MasukTidak lama setelah kepergian Celeste, Marcus kembali ke ruangannya dengan raut wajah keras. Satu kali kecolongan sudah membuat suasana hatinya berubah panas. Tiba-tiba suara ketukan terdengar di pintu.“Masuk,” seru Marcus dengan suara beratnya.Seorang pria paruh baya masuk, dari raut wajahnya Marcus sudah dapat melihat gambaran berita buruk.“Apa lagi sekarang?” tanya Marcus, wajahnya sudah tidak ramah.“Tuan, ada keterlambatan pemindahan dana luar negeri. Maksud saya, terlambat masuk.” Pria itu gugup bukan main.“Apa maksudmu terlambat masuk?” Suara Marcus terdengar datar, tapi semua orang tahu nada datar itu jauh lebih mematikan dibanding teriakan.Kepala keuangan Cross Group, pria bertubuh kecil yang biasanya terlalu percaya diri, hari itu tampak lebih pucat dari kertas laporan yang ia pegang.“Hanya terlambat, Tuan. Sepertinya ada … kemacetan sistem internal bank. Saya akan memastikan semuanya kembali normal.”Marcus menatapnya selama lima detik tanpa berkedip. Namun, lima detik
“Celeste.” Suara Marcus terdengar pelan tapi menusuk.Ia menatap Celeste yang masih berdiri di depan laci mejanya, jari-jarinya masih menyentuh map coklat bertuliskan “Deighton Case”. Tetapi dalam posisi terbalik jadi Marcus tidak melihatnya.Seluruh ruang rapat terdiam. Tak ada yang berani bergerak.Celeste memaksa tubuhnya berbalik perlahan, seolah gerakan cepat akan membuatnya terlihat lebih bersalah. “Aku hanya ingin memeriksa laporan logistik yang kemarin, dan aku kira, kupikir ini–“Marcus menurunkan dagunya sedikit, seolah menganalisa setiap detik ekspresi wajahnya. “Map itu bukan bagian dari rapat hari ini.”“Aku tahu.” Celeste berusaha tersenyum kecil, meski tenggorokannya terasa kering. “Aku tadi ingin memastikan apakah ada dokumen tambahan yang harus disertakan pada audit besok, seperti biasanya. Lacinya terbuka, aku kira–““Lacinya tidak pernah terbuka dengan sendirinya.” Marcus memotong.“Anda bisa periksa sendiri, Tuan,” kata Celeste dengan tenang.Ada jeda panjang saat
“Percepat laju mobilnya, Pak,” pinta Celeste dengan nada panik kepada sopir taksi yang membawanya kembali ke Cross Group.Laju mobil itu sudah berada di batas kecepatan maksimal, jadi sang sopir mengabaikan permintaan Celeste.Galeri itu hanya berjarak sepuluh menit dari gedung Cross, tetapi karena panik, bagi Celeste waktu sepuluh menit itu terasa seperti selamanya.Begitu sopir mengerem, Celeste buru-buru membuka mobil dan melompat keluar.“Sial! Semoga aku tidak terlambat.”Celeste hampir tersandung saat keluar dari taksi dan setengah berlari menyebrangi lobi Cross Group. Tumit sepatunya memantul cepat di lantai marmer. Lift sudah hampir menutup, tapi ia memasukkan tangan di sela pintu dan masuk sebelum sempat dipikirkan.Napasnya masih kacau. Detak jantungnya belum turun sejak ia meninggalkan Ethan.Begitu pintu lift terbuka, ia langsung berjalan cepat ke ruang rapat utama. Pintu kaca setinggi kepala itu sudah separuh tertutup. Dari dalam, suara Marcus sedang berbicara terdengar k
“Aku sudah di depan pintunya.” Ethan bicara kepada Graham melalui telepon.“Anda yakin dia tidak sedang menjebak Anda, Tuan?” Suara Graham terdengar ragu melalui telepon, bercampur bunyi lalu lintas Manhattan yang kacau. Ia selalu mengikuti kemana Ethan pergi semenjak pertarungan malam itu.Ethan menarik napas panjang, memandangi papan kecil bertuliskan Mercer Street Art Studio. “Kalau ini jebakan, ya sudah. Kita sudah sejauh ini. Lagipula wanita ini bukan tipe yang buang-buang waktu untuk lelucon.”“Justru itu yang membuatku khawatir, Tuan,” gumam Graham.Ethan menutup telepon sebelum Graham sempat bertanya lagi. Kalau dia terus mendengarkan Graham, dia pasti batal masuk. Entah kenapa Graham menjadi terlalu protektif padanya akhir-akhir ini.Ia mendorong pintu galeri.Tak ada suara sambutan atau semacamnya.Ruangan kecil itu diterangi oleh lampu hias berwarna kuning, memberi kesan hangat, dan anehnya membuat semuanya terasa seperti berada di luar dunia nyata. Lukisan-lukisan abstrak
“Ini gila! Siapa yang berani mengutak-atik jalur kita?” Suara seorang kepala divisi meledak di ruang rapat kecil lantai 38.Marcus tidak menjawab. Ia berdiri di dekat jendela besar, menatap Manhattan yang masih diselimuti cahaya pagi. Dari samping, rahangnya terlihat menegang begitu keras seakan bisa memecah kaca. Seragam tim investigasi internal memenuhi ruangan itu, namun aura Marcus jauh lebih menekan dibandingkan mereka semua.“Periksa semua jalur distribusi,” katanya akhirnya, dengan suara rendah tapi mematikan. “Tidak ada yang keluar sebelum aku mendapatkan nama pelakunya.”Semua kepala departemen saling melirik, tegang. Celeste duduk di kursinya, diam, kedua tangannya saling menggenggam di pangkuan.Pemutusan akses sistem sudah diumumkan sejak lima menit yang lalu, itu berarti sudah tidak ada yang bisa dipercaya. Bahkan dirinya sendiri.“Termasuk saya, Tuan Cross?” Salah satu kepala logistik memberanikan diri bertanya.“Tidak ada pengecualian.” Marcus menatap pria itu dingin, l
“Duduklah, Tuan.” Suara Graham terdengar cemas begitu Ethan membuka pintu kamar motel. Melihat cara Ethan berjalan tertatih-tatih, membuat pria tua itu membayangkan betapa banyaknya luka di tubuh Ethan.Namun, Ethan mengabaikan kekhawatiran Graham. Ia menjatuhkan diri ke kursi reyot di sudut, menghembuskan napas panjang sampai bahunya yang memar terasa menusuk. Bajunya masih kering dengan darah. Darah yang sebagian adalah miliknya, dan sebagian lagi bukan.“Tuan, apa sebaiknya Anda ke rumah sakit?” Graham bertanya lagi, menaruh kantong es di meja.“Tidak perlu,” jawab Ethan pendek.Graham mengangkat alis, lalu menggeleng pelan. Kantung es itu ia tempelkan ke kepala Ethan yang memar.“Sejujurnya, aku pikir Tuan Blaze akan meminta syarat yang menyulitkan kita dalam pertemuan tadi. Apakah Anda yakin dia benar-benar setuju, Tuan? Begitu saja?”“Ya. Setelah dia hampir membunuhku menggunakan lima orangnya.” Ethan mendesis sambil menyentakkan napas, menahan rasa perih di pelipis. “Tapi dia s







