Share

BAB 3

Undangan Makan Malam

--

Tidak seperti rumah orang-orang kaya kebanyakan, rumah tempat Naomi tinggal termasuk kecil. Berada di kawasan yang cukup mahal, bangunannya termasuk tidak terlalu menonjol dibandingkan dengan rumah-rumah di sekelilingnya. Desainnya sangat sederhana, tetapi barang-barang yang ada di dalam rumahnya merupakan barang-barang berkualitas premium.

“Papa berangkat dulu, ya.”

“Oke, Pa.”

Sandi menikah dengan Mama Naomi—Hera—sepuluh tahun yang lalu. Kini hubungan Sandi dan Naomi sudah seperti ayah dan anak kandung. Hubungan mereka sangat dekat. Sebelum pergi, Sandi sempat cipika-cipiki serta mencium kening Naomi. Saat Sandi sudah tidak terlihat lagi, Ganesha dan Hera baru muncul berbarengan, bergabung dengan Naomi di ruang makan.

“Papa mana?” tanya Ganesha.

Ya, Ganesha adalah Kakak Naomi. Naomi adalah adik Ganesha. Mereka berdua saudara kandung.

“Udah berangkat,” jawab Hera. “Nggak pamitan sama kamu emangnya?”

Ganesha geleng-geleng kepala.

“Mungkin kamu nggak denger. Pasti Papa udah ke kamar kamu tadi.”

“Ya ... tadi Gane lagi mandi sih.”

“Ya udah. Nggak apa-apa. Nanti kamu chat Papa aja. Sekarang, kamu mau sarapan apa? Biar Mama buatin.”

“Roti aja, deh. Buru-buru soalnya.”

Hera pun segera mengambil roti yang kemudian akan ia baluri selai untuk anak sulungnya itu sembari tetap menjaga komunikasi. “Tumben. Ini kan masih jam 7.”

“Iya, ada fitting buat sinetron baru jam setengah 9. Nggak mau terlambat aja.”

“Oh, sinetron yang bareng Arbian sama Maureen?”

“Iya.”

Naomi terlihat hanya diam saja. Hera beralih mengajaknya berbicara. “Kamu ada kuliah jam berapa, Na?”

Naomi melirik jam yang tertempel di dinding, lalu menjawab, “Jam 10, Ma.”

“Pantes masih pakai baju tidur. Belum mandi?”

Naomi terkekeh saja.

“Dih! Jorok!” sahut Ganesha.

“Biarin!”

“Na, kemarin kamu telepon Mega, ya? Ada apa?”

“Oh, itu ... enggak ada apa-apa sih, Ma.”

“Yang bener?”

Naomi berhenti mengunyah dan meletakkan sisa roti yang ia pegang di atas piring. Ragu-ragu ia menyunggingkan senyum dan melihat Mamanya dengan canggung. Hera masih fokus menyiapkan roti untuk Ganesha, tapi Naomi tau kalau perhatian Hera sedang tertuju padanya.

“Jawab itu ditanya Mama! Malah diem aja.” Ganesha mendesak.

“Enggak. Bukan apa-apa.”

“Mama denger, kamu mau masukin orang buat ikut casting?”

“Emang iya, Ma?”

Ganesha melirik Naomi sampai Naomi semakin merasa terdesak dan hanya terus menundukkan kepala.

“Iya nggak, Na?”

“Ya kan ... biar bisa ikut casting doang, Ma. Nantinya juga tetep Kak Mega sama bagian Casting Director yang nentuin.”

“Masalahnya lagi nggak ada open casting. Kamu main minta masukin orang aja.”

Hera sudah memberikan roti selai yang ia buat untuk Ganesha, berlanjut membuat lagi untuk dirinya sendiri.

“Jangan gampang dimanfaatin orang kayak gitu.”

“Dia nggak tau kok kalau Naomi itu anak Mama. Naomi sendiri yang nawarin buat bantu dia, bukan karena dia mau manfaatin Naomi.”

“Nggak usah sok baik kalau gitu.”

“Apa sih, Kak?”

“Gue aja usaha dari bawah.”

“Ya apa bedanya? Dia juga harus ikut casting dulu, kan? Bukan yang langsung main sinetron jadi pemeran utama. Balik lagi, nantinya kemampuan dia yang bakalan nentuin apa dia bisa lolos casting atau enggak.”

“Tetep aja. Dia pakai jalur orang dalam. Emangnya dia nggak bisa casting di tempat lain? Mama kan udah bilang kalau di Hillary lagi nggak ada open casting.”

“Cuma biar dia ikut casting doang, Kak. Orang dalam apa sih? Kan bukan Naomi yang nentuin dia bakalan bisa lolos apa enggak. Ibaratnya tuh Naomi cuma nganterin sampai depan pintu. Udah.”

