Share

BAB 2

Tepat Sasaran

--

“You okay?”

Sejak pertemuan di klub waktu itu, Naomi sudah beberapa kali mengajak Sandara untuk bertemu lagi. Akan tetapi, Sandara selalu menolak. Hari ini Naomi senang karena Sandara mengajaknya bertemu untuk makan siang bersama.

Sekarang Sandara dan Naomi sudah berada di salah satu restoran yang lokasinya tidak jauh dari gedung perusahaan Hillary Group yang tadi Sandara datangi. Mereka tengah menunggu makanan yang sudah mereka pesan untuk disajikan.

“Aku baik-baik aja kok,” jawab Sandara.

Naomi tidak percaya dan menyadari bahwa sebenarnya ada sesuatu yang telah terjadi pada Sandara. Namun, Naomi tidak bertanya kepada Sandara secara frontal.

“Eh, gue baru denger lo ngomong pakai aku-kamu.”

Sandara terkekeh. “Maaf. Kebiasaan.”

“Nggak perlu minta maaf. Lagi pula, gue juga udah terbiasa. Beberapa temen gue yang dari Jawa emang rata-rata ngomong pakai aku-kamu. Gue malah sempet nggak percaya waktu lo ngomong kalau lo itu asalnya dari Jogja.”

“Hm?” Sandara sedikit terkejut.

Jangan-jangan Naomi udah cari tau tentang latar belakangku dan tau kalau aku bohong sama dia? tanya Sandara di dalam benak.

Sandara memang sudah berbohong kepada Naomi, tetapi rasanya terlalu cepat untuk terbongkar sekarang. Sandara jadi panik sedikit.

“Lo sama sekali nggak keliatan kayak dari Jawa,” lanjut Naomi, membuat perasaan Sandara lebih tenang. “Lo malah keliatan kayak orang yang udah lama tinggal Jakarta. Kan biasanya kalau dari Jawa masih ada logat-logat jawanya gitu, kan?”

Naomi terkekeh, Sandara juga. Ternyata Sandara hanya salah menduga. Naomi belum tahu apa-apa.

By the way, tadi lo ngajakin gue ketemu di kafe Hillary, tapi kenapa tiba-tiba lo pengen pindah?”

“Ya karena kebetulan tadi gue lagi di sana.”

“Denger-denger kafenya emang nyaman, tapi gue nggak nyangka kalau lo sampai ke sana. Apalagi, lo kan baru di sini. Kalaupun ada orang yang ngerekomendasiin tempat, kayaknya bukan ke sana juga, sih. Atau lo ada nge-fans sama salah satu aktor yang di sana?”

“Enggak!” jawab Sandara cepat, “sebenarnya niat gue itu mau cari info casting, tapi malah ketemu cowok gila.”

Naomi terkekeh mendengar penjelasan Naomi yang menyebutkan ‘cowok gila’. “Wait ... satu-satu ... Pertama, lo ke sana karena mau casting? Lo tertarik jadi aktris?”

Sandara mengangguk. “Gue ke Jakarta karena emang mau wujudin cita-cita gue, jadi artis.”

“Wow, gue baru tau..., tapi soal ... cowok gila?”

“Yap! Tadi gue ketemu cowok gila. Nggak jelas! Sombong! Angkuh! Nggak punya otak kayaknya.”

Sandara sudah berusaha untuk terlihat baik-baik saja, tetapi ternyata dia tidak bisa menyembunyikan perasaannya dan berakhir dengan meluapkan kekesalannya di depan Naomi. Naomi pun tidak menyangka kalau dia akan melihat sosok Sandara yang rupanya bisa marah juga. Akan tetapi, Sandara malah terlihat lucu, membuat Naomi semakin tertawa.

“Kenapa?”

“Hm... Gue pikir, waktu gue pertama kali ketemu lo ... lo itu kayak cewek dewasa yang selalu sabar dan berpikiran bijak. Gue merasa ketinggalan jauh karena kita seumuran, tapi gue masih childish. Sekarang gue merasa kalau kita nggak jauh beda sebenernya. Apalagi zodiak kita sama, kan!” Naomi kembali tertawa lagi.

“Ya, sebenarnya semua tergantung situasi.”

“Bener.”

***

“Bayangin! Bisa-bisanya dia nggak kenal sama gue!”

Ganesha, biasa dipanggil Gane, sahabat seperjuangan Arbian menitih karir dari bintang iklan dengan bayaran yang masih kecil sampai jadi aktor papan atas yang kini sangat digandrungi oleh seluruh masyarakat dari segala usia. Walaupun Gane adalah cucu pemilik Hillary Group, anak dari pemilik rumah produksi Hillary Pictures, tetapi Gane merintis karirnya dari bawah sehingga membuatnya bisa bertemu dan dekat dengan Arbian.

Gane hanya tertawa-tawa saja. Di dalam ruangan yang hanya ada mereka berdua itu, dipenuhi dengan ocehan Arbian sejak Arbian kembali ke ruangan setelah tadi dia bilang mau beli kopi, tetapi berakhir datang dengan tangan kosong.

Sama halnya dengan Sandara, pertemuan yang terjadi antara Sandara dengan Arbian membuat moodnya terjun payung. Apalagi setiap Arbian mengingat percakapannya dengan Sandara tadi.

‘Emangnya lo siapa?’

‘Lo nggak tau siapa gue?’

‘Enggak! Dan nggak penting juga buat gue tau siapa lo! Minggir!’

Sandara berhasil meloloskan diri setelah mendorong Arbian menjauh.

