Home / Urban / Belenggu Hasrat Dendam Membara / BAB 7 BAYANGAN DI BALIK NAMA CROSS

Share

BAB 7 BAYANGAN DI BALIK NAMA CROSS

Author: Michaella Kim
last update Last Updated: 2025-12-17 15:51:54

Celeste melangkah keluar dari lift di lantai 32 gedung Cross Holdings dengan napas sedikit memburu. Ia baru saja tiba dari Bank Hesler, dan belum sempat meletakkan tas di meja kerjanya ketika seorang staff senior memanggilnya.

“Nona Morel,” panggil staff itu, suaranya ketat, seperti sedang menahan sesuatu. “Tuan Cross ingin bertemu Anda. Sekarang.”

Celeste menghentikan langkah, menoleh ke arah pintu. “Sekarang?”

“Sekarang.” Pria itu menelan ludah. “Dia tidak terdengar seperti sedang dalam mood yang baik.”

Celeste tidak bertanya apa pun lagi. Tidak ada yang pernah menolak panggilan Marcus Cross. Tidak akan ada yang berani.

Celeste mengatur napas, merapikan blazer dan kerah kemeja putihnya. Lalu berjalan menyusuri lorong panjang menuju ruang eksekutif, sebuah ruangan yang jarang digunakan. Hanya ketika Marcus ingin benar-benar mengisolasi seseorang, dan hari ini, orang itu adalah dirinya.

Ia mengetuk pintu satu kali. Ketika ia masuk, pintu tertutup otomatis di belakang punggungnya.

Marcus sudah duduk di sana. Punggungnya tegak, tubuhnya condong sedikit ke depan, dan dua jarinya mengetuk pelan meja kayu hitam yang memantulkan lampu ruangan. Ritme yang ia gunakan hanya ketika ia sedang menahan diri untuk tidak meledak.

Tatapannya menusuk, seperti seseorang yang sudah tahu jawabannya tapi tetap ingin mendengar kebohonganmu.

Tengkuk mendadak Celeste dingin.

“Duduk,” katanya.

Celeste menurut dan duduk tanpa suara.

Tanpa memberi jeda, tangan Marcus bergerak memutar layar sebuah tablet. Foto seseorang terpampang besar di sana. Ethan.

Wajah dengan tatapan dingin. Wajah yang Celeste kenal karena insiden hampir ditabrak itu, dan baru saja ia bertemu dengannya.

“Jelaskan, kenapa kau bicara dengan orang ini. Siapa dia?” Suara Marcus terdengar pelan. Namun, justru itu yang membuatnya lebih menakutkan.

Celeste segera mengatur nada tenang. “Pria ini adalah orang asing. Pernah hampir tertabrak mobilku kemarin. Itu saja.”

Marcus menggeleng pelan. “Celeste, jangan berlagak bodoh!” Ia menyandarkan tubuh, memandangi foto Ethan lagi. “Aku melihat rekaman cctv bank. Kau bukan hanya lewat. Kau bicara dengannya. Cukup lama.”

“Itu hanya–“

“Jangan bohong padaku.” Nada bicara Marcus menusuk tapi lembut, seperti seseorang yang menodongkan pisau sambil tersenyum.

Celeste menahan napas. Ia tahu sifat Marcus. Ketika ia terlalu ramah, berarti ia sedang menggali informasi.

“Kenapa kau bicara dengan pria ini?” tanya Marcus. Ketukan jarinya terhenti. “Kau kenal dia sebelumnya?”

“Tentu tidak,” jawab Celeste cepat. “Aku juga terkejut melihat dia, dan aku hanya memastikan dia tidak terluka. Dia terlihat, seperti butuh bantuan. Jadi aku menyapanya.”

“Hm.” Marcus menurunkan pandangan ke foto Ethan. “Butuh bantuan? Atau butuh alasan untuk mendekati seseorang dari Cross Group?”

Nada itu membuat Celeste menegakkan bahu. “Tuan Cross, Anda berpikir terlalu jauh. Dia bukan siapa-siapa,” tegasnya.

Udara di ruangan itu seperti menebal. Celeste tahu, setiap kalimat Marcus adalah tes.

Sebagai bagian dari lingkaran dalam Cross Group, Celeste sering menangani dokumen sensitif dan pertemuan penting. Tapi Marcus tidak pernah memanggilnya hanya untuk menanyakan seorang pria asing.

Jadi ini bukan tentang Ethan semata. Ini tentang ketakutan yang Marcus sembunyikan.

