Share

Kisah si 'Rumah'

Prolog

Di daerah pinggiran kota, berdiri sebuah rumah tua yang pandai menyembunyikan isi hatinya. Bangunan itu kosong. Dia disebut ‘rumah berhantu’ oleh bangunan lain karena sudah lama tidak ada yang menempatinya.

Di siang hari, si rumah selalu terlihat senang karena memiliki banyak waktu luang dan tidak perlu repot-repot melindungan siapa pun. Namun tiap malam, dia merengek dan menangis diam-diam. Sebenarnya rumah itu kesepian dan begitu merindukan pemiliknya. Dia masih setia menunggu.

Suatu hari, hati kecilnya bertanya, ‘Kenapa kau tidak mencari penghuni baru?’ Lalu dia menjawab, ‘karena berada jauh dalam kenangan masa lalu, aku sulit menerima penghuni baru.

•••

Sebuah rumah yang sebenarnya lebih cocok disebut istana karena kemegahannya, hari ini tampak sepi layaknya bangunan kosong tak berpenghuni. Tidak seperti biasanya, mengingat kediaman Keluarga Pradipta selalu diramaikan oleh aktivitas pemilik maupun rombongan besar pekerja yang melakukan tugas. Situasi ini sangatlah tidak lazim, terlebih di mata para pelayan yang sudah lama bekerja di sana. Seingat mereka, hari yang mewajibkan setiap pekerja—dengan kata lain tanpa terkecuali—untuk cuti dan tidak berkeliaran di area gedung utama adalah hari peringatan meninggalnya Nyonya Amadora. Mereka lantas bertanya-tanya, hal darurat apa yang membuat keganjilan ini sampai terjadi?

Berbeda dengan suasana di dalam servants' hall yang menyenangkan dipenuhi pembicaraan hangat alias kegiatan menggosip sesama pelayan, ruangan luas ala kantor pemerintahan modern di bagian utara lantai dua malah sebaliknya. Menegangkan, sidang anggota Keluarga Pradipta yang diadakan secara mendadak tersebut harus berlangsung demikian. Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan ialah putri bungsu dari pasangan Ethelberto dan Roseanne yang terancam menjadi perawan tua.

"Aku gak suka laki-laki pilihan Ayah!" suaranya penuh ketegasan.

Delikan dari puluhan pasang mata langsung tertuju pada orang yang melontarkan pernyataan tadi, Dhea Isabella. Untuk ukuran perempuan yang masih menjadi beban pikiran keluarga di usianya yang sudah dewasa, kalimat berupa penolakan tersebut sangat tidak enak di pendengaran. Merasa kesal, jari mereka sudah gatal ingin mencubit pipi yang lagi-lagi menggembung cemberut itu.

"Kamu bahkan belum ketemu orangnya. Namanya Ben. Gak cuma baik, orangnya juga tampan dan mapan. Dia bahkan mengaku tertarik sama kamu." erang Ethelberto, panggil saja Pak Ili. Beliau betul-betul tidak habis pikir pada pola pikir dan tingkah laku putrinya. "Kali ini apa lagi alasanmu menolak?"

"Itu karena es tiga." kata Bella sembari memandang ayahnya waspada.

"Apa hubungannya?" rengek Pak Ili merasa frustasi. "Kamu jangan ngerjain ayah, ya!"

"Itu loh, es tiga. Masa sih Ayah gak tahu?"

"Memangnya es tiga itu apa?" Usai berpikir sejenak, Pak Ili tampak terkejut dengan isi kepalanya sendiri. Beliau bahkan sampai berdiri dari tempat duduknya. "Jadi, itu sebabnya kamu gak mau dijodohkan?"

Isabella ikut berdiri menyusul sang ayah penuh semangat. "Betul, Yah! Jadi gak masalah 'kan kalau tahun ini Bella gak nikah dulu?"

Raut muka Isabella yang awalnya terlihat tak tertolong nampaknya sudah mendapatkan pertolongan. Senyum kuda seribu watt yang lupa dipoles sedemikian rupa pun terpatri pada wajahnya. Dia mengangkat kedua tangan, menunjukkan ekspresi kemenangan kepada anggota keluarga terlebih pada saudara-saudarinya yang duduk berjejer di sisi kiri meja. Bella bersikap pongah bukan tanpa alasan. Jikalau Bapak Ethelberto yang terhormat sudah berpikir tenang sambil manggut-manggut, itu berarti kedepannya hanya hal-hal baik yang akan terjadi.

Di sisi lain, orang-orang sekitar yang melihat gelagat keduanya tidak berhenti menerka-nerka apa dan ke mana arah pembicaraan ayah dan anak tersebut.

"Ayah tidak pernah menduga hal ini." ujar Pak Ili setelah membuat sebuah kesimpulan. "Rupanya putri ayah sudah punya pilihan sendiri. Begini... kamu yakin suka dengan orang itu?"

