Share

BAB 2

Dering ponsel di tas membawa Kiran kembali dari kenangan masa lalu. Mobil Haidar telah lama meninggalkan kafe tempat mereka bertemu. Kiran mendesah, dia tak dapat menolak permintaan Haidar yang ingin berjumpa disini. Wanita itu tahu persis dia sudah menyalahi SOP. Biasanya, setiap ada nasabah yang mengajukan pengajuan pembiayaan, Kiran akan menemui di tempat usaha atau tempat kerja yang bersangkutan. Namun, Haidar bukan hanya sekedar nasabah. Itu masalahnya.

"Halo, iya, Mas?" Alis Kiran bertaut saat mendengar serentetan tugas dari manajer marketing tempatnya bekerja. "Baik, Mas. Saya masih di luar, baru selesai prospect nasabah. Nanti sampai di kantor Kiran langsung buat ya." Kiran mematikan sambungan telepon saat atasannya itu selesai memberikan instruksi.

Wanita bertubuh semampai itu langsung mengambil tas dan beranjak dari kafe. Seperti biasa, Haidar sudah membayar makan siang mereka hari ini. Gratifikasi, hal yang sangat Kiran hindari. Dia selalu menjaga diri dari jamuan-jamuan kecil yang berusaha nasabah berikan karena dia mencintai pekerjaan ini.

"Halo? Mir? Bantuin aku bikin laporan progres pipeline bulan ini dong? Mau ya? Ini aku masih di luar." Kiran urung menyalakan motor saat teringat tak bisa langsung pulang ke kantor.

"Ah, kamu mah kebiasaan! Tau deh karyawan teladan. AO yang selalu achieve dan melebihi target setiap bulan."

Kiran terkekeh mendengar suara Mira di seberang sana. Kalau bukan karena ada janji kunjungan lagi, Kiran sudah meluncur ke kantor saat ini. Dia paling pantang meminta bantuan sesama AO karena dia paham sekali mereka sudah sibuk dengan target masing-masing.

Akan tetapi, mau bagaimana lagi? Dia juga tak mungkin membatalkan janji dengan nasabah begitu saja. Biasa, tengah bulan atasan minta laporan progres pekerjaan untuk memastikan anggota timnya mencapai target di akhir bulan.

Pekerjaan seorang AO sebenarnya bagaikan pisau bermata dua bagi Kiran. Dengan pekerjaan ini, dia bisa melupakan sejenak kesedihan karena karamnya mahligai rumah tangga dengan haidar beberapa tahun lalu.

Bertemu dengan orang-orang baru dan tenggelam dalam setumpuk dokumen yang menggunung membantu banyak bagi Kiran untuk melewati tahun demi tahun yang terasa menyesakkan karena berpisah dengan pujaan.

Bagaimana tidak? Sebelum jam setengah delapan pagi, dia sudah harus sampai di kantor untuk mengikuti apel pagi. Setelah maghrib, dia baru meninggalkan kantor. Kalau akhir bulan, dia bisa tetap di kantor sampai tengah malam untuk proses end of month.

Itu pula yang akhirnya membuat Kiran mantap keluar dari pekerjaan ini saat masih bersama Haidar. Faktor kelelahan fisik dan stress membuat hormonnya terganggu hingga mereka belum juga memiliki keturunan sampai tahun kedua berumah tangga.

“Boleh Kiran resign, Mas? Kiran sangat ingin mempersembahkan cucu untuk Bapak dan Ibu. banyak yang mengatakan ini salah satu faktor penyebab kita belum mempunyai keturunan.”

“Boleh. Gaji Mas lebih dari cukup untuk kita, Yang. Lagipula, Mas senang kalau kau bisa berada di rumah sepenuhnya. Tidak seperti saat ini, lebih banyak waktu di kantor daripada di sini.”

“Maaf.”

“Tidak apa-apa, Mas tahu itu mimpimu. Kau sudah lebih dulu bekerja di sana sebelum menikah denganku. Jadi, ketika Mas memutuskan menikahimu, Mas tahu Mas harus menerima semua yang telah melekat pada istriku.”

“Terima kasih.”

Kiran menarik menahan napas mengingat percakapannya dengan Haidar lima tahun yang lalu. Itu tahun kedua pernikahan mereka. Sebenarnya, Haidar maupun mertuanya tak pernah menyinggung masalah keturunan. Pun dengan kedua orangtua Kiran, mereka tak pernah bertanya apakah dia sudah berbadan dua atau belum.

Namun, Kiran sebagai anak tunggal sangat mengerti keinginan orangtuanya. Dia bisa melihat binar mata penuh harap di mata keduanya setiap kali mendengar saudara atau tetangga yang baru memiliki cucu.

“Mas Haidar ….” Kiran tanpa sadar mendesahkan nama Haidar. Setelah resmi bercerai, Kiran langsung mengajukan lamaran pekerjaan di tempat lama. Tanpa harus melewati serangkaian tes, dia langsung diterima karena memang prestasinya semasa bekerja luar biasa.

Lampu merah di depan sana membuat Kiran buru-buru menekan rem untuk berhenti sejenak. Terik matahari menusuk kulit. Beruntung, dia mengenakan jaket tebal dan kaos tangan untuk melindungi tubuh.

