Share

Belenggu Cinta dan Dendam Sang Selebriti
Belenggu Cinta dan Dendam Sang Selebriti
Penulis: Khirani Sheeka

BAB 1

Teman dan Musuh

--

Pyar!

Suara pecahan botol yang menghantam bagian belakang badan Sandara membuat Sandara terhenyak. Dentuman keras musik yang tadinya memeriahkan suasana klub malam menjadi redup seketika.

“Auch,” lirih Sandara kala itu, kesakitan. Sensasi perih dan linu Sandara rasakan menjalar di seluruh bagian belakang badannya, khususnya di bagian atas.

Seorang cewek berambut pendek yang berhasil ia selamatkan, membalikkan badan beberapa detik setelahnya dan memasang tampang kebingungan. “Eh, ada apa ini? Lo nggak apa-apa?” tanyanya pada Sandara yang akhirnya menjadi awal mula dari percakapan-percakapan lainnya.

Cewek berusia dua puluh tahun itu bernama Naomi. Dia dan Sandara lahir di tahun yang sama, bahkan memiliki zodiak yang sama pula. Karena merasa cocok satu sama lain pun cepat akrab, sekarang Naomi menjadi satu-satunya teman Sandara di Jakarta.

Pukulan malam itu masih meninggalkan bekas luka. Sandara mengenakan atasan yang memperlihatkan bagian belakang badannya. Di depan cermin, ia melihat luka yang ia dapatkan satu minggu yang lalu sudah mulai sembuh. Sandara hanya perlu terus mengoleskan salep supaya lukanya itu tidak memberikan bekas hitam pada punggung putihnya yang sangat mulus.

Drrt ... drrt.

Begitu mendengar getaran HP yang ada di atas tempat tidur, Sandara berbalik dan bergegas untuk mengecek. HP-nya bergetar lama. Satu kata, empat huruf, kontak yang ia namai ‘Mama’ menelepon.

“Pagi, sayang. Kamu udah bangun?”

Sandara melirik jam, sedikit menghela. “Ini udah jam 11 siang, Ma.”

“Tapi kamu pasti baru bangun, kan?”

“Enggak, lah. Sandara udah bangun dari tadi.”

“Terus kenapa nggak telepon Mama? Mama kan udah bilang ... Setiap pagi, setiap kamu bangun tidur, kamu harus telepon Mama!”

“Maaf, Ma. Tadi ... Sandara bangun jam 7 dan Sandara buru-buru lari pagi. Jadi, nggak sempet telepon Mama.”

Really? Cuma gara-gara itu? Parah kamu, San.”

Sandara duduk di pinggiran tempat tidur, menggaruk-garuk kepala. Ia menyadari bahwa dalam beberapa keadaan, memang ada beberapa hal yang harus tetap disembunyikan. Termasuk dengan apa-apa saja yang Sandara lakukan di Jakarta. Kalau Mamanya tau, Mamanya bisa murka.

“Apa kegiatan kamu hari ini? Kerja?”

“Heem,” jawab Sandara, berbohong.

Selama berada di Jakarta, kegiatan Sandara hanya makan, olahraga, dan tidur. Ia ulang-ulang setiap hari selama satu minggu belakangan ini.

“Udah di kantor berarti sekarang?”

“E-e-iya.”

Amira, Mama Sandara terdengar tertawa. “Ha ... ketahuan kan, bohongnya?”

“Enggak!”

“Jawabnya aja ragu-ragu. Emang boleh kerja kantoran, tapi setiap hari bangunnya siang?”

“Kenapa emangnya? Kantor Sandara itu fleksibel, Ma.”

“Sandara, udah, ya. Jangan bohong sama Mama lagi. Mama tahu kamu nggak kerja kantoran, tapi apapun pekerjaan kamu, Mama akan terus dukung. Cuma....”

“Cuma apa, Ma?”

“Jangan sekali-kali kamu coba buat jadi artis atau bintang iklan! Ya?”

