Share

Bab 4

Penuh Kepura-puraan

--

Kebetulan Naomi menanyakan soal casting.

“Soal itu ... nanti gue juga pengen cerita sama lo.”

Bagus.

Sandara jadi punya kesempatan untuk melaporkan perlakuan Mega tadi pagi. Sandara memang sudah berniat akan memberitahukannya, tetapi tidak hanya di depan Naomi, melainkan di depan Hera juga.

“Oke! Nanti cerita, ya.”

Naomi terus melingkarkan tangannya di tangan Naomi sampai mereka memasuki rumah. Namun, tiba-tiba langkah Sandara meragu. Semakin lama, langkah Sandara mengecil. Sampai akhirnya, Naomi dan Sandara sama-sama berhenti, padahal belum sampai ruang makan.

“Kenapa?” tanya Naomi yang menyadari bahwa sikap Sandara menjadi sedikit aneh.

Sandara tidak lekas menjawab. Ia hanya terus memain-mainkan bibirnya, melihat ke mana-mana, seperti tidak fokus.

“Hei, kenapa, San? Lo sakit?”

Sandara geleng-geleng kepala.

“Terus?”

“Sebelum masuk lebih jauh, gue boleh tanya sesuatu nggak sama lo?” Bahkan Sandara tampak ragu-ragu dalam berbicara.

“Iya. Ada apa?”

“Lo ... adiknya Ganesha?”

“Oh....” Naomi tertawa kecil, lalu mengangguk-nganggukkan kepala.

Seketika mulut Sandara pun spontan menganga, tetapi Sandara buru-buru menutupinya dengan tangan. Mata Sandara melebar, seolah-olah dia benar-benar tidak tau tentang fakta itu, dan kini ia tengah terkejut.

“Sori karena gue nggak langsung cerita sama lo, tapi ... kan sekarang lo udah tau juga. Jadi..., ya, udah. Nggak usah terlalu dipikirin, ya?”

Kemudian, Sandara berlagak menarik napas panjang-panjang dan diembuskan perlahan. Sekitar tiga kali Sandara melakukannya dan membuat Naomi bingung.

“Why?”

Sandara meletakkan sebelah tangannya di depan dada dan menggunakan tangan yang satunya lagi untuk menggenggam tangan Naomi. Sandara berkata, “Naomi, kayaknya ada yang salah sama napas dan jantung gue.”

“Hah! Kenapa? Lo sakit apa? Lo punya asma? Atau apa?” Naomi langsung panik.

Sandara buru-buru menggelengkan kepalanya. “Enggak, enggak. Bukan yang kayak gitu.”

“Aduh, terus gimana? Jangan bikin panik dong! Gue panggilin Mama gue dulu ya?”

Naomi sudah hampir pergi, tetapi Sandara langsung menariknya lagi. “Naomi!”

“Gue panggilin Mama gue sebentar. Jujur gue bingung dan nggak ngerti apa-apa kalau sendirian.”

“Masalahnya kalau ada Mama lo, kayaknya gue bakalan pingsan.”

“Hah?” Kening Naomi sudah mengerut, bingung. “Maksud lo?”

“Gue nggak siap makan malam sama Mama dan Kakak lo.”

Mendengar penjelasan itu, seketika ekspresi wajah Naomi yang semula panik, menjadi berubah. Naomi memandangi Sandara dengan tatapan datar.

“Gue deg-deg an banget, Na.”

“Astaga ... Sandara! Gue pikir lo kenapa!”

“Coba aja lo ngasih tau gue sebelum gue ke sini, gue pasti bakalan siap-siap dulu.” Sandara menghela napas. “Mama lo, pemilik PH yang gue impikan, dan Kakak lo... aktor terkenal yang biasanya cuma bisa gue lihat di televisi. Sekarang gue bakalan makan malam satu meja sama mereka? Kayaknya gue nggak bisa deh.”

Naomi pun terkekeh.

“Gue pulang aja, ya?” Sandara geleng-geleng kepala. “Gue nggak bisa. Nggak bisa.”

“San ... demi apa lo bisa kayak gini?” Naomi masih terkekeh dan tidak habis pikir. “Astaga!”

“Gue nggak tau harus gimana.”

“Ya santai aja. Mama gue kalau di rumah ya tetep kayak Ibu-Ibu pada umumnya kok. Dan Kakak gue... ah elah. Ganesha doang. Nanti kalau lo udah ketemu, terus semakin sering lihat tingkah laku sehari-hari, dia nggak se-wah itu, sih.”

