Pagi di Jakarta berhembus lembut, membawa aroma hujan semalam yang belum sepenuhnya kering. Namun, di lantai 25 Kurniawan Corp, suasana justru makin memanas. Alya, dengan map proyek di tangan, melangkah cepat menuju ruang rapat. Sorot mata kolega-koleganya mengikuti setiap gerakannya, beberapa penuh rasa ingin tahu, yang lain... dengki.
Proyek barunya adalah pengembangan divisi inovasi digital, sebuah program ambisius yang Rafael canangkan untuk membawa perusahaan mereka masuk lebih dalam ke dunia teknologi modern. Tapi di balik proyek besar ini, banyak tangan-tangan yang ingin melihat Alya gagal. Fani, tentu saja, berada di garis depan. Bersama dua orang senior lainnya, ia mulai menyusun rencana licik. Mereka tak suka melihat Alya mendapatkan kepercayaan besar dari Rafael, apalagi mengingat betapa singkatnya waktu Alya bergabung. "Kita buat dia terpeleset sendiri," bisik Fani kepada Tyo, salah satu senior tim pengembangan. "Gimana caranya?" Tyo menyipitkan mata. "Kita manipulasi data kecil-kecilan. Salahin dia kalau ada kesalahan. Di proyek sebesar ini, kesalahan sekecil apapun bisa kelihatan fatal," jawab Fani dengan senyum puas. Sementara itu, Alya masih terlalu fokus pada pekerjaannya untuk menyadari jebakan yang mulai disusun di sekelilingnya. Ia menghabiskan malam-malam panjang mempelajari laporan, membuat prototipe, menyusun strategi pemasaran digital, dan mengatur koordinasi antar divisi. Tidak jarang, Rafael memanggilnya secara mendadak untuk presentasi progress. Tatapan tajam pria itu selalu membuat detak jantung Alya berpacu lebih cepat, tapi ia selalu berusaha tampil setenang mungkin. "Kamu pikir ini cukup?" Rafael mengangkat satu alis saat melihat paparan Alya tentang campaign media sosial. Alya menggigit bibir, menahan diri untuk tidak membela diri secara impulsif. Ia tahu, Rafael lebih menghargai perbaikan daripada pembelaan diri. "Belum, Pak. Saya akan sempurnakan lagi." jawab Alya mantap. Senyum sekilas muncul di wajah Rafael, namun segera lenyap. "Baik. Kamu punya waktu dua hari lagi. Buat aku terkesan, atau aku cari orang lain," katanya datar, lalu membalikkan tubuh, mengisyaratkan bahwa pertemuan selesai. Keluar dari ruangan itu, Alya menghela napas berat. Kakinya terasa lemas, tapi tekadnya justru makin menguat. Ia tidak akan menyerah. --- Di sudut lain kantor, Fani dan komplotannya mulai menggerakkan rencana mereka. Mereka mengutak-atik dokumen pendukung proyek Alya, membuat data simulasi keuangan tampak kurang akurat. Mereka tahu, dalam presentasi besar dua hari lagi, satu kesalahan kecil saja bisa menghancurkan kredibilitas Alya. "Kita lihat seberapa pintar si sok-suci itu," gumam Fani puas. Tanpa mereka sadari, seseorang memperhatikan gerak-gerik mereka. Dimas, kepala divisi inovasi, yang sejak awal sudah curiga dengan Fani, mulai memasang telinga. Ia diam-diam mengumpulkan bukti-bukti kecil. Dimas bukan orang yang suka drama, tapi ia juga tak tahan melihat ketidakadilan di depan matanya. "Kalau Alya jatuh bukan karena kesalahannya sendiri, aku nggak akan diam," batinnya. --- Dua hari berlalu seperti kilat. Hari presentasi tiba. Seluruh jajaran direksi, termasuk Rafael, duduk di ruang rapat utama. Alya berdiri di depan, menyiapkan laptopnya. Tangan dingin, tapi wajahnya tetap tenang. Ia memulai presentasinya, menjelaskan konsep dengan runtut. Grafik dan data yang ditampilkan di layar tampak meyakinkan. Tapi saat sesi tanya jawab, Fani mengangkat tangan. "Saya menemukan