Share

Kaisar dan Gadis Lonceng

Dahulu kala, hiduplah seorang kaisar di kastel yang megah beserta permaisurinya. Kaisar itu merasa sedih dan ketakutan karena belum memiliki keturunan. Dia menjadi sangat pemarah dan sering kali berdebat dengan permaisuri.

Pada suatu hari, kaisar menyamar lalu pergi ke taman untuk menenangkan diri. Namun bukannya mendapat kedamaian, dia malah bertemu dengan pengganggu yang selalu diabaikan oleh penduduk di wilayah tersebut. Mereka menyebutnya si ‘gadis lonceng’ karena dia terus-menerus membunyikan lonceng sama seperti mulutnya yang tidak berhenti bersuara.

Anak perempuan itu mengajaknya bicara. Kaisar yang tidak tahan, akhirnya memberikan sekeping koin kemudian memintanya segera pergi. Akan tetapi, gadis lonceng justru memeluknya dan berkata, ‘Kesabaran, harapan dan kebaikan. Orang yang hidup bersama semua hal itu, akan menjadi lebih kuat, bersemangat dan menemukan kebahagiaan.’ Gadis itu pun mengembalikan koin dan mengubahnya menjadi sebuah lonceng kecil.

•••

Rapat keluarga Pradipta masih tetap berlangsung meski Ethelberto dan Roseanne sudah pergi lebih dulu. Di tengah situasi mencekam yang sedang terjadi, seseorang yang tadinya duduk tenang mendadak melemparkan koin ke tengah-tengah meja. Kebiasaan yang menjadi ciri khas dari salah satu pengacara terkenal dengan bayaran termahal, yaitu Caesar Pradipta. Tidak bisa dipungkiri, hal tersebut cukup ampuh menarik atensi seluruh penghuni ruangan. Di atas kursinya, Caesar terlihat sedang memikirkan sesuatu. Jari telunjuknya aktif mengetuk-ngetuk permukaan meja. Dahi yang berkerut telah menjelaskan bahwa beliau tengah berdebat dengan pikirannya sendiri. Persis seperti seorang kaisar yang tengah memutuskan hukuman setimpal bagi pelaku pemberontakan. Apa kepalanya lebih baik digantung atau dipenggal saja?

"Bella, jangan bodoh! Kamu bisa melanjutkan kuliah walau sudah berkeluarga." cetus Caesar.

Ide masuk akal tersebut langsung disambut antusias oleh anggota keluarga lainnya. Kenapa mereka tidak berpikir sampai ke sana? Pola pikir seorang pengacara memang berbeda. Kali ini, mereka yakin Isabella tidak bisa lagi mengelak.

“Papa benar!” Isaac, cucu tertua Keluarga Pradipta melotot pada adiknya. “Bella, jangan coba-coba nyari alasan lain.”

Dari ketiga adik ayahnya, yang paling Isabella waspadai ialah Caesar. Dia juga tidak terlalu dekat dengan beliau. Paman yang biasa mereka panggil Papa Abe itu bekerja sebagai pengacara. Meski merupakan anak kedua, Caesar serupa hakim yang memiliki kewenangan penuh dalam menyelesaikan setiap persoalan di rumah ini. Posisi yang tidak cocok untuk si sulung, mengingat Ethelberto terlalu berhati lembut dan tidak tegaan.

“Bukannya belajar itu harus fokus?” Bella balik menatap Isaac. “Abang gak datang ke pemakaman nenek. Inget? Bahkan aku hampir mati pun, abang gak pernah mau tahu kondisiku di rumah sakit. Semua itu karena fokus belajar, ‘kan?”

Suasana semakin memanas, mungkin berkali-kali lipat dari sebelumnya. Tak satupun dari mereka yang tidak terpukul mendengar ucapan Bella, termasuk orang tuanya yang tengah mencuri dengar dari luar. Mereka tahu. Sama seperti Kakek Noah, Bella adalah orang yang tidak akan pernah berhenti bersedih atas kepergian Amadora. Gadis kecil yang hanya memiliki neneknya karena dulu orang-orang dewasa di sekitarnya sibuk dengan urusan masing-masing.

