Bab 6 Menumpang di Mobil Pria Angkuh
========
Alisya mengeluarkan semua barang-barangnya dari dalam locker lalu memasukkan semuanya ke dalam kantongan kresek besar. Tak ada tas atau semacamnya. Tak apa, tak ada yang perlu digengsikan.
“Syukurlah kita berdua tak dipecat, aku mendapat surat peringatan, dan kamu dipindah tugaskan. Baik-baik bekerja di tempat yang baru, ya! Tetap semangat!”
Sang Mandor grup memeluk Alisya.
“Maafin aku, Kak! Hampir saja Kakak terkena masalah karena aku.”
“Sudah! Tidak apa-apa. Jaga putrimu, ya!”
“Salam sama teman-teman, ya, Kak! Bilang sama Rika, nanti aku telpon pas rehat!”
“Iya.”
“Dadah Ante!”
Rena melambaikan tangan.
“Dadah, Sayang! Jangan nakal, ya! Sayang sama Mama, lho!”
“Iya, Ante.”
Ibu dan anak itu berjalan pelan menuju gerbang. Satpam pabrik membukakan pintu untuknya. Jam segini, belum ada bus karyawan yang berjalan. Angkutan umum pun tak ada yang melintasi kompleks ini. Harus berjalan kaki hampir satu jam, baru bisa menemukan pangkalan ojek, pun persimpangan di mana angkutan biasa melintas.
Satu jam berjalan kaki? Sangat tidak mungkin. Alisya mungkin sanggup, tetapi Rena? Mengendongnya, Alisya yang tak sanggup. Belum lagi tas kresek besar berisi barang-barangnya. Alisya berdiri termangu di tepi aspal hitam.
Terik mentari mulai terasa menyengat kulit. Alisya iba melihat wajah putrinya mulai memerah dipanggang sinar mentari. Peluh menetes di kening bocah mungil itu. Ciptakan aroma asem yang menguar dari tubuh kecilnya. Ya, tadi pagi Rena memang belum sempat mandi. Alisya langsung menggendongnya saat masih pulas tidur, ketika sudah terdengar klakson bus jemputan.
“Ma, manas!” Rena mulai mengeluh.
“Iya, Sayang. Kita tunggu kalau ada mobil melintas, kita numpang, ya sampai depan!”
“Itu, Ma, itu ada mobin!”
“Iya, Sayang! Kita numpang. Semoga diizinin.”
Belum sempat Alisya melambaikan tangan, Rena sudah berteriak dan berlari ke tengah jalan.
“Yumpang, Om! Yumpang, ya, Om!”
Mobilpun menepi. Kaca jendela samping diturunkan.
“Pak Deva!” Alisya mendesah.
“Kalian?”
Alisya menundukkan kepala. Rambut panjang yang diikat menjadi satu ke belakang, jatuh bergerai, menutup sebagian wajah. Deva terperangah. Penampilan asli Alisya sekarang terlihat jelas. Tak ada lagi seragam pabrik yang membungkus seluruh tubuh dan kepalanya.
Rena melangkah mundur demi melihat wajah Deva. Bayangan saat lelaki itu berteriak di dalam tadi, tergambar lagi di benaknya. Jiwa kanak-kanaknya sempat terluka. Deva yang awalnya sangat dia suka, kini berubah seperti papanya. Kasar, dan suka berteriak. Rena tak menyukainya.
“Rena, ayo, masuk!” Deva memanggil namanya.
“Ndak mau!” tolak Rena cepat.
“Kenapa, Rena! Ayo, masuk, cepat! Nanti kamu deman, lho, main panas-panasan!” Deva terkejut melihat perubahan anak kecil itu. Semula begitu ramah, bahkan berani memegang jemarinya. Kini bersembunyi di balik pinggang Ibunya. Kenapa?
