Beranda / Mafia / Belenggu Cinta Sang Don Juan / Bsb 8 Dia Akan Menjadi Ancaman

Share

Bsb 8 Dia Akan Menjadi Ancaman

Penulis: Silentia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-08 08:58:26

Api kecil di perapian ruang kerja Drazhan memantulkan cahaya oranye ke dinding, menciptakan bayangan panjang dari sosok pria yang berdiri di depan rak buku besar.

Drazhan menatap gelas anggur di tangannya. Cairan merah di dalamnya berputar pelan, memantulkan cahaya seperti darah. Malam ini, pikirannya tidak tenang. Ada sesuatu yang mengusik, tapi ia tidak ingin mengakui apa itu.

Ketika pintu ruang kerjanya terbuka dengan kasar, ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.

“Drazhan!” Suara Seraphine terdengar nyaring, nyaris bergetar karena amarah yang ditahan. Hak sepatunya bergema di lantai marmer ketika melangkah masuk tanpa izin.

“Bagus sekali, ibumu akhirnya datang dan langsung jatuh hati pada gadis itu.”

Drazhan tidak bergerak. Ia hanya mengangkat gelasnya dan meneguk sedikit. “Kamu seharusnya tahu cara berbicara dengan sopan di rumah ini, Seraphine.”

Seraphine menatapnya tajam. “Sopan? Setelah semua yang kulakukan untukmu, kamu masih berani bicara soal sopan? Kamu tahu betul seharusnya siapa yang duduk di meja makan itu malam ini, bukan dia!”

Drazhan akhirnya berbalik. Tatapannya dingin seperti es, tapi dalam hitungan detik saja, Seraphine bisa melihat sekilas kelelahan di mata itu.

“Cukup,” ujarnya tenang tapi mematikan. “Kamu tahu apa posisi Alessia di sini. Jangan buat masalah yang tidak perlu. Lagipula semua ini adalah usul yang kamu berikan.”

Seraphine mendengus, berjalan mendekat hingga jarak mereka hanya beberapa langkah. “Masalah? Dia sudah menjadi masalah, Drazhan! Ibumu dulu tidak pernah melihatku seperti itu. Bahkan dia terlihat tidak menyukaiku tapi dengan Alessia semua berbeda, ibumu memeluknya seperti putrinya sendiri. Kamu tahu apa artinya itu? Dia akan menjadi ancaman. Jika kamu tidak menghentikannya sekarang, dia akan menghancurkan semua yang kita bangun.”

Tatapan Drazhan mengeras. “Berhenti. Kamu bicara seolah aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.”

“Buktikan!” sergah Seraphine cepat. “Hukum dia. Buat dia tahu tempatnya. Buat ibumu sadar siapa sebenarnya perempuan satu-satunya dalam hidupmu!”

Hening. Hanya suara letupan api yang terdengar.

Drazhan menatap kosong ke arah perapian. Di dalam dirinya, ada sesuatu yang bergejolak. Ia bisa saja menuruti Seraphine. Semua itu selalu ia lakukan tapi entah kenapa, sejak melihat mata Alessia menatapnya dengan ketakutan tadi malam, hatinya terasa lebih berat untuk sekadar memerintah orang lain menyakitinya.

Sebelum ia sempat menjawab, pintu ruang kerja diketuk pelan. Seorang pria muda berjas hitam masuk, Rafael asisten pribadi sekaligus orang yang paling lama berada di sisi Drazhan.

“Maaf, Tuan,” ucapnya sopan, matanya sekilas melirik Seraphine yang tampak tegang. “Saya mendengar suara keras dari luar. Apakah semuanya baik-baik saja?”

Seraphine menatap tajam. “Keluar. Ini bukan urusanmu.”

Namun Drazhan mengangkat tangan, menghentikannya. “Biarkan dia bicara.”

