MasukSuara hujan deras mengguyur kaca jendela besar yang tidak tertutup rapat, memberikan kesan kehidupan bagi ruang sunyi yang menyelimuti kamar Alessia. Setelah tangisnya reda, ia hanya duduk terdiam di lantai, tubuhnya gemetar. Pikirannya kacau, tetapi hatinya lebih parah lagi.
Pernikahan yang seharusnya menjadi awal baru, justru terasa seperti hukuman mati yang berjalan lambat. Setiap detik bersama Drazhan mengikis sedikit demi sedikit kewarasannya. "Tolong!" Alessia mendengar sesuatu. Lalu terdengar suara pintu bawah terbuka keras, pintu yang terhubung dengan kamarnya menuju tempat rahasia di bawah tanah, langkah-langkah tergesa, suara teriakan samar, bukan suara pelayan. Alessia bangkit dan mencoba membuka pintu rahasia untuk mengintip. Ia melihat beberapa pria berbadan besar menyeret seorang laki-laki dengan wajah penuh darah. Mulutnya dibekap, tangannya terikat. Alessia menutup mulutnya sendiri agar tidak berteriak. Napasnya tercekat ketika matanya menangkap sosok Drazhan yang berjalan di belakang mereka. Jas hitamnya basah oleh hujan, rambutnya jatuh ke kening, dan sorot matanya begitu dingin, seolah bukan manusia. Mereka menyeret pria itu ke ruang bawah tanah. Alessia tidak bisa menahan diri. Ia membuka pintu rahasia perlahan, melangkah hati-hati menuruni lorong, lalu menyelinap di balik dinding menuju arah tangga paling tersembunyi. Suara besi bergemerincing memenuhi ruang bawah tanah. Lampu redup bergoyang, memantulkan bayangan menyeramkan di dinding. Alessia masih bersembunyi di balik celah pintu ruang eksekusi yang sedikit terbuka. Di sana, ia melihat Drazhan duduk di kursi dengan kaki bersilang, rokok menyala di tangannya. Asapnya melayang, menciptakan kabut tipis. Di hadapannya, pria yang diseret tadi diikat pada kursi, wajahnya babak belur. Darah menetes ke lantai, bercampur dengan air hujan yang masih menetes dari pakaiannya. “Siapa yang membayarmu?” suara Drazhan rendah, tapi penuh ancaman. Pria itu terisak, berusaha bicara di sela nafas tersengal. “Aku, aku hanya disuruh. Aku tak tahu siapa, hanya pesan lewat orang.” Satu gerakan tangan dari Drazhan, dan anak buahnya menghantamkan tongkat besi ke lutut pria itu. Jeritannya menggema, membuat Alessia terlonjak ketakutan. Drazhan mencondongkan tubuh, suaranya dingin bagai es. “Kamu pikir aku main-main? Dunia ini tidak memberi ampun pada orang bodoh.” Ia menekan wajah pria itu dengan ujung sepatunya, membuat darah semakin banyak mengalir. “Jika kamu tidak bicara, keluargamu yang akan mati duluan.” Alessia menutup mulut, menahan tangis. Ia ingin pergi, ingin berhenti melihat, tapi kakinya membeku. Bagian dalam dirinya yang masih naif runtuh seketika. Inilah sisi lain dari pria yang kini memanggilnya ‘istriku’. Bukan hanya dingin. Bukan hanya kejam. Dia adalah monster. Alessia mundur pelan, tapi lantai berdecit. Pintu tempat ia bersembunyi bergeser sedikit. Suara itu cukup untuk membuat kepala Drazhan terangkat cepat. Tatapan matanya langsung mengarah ke sana. Tatapan tajam, menembus gelap. Alessia menahan napas, tubuhnya kaku. “Bawa dia pergi!” perintah Drazhan dingin pada anak buahnya, menunjuk tawanan penuh luka. Drazhan lalu berjalan pelan ke arah pintu. Setiap langkahnya terdengar berat, menggema seperti suara palu di jantung Alessia. Pintu dibuka lebar. Di baliknya, Alessia berdiri gemetar, wajahnya pucat pasi. Drazhan menatapnya lama, tanpa berkata apa pun. Rokok di tangannya masih menyala, asapnya mengepul