"Jujur, aku ngerasa gak nyaman kalo abang tiba-tiba ikut mikirin masa depanku." lanjut Bella.

Isaac terdiam cukup lama. Dia benar-benar merasa bersalah pada adiknya, tapi tidak tahu harus berbuat apa untuk menebus kesalahannya di masa lalu. Karena terlalu malu, Isaac memilih keluar tanpa sepatah kata pun yang tidak lama kemudian disusul oleh istrinya.

“Kayaknya aku harus pergi juga.” Bella berdiri dan membungkuk beberapa kali sebagai bentuk kesopanan kepada para orang tua.

“Bella, jangan kurang ajar! Kita belum selesai bicara.” suara Papa Abe kembali terdengar menghentikannya.

Bella berkata sembari menoleh dan dengan berat hati kembali ke kursinya. “Papa, menikah atau tidak adalah keputusanku.”

"Apa jangan-jangan," ucap Caesar membuat semua orang membeku. "Kamu gak tertarik pada lawan jenis?"

"Caesar, jangan asal—uhuk—menuduh keponakanmu!" tegur si kakek, beliau terbatuk akibat terlalu terkejut.

Kata-kata Caesar seperti puluhan ledakan besar bagi mereka. Kini, yang lainnya tampak tidak sanggup lagi bereaksi atau sekadar bersuara. Mereka sudah takut duluan memikirkan bagaimana jika perkataan itu benar adanya.

"Jika benar, akui sekarang supaya semuanya menjadi jelas!"

"Kenapa Papa bisa berpikir seburuk itu?" tanya Bella usai mengumpulkan keberanian, menyerap sisa-sisa energi positif dari segala arah mata angin. Timur, tengggara, selatan, barat da—TIDAK—dia harus fokus menghadapi Caesar.

"Sejak dulu kamu selalu keberatan mengenai tiga hal. Perjodohan, pertunangan dan pernikahan. Benar?" Caesar mulai mengintimidasi. "Terhitung puluhan kali kamu menolaknya."

Isabella susah payah menelan ludahnya. Si paman yang saat ini berbicara seraya melangkah mendekatinya, telah berhasil mendesak Bella untuk semakin ketakutan. Apa sekarang adalah hari eksekusinya? Dia beralih menatap Mama Ade, istri Paman Caesar, bermaksud meminta perlindungan lewat tatapan matanya. Akan tetapi yang dia dapat hanya gelengan—sebuah pertanda kalau kali ini beliau tidak dapat menolongnya.

"Awalnya papa pikir, kamu ingin bersanding dengan pria pilihanmu. Tapi sampai detik ini tanda-tanda orang itu akan muncul tidak pernah ada, ‘kan?"

"Jadi... semisal di luar sana ada laki-laki yang kusuka, Papa gak akan curiga?"

Caesar mengiyakan hal tersebut dan Bella berakhir mengasihani dirinya sendiri setelah sadar bahwa selama ini keluarganya memata-matai hidupnya. Dia mengambil waktu untuk merenung, menimang-nimang apa sebaiknya memberi tahu rahasia dan kegilaan yang selama ini dia lakukan atau tidak? Masalah utamanya, dia terlalu takut jika nanti keluarganya benar-benar menganggapnya sakit jiwa setelah mendengar penjelasan darinya.

"Bella memang belum punya pacar, tapi aku masih suka laki-laki kok." jelasnya.

'Astaga! Aku sungguh tidak tega menggertak putriku lebih lama lagi,' pekik Caesar dalam hati.

Barangkali hanya Tuhan yang tahu kalau Papa Abe begitu menyayangi Dhea Isabella. Dalam hatinya, ada ruang khusus untuk gadis tersebut. Jika Bella adalah anak bungsu dari Ethelberto, maka dia menganggap Bella sebagai putri sulungnya. Sosok yang masih dia pandang sebagai anak kecil itu adalah penolongnya. Malaikat yang sedari dulu selalu berhasil menakhlukkan sifat keras kepala Caesar.