“Argh!” Arbian masih kesal.

“Udahlah ... udah. Jangan terlalu benci gitu. Nanti tiba-tiba jodoh.”

“Nggak! Nggak bakalan gue sama cewek kayak dia. Cantik sih cantik, tapi gayanya aja norak!”

“Hyaa....” Gane semakin tertawa. “Cantik sih cantik ... coba aja dia tau lo, udah pasti digebet.”

“Ck! Apaan sih, lo.”

“Ya ... emang gitu kan, playboy?”

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu membuat percakapan Gane dan Arbian terpotong. Gane dan Arbian kompak melihat ke arah pintu dan seseorang muncul dari baliknya.

Meeting udah mau dimulai. Bisa kumpul ke ruangan sebelah sekarang?”

“Iya, bisa,” jawab Ganesha.

“Oke. Ditunggu, ya.”

Ganesha berdiri dilanjutkan menepuk bahu Arbian. “Ayo!”

Wajah Arbian masih merengut. Dia benar-benar kesal.

“Udahlah. Lupain aja. Habis ini kan bakalan ketemu ... si itu.”

Arbian mendorong Ganesha dan mendahului ke luar ruangan. Gane pun terus menertawakan sikap Arbian yang sedang berubah jadi kayak anak kecil.

***

Sandara dan Naomi sudah mulai menyantap makanan mereka. Sudah setengah jalan. Sembari makan Naomi kembali menanyakan tentang keinginan Sandara.

“Lo beneran mau jadi aktris?”

“Iya.”

“Kenapa, gitu?”

“Ya ... karena gue mau.”

“Menurut gue, jadi aktris atau ya, artis ... itu nggak gampang. Apalagi gue adalah tipekal orang yang nggak suka banget kalau kehidupan gue dilihat banyak orang. Emangnya lo udah siap dengan itu semua? Bakalan ada banyak orang yang ikut campur urusan kehidupan pribadi lo juga.”

Sandara manggut-manggut. “Gue tau. Semua pekerjaan pasti ada baik dan buruknya. Gue pun udah memikirkan tentang itu dan gue nggak peduli. Pada akhirnya, tergantung gimana kita aja. Tujuan gue jadi artis ya buat fokus berkarya.”

Naomi kemudian bertepuk tangan kecil. “Keren!”

Sandara tersenyum saja.

“Em ... sebenernya gue punya kenalan orang yang kerja di Hillary. Nanti gue tanyain ke dia, ya. Kalau ada info casting, gue kabarin lo.”

“Kenalan lo kayaknya banyak banget, ya?”

Naomi terkekeh. “Nggak juga.”

“Waktu lo nganterin gue balik ke apart setelah dari rumah sakit, lo juga bilang kalau lo punya kenalan yang tinggal di sana. Sekarang, lo punya kenalan orang yang kerja di Hillary. Kayaknya relasi lo luas banget, padahal katanya lo lagi fokus kuliah doang.”

“Kebetulan aja sih ... punya kenalan.”

“Seneng deh, gue bisa ketemu dan kenal sama lo.”

“Gue juga seneng. Ternyata lo orangnya asik.”

“Gue lebih beruntung, sih.”

“Nggak lah.”

“Gue emang nggak salah pilih orang.”

“Maksudnya?”

“Pilih orang buat temenan. Ya ... lo kan udah tau gue nggak punya siapa-siapa di sini. Beruntung banget karena gue ketemu temen yang baik. Kalau salah orang, gue bisa dibodoh-bodohi dan dimanfaatin kali.”

“Eh, kapan-kapan ajakin gue ke Jogja dong! Ke rumah lo. Terus jalan-jalan ke ... mana itu ... Malioboro, ya?”

“Iya. Nanti kapan-kapan kita ke Jogja bareng, ya.”

***

Beberapa menit setelah Sandara mendaratkan badan di atas sofa apartemen miliknya, ia mendapati pesan singkat dari Naomi. Sandara pun langsung mengangkat punggungnya yang tadinya ia sandarkan.

Good news!

Naomi: Gue udah tanyain. Katanya lagi ada casting buat sinetron sama ftv baru. Besok, lo langsung datang ke Hillary aja. Jam 8 pagi.

Sandara menyunggingkan senyuman setengah. Lalu, ia bergegas membalas pesan dari Naomi dengan cepat.

Sandara: Beneran?

Naomi: Iya. Lo temuin orang yang namanya Kak Mega.

Sandara: Oke. Makasih banyak, Naomi.

Naomi: Sama-sama. Good luck!

Sandara menyimpan kembali HP-nya. Pada wajahnya bertengger senyuman merekah, puas. Sejauh ini masih sesuai dengan yang dia harapkan. Tidak salah Sandara mendekati Naomi. Dia tau kalau Naomi yang akan memberikan jalan untuk membantunya mencapai tujuan. Namun, selain Naomi, Sandara masih memiliki PR untuk bisa mendekati seseorang lainnya lagi. Dia adalah orang yang menjadi alasan Sandara untuk memilih tinggal di apartemen mewah ini. Sudah satu minggu Sandara di sini dan mencoba menggunakan semua fasilitas umum yang disediakan, tetapi Sandara belum bertemu dengan orang itu juga.

“Cowok itu....” Tiba-tiba Sandara kepikiran dengannya lagi. “Sebenernya dia di mana?” gumam Sandara, “kayaknya aku harus mikirin cara lain supaya aku bisa cepet-cepet ketemu dan kenalan sama dia.”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status