“Tetep aja. Gue belum siap.”

“San, lo kan mau jadi artis, lo harus belajar buat cepat beradaptasi di segala kodisi. Kedepannya kalau lo ketemu artis-artis lain, masa mau takut-takut gitu.” Naomi meletakkan kedua tangannya di kedua pundak Sandara, menatap mata Sandara lekat-lekat. “San, angkat kepala lo. Bangun kepercayaan diri lo mulai sekarang. Lo emang harus menghargai siapapun orang yang akan lo temui nanti, tetapi lo nggak boleh terintimidasi. Kalau lagi kegiatan sehari-hari, ya tunjukin aja sopan santun lo. Kalau lagi di set, ya tunjukin kemampuan terbaik lo. Kalau udah gitu, gue jamin, orang-orang pasti bakalan respect sama lo dan nggak akan ada yang berani ngeremehin lo.”

Sandara benar-benar berhasil membuat Naomi percaya dengan apa yang ia lihat saat ini.

“Wajar, sih, kalau lo gugup, tapi lo harus belajar buat mengontrol itu.”

Sandara mengangguk-nganggukkan kepala.

Naomi pun kembali tertawa kecil. “Mana Sandara yang gue kenal sebelumnya? Yang gue tau, sih, Sandara itu cewek yang punya kepercayaan diri tinggi, punya tekad yang kuat, dan nggak gampang tumbang. Masa gini aja mau kabur?”

Naomi berkata seolah-olah sudah sangat mengenal Sandara, padahal tidak. Sama sekali.

“Oke,” jawab Sandara.

“Coba sekali lagi tarik napas dalam-dalam.”

Sandara mengikuti instruksi Naomi.

“Keluarin perlahan.”

“Huuf....” Sandara mengeluarkan angin dari mulutnya.

“Udah aman?”

“Udah mendingan.”

“Ya udah, ayo masuk.”

Kali ini Naomi merangkul Sandara dan sedikit mengusap-usap bahunya. Mereka mulai berjalan beberapa langkah, lalu tiba-tiba Hera muncul dan membuat mereka berhenti berjalan lagi. Hera terlihat sudah rapi mengenakan jaket dan membawa tas jinjing.

“Mama? Mama mau ke mana?” Naomi sudah bisa menebak kalau tampaknya Mamanya mau pergi.

“Eh, ini yang namanya Sandara, ya? Temannya Naomi?”

“I-iya, Bu.”

“Hm? Kok manggil Bu? Panggil tante aja.”

Sandara tersenyum ragu.

“Maaf banget nih, kayaknya Tante mendadak nggak bisa nemenin makan malam. Jadi, kalian makan malam bertiga aja, ya?”

“Mama mau ke mana emangnya?”

“Mama barusan dapat kabar kalau teman Papa kamu ada yang pingsan dan dibawa ke rumah sakit. Mama mau nyusulin Papa kamu ke rumah sakit, soalnya Papa kamu ngurus temennya sendirian. Nggak apa-apa, kan, kalau Mama tinggal?”

“Yah..., Ma....”

“Nggak apa-apa, kan, Sandara?”

“Iya nggak apa-apa, Tante.”

“Ganesha udah nunggu di ruang makan. Kalian makan bertiga, ya. Tante udah siapin makanannya kok.”

“Hm... Ya udah, deh, Ma.”

“Oh, iya, Sandara. Terima kasih, ya. Naomi udah cerita kalau waktu itu kamu nyelametin Naomi dari cowok yang mau nyerang dia. Makan malam hari ini ya sebenarnya sebagai tanda terima kasih dari Tante. Semoga kamu suka, ya.”

“Oh... Sebenarnya nggak perlu repot-repot begitu sih Tante.”

“Nggak apa-apa. Dan lain kali kamu bisa ke sini lagi. Nanti kita ngobrol-ngobrol lebih banyak. Ya udah, Tante pergi dulu.” Hera memandangi Naomi, lalu cipika-cipiki dengan Naomi, serta sempat memeluk Naomi sejenak sembari berkata, “Mama berangkat dulu ya, sayang.”

“Iya, Ma. Mama hati-hati, ya. Mama diantar sopir, kan?”

“Iya dong. Ya udah. Bye!”