“Lo nganterin ke depan pintu sekaligus bantuin dobrak pintunya. Padahal kan pintunya lagi dikunci.”

“Udah, udah, udah,” sela Hera, sebelum perdebatan diantara kedua anaknya semakin panjang. “Naomi, lain kali kalau ada apa-apa bilang dulu sama Mama. Kamu nggak bisa langsung hubungin Mega sendiri kayak gitu. Kamu emang anak Mama, tapi kamu nggak punya hak buat seenaknya minta ini itu, apalagi yang menyangkut dengan urusan perusahaan.”

“Iya, Ma. Maaf.”

“Udah, lanjutin sarapannya.”

“Gane udah selesai. Mau langsung berangkat ya, Ma.”

Ganesha berdiri dan mau menyium pipi Mamanya, tapi Hera memegangi tangan Ganesha. “Bentar.”

“Kenapa?”

“Kemarin Mama lihat Arbian sama cewek baru lagi.”

“Oh, ya? Mama kenal ceweknya?”

“Enggak, tapi Mama boleh minta tolong sama kamu?”

Ganesha manggut-manggut.

“Tolong ingetin dia, buat hati-hati. Jangan bermesraan di sembarang tempat. Mama nggak mau ikut campur soal urusan pribadi dia yang suka gonta-ganti cewek itu, tapi tolong banget, jangan sampai hal itu bisa memberikan dampak buruk ke kita. Mama nggak mau tanggung jawab kalau sampai sesuatu terjadi. Mama juga nggak akan segan-segan buat keluarin dia meskipun dia teman dekat kamu.”

“Hmm... Iya. Nanti Gane bilang ke Arbian, ya.”

“Ya udah.”

Ganesha bersalaman, menyium punggung tangan Mamanya, baru pergi. Naomi pun lekas berdiri karena sudah selesai menghabiskan sarapannya.

“Naomi ke kamar dulu ya, Ma.”

“Mama pengen bicara bentar lagi, bisa?”

Karena itu, Naomi kembali duduk.

“Siapa Sandara itu?”

“Temen Naomi, Ma.”

“Temen kuliah?”

“Bukan.”

Naomi menceritakan bagaimana awal pertemuan dia dengan Sandara.

Ketika Naomi sedang duduk-duduk saja menikmati soda ringan sendirian menghadap meja bar di sebuah klub malam, tiba-tiba ia mendengar suara pecahan. Kericuhan terjadi tepat di belakangnya. Waktu itu ia terperanjat sekaligus sempat sedikit terhuyung ke depan saat tertimpa oleh badan Sandara.

Semua orang yang sebelumnya sibuk dengan urusan masing-masing mendadak mengalihkan perhatian ke arah sumber suara kekacauan. Naomi juga membalikkan badan dan merasa bingung. Saat itu Naomi sama sekali tidak mengenal Sandara ataupun orang yang mau menyerangnya.

“Ada apa ini? Lo nggak apa-apa?” tanya Naomi kepada Sandara.

“Haaah!” teriak cowok yang tadi memukul botol ke punggung Sandara, menyela dan membuat beberapa orang terkejut, khususnya Naomi dan Sandara karena jarak mereka tidak ada satu meter berada di depannya.

Kemudian, dia melanjutkan mengumpat dengan nada suara yang semakin tinggi. “Cewek sialan! Kenapa lo ngalangin gue? ... Seharusnya dia yang harus menerima akibatnya!” Pada saat mengucapkan kalimat terakhir, cowok itu menurunkan intonasi suaranya dan melihat ke arah Naomi.

Naomi pun merasakan tatapan yang tajam. “Hah? Maksud lo? Apa urusan lo sama gue?” sahut Naomi.

Naomi tidak gentar sedikit pun sampai akhirnya laki-laki itu melangkah mendekat dan menyodorkan bagian tajam sisa pecahan botol yang masih ia pegang hampir mengenai dagunya. Berbarengan dengan Naomi yang reflek sedikit memundurkan kepala, dengan kompak para gadis yang berkerumun di sekeliling Naomi pun berteriak, bergidik ngeri. Seolah terpaku di tempat, Naomi tidak bisa kemana-mana, hanya bisa menelan ludah. Naomi berdebar dan gemetaran. Dia sama sekali tidak mengenal, tidak tau motifnya apa. Namun, cowok itu terlihat sangat marah dan berbahaya.

Untungnya para pegawai keamanan klub segera datang dan meringkas cowok kurang ajar yang ternyata sedang mabuk itu dengan cepat sebelum dia sempat memberontak.

“Lepas! Gue harus balas dendam ke dia dulu!” Cowok itu diseret ke luar, tapi dia tidak berhenti mengumpat dan berteriak tentang hal-hal yang Naomi saja tidak mengerti. “Cewek sialan! Pengkhianat!”