Sepertinya Amira masih belum sepenuhnya percaya kepada anak semata wayangnya itu. Ketika Sandara berpamitan berpindah tempat kerja dari Surabaya ke Jakarta, Amira tidak merestui. Akan tetapi, setelah Sandara terus memohon, akhirnya Sandara bisa berangkat ke Jakarta juga. Namun, pesan Amira tidak pernah berubah. Dia tidak akan mengizinkan Sandara memasuki dunia entertainment apa pun alasannya. Kini Sandara terdiam, takut untuk menanggapi karena tidak mau sampai salah berbicara.

“San ... kenapa kamu diam?”

“Iya, Ma,” jawab Sandara lirih.

“Mama udah cerita ke kamu semuanya dan kamu tahu kenapa Mama larang kamu buat jadi artis. Kamu pasti udah paham.”

“Heem.”

“Besok Mama ke Jakarta, ya? Mama mau jenguk kamu.”

“Hah! Nggak usah, Ma. Ngapain?”

“Kok ngapain, sih? Mama kangen sama kamu.”

Sandara bangkit dan menyibakkan rambut ke belakang. Mulai sedikit frustasi. Takut ketahuan berbohong. “Sandara sibuk banget, Ma. Kan masih awal-awal kerja. Udah lah, ya. Mama nggak perlu ke sini.”

“Kamu nggak kangen Mama emangnya?”

“Bukannya Mama bilang kalau Mama nggak akan pernah mau menginjakkan kaki di Jakarta lagi?”

Dua puluh tahun yang lalu, di Jakarta, ada seorang aktor ternama yang menelantarkan Amira dan Sandara yang masih kecil yang notabene adalah ayah kandung Sandara. Gara-gara itu, Amira pun berjanji kalau dia tidak akan pernah mau ke Jakarta lagi. Amira membawa Sandara pulang ke Surabaya dan membesarkan Sandara sendirian. Ketika Sandara mulai bertambah usia dan mulai bisa berpikir lebih dewasa, Sandara pernah bertanya-tanya tentang sosok Ayahnya itu. Akhirnya, Amira menceritakan semuanya kepada Sandara saat Sandara sudah lulus SMA.

Sejak saat itu, sudah tidak ada lagi cinta dari anak perempuan untuk sang ayah yang pernah Sandara simpan di hatinya. Kini yang tersisa hanya dendam yang mendalam. Bahkan Sandara sampai harus berbohong kepada orang yang sangat ia sayangi—Amira, dan diam-diam Sandara sudah menyiapkan rencana untuk membalas perbuatan Ayahnya.

“Udah, lah. Nggak usah dipaksa, Ma. Nanti Sandara sempetin pulang kalau ada waktu luang. Oke?”

“Yang bener...?”

“Iya, Ma. Ya udah, ya. Sandara tutup dulu. Sandara mau siap-siap, mau berangkat kerja.”

“Ya udah. Nanti Mama transfer kamu uang ya.”

“Buat apa?”

“Uang Mama mau dikasih ke siapa lagi kalau bukan buat kamu?”

“Ya udah.”

Bye, sayang!”

***

Tekad Sandara sudah bulat. Belum ada satu jam sejak Mamanya kembali memperingatkan, tetapi lihat keberadaan Sandara sekarang. Sandara memasuki sebuah gedung perusahaan yang menaungi salah satu rumah produksi sinetron dan ftv yang cukup terkenal di Indonesia.

Kafe ‘Hi!’ yang terletak di lantai satu gedung itu sangat terkenal. Kebanyakan para penggemar mencuri-curi kesempatan datang ke kafe ‘Hi!’ supaya bisa melihat aktris atau aktor kesukaan mereka yang sering berlalu-lalang keluar-masuk perusahaan yang menaunginya. Namun, di dalam kafe itu terpampang dengan jelas bahwa ada larangan mengambil gambar sembarangan dan tidak boleh meminta tanda tangan atau foto dengan para aktris ataupun aktor. Jika ada yang tertangkap melakukan hal tersebut, dia tidak akan diperbolehkan datang ke kafe itu lagi.