Marcus mencondongkan tubuh ke depan, berkata dengan nada lembut, tapi justru membuat bulu kuduk merinding.

“Aku memperingatkanmu, Nona Morel,” katanya pelan. “Jangan dekat dengan siapapun yang mencurigakan. Kau tidak tahu siapa yang bisa membahayakan keluarga ini.”

Keluarga.

Satu kata yang selalu digunakan untuk memanipulasi orang-orang yang ia anggap ‘miliknya’.

“Ada banyak pihak yang ingin menjatuhkan keluargaku.”

“Tuan, lalu apa hubungannya dengan aku?” tanya Celeste.

“Karena kau berada dekat denganku,” jawab Marcus cepat, hampir terlalu cepat. Nada itu mencampur banyak hal, protektif, manipulatif, sekaligus posesif.

Celeste merasakan ketidaknyamanan merayap ke tulang rusuknya. Marcus jarang menunjukkan emosi personal, tapi hari ini ada sesuatu yang lain.

“Orang-orang di luar itu bisa membahayakan keluarga ini.” Jari Marcus mengetuk meja sekali, cukup keras. “Dan aku tidak akan membiarkan apa pun terjadi padamu.”

Celeste menegang.

Itu kalimat yang baru kali ini ia dengar dari Marcus.

Apakah itu sebuah proteksi atau peringatan?

Ia benar-benar tidak bisa membedakannya. Yang pasti, mulai detik ini Marcus pasti akan mengawasinya.

“Tentu, Tuan Cross,” jawab Celeste, menahan emosi. “Aku mengerti.”

Marcus menatapnya lama, sangat lama, seolah ingin memastikan kalimatnya meresap sampai ke tulang. Baru kemudian ia mengangguk.

“Baik. Kau boleh keluar.”

Celeste bangkit. Tangannya tetap dingin saat memegang gagang pintu. Dan sebelum ia sempat melangkah keluar, Marcus menambahkan tanpa melihatnya.

“Jaga sikapmu.”

Pintu menutup, dan Celeste hampir lupa bernapas.

Keluar dari ruangan itu, Celeste berjalan dengan langkah sedikit limbung. Beberapa staf menunduk cepat, mereka tahu aura Marcus bisa menempel seperti kabut beracun pada siapa saja yang baru bertemu dengannya. Tapi Celeste tidak menggubris.

Ia bersandar pada dinding dekat lift. Menutup mata dan menarik napas panjang.

“Ethan Deighton,” gumamnya hampir tak terdengar.

Dalam pertemuan tadi, ia sadar Marcus pasti menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang sangat besar, yang berkaitan dengan Ethan Deighton.

Di tempat yang berbeda, angin malam berhembus menusuk seperti jarum di kulit saat Ethan melangkah keluar stasiun kereta bawah tanah menuju pelabuhan 46. Gudang yang dia tuju berada jauh di ujung dermaga, lampunya redup, beberapa kontainer berderet seperti siluet raksasa gelap.

Gedung-gedung Manhattan terlihat dari kejauhan, gemerlap tapi seperti dunia lain, dunia yang pernah ia duduki sebelum Marcus merenggutnya.

Ponselnya bergetar.

Nama Graham muncul.

Ethan menggeser ikon hijau. ”Ya.”

“Anda sudah sampai, Tuan?” suara Graham terdengar gelisah.

“Hampir.”

“Tuan Orion Blaze bukan orang yang bisa dikendalikan dengan kata-kata, Tuan.” Graham memperingatkan. “Dia menghormati ketegasan. Dan kekejaman.”

“Aku tahu. Jangan khawatir.”

Hening sejenak.

“Graham?” ucap Ethan. “Kau percaya aku bisa melakukan ini, kan?”

Butuh waktu tiga detik sebelum Graham menjawab, “Kalau saya tidak percaya, saya tidak akan tetap ada di pihak Anda dan menunggu selama lima tahun.”

Ethan menutup mata sebentar. Jawaban itu cukup menenangkan.

“Kalau lima menit lagi aku tidak keluar,” Ethan sempat bercanda, “kau boleh panggil polisi.”

“Tidak. Kalau lima menit Anda tidak keluar,” Graham berhenti, suaranya berubah serius. “Saya akan datang sendiri.”

Ethan hampir tersenyum. “Kalau begitu, aku pasti tidak akan membuatmu repot.”

Ia menutup telepon.