Hera semakin terlihat terburu-buru karena sudah semakin malam. Naomi sedikit sedih, tetapi dia tetap membiarkan Hera pergi.

“San, ayo masuk.”

“Bentar, Na.”

“Kenapa lagi?”

“Gue boleh ke kamar mandi dulu nggak, sih?”

“Nggak! Udah, ayo!”

Naomi tidak memberikan kesempatan kepada Sandara untuk bisa mengulur-ngulur waktu lagi. Dia langsung menarik tangan Sandara dan dibawa ke ruang makan. Ganesha sudah ada di sana. Bahkan Ganesha sudah mulai menyantap makan malam yang sudah disajikan di atas meja.

“Kak Gane, kok lo udah makan duluan, sih?”

“Sori, gue udah laper banget. Belum makan dari siang.”

“Ck!” Naomi kesal dan merasa tidak enak kepada Sandara karena Sandara seperti tidak mendapatkan perlakuan yang baik dari keluarganya. “Sori, ya, San.”

“Eh, kenapa lo minta maaf? Gue biasa aja kok.”

“Sori, ya, temennya, Naomi,” ucap Ganesha.

“Nggak apa-apa, Kak,” jawab Sandara dengan cepat.

“Ya udah, duduk, San. Lo mau makan apa? Biar gue ambilin.”

Sandara melihat-lihat yang ada di atas meja makan selama beberapa saat. Setelah itu, ia menyembutkan beberapa menu dan Naomi yang mengambilkannya untuk Sandara.

Lima belas menit berlalu, baik Naomi, Sandara, dan Ganesha fokus pada makanan masing-masing. Paling Naomi sesekali menanyai Sandara tentang makanannya apakah enak atau tidak. Kekesalan Naomi sudah mulai sedikit berkurang setelah melihat Sandara tampak menikmati makanannya. Namun, setelah itu, di tengah-tengah suasana makan malam yang mulai menyenangkan, seseorang muncul dan seketika mood Naomi kembali buruk.

“Eh, Den! Kenapa baru datang? Telat semenit lagi, makanannya dah habis pasti sama Naomi.”

“Apaan sih, Kak!”

Raden, pacar Naomi, berjalan mendekat, dan kemudian duduk di bangku yang ada di sebelah Naomi, tepat berada di depan Ganesha.

“Ngapain kamu ke sini?”

“Tadi Mama telepon, nyuruh makan malam di sini.”

Naomi melengos, dan kembali lanjut makan. Sandara membatin, oh... ini pacar Naomi. Keren juga.

Kehidupan Naomi jadi membuat Sandara merasa iri.

“Kapan sih kalian berdua tuh nggak berantem? Pacaran, tapi kerjaannya berantem mulu setiap hari.”

“Kan..., lo aja pusing, apalagi gue.”

Naomi tertawa menyeringai. “Gila, ya?”

Dalam kondisi ini, semakin lama, Sandara semakin tidak nyaman. Dia tidak tau harus melakukan apa. Dia hanya merasa kesal, tetapi tidak bisa berbuat apa pun selain terus berpura-pura biasa-biasa saja.

“Btw, Kak Gane kok duduk jauh-jauhan sama pacarnya?”

Pertanyaan Raden langsung membuat semua mata tertuju kepadanya. “Kenapa?” tanya Raden, seketika bingung sendiri.

“Makanya jadi orang itu nggak usah sok tahu!”

“Oh, bukan pacar Kak Gane?”

“Jangan nyebarin informasi hoax lo!”

“Sori, Kak.”

“Minta maaf sama temen gue juga!”

“Oh, dia temen kamu?”

“Minta maaf, cepet!”

“Siapa namanya?” tanya Raden, berbisik-bisik di dekat telinga Naomi.

“Ya kenalan sendiri, lah.”

Raden mencoba melihat ke arah Sandara, tetapi karena sedikit tertutupi oleh kekasihnya itu, dia harus sedikit membungkukkan badan. Sandara pun juga melihat ke arah Raden dan menyunggingkan senyum. Sungguh, mendengar orang-orang tengah membicarakan dirinya di depan dirinya sendiri itu membuatnya canggung.

“Hai! Nama lo siapa?”

“Sandara.”

“Oh... Gue Raden, pacarnya Naomi. Salam kenal, ya.”

“Iya.”

“Sori ya, barusan udah salah paham.”