Kemudian, Naomi kembali mendengar Sandara merintih kesakitan. Selajutnya, Naomi membawa Sandara ke rumah sakit. Dari situlah Naomi berkenalan dan menjadi lebih dekat dengan Sandara. Dari yang Sandara ceritakan kepada Naomi, Sandara melihat cowok yang tidak Naomi kenal itu hampir melakukan penyerangan kepada Naomi, tetapi untungnya Sandara berhasil menyelamatkan. Naomi pun merasa bersalah, tetapi juga sangat berterima kasih dengan Sandara. Kini mereka sudah menjadi teman baik.

“Serius?” Hera agak tidak percaya.

“Iya, Ma. Gara-gara itu Naomi bantuin dia. Ya, sebagai tanda terima kasih Naomi.”

“Kok kamu baru cerita sekarang kalau ada cowok yang mau nyerang kamu?”

“Kan yang penting Naomi nggak kenapa-kenapa.”

“Kamu beneran nggak kenal sama dia?”

“Kayaknya salah paham. Dia kan lagi mabuk. Mungkin dia pikir, Naomi itu mirip mantan pacarnya. Dia nggak ada ganggu Naomi lagi juga.”

“Lain kali harus tetep cerita dong, Na.”

“Iya.... Iya, Ma.”

“Lagian, kenapa kamu ke klub sendiri? Raden ke mana? Nggak nemenin kamu?”

“Raden kan nggak pernah suka kalau diajak ke klub.”

“Na, ya jangan pergi sendiri juga dong. Bahaya.”

“Biasanya Naomi juga sendiri, Ma. Biasanya enggak kenapa-kenapa, tapi waktu itu lagi apes aja.”

“Ah, kamu, nih.”

“Makanya, Ma..., bantuin Sandara dong. Dia udah nyelametin Naomi. Itung-itung balas budi.”

“Nanti ajakin dia makan malam di sini, ya.”

“Mama mau bantu?”

“Makan malam aja. Kalau soal urusan casting itu tergantung dia sendiri. Mama nggak bisa bantu apa-apa. Kan kamu juga udah nyuruh dia ketemu Mega, kan?”

“Hmm... Iya.”

“Ya udah.”

“Naomi udah boleh ke kamar?”

“Iya. Tolong jangan lupa pesan Mama tadi.”

“Iya, Ma.”

***

“Lo yang namanya Sandara?”

Pertanyaan itu terdengar berbarengan dengan seseorang yang tiba-tiba masuk ke ruangan, yaitu Mega. Setelah Sandara menoleh, ia mengangguk mengiyakan.

Mega duduk di depan Sandara, lalu memandangi Sandara dari ujung rambut sampai kaki, dan kembali bertanya, “Lo cantik, kaki lo panjang. Kenapa nggak jadi model aja?”

“Enggak, Kak. Saya lebih tertarik buat acting dibanding modeling.”

“Oke. Lo belum ada kontrak sama manajemen lain, kan?”

“Belum, Kak.”

“Ini.”

Mega meletakkan beberapa lembar kertas yang ia bungkus dengan map berwarna biru di atas meja yang membatasi mereka. Ia mendorongnya mendekati Sandara.

“Itu kontrak kerja. Lo bisa bawa pulang buat dibaca-baca dulu. Kalau udah setuju, lo bisa langsung tanda tangan dan bawa salinannya ke lokasi syuting,” terang Mega, dan setelah itu, ia memberikan selembar kertas bersama pulpen. “Tolong tulis nama dan nomor telepon lo di situ. Nanti alamat lokasi syutingnya bakalan diinfoin ke nomor telepon lo. Jadwal syutingnya mulai minggu depan, jadi lo punya waktu buat mikir-mikir ya sekitar 4 sampai 5 hari lah.”

Sandara membaca lembaran isi mapnya secara sekilas. Keningnya langsung mengerut, bingung.

Casting-nya kapan ya, Kak?” tanya Sandara kemudian.

“Nggak ada. Nggak ada casting.”

“Tapi sebenarnya maksud saya ke sini karena mau ikut casting dulu.”

“Masih kurang jelas? Di sini lagi nggak ada open casting. Jadi, kalau lo udah nggak ada yang mau ditanyain lagi, lo bisa bawa itu pulang, terus baca-baca dulu aja di rumah.”

Mega berdiri, berjalan ke sisi kanan meja, lalu menyandarkan sebelah pinggangnya di pinggiran meja seraya melipat kedua tangan di depan dada.