Ethan membuka jaketnya sedikit, memastikan pisau lipat kecil terjepit di sabuk. Bukan untuk menyerang, hanya jika sesuatu tidak berjalan sesuai rencana.

Ia tidak terlalu bodoh datang tanpa persiapan.

Graham bilang bahwa Orion blaze adalah pria yang tidak peduli siapa kau. Dia hanya peduli pada apa yang bisa kau berikan.

Sekarang, Ethan datang tidak membawa apa pun kecuali sisa kehormatan dan identitas legal yang secara ajaib masih bertahan.

Ia berhenti di depan pintu besi karatan yang tertutup rapat.

“Orion Blaze,” gumamnya. “Mari kita lihat apakah kau musuh atau senjata untukku.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Belenggu Hasrat Dendam Membara   BAB 16 RETAK PERTAMA DI KERAJAAN CROSS

    Tidak lama setelah kepergian Celeste, Marcus kembali ke ruangannya dengan raut wajah keras. Satu kali kecolongan sudah membuat suasana hatinya berubah panas. Tiba-tiba suara ketukan terdengar di pintu.“Masuk,” seru Marcus dengan suara beratnya.Seorang pria paruh baya masuk, dari raut wajahnya Marcus sudah dapat melihat gambaran berita buruk.“Apa lagi sekarang?” tanya Marcus, wajahnya sudah tidak ramah.“Tuan, ada keterlambatan pemindahan dana luar negeri. Maksud saya, terlambat masuk.” Pria itu gugup bukan main.“Apa maksudmu terlambat masuk?” Suara Marcus terdengar datar, tapi semua orang tahu nada datar itu jauh lebih mematikan dibanding teriakan.Kepala keuangan Cross Group, pria bertubuh kecil yang biasanya terlalu percaya diri, hari itu tampak lebih pucat dari kertas laporan yang ia pegang.“Hanya terlambat, Tuan. Sepertinya ada … kemacetan sistem internal bank. Saya akan memastikan semuanya kembali normal.”Marcus menatapnya selama lima detik tanpa berkedip. Namun, lima detik

  • Belenggu Hasrat Dendam Membara   BAB 15 GARIS TIPIS ANTARA LOYALITAS DAN PENGKHIANATAN

    “Celeste.” Suara Marcus terdengar pelan tapi menusuk.Ia menatap Celeste yang masih berdiri di depan laci mejanya, jari-jarinya masih menyentuh map coklat bertuliskan “Deighton Case”. Tetapi dalam posisi terbalik jadi Marcus tidak melihatnya.Seluruh ruang rapat terdiam. Tak ada yang berani bergerak.Celeste memaksa tubuhnya berbalik perlahan, seolah gerakan cepat akan membuatnya terlihat lebih bersalah. “Aku hanya ingin memeriksa laporan logistik yang kemarin, dan aku kira, kupikir ini–“Marcus menurunkan dagunya sedikit, seolah menganalisa setiap detik ekspresi wajahnya. “Map itu bukan bagian dari rapat hari ini.”“Aku tahu.” Celeste berusaha tersenyum kecil, meski tenggorokannya terasa kering. “Aku tadi ingin memastikan apakah ada dokumen tambahan yang harus disertakan pada audit besok, seperti biasanya. Lacinya terbuka, aku kira–““Lacinya tidak pernah terbuka dengan sendirinya.” Marcus memotong.“Anda bisa periksa sendiri, Tuan,” kata Celeste dengan tenang.Ada jeda panjang saat

  • Belenggu Hasrat Dendam Membara   BAB 14 BENIH KEBUSUKAN TERBONGKAR

    “Percepat laju mobilnya, Pak,” pinta Celeste dengan nada panik kepada sopir taksi yang membawanya kembali ke Cross Group.Laju mobil itu sudah berada di batas kecepatan maksimal, jadi sang sopir mengabaikan permintaan Celeste.Galeri itu hanya berjarak sepuluh menit dari gedung Cross, tetapi karena panik, bagi Celeste waktu sepuluh menit itu terasa seperti selamanya.Begitu sopir mengerem, Celeste buru-buru membuka mobil dan melompat keluar.“Sial! Semoga aku tidak terlambat.”Celeste hampir tersandung saat keluar dari taksi dan setengah berlari menyebrangi lobi Cross Group. Tumit sepatunya memantul cepat di lantai marmer. Lift sudah hampir menutup, tapi ia memasukkan tangan di sela pintu dan masuk sebelum sempat dipikirkan.Napasnya masih kacau. Detak jantungnya belum turun sejak ia meninggalkan Ethan.Begitu pintu lift terbuka, ia langsung berjalan cepat ke ruang rapat utama. Pintu kaca setinggi kepala itu sudah separuh tertutup. Dari dalam, suara Marcus sedang berbicara terdengar k

