Cahaya lampu kristal berpendar hangat di ruang utama rumah keluarga itu, tetapi kehangatannya sama sekali tidak terasa bagi Alessia. Ia duduk di kursi panjang berlapis beludru, gaun hitam yang baru saja dipilihnya pagi tadi membalut tubuhnya, membuatnya tampak anggun sekaligus rapuh. Hatinya gelisah, sebab di ruangan itu akhirnya ia harus berhadapan langsung dengan sosok yang sejak malam pertama nyaris menghilang, Drazhan.
Pintu berat kayu ek terbuka. Langkah-langkah tegap bergema, seolah dunia ikut berhenti menyimak. Drazhan masuk, jasnya rapi, dasi merah darah menonjol di balik dada bidangnya. Wajahnya tanpa senyum, matanya tajam seperti bilah baja. Aroma asap tembakau dan parfum maskulin melekat, membuat udara di ruangan tiba-tiba lebih pekat. Alessia menelan ludah. Jantungnya berdegup tidak karuan. Drazhan berdiri beberapa detik menatapnya, lalu melangkah mendekat. “Kamu sudah belajar bersikap di depan keluarga?” katanya dingin. Suaranya dalam, bergema, membuat tubuh Alessia bergetar halus. “Aku mencoba,” jawab Alessia lirih, hampir tidak terdengar. Sudut bibir Drazhan terangkat samar, entah senyum entah ejekan. Ia duduk di kursi di hadapan Alessia, bersandar santai namun aura menguasainya tak bisa disangkal. “Mereka menatapmu malam ini. Setiap gerakmu dinilai, setiap senyummu ditimbang. Kamu harus paham, mulai saat ini kamu bukan lagi sekadar perempuan biasa. Kamu adalah istriku. Itu artinya wajahmu adalah wajahku.” Alessia menggenggam jemarinya sendiri. Ia ingin berkata banyak, menjerit mungkin, tapi kata-kata yang keluar hanyalah, “Apakah aku hanya simbol?” Tatapan Drazhan menusuknya. “Simbol adalah kekuatan. Banyak orang membunuh demi simbol. Kamu harus belajar melihatnya begitu.” Ada jeda panjang. Hening itu membuat napas Alessia kian berat. Ia menatap suaminya, seorang pria yang dari jauh tampak sempurna, dari dekat ternyata seperti labirin penuh rahasia. “Lalu apa gunanya pernikahan ini bagiku?” pertanyaan itu lolos sebelum sempat ia tahan. Drazhan mencondongkan tubuh, kedua sikunya bertumpu di lutut. Matanya menatap lurus, nyaris tanpa kedip. “Kamu hidup. Keluargamu tetap utuh. Itu lebih dari cukup.” Kata-kata itu bagai belati menembus dada Alessia. Ia menunduk, air mata hampir lolos, namun segera ia tahan. Ia tahu menangis di depan pria ini hanya akan membuat dirinya semakin kecil. Tak lama kemudian, Rafael masuk, menyampaikan sesuatu dalam bisikan cepat. Drazhan mendengarkan dengan wajah dingin, lalu bangkit berdiri. “Ikut,” katanya pada Alessia. “A-apa?” Alessia kaget. “Sudah saatnya kamu tahu di dunia mana kamu berdiri. Jangan kira aku menikahimu untuk sekadar mengisi kursi kosong.” Alessia bangkit, meski tubuhnya bergetar. Ia mengikuti langkah Drazhan melewati lorong panjang, menuruni tangga menuju ruang bawah tanah yang belum pernah ia jamah. Pintu besi besar terbuka, aroma logam dan asap rokok langsung menyergap. Ruangan itu penuh pria bertubuh besar, beberapa bersenjata, beberapa berjas rapi. Di tengahnya meja panjang berlapis kaca, di atasnya peta kota dengan tanda-tanda merah, foto-foto, serta tumpukan berkas. Alessia terdiam, merasa seperti masuk ke dunia film kriminal, hanya saja ini nyata, dan ia adalah bagian dari perannya. Drazhan duduk di kursi utama, semua orang menunduk sedikit tanda hormat. Alessia berdiri agak jauh, mencoba berbaur dengan bayangan. Salah satu pria membuka berkas, berbicara dengan nada tegang. “Tuan, shipment dari Odessa berhasil sampai. Tapi ada kabar buruk. Salah satu jalur kita dibongkar oleh polisi. Ada orang dalam yang membocorkan.” Wajah Drazhan berubah kelam. “Siapa?” “Kami masih melacak. Tapi kemungkinan besar orang dari lingkaran dalam keluarga sendiri.” Ruangan mendadak dingin. Alessia menggigil, meski udara tidak berubah. Ia menatap punggung Drazhan yang tegap, menyadari bahwa pria ini bukan hanya pemimpin, tapi juga penguasa dalam dunia kelam. “Cari dia. Seret kepalanya padaku sebelum matahari berikutnya terbit,” ucap Drazhan. Kalimatnya pelan, namun