Share

Tikus dalam Perangkap

Pada suatu malam di musim kemarau berkepanjangan, seekor tikus mengendap-endap di rumah seorang petani. Dia sangat kesulitan karena tidak memiliki makanan untuk meredakan rasa laparnya. Tak lama tikus itu berkeliling, dia akhirnya menemukan sepotong keju di sudut dapur. Namun malangnya keju tersebut dikuasai oleh jebakan tikus yang jahat. Merasa terancam, dia kembali ke tempat persembunyian dan hanya bisa menahan rasa sakit di dalam perutnya semalaman. Keesokan harinya, si tikus benar-benar sekarat. Tidak sanggup lagi menderita, tanpa pikir panjang dia berlari semampunya lalu berakhir menyerahkan diri kepada jebakan. Dia dengan pilu menikmati keju basi itu. Jebakan tikus menertawakannya kemudian bertanya, ‘Mengapa kau begitu bodoh?’ Tikus itu membalas sebelum napas terakhirnya, ‘Aku kelaparan.’ Ya, dia tidak punya pilihan lain.

•••

Keluarga Pradipta tidak pernah melarang atau membatasi keturunannya dalam hal pendidikan dan karir. Baik laki-laki maupun perempuan, setiap orang bebas untuk bersekolah setinggi mungkin dan bekerja dalam bidang apa pun. Namun saat ini, pemimpin keluarga memutuskan kalau Isabella harus masuk dalam pengecualian. Masalahnya, sampai detik ini Bella belum juga memanfaatkan wawasan serta gelar magister yang dia miliki. Belajar dari taman kanak-kanak sampai kuliah strata dua ke luar negeri, tapi sesudah lulus ilmu yang dia dapatkan tidak dimanfaatkan dan tidak tahu mau dikemanakan. Menurut manusia yang berakhlak, apa yang Bella lakukan adalah sesuatu yang tidak beguna.

"Dua tahun, waktu yang sangat cukup untuk berpikir dan menemukan sendiri pria yang ingin kamu nikahi. Jika memang tidak ada, mau tidak mau kamu harus bersedia dijodohkan. Satu lagi, selama berkerja buktikan kalau kamu juga pantas diberi kesempatan menyelesaikan strata tiga sesuai keinginanmu."

Ya, kira-kira begitulah hasil rapat keluarga enam bulan lalu yang membuat Bella terjebak dalam penjara bernama ‘pekerjaan’. Hilang sudah gelar 'pengangguran kaya raya' yang selama ini mengekor di belakang namanya. Dhea Isabella. Di umurnya yang hampir mencapai dua puluh tujuh tahun, kemungkinan besar dia belum lepas dari bayangan cinta masa kecil yang keberadaannya entah berada di belahan bumi mana. Meski terdengar sangat tidak masuk akal, Bella masih mengharapkan bocah yang dulu pernah berjanji akan menikahinya saat dewasa itu kembali sambil memperbaiki diri. Oleh sebab itu, setiap kali orang tua beserta keluarga besarnya mendesak Bella untuk menikah, dia selalu menolak tegas dengan beribu-ribu alasan aneh.

Setelah perdebatan panjang yang tentu saja menguras emosi terjadi, muncul sebuah penawaran yang sedikit banyaknya mampu memperdaya dirinya untuk menambah kata 'bekerja' dalam daftar prioritas hidup. Keluarganya tidak akan menuntut pernikahan dalam waktu dekat dengan syarat Bella bersedia untuk melamar pekerjaan di perusahaan asing serta bekerja di sana selama dua kali dua belas bulan tanpa menerima bantuan dari pihak mana pun.

Walau sangat terpukul karena belum bisa melanjutkan tujuan hidupnya yang pertama dan utama, yaitu mencari pria yang secara tidak langsung sudah mengghostingnya lebih kurang dua belas tahun. Bella terpaksa—mau tidak mau menerima tawaran tersebut.

“Astaga, nih kerjaan kapan siapnya sih?” dumel Bella. Jarinya bergerak cepat di atas keyboard komputer. Matanya juga tak berkedip memelototi layar monitor.

'Semua akan indah pada masanya' adalah kalimat penyemangat of the year yang dia cetak besar di dalam kamarnya. Benar, bagi Bella itu bukan rintangan yang harus dia keluhkan berlarut-larut. Bella akan baik-baik saja dan rasanya menunda dua tahun bukan apa-apa dibandingkan hari-hari yang sudah dia habiskan penuh penantian. Hitung-hitung menambah jatah waktu untuk menunggu si tukang ghosting. Begitu pikirnya tatkala cobaan-cobaan seakan memaksa Bella agar segera menyerah.

"Bel, kamu dipanggil Pak Aksa ke ruangannya!"