“Kalau emang dari awal mau ikut open casting, seharusnya tunggu aja sampai ada pengumuman di akun sosial media Hillary atau di website-nya. Lo kan maunya cepet makanya pakai jalan pintas. Kurang apa? Biasanya yang masih baru kayak lo itu nggak ada kontrak kerja. Ya dipanggil kalau dibutuhin, kalau enggak ya enggak. Itu udah baik, gue langsung kasih lo program dan ada kontrak kerjanya. Kenapa? Pengen casting yang langsung jadi pemeran utama? Mana bisa!”

***

“Sialan!”

Sandara langsung membanting map yang ia bawa pulang dari kantor Hillary PH. Lembaran-lembaran berisi kontrak kerja yang ada di dalam map pun jadi berserakan di lantai apartemennya.

Mega sangat menyebalkan, bahkan dia tidak memberi Sandara kesempatan untuk berbicara atau menunjukkan bakatnya.

Kekesalan setelah bertemu dengan Mega tidak bisa hilang meskipun sudah lewat berjam-jam. Sandara mondar-mandir dengan perasaan gundah, merasa harga dirinya diinjak-injak. Dia tidak menyangka kalau dia akan diperlakukan seperti tadi.

“Kenapa sih nggak ada orang yang bener di sini?”

Sandara menjatuhkan diri di atas sofa dengan kasar dan lanjut mengeluh. “Aku bisa gila kalau lama-lama hidup di sini. Pantes Mama bilang nggak akan pernah mau ke sini lagi.”

Kemudian, Sandara terdiam selama beberapa saat, meredakan gemuruh di dalam kepalanya sembari kembali menata ulang isi kepalanya agar Sandara tidak bertindak gegabah. Sejak awal Sandara sudah tau kalau semuanya memang tidak akan berjalan mudah untuknya. Dan satu-satunya orang yang tidak boleh lepas dari jangkauan Sandara adalah Naomi. Hanya Naomi yang sedikit-sedikit bisa membantu Sandara.

Ketika Sandara tengah memikirkan sosok Naomi, tiba-tiba HP Sandara bergetar. Orang yang dia pikirkan muncul mengirimkan pesan.

Naomi: Na, Mama gue ngundang lo buat makan malam di rumah gue malam ini. Lo bisa?

Naomi juga langsung mengirimkan alamat rumahnya kepada Sandara seolah tidak mau memberikan kesempatan kepada Sandara untuk menolak.

***

Pukul tujuh malam, Sandara sampai di depan rumah Naomi. Setelah turun dari taksi Sandara hanya diam saja dan tidak kunjung melangkah masuk. Dari luar, Sandara memandangi rumah Naomi yang minimalis itu. Sebuah langkah bagus karena Sandara bisa diundang makan malam ke rumah Naomi dan pastinya sebentar lagi Sandara akan bertemu dengan Hera. Rencana terbaru Sandara adalah mengambil hati Hera supaya Hera menaruh perhatian kepadanya.

Karena sibuk merenung sendiri, Sandara tidak sadar dengan apa yang terjadi di sekitar. Sampai-sampai Sandara tidak mengetahui kalau ada seseorang yang datang. Ganesha, turun dari mobil yang sudah ia parkirkan, lalu berjalan menghampiri Sandara.

“Permisi, mau cari siapa, ya?”

Pertanyaan Ganesha membuat Sandara bangun dari lamunan. Ia agak terperanjat dan baru menyadari kehadiran Ganesha setelah beberapa saat.

“Eh, sori-sori, bukan bermaksud mau ngagetin.”

“Iya.”

“Jadi?”

“Ha?”

Sandara merasa dunia berhenti seketika. Sungguh dia tidak pernah menyangka kalau dia bisa berbicara dengan Ganesha. Setelah melihat secara langsung, Ganesha terlihat lebih tampan dari yang ia lihat di televisi.

“Mau cari siapa?”

“Sandara!” seru Naomi menyela percakapan yang terjadi antara Sandara dan Ganesha. Naomi pun langsung berlari menghampiri Sandara yang masih berhadap-hadapan dengan Ganesha.

“Oh, temennya Naomi,” gumam Ganesha.

“Sandara, kenapa masih di sini aja? Ayo masuk!”

Naomi melirik Ganesha. “Nggak lo apa-apain kan Kak temen gue?”

“Enggak,” jawab Ganesha, lalu melengos pergi duluan.

“Sandara, ayo masuk! Gue udah nungguin lo dari tadi. Gue pikir lo tersesat karena udah bilang otw dari tadi, tapi nggak datang-datang.”

“Maaf, gue baru sampai.”

“Iya. Nggak apa-apa.” Naomi lekas menggandeng tangan Sandara dan ditarik menuju ke dalam rumah. “Mama gue mau berterimakasih karena lo udah nyelametin gue makanya gue ajakin lo makan malam di rumah gue ... oh, ya, gimana casting lo hari ini? Lancar?”

Sandara masih tersenyum saja. Di dalam hatinya kecut.

Casting? Casting apa?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status