mengandung ancaman yang begitu nyata. Semua orang mengangguk. Beberapa segera bergerak keluar, langkah mereka berat dan penuh tekad. Alessia nyaris tak bisa bernapas. Ia sadar, ia menikah dengan pria yang mengendalikan maut dengan kalimat sesingkat itu. Drazhan menoleh ke arahnya. “Takut?” tanyanya tenang, seakan baru saja tidak mengirim orang menuju eksekusi. Alessia menatapnya lama. “Aku tidak tahu harus bagaimana.” Mata Drazhan menyipit. Ia mendekat, jaraknya hanya beberapa langkah darinya. “Kamu harus belajar cepat. Dunia ini tidak memberi waktu untuk ragu. Kamu istri Don. Artinya, jika musuh mengincar, kamu adalah target pertama.” Kalimat itu menghantam keras. Alessia mendadak merasa seluruh tubuhnya terperangkap, bukan hanya oleh cincin di jarinya, tapi juga oleh lingkaran api yang tak bisa ia elak. ♣♣♣ Malam semakin larut. Rapat usai, para pria pergi dengan urusan masing-masing. Drazhan tetap berdiri, memandangi peta kota dengan sorot mata penuh hitung-hitungan. Alessia mendekat pelan, keberaniannya datang dari rasa putus asa. “Kenapa aku harus di sini? Kenapa aku harus melihat semua ini?” Drazhan menoleh singkat. “Karena aku ingin kamu tahu siapa aku sebenarnya. Tidak ada kebohongan. Tidak ada dongeng cinta. Hanya kenyataan. Jika kamu tetap ingin bertahan, maka bertahanlah. Jika tidak…” ia berhenti, menatap tajam. “Tidak ada jalan keluar.” Alessia tercekat. Untuk pertama kalinya ia benar-benar melihat belenggu yang sesungguhnya, bukan gaun, bukan pesta, bukan keluarga yang serakah. Melainkan pria di hadapannya, dengan kuasa yang menjerat bukan hanya tubuh, tapi juga jiwa. Namun di balik dinginnya tatapan itu, ada sesuatu yang sulit ia mengerti, bekas luka mungkin, atau kesepian yang tidak pernah ia ucapkan. Ia berbalik, menatap bayangan dirinya di dinding beton. Dalam hati ia tahu, malam itu hanyalah awal. Awal dari pertempuran sunyi antara dirinya, belenggu cinta yang tak pernah ia pilih, dan dunia mafia yang kini menutup rapat setiap jalan pulang.Udara segar menyusup lewat celah jendela, membawa aroma tanah basah dan bunga mawar yang baru mekar di taman belakang mansion keluarga Drazhan, embun masih bergelayut pada ujung daun, memantulkan cahaya matahari yang malu-malu menembus ranting.Alessia berdiri di tengah taman dengan selendang tipis menutupi bahunya. Gaun putih yang ia kenakan tampak lembut berkilau disinari cahaya pagi. Ia menatap rerumputan yang basah, merasakan udara dingin menempel di kulitnya, sensasi sederhana yang hampir ia lupakan sejak hari pertama dikurung dalam kemewahan rumah ini.Di tempat ini, setiap langkahnya diawasi. Setiap kata yang keluar dari bibirnya bisa menjadi alasan untuk dimarahi. Namun pagi ini, ketika para pelayan sibuk di dapur, ia mencuri waktu untuk sekadar menghirup udara bebas. Taman itu menjadi tempat pelariannya yang sunyi.“Udara masih dingin, Nyonya. Sebaiknya Anda kenakan syal lebih tebal,” suara lembut itu datang dari belakang.Alessia menoleh pelan. Rafael berdiri di sana, mengen
Api kecil di perapian ruang kerja Drazhan memantulkan cahaya oranye ke dinding, menciptakan bayangan panjang dari sosok pria yang berdiri di depan rak buku besar.Drazhan menatap gelas anggur di tangannya. Cairan merah di dalamnya berputar pelan, memantulkan cahaya seperti darah. Malam ini, pikirannya tidak tenang. Ada sesuatu yang mengusik, tapi ia tidak ingin mengakui apa itu.Ketika pintu ruang kerjanya terbuka dengan kasar, ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.“Drazhan!” Suara Seraphine terdengar nyaring, nyaris bergetar karena amarah yang ditahan. Hak sepatunya bergema di lantai marmer ketika melangkah masuk tanpa izin. “Bagus sekali, ibumu akhirnya datang dan langsung jatuh hati pada gadis itu.”Drazhan tidak bergerak. Ia hanya mengangkat gelasnya dan meneguk sedikit. “Kamu seharusnya tahu cara berbicara dengan sopan di rumah ini, Seraphine.”Seraphine menatapnya tajam. “Sopan? Setelah semua yang kulakukan untukmu, kamu masih berani bicara soal sopan? Kamu tahu