Sandara berjalan dengan penuh percaya diri. Tidak seperti para pengunjung kafe pada umumnya, Sandara mendalami karakter dan berlagak seperti aktris papan atas. Sejak ia memutuskan untuk belajar akting dua tahun yang lalu, Sandara memang sudah menunggu saat-saat seperti ini. Awal dari rencana yang sudah Sandara pikirkan bertahun-tahun akan segera dimulai.

“Selamat siang, Kak. Mau pesan apa?”

Hot caramel latte-nya satu.”

“Atas nama siapa?”

“San.”

“Baik. Silakan, Kak, untuk pembayarannya. Untuk pengambilan minumannya, nanti mohon ditunggu di sebelah sini, ya.”

Setelah melakukan pembayaran, Sandara bergeser sedikit ke kiri sesuai dengan yang sudah diberitahukan oleh pegawai kafe. Sandara menunggu minuman yang ia pesan selama beberapa menit sembari mengirimkan pesan singkat menggunakan HP-nya. Naomi telah membalas pesan dari Sandara dan dia setuju untuk bertemu dengan Sandara siang ini.

“Atas nama San.”

Sandara mendongak. “Saya.”

“Silakan, ya, Kak. Terima kasih.”

Beberapa detik setelah Sandara menerima minumannya, ia kembali sibuk dengan HP. Alhasil, ketika Sandara berbalik badan, dia tidak menyadari kalau ada seseorang di sebelahnya. Tanpa disengaja, badan Sandara dengan orang itu bersenggolan. Sandara terkejut sekaligus terguncang hingga HP-nya terlepas dari genggaman. Karena berusaha menyelamatkan HP-nya yang mau terjatuh, minuman yang Sandara pegang jadi terlepas. HP Sandara berhasil kembali ke genggaman, tetapi tidak dengan minumannya yang berakhir jatuh ke lantai dan tumpah.

Seketika Sandara merasakan adanya firasat buruk. Karma karena sudah berbohong kepada Mamanya datang begitu cepat. Baru kali kedua keluar dari apartemen, tetapi sudah mendapatkan musibah lagi. Kali ini benar-benar musibah, bukan musibah yang direncanakan.

Masih tidak terlalu buruk jika minumannya hanya tumpah dan membasahi lantai, tetapi....

“Argh....”

Semua terasa semakin buruk setelah Sandara melihat dan ternyata dia mengenal siapa orang yang barusan dia tabrak, wajah tampan yang akhir-akhir ini sering berseliweran di layar televisi. Sepertinya, di jaman sekarang ini, tidak ada yang tidak mengenalnya.

“Aduh! Maaf ... maaf,” ucap Sandara, benar-benar merasa bersalah. Sandara pun tidak memikirkan apa-apa lagi selain berusaha membersihkan noda-noda minuman yang mengenai sepatu cowok di depannya itu.

Sandara mengeluarkan tisu dari sling bag-nya, mengambil sikap jongkok dan segera membersihkan kekacauan yang sudah ia buat. Sayangnya, nodanya tidak bisa hilang begitu saja. Sandara kembali berdiri dan memohon maaf lagi.

“Saya bakalan ganti rugi,” ucap Sandara mencoba menawarkan solusi lain.

Cowok itu mendekatkan kepala, berbisik di sebelah telinga Sandara. “Nggak punya mata ya lo?”

Deg!

Kening Sandara mengerut.

What?!

Ekspresi wajah Sandara berubah dalam seketika. Kini semua rasa bersalahnya menghilang begitu saja. Alih-alih kembali melanjutkan penawaran untuk mengganti rugi atas kecerobohan yang sudah ia lakukan, Sandara melirik tajam cowok itu sembari berkata, “Sori.” Singkat, tanpa basa-basi lain-lainnya, lalu Sandara pergi dan tidak lupa ia meninggalkan salam perkenalan dengan berpura-pura tidak sengaja menginjak kaki cowok itu dengan kakinya yang dibalut black gothic boots dengan outsole setinggi 3 centimeter.

“A-a-aw!”

Cowok itu menatap Sandara tidak terima, tetapi ia menyadari bahwa ada banyak orang yang sedang memperhatikannya. Beberapa di antara mereka pasti ada fans sehingga dia tidak bisa langsung berbuat lebih banyak untuk membalas apa yang sudah Sandara lakukan kepadanya.