kejanggalan di bagian analisis keuangan," kata Fani, suaranya dibuat-buat seolah prihatin. Alya tersentak dalam hati, tapi tetap menjaga wajahnya. "Bisa dijelaskan kenapa prediksi revenue growth kamu terlalu optimis, bahkan untuk standar industri kita?" Ruangan menjadi hening. Semua mata tertuju pada Alya. Rafael menatap tajam, menunggu. Alya menahan napas. Ia cepat-cepat membuka file cadangan yang ia simpan di flashdisk pribadinya. Untungnya, beberapa malam sebelumnya, ia menyimpan semua data asli sebelum finalisasi. Dengan tenang, Alya membandingkan data yang ditampilkan dengan datanya sendiri. "Sepertinya ada file yang tidak sesuai dengan versi terakhir yang saya submit," kata Alya. "Ini data asli saya, lengkap dengan timestamp dan histori revisi." Ia menampilkan data itu di layar, membuktikan bahwa ia tidak membuat kesalahan yang dituduhkan. Para direksi mulai berbisik-bisik. Rafael tetap diam, tapi matanya berkilat tajam. Ia mengamati ekspresi Fani yang kini mulai pucat. "Siapa yang bertugas mengompilasi file untuk presentasi hari ini?" tanya Rafael tajam. Fani mencoba berbicara, tapi Dimas melangkah maju. "Saya rasa perlu diselidiki lebih lanjut, Pak. Ada indikasi file Alya diakses dan dimodifikasi tanpa izin." Rafael mengangguk sekali, lalu berdiri. "Rapat ini ditunda sementara. Saya ingin audit internal dilakukan. Sekarang." Alya berdiri di tempatnya, gemetar. Bukan karena takut, tapi karena perasaan lega bercampur kemarahan. Ia hampir dijebak. Tapi ia selamat... untuk kali ini. Di sisi lain, Fani menggenggam erat tangan di pangkuannya, menahan kemarahan. Ini belum berakhir, pikirnya. Ini baru permulaan. --- Hari-hari berikutnya di Kurniawan Corp terasa lebih berat bagi Alya. Meskipun kebenaran akhirnya terungkap bahwa ada manipulasi data, suasana kantor tetap terasa dingin. Beberapa rekan kerjanya kini menatapnya dengan campuran rasa hormat dan cemburu, sementara sebagian lain, termasuk Fani, mulai menyusun strategi baru dalam diam. Alya tahu bahwa bertahan di tempat ini bukan hanya soal bekerja keras, tapi juga bertahan dari politik kantor yang kejam. Di ruang kerjanya yang kecil, Alya merapikan file proyek. Kepalanya penuh dengan rencana-rencana untuk presentasi tahap dua. Ia menyadari bahwa kepercayaan Rafael bukan sesuatu yang mudah didapat, dan jauh lebih sulit dipertahankan. Sore itu, Dimas menghampirinya. "Alya, ada waktu?" tanyanya sambil mengetuk pintu kaca. "Tentu, Pak. Silakan masuk." Dimas duduk, wajahnya serius. "Saya ingin kamu tahu, apa yang kamu lakukan kemarin sangat luar biasa. Tidak banyak orang baru yang bisa bertahan menghadapi tekanan seperti itu." Alya tersenyum kecil. "Terima kasih, Pak Dimas. Tapi saya sadar ini baru permulaan." Dimas mengangguk. "Benar. Dan kamu perlu lebih hati-hati. Fani dan kawan-kawannya tidak akan menyerah begitu saja." Alya mencatat itu dalam hati. Ia berjanji pada dirinya sendiri, ia akan lebih cermat. --- Beberapa hari kemudian, Rafael memanggil Alya ke ruangannya. Tidak seperti biasanya, hari itu Rafael tampak lebih santai, melepas jasnya dan hanya mengenakan kemeja putih tergulung di siku. "Duduk," katanya tanpa basa-basi. Alya menurut. "Aku sudah pelajari proposal finalmu. Bagus. Lebih matang dari ekspektasiku." Alya membungkukkan kepala sedikit. "Terima kasih, Pak." "Tapi," Rafael menatapnya tajam, "dunia nyata lebih kejam dari sekadar angka dan grafik. Kamu harus belajar membaca orang." Alya mengangguk pelan. "Saya mengerti." Rafael bersandar