Langit sore itu menggantung kelabu, tapi di dalam rumah keluarga Drazhan, suasananya justru terasa lebih berisik dari biasanya. Pelayan berlalu-lalang dengan wajah cemas, memoles meja, menyusun bunga di vas kristal, dan memastikan setiap perabot tampak sempurna. Alessia berdiri di depan cermin besar di ruang tengah, mengenakan gaun pastel sederhana yang dipilihkan salah satu pelayan.“Untuk menyambut Nyonya Valentina,” ujar salah satu di antara mereka dengan suara setengah bergetar.Nama itu saja sudah cukup membuat dada Alessia berdebar. Ibunda Drazhan, wanita yang dikenal elegan sekaligus berpengaruh besar dalam dunia bisnis internasional.Drazhan sendiri sejak pagi bersikap lebih pendiam dari biasanya. Ia tidak menatap Alessia, tidak pula bicara sepatah kata pun. Hanya satu instruksi dingin yang keluar dari bibirnya sebelum ia pergi mempersiapkan diri.“Jaga sikapmu. Ibuku tidak menyukai kepalsuan.”Kata-kata itu seperti belati halus. Alessia tidak tahu apakah ia harus merasa gugup
Suara hujan deras mengguyur kaca jendela besar yang tidak tertutup rapat, memberikan kesan kehidupan bagi ruang sunyi yang menyelimuti kamar Alessia. Setelah tangisnya reda, ia hanya duduk terdiam di lantai, tubuhnya gemetar. Pikirannya kacau, tetapi hatinya lebih parah lagi.Pernikahan yang seharusnya menjadi awal baru, justru terasa seperti hukuman mati yang berjalan lambat. Setiap detik bersama Drazhan mengikis sedikit demi sedikit kewarasannya."Tolong!"Alessia mendengar sesuatu. Lalu terdengar suara pintu bawah terbuka keras, pintu yang terhubung dengan kamarnya menuju tempat rahasia di bawah tanah, langkah-langkah tergesa, suara teriakan samar, bukan suara pelayan. Alessia bangkit dan mencoba membuka pintu rahasia untuk mengintip. Ia melihat beberapa pria berbadan besar menyeret seorang laki-laki dengan wajah penuh darah. Mulutnya dibekap, tangannya terikat. Alessia menutup mulutnya sendiri agar tidak berteriak. Napasnya tercekat ketika matanya menangkap sosok Drazhan yang b
Pagi itu, matahari menyelinap lewat kaca tinggi jendela kamar Alessia, tapi sinarnya tidak membawa hangat. Hanya cahaya dingin yang membuat ruangan tampak lebih kosong dari biasanya. Alessia duduk di tepi ranjang yang kemarin tak pernah ia sentuh. Tangannya bermain dengan cincin di jari manisnya, cincin yang terasa lebih berat dari seharusnyaaMalam tadi, kata-kata Drazhan masih terngiang jelas. “Tidak ada jalan keluar.”Dan kini satu pertanyaan lain terus menghantuinya, mengapa aku?Ia memikirkan Seraphine. Wajahnya, sikapnya, keanggunannya. Wanita itu jelas lebih layak berada di sisi seorang pria seperti Drazhan. Seraphine tahu dunia mereka, tahu bagaimana bermain dengan citra, tahu cara menaklukkan ruang penuh mata-mata. Lalu, mengapa ia yang hanya seorang gadis biasa, dipaksa masuk ke lingkaran maut ini?Pintu kamar berderit. Drazhan masuk tanpa mengetuk, jas hitamnya masih sama dengan malam tadi, seolah ia tidak pernah benar-benar tidur.Alessia menatapnya, dada miliknya tiba-tib
Cahaya lampu kristal berpendar hangat di ruang utama rumah keluarga itu, tetapi kehangatannya sama sekali tidak terasa bagi Alessia. Ia duduk di kursi panjang berlapis beludru, gaun hitam yang baru saja dipilihnya pagi tadi membalut tubuhnya, membuatnya tampak anggun sekaligus rapuh. Hatinya gelisah, sebab di ruangan itu akhirnya ia harus berhadapan langsung dengan sosok yang sejak malam pertama nyaris menghilang, Drazhan.Pintu berat kayu ek terbuka. Langkah-langkah tegap bergema, seolah dunia ikut berhenti menyimak. Drazhan masuk, jasnya rapi, dasi merah darah menonjol di balik dada bidangnya. Wajahnya tanpa senyum, matanya tajam seperti bilah baja. Aroma asap tembakau dan parfum maskulin melekat, membuat udara di ruangan tiba-tiba lebih pekat.Alessia menelan ludah. Jantungnya berdegup tidak karuan.Drazhan berdiri beberapa detik menatapnya, lalu melangkah mendekat. “Kamu sudah belajar bersikap di depan keluarga?” katanya dingin. Suaranya dalam, bergema, membuat tubuh Alessia berge