Kiran mendengus sebal saat truk besar di sebelahnya melenguh. Asap hitam langsung mengepul dari knalpotnya. Belum lagi bising suara klakson saling bersahutan. Wanita itu menggeleng pelan. Apa gunanya menyalakan klakson? Apa lampu merah akan langsung berubah hijau? Batin Kiran terus berkicau.

Tatapannya mendadak terpaku pada sepasang suami istri yang sedang berboncengan. Si istri berusaha menutupi bayi yang digendongnya dengan hijab yang dia pakai agar tidak kepanasan. Bayi? Ah … mendadak batin Kiran gerimis. Hingga tahun ke empat pernikahan, mereka belum juga dikaruniai keturunan.

“Ini sel telur Ibu Kiran banyak, tapi jumlahnya kecil-kecil.” Dokter kandungan menunjuk layar USG. “Kalau dari sini, saya bisa menganalisa belum ada sel telur yang matang. Nanti kita lihat dulu hasil tes laboratorium, tapi dugaan saya, besar kemungkinan PCOS karena tadi Ibu mengatakan ada riwayat menstruasi tidak teratur.”

Air mata Kiran menetes mengingat hari itu. Untuk pertama kalinya setelah dua tahun pernikahan, mereka memutuskan cek ke dokter kandungan. Mereka pergi dengan hati riang penuh sejuta harapan, saat mendengar hasil pemeriksaan justru mematahkan semua impian.

“Tidak ada masalah dengan analisa awal yang saya berikan. Banyak juga pasien saya yang PCOS memiliki keturunan. Asal mau mengubah pola hidup dan makan menjadi lebih sehat dan mengkonsumsi suplemen yang saya resepkan. Sementara ini, kita tunggu sampai hasil lab keluar agar lebih meyakinkan”

Kiran terisak mengingat semua. Dia bahkan bisa merasakan tangan hangat Haidar meremas bahunya untuk memberikan kekuatan. Kaca helm yang dia gunakan berembun. Telinganya berdenging. Membuat semua keributan di lampu merah itu menjadi tak terdengar lagi.

Mereka tak berhenti di satu dokter. Haidar mengajak Kiran mencari pendapat kedua. Berharap analisa dokter kandungan pertama salah, namun hasil pemeriksaan justru membuat hati Kiran semakin patah.

"Rahim terbalik atau dalam dunia medis biasa dikenal dengan rahim retro merupakan suatu kondisi yang biasa dialami oleh banyak wanita. Kalau rahim normal mulut rahim menghadap ke arah depan, maka pada rahim retro mulut rahim menghadap ke arah belakang."

Kiran membeku mendengar ucapan dokter yang sedang menunjuk-nunjuk layar USG. Di sana, Haidar seolah duduk terpaku saat dokter menjelaskan semua.

"Ini yang membuat s**rma kesulitan mencapai ovum. Jadi, untuk posisi rahim seperti ini, ada tips yang bisa dilakukan saat sedang ber …."

Kiran tersentak saat suara klakson di belakangnya menyalak kencang. Lampu merah telah berubah menjadi hijau sejak tadi rupanya. Sekejap, bayangan masa lalu pergi dari pikiran Kiran.

Ah … kadang Kiran iri dengan pasangan yang begitu mudah dikaruniai buah hati. Andai dia memiliki keturunan, mungkin saja ada alasannya tetap bertahan menjalani pernikahan.

Awalnya dia berusaha menerima kehadiran Raya karena pernikahan itu terjadi bukan atas kehendak mereka. Namun, Kiran mulai goyah saat di bulan kedua pernikahan kabar kehamilan Raya terdengar. Membuat keluarga Haidar dan Raya buncah oleh perasaan bahagia tanpa memikirkan Kiran yang sekian lama mendamba keturunan.

Wahai kehidupan, kenapa seolah engkau senang benar mempermainkan perasaan? Belum cukup Kiran terguncang karena harus berbagi cinta dan raga suami yang sangat dia kasihi, tak lama kemudian datang kabar yang semakin membuatnya terpuruk dalam sepi.

Kiran terluka. Dia hancur sehancur-hancurnya. Perasaan iri menguasai hati. Dia telah mengorbankan mimpinya menjadi wanita karir sukses agar bisa berbakti sepenuhnya pada suami. Dia melakukannya dengan penuh kerelaan agar semesta mau bermurah hati.

Namun, kenapa dunia seakan mengejeknya? Tak cukup harus berbagi suami, dia ditampar lagi dengan kenyataan begitu mudahnya benih Haidar tumbuh subur di rahim wanita keduanya.

Kiran menarik napas panjang saat tempat usaha nasabah yang akan dia kunjungi mulai terlihat. Mengenang Haidar bagaikan memakan buah simalakama. Satu sisi menyimpan begitu banyak keindahan. Sisi lainnya menyuguhkan luka tak berkesudahan. Bahkan, hingga tiga tahun berlalu sejak dia resmi bercerai dari Haidar, rasa sakit itu masih terus menghantui hingga titik terdalam sanubari.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Siti Zulaikah
Kakak author, aku nunggu "melukis harapan" juga tayang di sini ...
goodnovel comment avatar
Siti Zulaikah
harus tegar kiran
goodnovel comment avatar
Nur Janah
semoga kamu kuat ya Kiran dan nanti akan ada yang bisa membuat kamu bahagia
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status