Nah, inilah salah satu contoh dari banyaknya cobaan yang hadir dalam hidup Isabella. Lihat, dia sungguh terjebak. Punya bos galak, dingin, menyebalkan dan tidak memiliki hati nurani adalah mimpi buruk yang setiap hari menghantuinya selama dua puluh empat jam. Bella ingat betul jika posisi staf di bagian keuangan adalah pekerjaan yang mati-matian dia perjuangkan sebulan penuh dengan jiwa, raga dan kemampuannya sendiri. Akan tetapi, kenapa lama-kelamaan profesi sekretaris justru terasa lebih tepat untuk menamai segala pekerjaan yang dia lakukan selama ini?

"Masa diulti lagi?" sungut Bella, ekspresi wajahnya benar-benar menyeramkan. "Mas Gavin pasti lagi ngeprank saya, 'kan?"

"Nggak tuh. Kami masih trauma ngebohongin kamu sejak april mop kemarin."

"Trauma? Kok aneh, ya?" tanya Bella kebingungan.

Apa tidak terbalik? Sewajarnya Bella yang mengalami gangguan mental karena seharian ditipu habis-habisan oleh anggota satu divisinya. Mulai dari menyetel waktu di kantor dua jam lebih cepat akibatnya Bella dituduh datang kesiangan. Mengganti wallpaper desktop dengan wajah marah si bos yang membuatnya terkejut bukan main. Meletakkan lem di bawah mouse, dimarahi tanpa alasan yang jelas hingga insiden kecoa terbang yang menghebohkan seisi kantor. Adakah relawan yang bersedia meluruskan nalar senior-seniornya yang sudah miring ini?

"Kamu jatuh pingsan, bahkan sampai dirawat di klinik." ujar Gavin prihatin. "Anak-anak yang lain pada ngejek katanya kamu kekurangan gizi. Mas gak nyangka kamu semelarat itu."

'Eh buset! Siapa yang barusan dia sebut melarat?' batin Bella menjerit-jerit.

Jika bukan karena aturan dari keluarga yang melarangnya untuk tidak mengungkapkan identitas asli, Bella dengan senang hati akan berkoar-koar agar semua makhluk di bumi mengenalnya sebagai anak konglomerat yang tidak pernah hidup melarat. Selain bermaksud pamer, terlebih Bella ingin membungkam mulut-mulut karyawan yang asik bergosip ria tentang dirinya akhir-akhir ini.Tapi apa boleh buat, peraturan jangan sampai orang luar tahu kalau salah satu anggota Keluarga Pradipta menjadi kacung di perusahaan lain harus dia taati sepenuh hati.

Sebenarnya Gavin tidak termasuk. Meski terkesan tidak punya perasaan saat menyampaikan isi kepalanya, pria yang sudah menikah dan memiliki dua anak itu adalah pribadi yang baik. Dia bukan tipe orang yang suka membicarakan orang lain di belakang. Prinsipnya lebih bagus berterus-terang. Sejauh ini, hanya Gavin dan Celine—sedang cuti bulan madu—yang bisa Bella anggap sebagai teman atau lebih tepatnya patner kerja yang sehat.

"Hehe! Karena senior sudah menyadarinya, nanti saat makan siang tolong traktir saya, ya." Bella pura-pura tersenyum manis.

'Kamu harus membayar mahal setelah berani menilai tubuh sehat sentosa ini menderita gizi buruk. Hahaha!' pikirnya licik.

"Itu mah gampang. Dek Bella bebas mau pesen apa, Mas yang bayarin." Gavin menjentikkan jari tanpa tahu niat jahat rekan kerjanya. "Sekarang kembali ke laptop, Pak Aksa tadi—"

Isabella menepuk jidat tak lupa mengumpat. "Akh, sialan!" pekiknya. Sontak beberapa karyawan yang kebetulan berada di sana terkaget-kaget. “Maunya apa sih? Dasar bos setan!”

“Aje gile, aslinya keluar,” cicit Gavin seraya berusaha menenangkan diri.

Tanpa memedulikan respon orang-orang di sekitarnya, Bella berlari dengan kecepatan penuh setelah meraih pen cutter dari atas meja untuk berjaga-jaga. Dia akan membunuh bedebah gila itu jika tidak ingin dibunuh lebih dulu. Bagaimanapun caranya Bella harus segera menghadap presiden direktur alias Marquess of Hell atau Pangeran Naberius yang kejamnya minta ampun. Kalau terlambat, durasi dia didamprat akan semakin lama. Baginya masih mending disembur pake api, gosong terus mati. Ini disembur dengan caci maki yang lukanya akan membekas seumur hidup di dalam hati.

"Pulanglah dengan selamat!" seruan Gavin dari kubikelnya menjadi kalimat terakhir yang Bella dengar sebelum pintu ruangan yang barusan dia lewati tertutup.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status