di udara pengap. Akhirnya ia berbisik, suaranya nyaris menakutkan. “Kamu seharusnya tidak melihat ini, Alessia.” Tangannya terulur, mencengkeram lengan Alessia kuat. Alessia berusaha melawan, tapi cengkeraman itu bagaikan belenggu baja. Drazhan menyeretnya menjauh dari ruang bawah tanah, menaiki tangga dengan paksa. Sampai di kamar, Drazhan menutup pintu keras-keras. Alessia tersudut, punggungnya menempel ke dinding. “Apa yang kamu lihat tadi akan menghilang dari ingatanmu. Kalau tidak…” ia mendekat, wajahnya begitu dekat hingga Alessia bisa merasakan panas nafasnya yang bercampur bau asap rokok. “…kamu yang akan menggantikannya di kursi itu.” Air mata Alessia pecah, tubuhnya gemetar hebat. Ia tahu ancaman itu nyata. Dunia tempatnya terjebak bukan sekadar kisah cinta atau sakit hati. Ini dunia mafia. Dunia darah dan kematian dan ia tidak tahu, sampai kapan bisa bertahan hidup di dalamnya.Lima menit setelah kejadian di balkon, seluruh komplek mansion berubah menjadi benteng perang. Lampu sorot dinyalakan, alarm keamanan tersembunyi aktif dan puluhan anak buah Drazhan diposisikan di sudut-sudut strategis. Senjata berat muncul dari ruang bawah tanah seperti hewan buas yang dibangunkan.Drazhan duduk di tepi ranjang Alessia, mengusap perlahan pipi istrinya yang masih berdarah. Luka tipis, tapi cukup untuk membuat amarahnya melonjak melewati batas manusia.Dokter pribadi Drazhan mengobati luka Alessia tapi tangan Drazhan tidak pernah sekali pun melepaskan pinggangnya. Tubuh Alessia masih gemetar, ekspresinya pucat dan itu saja cukup untuk menyalakan neraka di dada Drazhan.Ketika dokter selesai, Drazhan berdiri dalam diam yang mematikan.Rafael tahu tanda itu. Semua orang di ruangan tahu. Drazhan bukan hanya marah. Dia berubah menjadi sesuatu yang tidak boleh dibangunkan.“Rafael,” vokalnya rendah bagai racun.“Ya, Tuan?”“Siapkan mobil lapis baja. Bawa orang-orang yang se
Malam itu sunyi, terlalu sunyi. Tidak ada burung malam, tidak ada angin yang menerpa pepohonan. Seolah dunia menahan napas.Alessia berdiri di balkon kamarnya, memandang lampu-lampu taman sendirian. Drazhan sedang berada di ruang rapat bawah, mengatur serangan selanjutnya untuk memburu Seraphine san anehnya, Alessia merasa ada sesuatu di udara yang tidak bisa ia jelaskan. Rasa dingin yang bukan berasal dari hujan. Ia memeluk dirinya, hendak masuk kembali ke kamarSaat Alessia berjalan satu langkah, ia mendengar suara kecil. Suara yang tak wajar. Ia segera menoleh dan mendapati sebuah batu kecil memantul di lantai balkon. Terikat pada seutas tali tipis warna hitam.Alessia mendekat perlahan. Jantungnya mulai berdegup aneh ketika ia meraih benda itu..Batu itu diikatkan pada sebilah gigi manusia.Darahnya langsung membeku. Tangannya bergetar, hampir menjatuhkan benda mengerikan itu. Sebelum Alessia bisa bergerak, sesuatu berdesing cepat dari bawah. Suara tembakan cukup keras dan kaca bal
Rumah besar milik Alexei dipenuhi ketegangan yang menajamkan udara malam. Pintu ruang kerja terbanting ketika Alexei masuk, wajahnya gelap, sorot matanya tajam seperti bilah yang baru diasah. “Dia kabur,” desisnya, suaranya rendah namun penuh ledakan yang tertahan. Viktor yang berdiri di dekat jendela langsung menoleh. “Seraphine tidak punya cukup orang untuk melakukan itu. Siapa pun yang membawanya keluar pasti bukan kelompok kecil.” Alexei menghantam meja kayu dengan tinjunya..“Dia tidak bisa menghilang begitu saja! Dia tidak cukup pintar untuk merencanakan pelarian bersih.” “Kami dapat laporan dari lapangan.” Mikhail meletakkan beberapa berkas dan foto di meja. “Orang yang membawa Seraphine kabur menghancurkan semua CCTV tapi ada satu hal, satu kesalahan kecil.” Alexei mendekat dengan langkah besar, meraih foto buram yang dicetak dari rekaman terakhir CCTV sebelum kamera dihancurkan. Gambar itu menunjukkan seorang pria berjas gelap keluar dari mobil van. Hanya sebagian wajah