"Ya sukalah! Kalau nggak, mana mungkin aku...” Bella berhenti bicara saat menyadari ada yang aneh dengan ucapan sang ayah. “Sebentar! Yah, ma—maksud yang tadi," Kini fokus Bella beralih pada keluarganya yang mulai berbisik-bisik. Ada yang menatapnya prihatin, ada pula yang memandang Bella dengan raut kecewa. Sebetulnya apa yang sedang terjadi?

"Bella, jangan khawatir! Ayah tidak keberatan.” ucap Pak Ili ketika menangkap ekspresi gelisah putrinya. “Wajar kamu tertarik saking seringnya dia lewat di depan rumah kita."

“Dia, siapa?” tanya Bella meminta penjelasan. “Wait! Kayaknya kalian semua salah paham.”

“Bel, restu ayah bersamamu,” Pak Ili menyentuh lengan istrinya yang masih terlihat syok kemudian mencoba menenangkan yang lain lewat tatapan lembutnya. "Menurut kami, penjual keliling es tiga rasa itu tidak terlalu buruk."

What? Ada apa dengan pedagang asongan yang kemungkinan besar sedang mencari rezeki tersebut? Kenapa si abang malah disebut-sebut? Apa jangan-jangan... mampus!

Mata Isabella melotot, dia jatuh terduduk dengan dramatis. Ternyata hampir mati lemas itu rasanya begini. Perasaan tidak senang muncul bertubi-tubi atas kesalahtafsiran yang dilakukan si ayah. Jika tidak salah, baru saja terjadi letusan gunung berapi berkekuatan delapan Volcanic Explosivity Index tepat di pusat jantungnya. Apa mungkin Ethelberto sudah kehilangan akal sehat karena terlalu mencemaskan putrinya yang tidak kunjung kawin-kawin? Memang wajar-wajar saja jika daya tanggap orang tua semakin melemah seiring bertambahnya usia, tapi jangan separah ini juga.

"Ayah kenapa sih? Maksud Bella bukan es yang itu," seru Bella kesal bukan main. "Es ti—strata tiga, Yah! Aku pengen ngambil gelar doktor di luar negeri."

Keterkejutan sebelumnya belum juga reda, Bella kembali melontarkan serangan panik yang tidak kalah mengguncang kewarasan keluarganya. Barangkali keluarga ini punya kelakuan aneh yang mirip, yaitu mengagetkan orang-orang dengan cara tak terduga dan di luar nalar manusia normal.

"Strata tiga? Gelar doktor? Kenapa kamu jadi gak waras begini?" bentak Pak Ili setelah memahami keinginan tak masuk akal putrinya.

Isabella susah payah menelan ludahnya. Dia tak ayal merasa gentar. Setelah sekian lama, untuk kedua kalinya dia melihat ayahnya dalam keadaan marah. "Aku waras kok, buktinya—"

"Dasar anak bandel! Kamu masih berani ngejawab di saat seperti ini?" ucap Roseanne, Ibu Ili sarat kesedihan. "Bunda kecewa sama kamu,"

Bella tertegun. Sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan, ayahnya sedang menitikkan air mata di ujung sana. Ethelberto benar-benar menangis dalam pelukan istrinya. Rasa bersalah pun dengan cepat menggerogoti hati Bella. Sungguh, dia tidak berniat membuat siapa pun menaruh keresahan besar atas hidupnya. Tidak benar kalau Bella enggan untuk menikah. Isabella yakin dia juga ingin berada di momen tersebut. Hanya saja sekarang bukan waktu yang tepat.

"Lihat, kamu nyakitin hati Ayah. Pokoknya bunda gak mau tahu. Sebelum kamu perbaiki sikap, jangan pernah temui kami." putus Bu Ili final.

"Yah, Bun!" panggil Bella panik. Bingung dengan situasi tersebut, air mata Bella hampir tumpah ketika menyaksikan orang tuanya bergerak meninggalkan ruang pertemuan. Tentu saja, saat ini dia tidak baik-baik saja.

"Nak, dengerin mami!” Ameline atau Mami Alvin, adik perempuan Pak Ili meminta perhatian Bella. “Keluarga ini sangat mencintaimu dan kamu tahu itu. Mami bukan bermaksud menyudutkan, tapi abang dan adik-adik sepupumu yang sudah berumur, sekarang mereka punya pasangan, berkeluarga bahkan punya anak. Apa sedikitpun hati kecil kamu tidak tergerak untuk menikah?"

“Mi, aku pasti akan menikah. Tapi dalam waktu dekat Bella belum siap.”

"Sayang, sebenarnya apa lagi yang kamu tunggu?" tanya Mami Alvin memohon.

Mendengarnya, Bella merasa tertampar. Menunggu, apa kata itu cukup untuk menyimpulkan segala sesuatu yang dia lakukan selama ini? Pertanyaan tersebut terus-menerus bergema dalam pikirannya. Bella bingung, apa yang terjadi pada dirinya dan apa yang harus dia perbuat ke depannya?

“Bella, siapa yang sedang kamu tunggu?” gumamnya pelan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status