Api kecil di perapian ruang kerja Drazhan memantulkan cahaya oranye ke dinding, menciptakan bayangan panjang dari sosok pria yang berdiri di depan rak buku besar.
Drazhan menatap gelas anggur di tangannya. Cairan merah di dalamnya berputar pelan, memantulkan cahaya seperti darah. Malam ini, pikirannya tidak tenang. Ada sesuatu yang mengusik, tapi ia tidak ingin mengakui apa itu. Ketika pintu ruang kerjanya terbuka dengan kasar, ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang. “Drazhan!” Suara Seraphine terdengar nyaring, nyaris bergetar karena amarah yang ditahan. Hak sepatunya bergema di lantai marmer ketika melangkah masuk tanpa izin. “Bagus sekali, ibumu akhirnya datang dan langsung jatuh hati pada gadis itu.” Drazhan tidak bergerak. Ia hanya mengangkat gelasnya dan meneguk sedikit. “Kamu seharusnya tahu cara berbicara dengan sopan di rumah ini, Seraphine.” Seraphine menatapnya tajam. “Sopan? Setelah semua yang kulakukan untukmu, kamu masih berani bicara soal sopan? Kamu tahu betul seharusnya siapa yang duduk di meja makan itu malam ini, bukan dia!” Drazhan akhirnya berbalik. Tatapannya dingin seperti es, tapi dalam hitungan detik saja, Seraphine bisa melihat sekilas kelelahan di mata itu. “Cukup,” ujarnya tenang tapi mematikan. “Kamu tahu apa posisi Alessia di sini. Jangan buat masalah yang tidak perlu. Lagipula semua ini adalah usul yang kamu berikan.” Seraphine mendengus, berjalan mendekat hingga jarak mereka hanya beberapa langkah. “Masalah? Dia sudah menjadi masalah, Drazhan! Ibumu dulu tidak pernah melihatku seperti itu. Bahkan dia terlihat tidak menyukaiku tapi dengan Alessia semua berbeda, ibumu memeluknya seperti putrinya sendiri. Kamu tahu apa artinya itu? Dia akan menjadi ancaman. Jika kamu tidak menghentikannya sekarang, dia akan menghancurkan semua yang kita bangun.” Tatapan Drazhan mengeras. “Berhenti. Kamu bicara seolah aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.” “Buktikan!” sergah Seraphine cepat. “Hukum dia. Buat dia tahu tempatnya. Buat ibumu sadar siapa sebenarnya perempuan satu-satunya dalam hidupmu!” Hening. Hanya suara letupan api yang terdengar. Drazhan menatap kosong ke arah perapian. Di dalam dirinya, ada sesuatu yang bergejolak. Ia bisa saja menuruti Seraphine. Semua itu selalu ia lakukan tapi entah kenapa, sejak melihat mata Alessia menatapnya dengan ketakutan tadi malam, hatinya terasa lebih berat untuk sekadar memerintah orang lain menyakitinya. Sebelum ia sempat menjawab, pintu ruang kerja diketuk pelan. Seorang pria muda berjas hitam masuk, Rafael asisten pribadi sekaligus orang yang paling lama berada di sisi Drazhan. “Maaf, Tuan,” ucapnya sopan, matanya sekilas melirik Seraphine yang tampak tegang. “Saya mendengar suara keras dari luar. Apakah semuanya baik-baik saja?” Seraphine menatap tajam. “Keluar. Ini bukan urusanmu.” Namun Drazhan mengangkat tangan, menghentikannya. “Biarkan dia bicara.” Rafael menunduk sedikit, lalu melangkah lebih dekat. “Dengan segala hormat, Tuan. Saya tahu Anda marah, tapi jangan ambil keputusan sekarang. Anda tidak sedang berhadapan dengan musuh bisnis. Ini keluarga Anda dan....” tatapannya bergeser sekilas pada Seraphine, “orang-orang di sekitar Anda menunggu kesalahan sekecil apa pun untuk menjatuhkan reputasi Anda.” Drazhan mendengus pelan. “Kamu pikir aku takut kehilangan nama baik?” “Bukan nama baik, Tuan,” Rafael menatapnya tajam. “Kendali.” Kata itu menggantung lama di udara, cukup lama untuk membuat Seraphine menegang. Rafael melanjutkan dengan tenang, “Jika Anda menghukum Nyonya Alessia hanya karena dorongan emosi orang lain, Anda memberi mereka bukti bahwa Anda bisa diprovokasi dan begitu itu terjadi, permainan selesai. Anda bukan lagi sang pengendali, tapi yang dikendalikan. Menurut saya, Nyonya Alessia tidak memiliki kesalahan disini, dia hanya pion yang Anda dan Nona Seraphine tarik paksa untuk masuk.” Drazhan menatap Rafael lama, ekspresinya sulit terbaca. Antara marah, berpikir, dan menahan diri. Sementara itu, Seraphine terlihat mulai gelisah. “Rafael, kamu bicara seolah