Tetiba dia teringat akan Tasya, putri kandungnya. Lelah dia membujuk, agar Tasya mau dipeluk olehnya, untuk terakhir kalinya setelah persidangan. Tetapi, Tasya tak pernah mau. Putri kandungnya, menolak mengucap selamat tinggal, atau sekedar menyalam, menjabat tangan. Deva meradang. Lelaki itu membanting seluruh benda yang bisa dia jangkau saat itu. Hal itu, justru membuat putrinya semakin ketakutan. Deva bukan sosok Papa yang dirindukan, tetapi seorang monster yang menakutkan.
“Rena, Sayang! Naik, sini!” bujuknya, seolah melihat Tasya tengah dipanggang sinar mentari. Sakit terasa di ulu hati. Rasa di remas, menyadari Rena pun telah membenci.
“Tidak, usah, Pak. Mohon maaf, putri saya telah mengganggu perjalanan Bapak!” Alisya merasa tak enak.
“Dengar, Alisya! Besok kamu mulai bekerja merawat Mamaku. Jangan sampai putri kamu terkena demam, lalu sakit karena kepanasan hari ini. Aku gak mau, ya, Mamaku tertular! Kalau sampai anak kamu demam, gak usah bekerja lagi besok, paham!” ancamnya kemudian.
Alisya tercekat. Ternyata tak ada di dalam kamus hidup bosnya ini, selain kalimat mengancam. Alisya masih sangat butuh pekerjaan. Kalau tidak, tentu saja dia tak akan pedulikan lelaki angkuh berhati dingin ini.
“Kita naik, Sayang, yuk!” Alisya mengalah.
Membuka pintu tengah mobil. Mengangkat tubuh putrinya, lalu mengehenyakkan tubuhnya sendiri ikut masuk. Rena tak banyak bergerak. Mulutnya juga dia kunci dengan menutup menggunakan telapak tangan mungilnya. Itu dia lakukan hingga turun nanti.
Mobil melaju pelan.
“Alamatnya?” tanya Deva beberapa menit kemudian.
Alisya tercekat. “Sampai depan aja, Pak. Di situ udah ada angkutan umum yang melintasi!”
“Aku nanya alamat kamu, Alisya!”
Alisya tersentak lagi. Segera dia sebut alamat rumahnya. Mencoba memaklumi temperamental majikannya. Semoga ini kali terakhir aku duduk di dalam mobilnya. Begitu doa yang terpanjat di hatinya.
**
“Bilang terima kasih kepada Om, Sayang!” titah Alisya saat mobil mewah itu menepi di depan gang. Sengaja Alisya minta di turunkan di situ saja. Tak ingin merepotkan Deva lebih jauh lagi.
“Rena tak memperdulikan titah mamanya. Segera dia berlari menuju rumah, tak hendak menoleh sekali pun.
“Putri kamu kenapa?” Deva geleng kepala.
“Maaf, Pak! Nanti saya akan tegur dia, saya janji akan mengajarinya lebih sopan.”
“Ya, sudah! Permisi!”
“Sekali lagi terima kasih, Pak!”
Mobil itu berlalu tanpa sang empu menjawab lebih dulu.
Gontai Alisya berjalan, menjingjing barang barangnya. Otaknya sibuk berpikir tentang watak putrinya. Kenapa Rena cenderung ngelawan. Bahkan dia berani membantah perintah Alisya. Sang bunda tidak tahu, kalau kesakitan dan kekasaran yang diperbuat anggota keluarganya selama ini pada putrinya, telah merubah watak lemah lembut menjadi kasar dan pendendam. Rena mulai mendendam pada Deva.