Rafael menunduk sedikit, lalu melangkah lebih dekat. “Dengan segala hormat, Tuan. Saya tahu Anda marah, tapi jangan ambil keputusan sekarang. Anda tidak sedang berhadapan dengan musuh bisnis. Ini keluarga Anda dan....” tatapannya bergeser sekilas pada Seraphine, “orang-orang di sekitar Anda menunggu kesalahan sekecil apa pun untuk menjatuhkan reputasi Anda.”

Drazhan mendengus pelan. “Kamu pikir aku takut kehilangan nama baik?”

“Bukan nama baik, Tuan,” Rafael menatapnya tajam. “Kendali.”

Kata itu menggantung lama di udara, cukup lama untuk membuat Seraphine menegang.

Rafael melanjutkan dengan tenang, “Jika Anda menghukum Nyonya Alessia hanya karena dorongan emosi orang lain, Anda memberi mereka bukti bahwa Anda bisa diprovokasi dan begitu itu terjadi, permainan selesai. Anda bukan lagi sang pengendali, tapi yang dikendalikan. Menurut saya, Nyonya Alessia tidak memiliki kesalahan disini, dia hanya pion yang Anda dan Nona Seraphine tarik paksa untuk masuk.”

Drazhan menatap Rafael lama, ekspresinya sulit terbaca. Antara marah, berpikir, dan menahan diri.

Sementara itu, Seraphine terlihat mulai gelisah. “Rafael, kamu bicara seolah kamu tahu segalanya tapi kamu lupa satu hal, Drazhan membuat kesepakatan denganku! Alessia memang hanya pion, dia alat....”

“Cukup!” suara Drazhan membentak keras, menggema hingga kaca jendela bergetar.

Seraphine terdiam. Matanya melebar, mulutnya terkatup.

Drazhan melangkah maju, berdiri begitu dekat hingga Seraphine bisa mencium aroma tembakau dan parfum maskulin yang tajam.

“Jangan pernah sebut Alessia seperti itu di rumah ini,” suaranya rendah, tapi lebih berbahaya dari teriakan. “Aku yang membuat keputusan. Bukan kamu, bukan ibuku, dan bukan siapa pun.”

Seraphine menelan ludah, rasa takut tipis mulai muncul di wajahnya. Namun ia tetap mencoba tersenyum sinis. “Kamu mulai berubah, Drazhan. Aku bisa melihatnya di matamu. Kamu pikir aku tidak tahu kenapa kamu mulai tergoda dengan wanita kampungan itu? Kamu tidak ingin dia pergi, bukan? Kamu takut kehilangannya.”

Drazhan memejamkan mata, menahan emosi yang hampir meledak. Ia tidak menjawab.

Rafael menunduk dalam, tahu waktunya untuk mengakhiri perdebatan. “Tuan, biarkan saya yang urus masalah keamanan malam ini. Anda sebaiknya beristirahat.”

Seraphine masih menatap Drazhan, penuh amarah dan luka. “Kamu akan menyesal,” bisiknya sebelum berbalik dan keluar, menutup pintu keras-keras di belakangnya.

Sunyi kembali memenuhi ruangan. Api di perapian berderak pelan. Drazhan berdiri lama di tempatnya, pandangannya kosong ke arah jendela yang tertutup kabut.

Rafael mendekat perlahan. “Tuan….”

“Pergi, Rafael,” potong Drazhan datar.

Rafael menunduk. “Baik, Tuan.” Ia berbalik dan meninggalkan ruangan, menutup pintu dengan tenang.

Begitu pintu tertutup, Drazhan menghela napas berat dan menekan pelipisnya. Bayangan wajah Alessia melintas di pikirannya, mata lembut itu, nada takut di suaranya, cara gadis itu menatapnya seolah ia masih punya sisi manusia.

Ia menatap anggur di tangan kirinya, lalu melemparkannya ke dinding. Gelas itu pecah, cairan merah mengalir di lantai seperti darah.