di kursinya. "Saya ingin kamu ikut dalam proyek besar berikutnya. Bukan sekadar magang. Kamu akan berada di garda depan." Ia melemparkan sebuah berkas ke meja. Alya mengambil berkas itu. Isinya: proyek ekspansi ke pasar Asia Tenggara. "Kamu punya tiga minggu untuk menyiapkan strategi awal. Jika berhasil, kamu akan resmi bergabung sebagai staf tetap. Jika gagal..." Rafael mengangkat bahu ringan. "Ya, kamu tahu konsekuensinya." Tantangan itu begitu berat, tapi Alya tidak gentar. Ia menatap Rafael dengan mata penuh tekad. "Saya akan memberikan yang terbaik, Pak." --- Malamnya, Alya berjalan keluar dari gedung, menatap langit malam Jakarta yang bertabur lampu. Di dalam hatinya, ada campuran rasa takut dan semangat. Ia tahu jalannya tidak akan mudah. Musuh dalam selimut, tekanan kerja, ekspektasi dari Rafael semuanya seperti beban yang mengikatnya. Tapi ia juga tahu, ini adalah kesempatan yang tidak semua orang dapatkan. Ia tidak akan menyia-nyiakannya. Sementara itu, dari lantai 25, Rafael berdiri di balik jendela kaca besar, memperhatikan sosok kecil Alya yang berjalan menuju halte bus. Dalam diam, ia tersenyum tipis. "Jangan kecewakan aku, Alya Putri," gumamnya pelan. Tanpa mereka sadari, malam itu telah menandai awal dari kisah yang jauh lebih rumit daripada sekadar relasi atasan dan bawahan. Ada sesuatu di antara mereka yang perlahan tumbuh, samar, seperti gerakan di balik bayangan.Pagi itu, langit Kuningan tampak mendung, seolah mencerminkan hati Alya yang sedang bergejolak. Ia berdiri di depan cermin apartemennya, menatap pantulan wajahnya sendiri. Matanya sedikit sembab karena malam tanpa tidur, dan pikirannya masih penuh oleh kata-kata Clara yang menohok.“Pastikan dia cukup kuat untuk berdiri di sisimu.”Alya menarik napas dalam, membenahi rambutnya lalu mengambil tas kerja. Hari ini, ia harus menunjukkan bahwa dirinya lebih dari cukup kuat. Bukan hanya untuk Rafael, tetapi untuk dirinya sendiri.Di perjalanan menuju kantor, radio mobil memutar lagu lawas yang mengiris hati. Alya mematikan volume, mencoba mengusir segala pikiran yang berisik di kepalanya. Namun, keraguan tetap menyusup seperti udara dingin yang menyelinap melalui celah kecil jendela.Saat sampai di kantor, Alya disambut oleh Lisa yang langsung memberikan tumpukan dokumen.“Ini laporan kinerja bulanan yang diminta Pak Rafael. Dia juga ingin kamu ikut dalam pitching dengan klien baru siang in
Pagi itu, kantor Rafael kembali riuh. Tapi ada aroma berbeda yang menyusup di antara kopi panas dan tumpukan laporan pagi aroma konflik yang belum kentara, namun siap meledak kapan saja.Alya berjalan memasuki gedung dengan langkah sedikit ragu. Ia tahu, setelah percakapan malam itu, semua hal kecil yang dulu terasa netral kini jadi terasa berarti. Seperti senyuman resepsionis yang lebih lama, tatapan dari staf lain yang mengintip, atau bahkan sapaan ramah dari bagian keuangan yang biasanya kaku. Langkah-langkahnya menyusuri koridor tampak ragu, namun sorot matanya mantap. Dalam benaknya, kata-kata Rafael semalam masih terngiang. "Kamu bukan cuma pegawai, Alya. Kamu lebih dari itu." Tapi benarkah? Di dunia Rafael, semua orang punya niat tersembunyi.“Pagi, Mbak Alya,” ujar Lisa, sekretaris pribadi Rafael, dengan senyum penuh arti. “Pak Rafael sudah menunggu di ruang meeting.”Alya mengangguk, mencoba tetap tenang meski hatinya melompat. Saat ia memasuki ruang meeting, Rafael sedang be
