan berencana terhadap dua korban lain. Semua bukti telah dinyatakan sah dan tak terbantahkan.”Seraphine mendengar dakwaan untuknya tanpa berkedip. Semua urat-uratnya terasa menegang, ia belum siap dengan semua ini. Ia ingin memohon pada Drazhan yang hadir paling depan tapi pria

  • Belenggu Cinta Sang Don Juan   Bab 56 Dunia Sudah Membongkar Sebelum Hakim Berbicara

    Udara di dalam sel itu lembap, bau karat bercampur keringat dan sabun murahan menyesakkan dada. Seraphine duduk bersandar pada dinding dingin di pojok ruangan berukuran tiga kali tiga meter. Matanya menatap kosong pada bayangan dirinya yang terpantul samar di lantai semen yang basah.Tak ada cermin besar di sini.Tak ada cahaya kamera.Tak ada tepuk tangan, make-up, atau baju mahal yang dulu membuatnya tampak seperti dewi.Hanya wajah pucat dengan mata sembab dan rambut yang kusut, lepek oleh keringat dan air mata.Hari pertama ia masih menjerit, memaki sipir dan semua orang yang lewat di koridor. Hari kedua, ia mulai diam. Hari ketiga, semua teriakannya berubah menjadi bisikan.“Aku bukan penjahat.”“Aku hanya mencintainya.”Namun bisikan itu tak menggema ke mana pun. Dinding penjara hanya memantulkan kejujuran yang selama ini ia tutupi di balik glamor.Seraphine memejamkan mata. Dalam pikirannya, wajah Drazhan kembali muncul. Tegas, dingin. Namun dulu, ia pernah melihat senyum di wa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status