“Kenapa kamu mengusikku seperti ini?” gumamnya lirih tapi tak ada jawaban, hanya suara hujan yang terus turun di luar, seolah dunia pun sedang menangis bersamanya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Belenggu Cinta Sang Don Juan   Bab 61 Runtuhkan Hatinya, Maka Tubuhnya Mengikuti

    Lima menit setelah kejadian di balkon, seluruh komplek mansion berubah menjadi benteng perang. Lampu sorot dinyalakan, alarm keamanan tersembunyi aktif dan puluhan anak buah Drazhan diposisikan di sudut-sudut strategis. Senjata berat muncul dari ruang bawah tanah seperti hewan buas yang dibangunkan.Drazhan duduk di tepi ranjang Alessia, mengusap perlahan pipi istrinya yang masih berdarah. Luka tipis, tapi cukup untuk membuat amarahnya melonjak melewati batas manusia.Dokter pribadi Drazhan mengobati luka Alessia tapi tangan Drazhan tidak pernah sekali pun melepaskan pinggangnya. Tubuh Alessia masih gemetar, ekspresinya pucat dan itu saja cukup untuk menyalakan neraka di dada Drazhan.Ketika dokter selesai, Drazhan berdiri dalam diam yang mematikan.Rafael tahu tanda itu. Semua orang di ruangan tahu. Drazhan bukan hanya marah. Dia berubah menjadi sesuatu yang tidak boleh dibangunkan.“Rafael,” vokalnya rendah bagai racun.“Ya, Tuan?”“Siapkan mobil lapis baja. Bawa orang-orang yang se

  • Belenggu Cinta Sang Don Juan   Bab 60 Orang yang Seharusnya Mati Dua Belas Tahun Lalu

    Malam itu sunyi, terlalu sunyi. Tidak ada burung malam, tidak ada angin yang menerpa pepohonan. Seolah dunia menahan napas.Alessia berdiri di balkon kamarnya, memandang lampu-lampu taman sendirian. Drazhan sedang berada di ruang rapat bawah, mengatur serangan selanjutnya untuk memburu Seraphine san anehnya, Alessia merasa ada sesuatu di udara yang tidak bisa ia jelaskan. Rasa dingin yang bukan berasal dari hujan. Ia memeluk dirinya, hendak masuk kembali ke kamarSaat Alessia berjalan satu langkah, ia mendengar suara kecil. Suara yang tak wajar. Ia segera menoleh dan mendapati sebuah batu kecil memantul di lantai balkon. Terikat pada seutas tali tipis warna hitam.Alessia mendekat perlahan. Jantungnya mulai berdegup aneh ketika ia meraih benda itu..Batu itu diikatkan pada sebilah gigi manusia.Darahnya langsung membeku. Tangannya bergetar, hampir menjatuhkan benda mengerikan itu. Sebelum Alessia bisa bergerak, sesuatu berdesing cepat dari bawah. Suara tembakan cukup keras dan kaca bal

  • Belenggu Cinta Sang Don Juan   Bab 59 Sergei Pasti Meninggalkan Jejak di Sana

    Rumah besar milik Alexei dipenuhi ketegangan yang menajamkan udara malam. Pintu ruang kerja terbanting ketika Alexei masuk, wajahnya gelap, sorot matanya tajam seperti bilah yang baru diasah. “Dia kabur,” desisnya, suaranya rendah namun penuh ledakan yang tertahan. Viktor yang berdiri di dekat jendela langsung menoleh. “Seraphine tidak punya cukup orang untuk melakukan itu. Siapa pun yang membawanya keluar pasti bukan kelompok kecil.” Alexei menghantam meja kayu dengan tinjunya..“Dia tidak bisa menghilang begitu saja! Dia tidak cukup pintar untuk merencanakan pelarian bersih.” “Kami dapat laporan dari lapangan.” Mikhail meletakkan beberapa berkas dan foto di meja. “Orang yang membawa Seraphine kabur menghancurkan semua CCTV tapi ada satu hal, satu kesalahan kecil.” Alexei mendekat dengan langkah besar, meraih foto buram yang dicetak dari rekaman terakhir CCTV sebelum kamera dihancurkan. Gambar itu menunjukkan seorang pria berjas gelap keluar dari mobil van. Hanya sebagian wajah