“Atas nama Arbian,” ucap salah seorang pegawai kafe, mengalihkan perhatiannya. Dia menoleh dan bergegas mengambil minuman yang sebelumnya sudah ia pesan.

Ya, nama cowok itu Arbian Madhava. Salah satu aktor muda yang terkenal di Indonesia.

Setelah mendapatkan minumannya, Arbian pergi meninggalkan kafe.

***

Sandara memandangi dirinya sendiri di depan cermin yang sangat lebar. Kedua alisnya sudah hampir bertautan. Menyebalkan. Sangat-sangat menyebalkan.

Sandara jadi ingat dengan kata-kata Mamanya yang bilang kalau ada banyak orang di luar sana yang menggunakan topeng. Apalagi, para aktris dan aktor-aktor yang sering muncul di televisi itu. Mungkin mereka menampakkan wajah ramah di depan kamera, tetapi mereka bisa bersikap buruk kepada orang lain yang tidak menguntungkan untuk mereka saat kamera sedang tidak menyorot. Baru hari ke tujuh Sandara di Jakarta, tetapi dunia sudah menunjukkan apa yang Mamanya pernah katakan. Rupanya tinggal di kota orang memang tidak mudah.

Sandara mengembuskan napas berat. “Nggak apa-apa. Ini baru permulaan. Aku harus lebih sabar. Aku nggak boleh gagal.”

Drrt ... drrt.

HP Sandara kembali bergetar. Ada pesan dari Naomi lagi.

Naomi: Gue udah di depan gedung Hillary Group. Lo di mana? Jadinya mau ngobrol sekaligus makan di luar aja, kan?

Sandara: Iya. Tunggu. Bentar lagi gue ke luar. Lagi di kamar mandi.

Naomi: Oke! Can’t wait to see you!!

Sandara menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Ia menata moodnya kembali, baru keluar dari kamar mandi. Namun, siapa sangka, sudah ada orang yang menunggunya di depan kamar mandi. Orang yang terlihat sangat menyebalkan, Arbian.

Sandara sempat terperangah. Kemudian, ia memutuskan untuk tidak peduli. Sandara tetap melanjutkan langkah dan berniat pergi begitu saja, tetapi Arbian malah terus menghalangi setiap langkah kaki Sandara. Jika Sandara ke kiri, Arbian ikut ke kiri. Jika Sandara ke kanan, Arbian ikut ke kanan. Sandara berhenti, Arbian ikut berhenti, masih di depan Sandara.

“Bisa minggir nggak?”

Tidak mengindahkan permintaan Sandara, Arbian malah sengaja terus mempersempit jarak antara dia dengan Sandara. Sandara pun reflek terus melangkah mundur. Arbian terus melangkah maju hingga akhirnya Sandara yang berhenti lebih dulu karena badannya sudah terpentok dinding.

“Jangan macam-macam ya sama gue!” ucap Sandara, lirih, tetapi sangat tegas.

“Kalau gue macam-macam, emang lo bisa apa?”

“Gue—” kata Sandara terpotong karena tangan Arbian menepuk dinding di sebelah kepalanya dengan kencang sampai membuat Sandara terperanjat dan tidak bisa melanjutkan omongannya lagi.

Lagi-lagi Arbian mendekatkan kepalanya ke telinga Sandara. Ia berbisik, “Seharusnya gue yang bilang, lo jangan berani macam-macam sama gue ... Satu kalimat aja gue ngomong tentang sikap buruk lo yang udah lo lakuin di akun sosial media gue, hidup lo bisa hancur.”

Sandara dan Arbian saling melirik tajam. Intensitas di antara mereka berdua meningkat. Keduanya menyorotkan kebencian dari mata masing-masing. Namun, kebencian itu tidak bisa dilihat oleh orang lain yang melihat mereka dari kejauhan. Dari sudut mata orang lain, posisi badan mereka membuat mereka berdua terlihat sangat dekat, seperti dua pasang manusia yang memiliki hubungan khusus.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status