  • Belenggu Hasrat Dendam Membara   BAB 13 PERTEMUAN YANG TIDAK SEHARUSNYA TERJADI

    “Aku sudah di depan pintunya.” Ethan bicara kepada Graham melalui telepon.“Anda yakin dia tidak sedang menjebak Anda, Tuan?” Suara Graham terdengar ragu melalui telepon, bercampur bunyi lalu lintas Manhattan yang kacau. Ia selalu mengikuti kemana Ethan pergi semenjak pertarungan malam itu.Ethan menarik napas panjang, memandangi papan kecil bertuliskan Mercer Street Art Studio. “Kalau ini jebakan, ya sudah. Kita sudah sejauh ini. Lagipula wanita ini bukan tipe yang buang-buang waktu untuk lelucon.”“Justru itu yang membuatku khawatir, Tuan,” gumam Graham.Ethan menutup telepon sebelum Graham sempat bertanya lagi. Kalau dia terus mendengarkan Graham, dia pasti batal masuk. Entah kenapa Graham menjadi terlalu protektif padanya akhir-akhir ini.Ia mendorong pintu galeri.Tak ada suara sambutan atau semacamnya.Ruangan kecil itu diterangi oleh lampu hias berwarna kuning, memberi kesan hangat, dan anehnya membuat semuanya terasa seperti berada di luar dunia nyata. Lukisan-lukisan abstrak

  • Belenggu Hasrat Dendam Membara   BAB 12 GETARAN PERTAMA DI JARINGAN CROSS

    “Ini gila! Siapa yang berani mengutak-atik jalur kita?” Suara seorang kepala divisi meledak di ruang rapat kecil lantai 38.Marcus tidak menjawab. Ia berdiri di dekat jendela besar, menatap Manhattan yang masih diselimuti cahaya pagi. Dari samping, rahangnya terlihat menegang begitu keras seakan bisa memecah kaca. Seragam tim investigasi internal memenuhi ruangan itu, namun aura Marcus jauh lebih menekan dibandingkan mereka semua.“Periksa semua jalur distribusi,” katanya akhirnya, dengan suara rendah tapi mematikan. “Tidak ada yang keluar sebelum aku mendapatkan nama pelakunya.”Semua kepala departemen saling melirik, tegang. Celeste duduk di kursinya, diam, kedua tangannya saling menggenggam di pangkuan.Pemutusan akses sistem sudah diumumkan sejak lima menit yang lalu, itu berarti sudah tidak ada yang bisa dipercaya. Bahkan dirinya sendiri.“Termasuk saya, Tuan Cross?” Salah satu kepala logistik memberanikan diri bertanya.“Tidak ada pengecualian.” Marcus menatap pria itu dingin, l

  • Belenggu Hasrat Dendam Membara   BAB 11 JEJAK PERTAMA & TARIKAN YANG TAK DIINGINKAN

    “Duduklah, Tuan.” Suara Graham terdengar cemas begitu Ethan membuka pintu kamar motel. Melihat cara Ethan berjalan tertatih-tatih, membuat pria tua itu membayangkan betapa banyaknya luka di tubuh Ethan.Namun, Ethan mengabaikan kekhawatiran Graham. Ia menjatuhkan diri ke kursi reyot di sudut, menghembuskan napas panjang sampai bahunya yang memar terasa menusuk. Bajunya masih kering dengan darah. Darah yang sebagian adalah miliknya, dan sebagian lagi bukan.“Tuan, apa sebaiknya Anda ke rumah sakit?” Graham bertanya lagi, menaruh kantong es di meja.“Tidak perlu,” jawab Ethan pendek.Graham mengangkat alis, lalu menggeleng pelan. Kantung es itu ia tempelkan ke kepala Ethan yang memar.“Sejujurnya, aku pikir Tuan Blaze akan meminta syarat yang menyulitkan kita dalam pertemuan tadi. Apakah Anda yakin dia benar-benar setuju, Tuan? Begitu saja?”“Ya. Setelah dia hampir membunuhku menggunakan lima orangnya.” Ethan mendesis sambil menyentakkan napas, menahan rasa perih di pelipis. “Tapi dia s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status