*****
Bersambung
Bab 210. Para Benalu Bertaubat (Tamat)=============“Yang itu? Sepertinya itu Tante Niken sama siapa, ya, Ma? Ada dua oom oom juga.”“Kita ke sana, yuk Sayang! Biar nampak jelas.”Keduanya mempercepat langkah. Jarak beberapa meter, mereka berhenti. Alisya menahan langkah Tasya, dengan mencengkram lengan gadis kecil itu. Keduanya melongo menatap pemandangan yang mengejutkan di depan mereka. Supir peribadi Niken yang telah lama menghilang, kini ada di sana.Nanar mata Alisya menatap seorang pria satunya. Lelaki kurus, seolah tingggal kulit pembungkus tulang. Mata cekung&nb
Bab 209. Culik Aku, Mas!========“Kasihan Intan, Mas.”“Bagaimana dengan aku? Aku juga sudah berjuang melupakan kamu, tapi tetap gak bisa, gimana?”“Mas?”“Ya?”“Aku bingung!”“Kenapa bingung?”“Masih gak percaya dengan ucapan Intan tadi. Gak mungkin Mama setega itu sama kamu!”“Nyatanya seperti itu, Non! Bu Alina menyerahkan selembar cek untukku, agar aku pergi meningalkan kamu. Tapi aku tolak, karena cintaku tak ternila
Bab 208. Bukan Pagar Makan Tanaman=========“Stop! Stop! Kubilang stop! Kumohon berhenti! Jangan ikuti aku!” Niken berteriak.“Ok, kami berhenti. Tapi, kamu juga berhenti, Ken! Kenapa? Kenapa kamu mau pergi, setelah sekian lama kita tak berjumpa? Ok, aku pernah salah, aku pernah khilaf. Tapi, Mas Deva sudah memaafkan aku. Aku juga sudah menyasali perbuatanku. Aku sudah insyaf, Ken! Mas Deva dan Kak Alisya saja mau memaafkan kesalahanku, kenapa kamu tidak? Padahal kita udah sahabatan sejak kuliah semester satu. Empat tahun bukan waktu singkat untuk membina suatu hungan persahabatan, Niken!” Intan kini berurai air mata.“Sahab
Bab 207. Kejutan Buat Niken===========“Rena! Cepat, dong! Ke mana lagi, sih?” Niken memanggil keponakannya.“Bentan, Ante!” teriak gadis kecil berseragam sekolah taman kanak-kanak itu berlari menuju halaman belakang sekolah.“Rena! Ayo, dong! Kak Tasya nanti kelamaan nunggunya, lho!” Niken berusaha mengejar.Hampir setiap hari Rena menuju tempat itu. Rumah penjaga sekolah. Entah apa yang menarik perhatian Rena di sana. Biasanya Dadang yang mengantar dan menjemput Rena. Pak Dadang hanya akan menunggu saja di mobil, di dekat gerbang, tapi hari ini dia 
Bab 206. Permintaan Alisya===========“Lakukan sesuatu, Mas! Kamu mau Niken seperti itu terus?” pinta Alisya menuntut Deva.“Apa yang bisa kuperbuat, Sya?”Deva menoleh ke arah Alisya. Wanita yang masih berbaring itu menatapnya dengan serius. Deva mendekat. “Aku bisa apa, coba? Mencari Hendra lalu menikahkannya dengan Niken? Lalu apa yang akan terjadi dengan Mama? Belum lagi Papa. Kamu tahu resikonya sangat berat, bukan?”“Ya. Tapi aku tidak tega melihat Niken makin terpuruk seperti itu.”“Aku paham. Aku akan usahakan yang terbaik buat mereka. Jika mereka berjodoh, aku yakin mereka pasti akan bersatu juga. Seperti kita.”“Ya.”“Bedanya, kamu bisa
Bab 205. Niken memilih Menjadi Perawan Tua=======“Gimana, dong?” Aisyah memilin ujung jilbabnya.“Siapa yang suruh merajuk-rajuk segala. Dipaksa nikah sama Mama, bingung, kan?”“Mas Raja, sih. Suka banget buat Ai cemburu!”“Ai, aku baik sama Alisya, hanya sebatas adik kepada kakaknya, gak lebih! Tolong kamu paham, dong, Ai. Aku, sih, ok aja, disuruh nikahi kamu, sekarang, pun aku mau. Tapi, kamu? Belum mau, kan? Nah sekarang siapa yang gak serius dengan hubungan ini?”“Ai serius, Mas. A