Langit sore itu menggantung kelabu, tapi di dalam rumah keluarga Drazhan, suasananya justru terasa lebih berisik dari biasanya. Pelayan berlalu-lalang dengan wajah cemas, memoles meja, menyusun bunga di vas kristal, dan memastikan setiap perabot tampak sempurna. Alessia berdiri di depan cermin besar di ruang tengah, mengenakan gaun pastel sederhana yang dipilihkan salah satu pelayan.
“Untuk menyambut Nyonya Valentina,” ujar salah satu di antara mereka dengan suara setengah bergetar. Nama itu saja sudah cukup membuat dada Alessia berdebar. Ibunda Drazhan, wanita yang dikenal elegan sekaligus berpengaruh besar dalam dunia bisnis internasional. Drazhan sendiri sejak pagi bersikap lebih pendiam dari biasanya. Ia tidak menatap Alessia, tidak pula bicara sepatah kata pun. Hanya satu instruksi dingin yang keluar dari bibirnya sebelum ia pergi mempersiapkan diri. “Jaga sikapmu. Ibuku tidak menyukai kepalsuan.” Kata-kata itu seperti belati halus. Alessia tidak tahu apakah ia harus merasa gugup karena takut berbuat salah, atau karena ingin tahu seperti apa sebenarnya sosok yang melahirkan pria sekejam Drazhan. Sore menjelang malam ketika mobil hitam panjang berhenti di depan halaman mansion. Dari dalamnya turun seorang wanita anggun berusia lima puluhan, mengenakan mantel krem dan kacamata hitam. Di belakangnya, beberapa pengawal pribadi mengikuti langkahnya dengan sopan. Begitu Nyonya Valentina masuk ke ruang tamu, semua orang menunduk hormat. Namun saat matanya jatuh pada Alessia yang berdiri canggung di samping pilar marmer, senyumnya langsung merekah. “Jadi ini menantuku?” suaranya lembut, namun penuh wibawa. Alessia menunduk dalam, mencoba sopan. “Selamat datang, Nyonya.” “Panggil aku Mama, sayang.” Nyonya Valentina menghampiri dan memegang kedua tangan Alessia dengan hangat. “Oh, kamu jauh lebih cantik daripada yang kukira. Mata kamu, seperti membawa kedamaian di tengah badai.” Kalimat itu membuat semua pelayan saling pandang, bahkan Drazhan yang baru saja muncul di ambang pintu sempat terdiam. Hanya satu orang yang tidak bisa menyembunyikan ekspresinya, Seraphine. Wanita berambut pirang itu berdiri di dekat bar, menyilangkan tangan di dada. Tatapannya menajam seperti belati ketika melihat betapa cepatnya Nyonya Valentina memeluk Alessia. “Dia terlihat, sederhana sekali,” ujar Seraphine dengan senyum tipis, seolah ingin menyamarkan nada merendahkan di balik kata-katanya. Nyonya Valentina menoleh ringan. “Kesederhanaan adalah hal yang langka di antara orang-orang yang terlalu sibuk menutupi kekurangannya dengan kemewahan, bukan begitu, Seraphine?” Seraphine terdiam, wajahnya menegang sesaat. Sementara Drazhan menahan diri untuk tidak menunjukkan reaksi apa pun. Makan malam berlangsung dalam suasana aneh, antara hangat dan tegang. Nyonya Valentina tampak sangat menikmati percakapan dengan Alessia. Mereka berbicara tentang buku, taman, dan perjalanan kecil di masa lalu. Setiap kali Alessia menjawab dengan jujur dan lembut, wanita tua itu menatapnya dengan binar sayang, seolah menemukan sesuatu yang telah lama hilang. Di sisi lain meja, Seraphine menggenggam garpu terlalu keras hingga buku jarinya memutih. Ia menatap Alessia dengan penuh iri, gadis itu yang baru saja masuk ke dalam kehidupan mereka kini sudah mencuri perhatian ibu Drazhan yang bahkan dulu sulit ia dekati. Sementara Drazhan duduk diam, matanya sesekali terarah pada Alessia tanpa ia sadari. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya sejak tadi. Mungkin cara Alessia tersenyum canggung, atau bagaimana wajahnya terlihat lelah namun tetap menunduk sopan setiap kali bicara. Di dalam kepalanya, ada dorongan aneh, keinginan untuk menyentuh pipi itu, sekadar menyingkirkan helai rambut yang jatuh di pelipisnya. Tapi ia menahan diri. Sebuah bayangan melintas di pikirannya, Seraphine. Janji yang dulu ia buat bersamanya. Janji untuk tidak jatuh hati pada siapa pun yang bukan bagian dari permainan mereka. Ia mengatupkan rahang, meneguk anggur dalam diam. Setelah makan malam usai, Nyonya Valentina berdiri dan menatap Drazhan dengan sorot lembut namun tegas. “Drazhan, aku ingin berbicara berdua dengan menantuku.” Drazhan menatap ibunya sejenak, lalu menoleh pada Alessia. “Jangan berlama-lama,” katanya datar, sebelum berjalan pergi ke ruang kerja. Begitu Drazhan menghilang di balik pintu, Nyonya Valentina menggenggam tangan Alessia. “Aku tahu anakku tidak mudah,” ucapnya pelan. “Tapi jangan takut padanya. Ia punya luka lebih dalam dari yang bisa kau bayangkan. Luka itu membuatnya lupa bagaimana caranya mencintai.” Alessia menatap wanita itu, hatinya tercekat. Untuk sesaat, ia merasa seperti mendengar sesuatu yang lebih jujur daripada semua yang pernah keluar dari mulut Drazhan. “Terima kasih, Mama,” katanya lirih. Nyonya Valentina tersenyum lembut. “Kamu adalah harapan kecilku untuknya. Jangan menyerah, Alessia.” Namun di balik tirai jauh di sudut ruangan, Seraphine mendengarkan semuanya. Senyumnya perlahan muncul, senyum tajam dan berbahaya. “Harapan kecil, ya?” bisiknya sendiri. “Kita lihat berapa lama harapan itu bertahan ketika rahasia Drazhan terbuka.”Udara segar menyusup lewat celah jendela, membawa aroma tanah basah dan bunga mawar yang baru mekar di taman belakang mansion keluarga Drazhan, embun masih bergelayut pada ujung daun, memantulkan cahaya matahari yang malu-malu menembus ranting.Alessia berdiri di tengah taman dengan selendang tipis menutupi bahunya. Gaun putih yang ia kenakan tampak lembut berkilau disinari cahaya pagi. Ia menatap rerumputan yang basah, merasakan udara dingin menempel di kulitnya, sensasi sederhana yang hampir ia lupakan sejak hari pertama dikurung dalam kemewahan rumah ini.Di tempat ini, setiap langkahnya diawasi. Setiap kata yang keluar dari bibirnya bisa menjadi alasan untuk dimarahi. Namun pagi ini, ketika para pelayan sibuk di dapur, ia mencuri waktu untuk sekadar menghirup udara bebas. Taman itu menjadi tempat pelariannya yang sunyi.“Udara masih dingin, Nyonya. Sebaiknya Anda kenakan syal lebih tebal,” suara lembut itu datang dari belakang.Alessia menoleh pelan. Rafael berdiri di sana, mengen
Api kecil di perapian ruang kerja Drazhan memantulkan cahaya oranye ke dinding, menciptakan bayangan panjang dari sosok pria yang berdiri di depan rak buku besar.Drazhan menatap gelas anggur di tangannya. Cairan merah di dalamnya berputar pelan, memantulkan cahaya seperti darah. Malam ini, pikirannya tidak tenang. Ada sesuatu yang mengusik, tapi ia tidak ingin mengakui apa itu.Ketika pintu ruang kerjanya terbuka dengan kasar, ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.“Drazhan!” Suara Seraphine terdengar nyaring, nyaris bergetar karena amarah yang ditahan. Hak sepatunya bergema di lantai marmer ketika melangkah masuk tanpa izin. “Bagus sekali, ibumu akhirnya datang dan langsung jatuh hati pada gadis itu.”Drazhan tidak bergerak. Ia hanya mengangkat gelasnya dan meneguk sedikit. “Kamu seharusnya tahu cara berbicara dengan sopan di rumah ini, Seraphine.”Seraphine menatapnya tajam. “Sopan? Setelah semua yang kulakukan untukmu, kamu masih berani bicara soal sopan? Kamu tahu