Suasana kantor kembali sibuk sejak kepulangan Rafael dan Alya dari Singapura. Di meja-meja kerja, tumpukan dokumen dan bunyi ketikan laptop berpadu dengan suara telepon yang tak henti-henti berdering. Namun bagi Alya, semuanya terasa seperti gema jauh dari pusat pikirannya. Ia duduk di ruangannya, menatap layar kosong selama hampir lima menit tanpa menyentuh keyboard.Ada sesuatu yang berubah sejak perjalanan itu. Bukan hanya dalam cara Rafael memandangnya, tapi juga dalam hatinya sendiri. Perasaan yang selama ini ia tekan perlahan merangkak naik ke permukaan. Alya merasa takut. Bukan karena Rafael bersikap buruk justru sebaliknya. Ia takut karena Rafael mulai memperlakukannya dengan kelembutan yang membuatnya lupa bahwa ia sedang berada di dunia bisnis yang keras dan kejam.Pintu ruangannya diketuk. Alya segera tersadar dari lamunannya."Masuk," katanya cepat, mencoba terdengar tenang.Rafael muncul di ambang pintu, mengenakan kemeja putih lengan panjang yang tergulung hingga siku. W
Matahari pagi di Bandara Soekarno-Hatta bersinar malu-malu di balik tirai awan. Suasana di ruang tunggu penuh hiruk-pikuk suara koper bergeser, panggilan boarding, dan langkah-langkah tergesa. Di tengah keramaian itu, Alya berdiri rapi, mengenakan blouse putih sederhana dipadu dengan blazer abu-abu, serta celana bahan hitam yang mempertegas aura profesionalnya. Walau begitu, tangan Alya tetap berkeringat dingin.Ini adalah perjalanan bisnis pertamanya ke luar negeri. Bersama Rafael.Dan hanya berdua.“Kalem, Alya. Ini cuma kerja,” gumamnya, mencoba menenangkan diri.Namun begitu Rafael muncul dari kejauhan, dengan setelan biru navy yang membalut tubuh tingginya sempurna, semua mantra ketenangan Alya runtuh. Pria itu seolah membawa hawa dingin sekaligus pesona yang sulit diabaikan."Siap?" tanya Rafael singkat tanpa senyum.Alya mengangguk cepat. "Siap, Pak."Tanpa banyak bicara, mereka berdua berjalan menuju boarding gate. Sepanjang perjalanan, suasana canggung menggantung di antara m
Minggu-minggu berikutnya berlalu dalam kecepatan tinggi bagi Alya. Sejak Rafael menyerahkan proyek ekspansi Asia Tenggara kepadanya, hidup Alya berubah drastis. Jam kerja panjang, pertemuan bertubi-tubi, tekanan tiada henti, dan tuntutan kesempurnaan seolah menjadi udara yang ia hirup sehari-hari. Ada saat-saat ia merasa nyaris runtuh, tapi justru di tengah tekanan itu, semangat dalam dirinya tumbuh dan menguat, perlahan tapi pasti. Dalam tempo singkat, Alya belajar banyak hal. Ia membiasakan diri mengambil keputusan dalam tekanan waktu, mengasah ketajaman analisa, dan memperhalus intuisi bisnisnya. Tiap rapat yang ia pimpin semakin membuat suaranya terdengar mantap. Tatapan penuh percaya diri mulai menggantikan keraguan yang dulu sering terlihat di matanya. Suatu sore, saat sinar matahari condong ke barat dan membalut langit Jakarta dengan warna keemasan, Rafael memanggil Alya ke ruangannya. "Bagaimana progresnya?" tanya Rafael, nada suaranya datar, tapi sorot matanya tajam. Aly
Pagi di Jakarta berhembus lembut, membawa aroma hujan semalam yang belum sepenuhnya kering. Namun, di lantai 25 Kurniawan Corp, suasana justru makin memanas. Alya, dengan map proyek di tangan, melangkah cepat menuju ruang rapat. Sorot mata kolega-koleganya mengikuti setiap gerakannya, beberapa penuh rasa ingin tahu, yang lain... dengki.Proyek barunya adalah pengembangan divisi inovasi digital, sebuah program ambisius yang Rafael canangkan untuk membawa perusahaan mereka masuk lebih dalam ke dunia teknologi modern. Tapi di balik proyek besar ini, banyak tangan-tangan yang ingin melihat Alya gagal.Fani, tentu saja, berada di garis depan. Bersama dua orang senior lainnya, ia mulai menyusun rencana licik. Mereka tak suka melihat Alya mendapatkan kepercayaan besar dari Rafael, apalagi mengingat betapa singkatnya waktu Alya bergabung."Kita buat dia terpeleset sendiri," bisik Fani kepada Tyo, salah satu senior tim pengembangan."Gimana caranya?" Tyo menyipitkan mata."Kita manipulasi data