Van hitam itu berhenti di sebuah gudang tua di pinggiran kota. Udara di dalam pengap, bau besi karat dan bahan bakar memenuhi ruangan. Seraphine terseret keluar oleh dua pria bersenjata, lalu diseret ke sebuah ruangan luas yang diterangi satu lampu gantung berayun pelan. “Lepaskan dia!” Suara itu berat, dalam, dan mengandung wibawa dingin yang langsung membuat seluruh penjaga menunduk. Seraphine mendongak pelan, pandangannya kabur tapi tajam. Di hadapannya berdiri seorang pria berusia sekitar lima puluhan, mengenakan mantel hitam panjang, dengan mata tajam yang mirip dengan mata milik Drazhan, namun lebih tua, lebih licik. Pipi kirinya menyimpan luka lama yang membentuk garis miring dari tulang pipi hingga rahang. “Sergei,” desis Seraphine pelan. “Aku pikir kamu sudah mati beberapa tahun lalu, bahkan aku sempat menghadiri pemakamanmu.” Pria itu tersenyum miring. “Dunia hanya tahu apa yang kuizinkan mereka tahu.” Seraphine menatapnya lekat-lekat, lalu tertawa lirih. “Jadi, paman
Langit sore di atas gedung pengadilan tampak berat, seakan ikut menindih setiap napas yang keluar dari dada Seraphine. Ia duduk di kursi terdakwa dengan borgol di pergelangan tangan, wajahnya pucat, rambutnya berantakan, dan senyum tipis yang selama ini menjadi senjata paling mematikan kini tak lagi mampu menyembunyikan kehancurannya.Ruang sidang dipenuhi wartawan dan pejabat tinggi. Mikrofon-mikrofon diarahkan padanya, kilatan lampu kamera menyambar tanpa henti. Di meja depan, jaksa membacakan tuntutan dengan suara lantang, setiap kata mengiris seperti belati.“Terdakwa Nona Seraphine dijatuhi dakwaan berlapis, penculikan, penyiksaan berat, percobaan pembunuhan terhadap Nyonya Alessia Drazhan, serta pembunuhan berencana terhadap dua korban lain. Semua bukti telah dinyatakan sah dan tak terbantahkan.”Seraphine mendengar dakwaan untuknya tanpa berkedip. Semua urat-uratnya terasa menegang, ia belum siap dengan semua ini. Ia ingin memohon pada Drazhan yang hadir paling depan tapi pria
Udara di dalam sel itu lembap, bau karat bercampur keringat dan sabun murahan menyesakkan dada. Seraphine duduk bersandar pada dinding dingin di pojok ruangan berukuran tiga kali tiga meter. Matanya menatap kosong pada bayangan dirinya yang terpantul samar di lantai semen yang basah.Tak ada cermin besar di sini.Tak ada cahaya kamera.Tak ada tepuk tangan, make-up, atau baju mahal yang dulu membuatnya tampak seperti dewi.Hanya wajah pucat dengan mata sembab dan rambut yang kusut, lepek oleh keringat dan air mata.Hari pertama ia masih menjerit, memaki sipir dan semua orang yang lewat di koridor. Hari kedua, ia mulai diam. Hari ketiga, semua teriakannya berubah menjadi bisikan.“Aku bukan penjahat.”“Aku hanya mencintainya.”Namun bisikan itu tak menggema ke mana pun. Dinding penjara hanya memantulkan kejujuran yang selama ini ia tutupi di balik glamor.Seraphine memejamkan mata. Dalam pikirannya, wajah Drazhan kembali muncul. Tegas, dingin. Namun dulu, ia pernah melihat senyum di wa