Wajar kalau Isabella lupa mengingat waktu itu umurnya baru menginjak tiga tahun. Saat Caesar dalam masa-masa terpuruk karena belum juga punya momongan di usia pernikahannya dengan Rebecca yang sudah menginjak dua tahun—disusul pertikaian yang dulu kerap terjadi. Suatu hari Bella datang padanya, mengisi sisi kosong kursi taman yang dia duduki setiap sore. Berlanjut keesokan harinya, jari mungil anak itu mulai berani mencolek-colek pinggangnya. Hingga perlahan-lahan duduk dipangkuannya lalu memeluk Caesar. Dia luluh karena perhatian tersebut, bahkan berakhir menangis dalam pelukan anak kecil dan mencurahkan perasaannya yang kacau-balau kala itu.

'Bella anak papa juga,' kalimat sederhana namun sangat berarti bagi Caesar dari bocah cerewet yang pernah dia anggap sebagai pengganggu.

"Caesar?" panggil Kakek Noah untuk kesekian kalinya. "Caesar! Kamu baik-baik saja?"

"Hem... ah maaf!"

Semua mata yang menyaksikan keterdiaman Caesar tadi tampak berkaca-kaca. Khawatir, isi kepala mereka tidak bisa berhenti memikirkan bahwa pria beranak dua tersebut tentu juga frustasi karena masalah yang diciptakan oleh keponakannya. Sementara Caesar yang menerima tatapan tersebut kini mengusap tengkuknya. Ada perasaan malu yang muncul dalam dirinya karena bisa-bisa ia melamun. Sejenak beliau berpura-pura mengecek ponsel di tangannya untuk menutupi hal tersebut.

"Kalau begitu apa alasan sebenarnya?" beliau kembali ke mode serius.

"Maaf, aku belum bisa jujur." Bella menunduk kaku, sedapat mungkin tidak melakukan kontak mata dengan siapa pun.

Kakek Noah tiba-tiba menggebrak meja dengan kedua tangannya. "YA! Apa kamu agen rahasia yang sedang diinterogasi CIA?"

Pohon kesabaran Noah Pradipta sepertinya sudah kering hingga ke akar-akarnya. Bagaimana tidak? Salah satu cucu perempuannya, memang bukan aib tapi cukup memalukan—adalah jomblo akut selama ini. Hal itu tentu menciptakan keresahan besar bagi Noah sebagai kakeknya.

Apa yang salah dengan cucuku? Pertanyaan tersebut tak hentinya menghantui dan juga mendorong Kakek Noah untuk lebih berusaha keras di masa tuanya. Mengatur puluhan kencan buta ditambah perjodohan tentunya tidak mudah. Namun sialnya satu pun belum ada yang membuahkan hasil. Untuk itu ke depannya, Noah merasa bahwa dirinya tidak akan sanggup lagi meladeni kelakuan cucunya yang satu ini. Apalagi usianya tak lagi muda. Saatnya bertindak lebih tegas agar Isabella segera bertobat—pulang ke jalan yang benar.

"Kakek, tolong jangan paksa aku!"

"Memaksa? Tidak ada gunanya, lebih baik kakek mengutuk cucu tidak tahu malu sepertimu!" geramnya. Tubuh tuanya hampir tumbang, mengundang jeritan panik anak, menantu serta cucu-cucunya, tak terkecuali Bella.

"Caesar, jatuhkan ultimatumnya!" perintah Kakek Noah.

Isabella mengernyitkan dahi. Ultimatum? Bukankah itu pernyataan terakhir atau permintaan tak terbatalkan? Apa akan terjadi perang saudara kalau dia tidak memenuhinya?

"Baik, Ayah!" Caesar mengangguk patuh.

Tak berselang lama, Papa Abe kemudian menatap keponakannya lurus-lurus dan tanpa babibu lagi menyebutkan hukuman yang tidak pernah dia bayangkan. "Dhea Isabella Pradipta. Karena terus-menerus menentang perjodohan yang keluargamu rencanakan dengan alasan yang tidak bisa kami terima, kamu diwajibkan untuk bekerja selama dua tahun."

Apa? Bekerja?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status