Pagi itu, Alya kembali terjaga lebih awal. Namun kali ini, tubuhnya terasa lebih lelah dari sebelumnya. Satu minggu penuh di tim Inovasi Bisnis bukanlah perjalanan yang mudah. Meskipun mendapat sedikit pujian dari Pak Dimas dan rekan-rekannya, ia masih merasa bahwa ia harus lebih keras berusaha jika ingin memenangkan hati Rafael. Hari itu, ia tahu, akan ada rapat besar. Semua divisi akan hadir, dan Rafael akan memimpin langsung. Alya bisa merasakan ketegangan yang menggantung di udara. Ada sesuatu yang besar yang sedang menunggu. --- Di sisi lain, Rafael Kurniawan sudah berada di ruang kerjanya sejak pagi buta. Dihadapkan dengan tumpukan laporan yang harus diselesaikan, ia tampak seperti biasa: dingin, terfokus, dan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Hanya kopi hitam yang setia menemani sepanjang hari. Ia menatap layar laptopnya, membaca salah satu laporan Alya. Ada yang berbeda dari laporan itu. Tidak hanya soal data yang rapi, tetapi cara berpikir Alya yang leb
Malam itu, langit Jakarta seakan ikut bersekongkol, menumpahkan hujan deras yang tak kunjung reda. Tapi Alya Putri tetap duduk tegak di depan meja kecil di apartemennya, dikelilingi tumpukan kertas, laptop menyala, dan secangkir kopi ketiga yang mulai kehilangan kehangatan. Ia baru saja menyelesaikan membaca keseluruhan proyek yang Rafael Kurniawan lemparkan begitu saja padanya siang tadi. Dan satu kesimpulan melintas di kepalanya: "Ini bukan proyek biasa. Ini kayak tes bertahan hidup." Proyek itu meminta Alya merancang konsep baru untuk lini bisnis Kurniawan Corp dalam waktu dua hari saja. Bukan hanya ide kreatif, tapi juga strategi pemasaran, analisis kompetitor, dan simulasi keuangan sederhana. Bagi seseorang yang baru saja melamar kerja, ini nyaris mustahil. "Oke," gumam Alya, mengetik cepat. "Kamu mau main kasar, Pak CEO? Fine." Ia membagi kertas kosong menjadi tiga kolom besar: Ide, Strategi, Simulasi. Tangannya bergerak cepat, menulis brainstorming tanpa peduli coretan-core
Hari itu langit Jakarta seolah ikut memperburuk suasana hati Alya Putri. Awan kelabu menggantung berat, udara terasa gerah, dan kemacetan membuatnya hampir gila. Dengan tergesa, ia berlari-lari kecil memasuki lobi gedung pencakar langit yang menjulang megah di tengah kota. Logo 'Kurniawan Corp' berkilau di atas pintu utama, seolah mengingatkannya: di tempat inilah nasibmu akan berubah."Selamat pagi, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" sapa resepsionis dengan senyum profesional."Alya Putri. Saya... saya dijadwalkan interview dengan Pak Rafael Kurniawan," jawabnya, sedikit terengah karena berlari.Senyum resepsionis itu sedikit meredup, seperti refleks alami. Seolah nama itu saja sudah cukup membuat siapa pun gugup. Dengan cepat, wanita itu mengangguk dan memberi isyarat agar Alya mengikuti seorang staf ke lantai atas.Sepanjang perjalanan di lift, Alya merapikan rambutnya, menarik napas dalam-dalam, dan berusaha mengusir rasa gugup yang tiba-tiba melanda. Ia sudah mendengar banyak cerit