kamu tahu segalanya tapi kamu lupa satu hal, Drazhan membuat kesepakatan denganku! Alessia memang hanya pion, dia alat....” “Cukup!” suara Drazhan membentak keras, menggema hingga kaca jendela bergetar. Seraphine terdiam. Matanya melebar, mulutnya terkatup. Drazhan melangkah maju, berdiri begitu dekat hingga Seraphine bisa mencium aroma tembakau dan parfum maskulin yang tajam. “Jangan pernah sebut Alessia seperti itu di rumah ini,” suaranya rendah, tapi lebih berbahaya dari teriakan. “Aku yang membuat keputusan. Bukan kamu, bukan ibuku, dan bukan siapa pun.” Seraphine menelan ludah, rasa takut tipis mulai muncul di wajahnya. Namun ia tetap mencoba tersenyum sinis. “Kamu mulai berubah, Drazhan. Aku bisa melihatnya di matamu. Kamu pikir aku tidak tahu kenapa kamu mulai tergoda dengan wanita kampungan itu? Kamu tidak ingin dia pergi, bukan? Kamu takut kehilangannya.” Drazhan memejamkan mata, menahan emosi yang hampir meledak. Ia tidak menjawab. Rafael menunduk dalam, tahu waktunya untuk mengakhiri perdebatan. “Tuan, biarkan saya yang urus masalah keamanan malam ini. Anda sebaiknya beristirahat.” Seraphine masih menatap Drazhan, penuh amarah dan luka. “Kamu akan menyesal,” bisiknya sebelum berbalik dan keluar, menutup pintu keras-keras di belakangnya. Sunyi kembali memenuhi ruangan. Api di perapian berderak pelan. Drazhan berdiri lama di tempatnya, pandangannya kosong ke arah jendela yang tertutup kabut. Rafael mendekat perlahan. “Tuan….” “Pergi, Rafael,” potong Drazhan datar. Rafael menunduk. “Baik, Tuan.” Ia berbalik dan meninggalkan ruangan, menutup pintu dengan tenang. Begitu pintu tertutup, Drazhan menghela napas berat dan menekan pelipisnya. Bayangan wajah Alessia melintas di pikirannya, mata lembut itu, nada takut di suaranya, cara gadis itu menatapnya seolah ia masih punya sisi manusia. Ia menatap anggur di tangan kirinya, lalu melemparkannya ke dinding. Gelas itu pecah, cairan merah mengalir di lantai seperti darah. “Kenapa kamu mengusikku seperti ini?” gumamnya lirih tapi tak ada jawaban, hanya suara hujan yang terus turun di luar, seolah dunia pun sedang menangis bersamanya.Udara segar menyusup lewat celah jendela, membawa aroma tanah basah dan bunga mawar yang baru mekar di taman belakang mansion keluarga Drazhan, embun masih bergelayut pada ujung daun, memantulkan cahaya matahari yang malu-malu menembus ranting.Alessia berdiri di tengah taman dengan selendang tipis menutupi bahunya. Gaun putih yang ia kenakan tampak lembut berkilau disinari cahaya pagi. Ia menatap rerumputan yang basah, merasakan udara dingin menempel di kulitnya, sensasi sederhana yang hampir ia lupakan sejak hari pertama dikurung dalam kemewahan rumah ini.Di tempat ini, setiap langkahnya diawasi. Setiap kata yang keluar dari bibirnya bisa menjadi alasan untuk dimarahi. Namun pagi ini, ketika para pelayan sibuk di dapur, ia mencuri waktu untuk sekadar menghirup udara bebas. Taman itu menjadi tempat pelariannya yang sunyi.“Udara masih dingin, Nyonya. Sebaiknya Anda kenakan syal lebih tebal,” suara lembut itu datang dari belakang.Alessia menoleh pelan. Rafael berdiri di sana, mengen
Api kecil di perapian ruang kerja Drazhan memantulkan cahaya oranye ke dinding, menciptakan bayangan panjang dari sosok pria yang berdiri di depan rak buku besar.Drazhan menatap gelas anggur di tangannya. Cairan merah di dalamnya berputar pelan, memantulkan cahaya seperti darah. Malam ini, pikirannya tidak tenang. Ada sesuatu yang mengusik, tapi ia tidak ingin mengakui apa itu.Ketika pintu ruang kerjanya terbuka dengan kasar, ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.“Drazhan!” Suara Seraphine terdengar nyaring, nyaris bergetar karena amarah yang ditahan. Hak sepatunya bergema di lantai marmer ketika melangkah masuk tanpa izin. “Bagus sekali, ibumu akhirnya datang dan langsung jatuh hati pada gadis itu.”Drazhan tidak bergerak. Ia hanya mengangkat gelasnya dan meneguk sedikit. “Kamu seharusnya tahu cara berbicara dengan sopan di rumah ini, Seraphine.”Seraphine menatapnya tajam. “Sopan? Setelah semua yang kulakukan untukmu, kamu masih berani bicara soal sopan? Kamu tahu