Langit sore itu menggantung kelabu, tapi di dalam rumah keluarga Drazhan, suasananya justru terasa lebih berisik dari biasanya. Pelayan berlalu-lalang dengan wajah cemas, memoles meja, menyusun bunga di vas kristal, dan memastikan setiap perabot tampak sempurna. Alessia berdiri di depan cermin besar di ruang tengah, mengenakan gaun pastel sederhana yang dipilihkan salah satu pelayan.“Untuk menyambut Nyonya Valentina,” ujar salah satu di antara mereka dengan suara setengah bergetar.Nama itu saja sudah cukup membuat dada Alessia berdebar. Ibunda Drazhan, wanita yang dikenal elegan sekaligus berpengaruh besar dalam dunia bisnis internasional.Drazhan sendiri sejak pagi bersikap lebih pendiam dari biasanya. Ia tidak menatap Alessia, tidak pula bicara sepatah kata pun. Hanya satu instruksi dingin yang keluar dari bibirnya sebelum ia pergi mempersiapkan diri.“Jaga sikapmu. Ibuku tidak menyukai kepalsuan.”Kata-kata itu seperti belati halus. Alessia tidak tahu apakah ia harus merasa gugup
Suara hujan deras mengguyur kaca jendela besar yang tidak tertutup rapat, memberikan kesan kehidupan bagi ruang sunyi yang menyelimuti kamar Alessia. Setelah tangisnya reda, ia hanya duduk terdiam di lantai, tubuhnya gemetar. Pikirannya kacau, tetapi hatinya lebih parah lagi.Pernikahan yang seharusnya menjadi awal baru, justru terasa seperti hukuman mati yang berjalan lambat. Setiap detik bersama Drazhan mengikis sedikit demi sedikit kewarasannya."Tolong!"Alessia mendengar sesuatu. Lalu terdengar suara pintu bawah terbuka keras, pintu yang terhubung dengan kamarnya menuju tempat rahasia di bawah tanah, langkah-langkah tergesa, suara teriakan samar, bukan suara pelayan. Alessia bangkit dan mencoba membuka pintu rahasia untuk mengintip. Ia melihat beberapa pria berbadan besar menyeret seorang laki-laki dengan wajah penuh darah. Mulutnya dibekap, tangannya terikat. Alessia menutup mulutnya sendiri agar tidak berteriak. Napasnya tercekat ketika matanya menangkap sosok Drazhan yang b
Pagi itu, matahari menyelinap lewat kaca tinggi jendela kamar Alessia, tapi sinarnya tidak membawa hangat. Hanya cahaya dingin yang membuat ruangan tampak lebih kosong dari biasanya. Alessia duduk di tepi ranjang yang kemarin tak pernah ia sentuh. Tangannya bermain dengan cincin di jari manisnya, cincin yang terasa lebih berat dari seharusnyaaMalam tadi, kata-kata Drazhan masih terngiang jelas. “Tidak ada jalan keluar.”Dan kini satu pertanyaan lain terus menghantuinya, mengapa aku?Ia memikirkan Seraphine. Wajahnya, sikapnya, keanggunannya. Wanita itu jelas lebih layak berada di sisi seorang pria seperti Drazhan. Seraphine tahu dunia mereka, tahu bagaimana bermain dengan citra, tahu cara menaklukkan ruang penuh mata-mata. Lalu, mengapa ia yang hanya seorang gadis biasa, dipaksa masuk ke lingkaran maut ini?Pintu kamar berderit. Drazhan masuk tanpa mengetuk, jas hitamnya masih sama dengan malam tadi, seolah ia tidak pernah benar-benar tidur.Alessia menatapnya, dada miliknya tiba-tib
Cahaya lampu kristal berpendar hangat di ruang utama rumah keluarga itu, tetapi kehangatannya sama sekali tidak terasa bagi Alessia. Ia duduk di kursi panjang berlapis beludru, gaun hitam yang baru saja dipilihnya pagi tadi membalut tubuhnya, membuatnya tampak anggun sekaligus rapuh. Hatinya gelisah, sebab di ruangan itu akhirnya ia harus berhadapan langsung dengan sosok yang sejak malam pertama nyaris menghilang, Drazhan.Pintu berat kayu ek terbuka. Langkah-langkah tegap bergema, seolah dunia ikut berhenti menyimak. Drazhan masuk, jasnya rapi, dasi merah darah menonjol di balik dada bidangnya. Wajahnya tanpa senyum, matanya tajam seperti bilah baja. Aroma asap tembakau dan parfum maskulin melekat, membuat udara di ruangan tiba-tiba lebih pekat.Alessia menelan ludah. Jantungnya berdegup tidak karuan.Drazhan berdiri beberapa detik menatapnya, lalu melangkah mendekat. “Kamu sudah belajar bersikap di depan keluarga?” katanya dingin. Suaranya dalam, bergema, membuat tubuh Alessia berge