“Iya.” Sandara terus berusaha menyunggingkan senyum tipis secara terpaksa.

“Kenal dari mana sama Naomi? Kok aku baru tau kalau Naomi punya temen namanya Sandara.”

Raden pun melirik Naomi juga karena merasa kalau Naomi tidak pernah memberitahunya. Padahal selama ini mereka selalu terbuka dengan apapun, termasuk mengenalkan teman satu sama lain.

“Ee... Waktu...,” kata Sandara, tidak jadi ia lanjutkan.

HP Ganesha bergetar keras dan seolah membuat situasi yang tadinya berpusat pada Sandara, berubah jadi tidak terjadi apa-apa lagi. Sandara juga langsung diam karena Ganesha tengah mengangkat telepon. Dia tidak mau mengganggu.

“Halo.”

Ganesha berbicara dengan seseorang di seberang telepon.

“Ya udah buruan, ... iya.” Setelah itu, Ganesha kembali meletakkan teleponnya.

“Siapa, Kak? Kak Arbian, ya?” tanya Raden ke Ganesha.

Gane masih memasukkan sesuap makanan terakhir ke dalam mulut sembari mengangguk-nganggukkan kepala untuk menjawab pertanyaan Raden.

“Mau ke sini?”

“Iya.”

Uhuk!” Tiba-tiba Sandara jadi tersendak.

Mampus, batin Sandara. Ngapain dia mau ke sini?

“Eh? Lo kenapa?”

Kini semua mata melihat Sandara. Sandara pun mengambil minum terlebih dahulu sebelum menjawab apa-apa. Namun, Naomi malah menggodanya.

“Tenang aja, San. Nggak perlu gugup.”

Sandara terkekeh. “Nggak. Sama sekali, kok. Tadi ada yang nyangkut aja di tenggorokan.”

“Sandara suka sama Kak Arbian?” tukas Raden.

“Enggak!” jawab Sandara cepat.

Ganesha pun terkekeh. Lalu Naomi membela Sandara. “Nggak, bukan gitu. Ya, namanya baru pertama kali ketemu sama aktor terkenal, pasti kan ada gugupnya. Tadi Sandara juga agak gugup pas mau ketemu sama Kak Gane sama Mama. Wajar, sih. Dia nggak tau soalnya kalau aku itu adiknya Kak Gane.”

Naomi manggut-manggut. “Oh ya, tadi kan Sandara belum selesai jawab,” kata Naomi seraya menyenggol Raden dengan sikunya.

“Eh, iya. Gimana Sandara? Lo sama Naomi baru kenal? Apa udah lama, sih?”

“Ceritain aja, San.”

“Sori, gue sambil ambil makan, ya. Gue tetep bisa dengerin kok.”

Kemudian, Sandara bercerita tentang bagaimana dia bisa bertemu dengan Naomi. Pertemuan yang sebenarnya sudah Sandara rencanakan itu, tetapi cerita yang diketahui oleh orang-orang yang mendengarnya adalah seperti yang Naomi ketahui.

“Sumpah?” tanya Raden, sedikit tidak percaya.

Ganesha pun juga langsung memandangi Naomi dengan tatapan penuh tanda tanya, sedangkan Naomi abai dan terus makan.

“Kok kamu nggak pernah cerita sama aku?”

“Lo juga nggak ngomong lagi sama gue. Mama sama Papa tau nggak?”

“Ya aku udah cerita sama Mama. Makan malam hari ini kan sebagai tanda terima kasih ke Sandara.”

Raden menyandarkan punggung, tidak jadi makan. Bahkan ketika ia meletakkan alat makan yang ia pegang di atas piring, sampai menimbulkan suara nyaring.

“Siapa sih cowok itu?”

“Salah paham aja, Kak.”

“Lagian kamu ngapain sih ke klub sendiri?”

“Ya gimana, pacar aku aja nggak pernah mau kalau diajak.” Naomi menyindir Raden di depan wajahnya.

“Lagian lo juga ngapain, doyan banget main ke klub. Sok-sok an lo.”

Sementara Ganesha, Raden, dan Naomi masih meributkan soal kejadian di klub, Sandara mulai sibuk dengan gemuruh di kepalanya. Waktu terus berjalan yang artinya semakin lama kedatangan Arbian semakin dekat. Sandara tidak ingin bertemu dengan Arbian sekarang.

Gimana ini? tanya Sandara di dalam benaknya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status