Langit sore itu menggantung kelabu, tapi di dalam rumah keluarga Drazhan, suasananya justru terasa lebih berisik dari biasanya. Pelayan berlalu-lalang dengan wajah cemas, memoles meja, menyusun bunga di vas kristal, dan memastikan setiap perabot tampak sempurna. Alessia berdiri di depan cermin besar di ruang tengah, mengenakan gaun pastel sederhana yang dipilihkan salah satu pelayan.“Untuk menyambut Nyonya Valentina,” ujar salah satu di antara mereka dengan suara setengah bergetar.Nama itu saja sudah cukup membuat dada Alessia berdebar. Ibunda Drazhan, wanita yang dikenal elegan sekaligus berpengaruh besar dalam dunia bisnis internasional.Drazhan sendiri sejak pagi bersikap lebih pendiam dari biasanya. Ia tidak menatap Alessia, tidak pula bicara sepatah kata pun. Hanya satu instruksi dingin yang keluar dari bibirnya sebelum ia pergi mempersiapkan diri.“Jaga sikapmu. Ibuku tidak menyukai kepalsuan.”Kata-kata itu seperti belati halus. Alessia tidak tahu apakah ia harus merasa gugup
Suara hujan deras mengguyur kaca jendela besar yang tidak tertutup rapat, memberikan kesan kehidupan bagi ruang sunyi yang menyelimuti kamar Alessia. Setelah tangisnya reda, ia hanya duduk terdiam di lantai, tubuhnya gemetar. Pikirannya kacau, tetapi hatinya lebih parah lagi.Pernikahan yang seharusnya menjadi awal baru, justru terasa seperti hukuman mati yang berjalan lambat. Setiap detik bersama Drazhan mengikis sedikit demi sedikit kewarasannya."Tolong!"Alessia mendengar sesuatu. Lalu terdengar suara pintu bawah terbuka keras, pintu yang terhubung dengan kamarnya menuju tempat rahasia di bawah tanah, langkah-langkah tergesa, suara teriakan samar, bukan suara pelayan. Alessia bangkit dan mencoba membuka pintu rahasia untuk mengintip. Ia melihat beberapa pria berbadan besar menyeret seorang laki-laki dengan wajah penuh darah. Mulutnya dibekap, tangannya terikat. Alessia menutup mulutnya sendiri agar tidak berteriak. Napasnya tercekat ketika matanya menangkap sosok Drazhan yang b
Pagi itu, matahari menyelinap lewat kaca tinggi jendela kamar Alessia, tapi sinarnya tidak membawa hangat. Hanya cahaya dingin yang membuat ruangan tampak lebih kosong dari biasanya. Alessia duduk di tepi ranjang yang kemarin tak pernah ia sentuh. Tangannya bermain dengan cincin di jari manisnya, cincin yang terasa lebih berat dari seharusnyaaMalam tadi, kata-kata Drazhan masih terngiang jelas. “Tidak ada jalan keluar.”Dan kini satu pertanyaan lain terus menghantuinya, mengapa aku?Ia memikirkan Seraphine. Wajahnya, sikapnya, keanggunannya. Wanita itu jelas lebih layak berada di sisi seorang pria seperti Drazhan. Seraphine tahu dunia mereka, tahu bagaimana bermain dengan citra, tahu cara menaklukkan ruang penuh mata-mata. Lalu, mengapa ia yang hanya seorang gadis biasa, dipaksa masuk ke lingkaran maut ini?Pintu kamar berderit. Drazhan masuk tanpa mengetuk, jas hitamnya masih sama dengan malam tadi, seolah ia tidak pernah benar-benar tidur.Alessia menatapnya, dada miliknya tiba-tib
Cahaya lampu kristal berpendar hangat di ruang utama rumah keluarga itu, tetapi kehangatannya sama sekali tidak terasa bagi Alessia. Ia duduk di kursi panjang berlapis beludru, gaun hitam yang baru saja dipilihnya pagi tadi membalut tubuhnya, membuatnya tampak anggun sekaligus rapuh. Hatinya gelisah, sebab di ruangan itu akhirnya ia harus berhadapan langsung dengan sosok yang sejak malam pertama nyaris menghilang, Drazhan.Pintu berat kayu ek terbuka. Langkah-langkah tegap bergema, seolah dunia ikut berhenti menyimak. Drazhan masuk, jasnya rapi, dasi merah darah menonjol di balik dada bidangnya. Wajahnya tanpa senyum, matanya tajam seperti bilah baja. Aroma asap tembakau dan parfum maskulin melekat, membuat udara di ruangan tiba-tiba lebih pekat.Alessia menelan ludah. Jantungnya berdegup tidak karuan.Drazhan berdiri beberapa detik menatapnya, lalu melangkah mendekat. “Kamu sudah belajar bersikap di depan keluarga?” katanya dingin. Suaranya dalam, bergema, membuat tubuh Alessia berge