  • Belenggu Cinta Sang Don Juan   Bab 58 Tuan Sergei

    Van hitam itu berhenti di sebuah gudang tua di pinggiran kota. Udara di dalam pengap, bau besi karat dan bahan bakar memenuhi ruangan. Seraphine terseret keluar oleh dua pria bersenjata, lalu diseret ke sebuah ruangan luas yang diterangi satu lampu gantung berayun pelan. “Lepaskan dia!” Suara itu berat, dalam, dan mengandung wibawa dingin yang langsung membuat seluruh penjaga menunduk. Seraphine mendongak pelan, pandangannya kabur tapi tajam. Di hadapannya berdiri seorang pria berusia sekitar lima puluhan, mengenakan mantel hitam panjang, dengan mata tajam yang mirip dengan mata milik Drazhan, namun lebih tua, lebih licik. Pipi kirinya menyimpan luka lama yang membentuk garis miring dari tulang pipi hingga rahang. “Sergei,” desis Seraphine pelan. “Aku pikir kamu sudah mati beberapa tahun lalu, bahkan aku sempat menghadiri pemakamanmu.” Pria itu tersenyum miring. “Dunia hanya tahu apa yang kuizinkan mereka tahu.” Seraphine menatapnya lekat-lekat, lalu tertawa lirih. “Jadi, paman

  • Belenggu Cinta Sang Don Juan   Bab 57 Aku Ingin Mereka Semua Hancur

    Langit sore di atas gedung pengadilan tampak berat, seakan ikut menindih setiap napas yang keluar dari dada Seraphine. Ia duduk di kursi terdakwa dengan borgol di pergelangan tangan, wajahnya pucat, rambutnya berantakan, dan senyum tipis yang selama ini menjadi senjata paling mematikan kini tak lagi mampu menyembunyikan kehancurannya.Ruang sidang dipenuhi wartawan dan pejabat tinggi. Mikrofon-mikrofon diarahkan padanya, kilatan lampu kamera menyambar tanpa henti. Di meja depan, jaksa membacakan tuntutan dengan suara lantang, setiap kata mengiris seperti belati.“Terdakwa Nona Seraphine dijatuhi dakwaan berlapis, penculikan, penyiksaan berat, percobaan pembunuhan terhadap Nyonya Alessia Drazhan, serta pembunuhan berencana terhadap dua korban lain. Semua bukti telah dinyatakan sah dan tak terbantahkan.”Seraphine mendengar dakwaan untuknya tanpa berkedip. Semua urat-uratnya terasa menegang, ia belum siap dengan semua ini. Ia ingin memohon pada Drazhan yang hadir paling depan tapi pria

  • Belenggu Cinta Sang Don Juan   Bab 56 Dunia Sudah Membongkar Sebelum Hakim Berbicara

    Udara di dalam sel itu lembap, bau karat bercampur keringat dan sabun murahan menyesakkan dada. Seraphine duduk bersandar pada dinding dingin di pojok ruangan berukuran tiga kali tiga meter. Matanya menatap kosong pada bayangan dirinya yang terpantul samar di lantai semen yang basah.Tak ada cermin besar di sini.Tak ada cahaya kamera.Tak ada tepuk tangan, make-up, atau baju mahal yang dulu membuatnya tampak seperti dewi.Hanya wajah pucat dengan mata sembab dan rambut yang kusut, lepek oleh keringat dan air mata.Hari pertama ia masih menjerit, memaki sipir dan semua orang yang lewat di koridor. Hari kedua, ia mulai diam. Hari ketiga, semua teriakannya berubah menjadi bisikan.“Aku bukan penjahat.”“Aku hanya mencintainya.”Namun bisikan itu tak menggema ke mana pun. Dinding penjara hanya memantulkan kejujuran yang selama ini ia tutupi di balik glamor.Seraphine memejamkan mata. Dalam pikirannya, wajah Drazhan kembali muncul. Tegas, dingin. Namun dulu, ia pernah melihat senyum di wa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status