Beranda / Romansa / Benci CEO Cinta Tanpa Rencana / Gerakan di Balik Bayangan

Share

Gerakan di Balik Bayangan

Penulis: AwenX
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-27 10:57:05

Pagi di Jakarta berhembus lembut, membawa aroma hujan semalam yang belum sepenuhnya kering. Namun, di lantai 25 Kurniawan Corp, suasana justru makin memanas. Alya, dengan map proyek di tangan, melangkah cepat menuju ruang rapat. Sorot mata kolega-koleganya mengikuti setiap gerakannya, beberapa penuh rasa ingin tahu, yang lain... dengki.

Proyek barunya adalah pengembangan divisi inovasi digital, sebuah program ambisius yang Rafael canangkan untuk membawa perusahaan mereka masuk lebih dalam ke dunia teknologi modern. Tapi di balik proyek besar ini, banyak tangan-tangan yang ingin melihat Alya gagal.

Fani, tentu saja, berada di garis depan. Bersama dua orang senior lainnya, ia mulai menyusun rencana licik. Mereka tak suka melihat Alya mendapatkan kepercayaan besar dari Rafael, apalagi mengingat betapa singkatnya waktu Alya bergabung.

"Kita buat dia terpeleset sendiri," bisik Fani kepada Tyo, salah satu senior tim pengembangan.

"Gimana caranya?" Tyo menyipitkan mata.

"Kita manipulasi data kecil-kecilan. Salahin dia kalau ada kesalahan. Di proyek sebesar ini, kesalahan sekecil apapun bisa kelihatan fatal," jawab Fani dengan senyum puas.

Sementara itu, Alya masih terlalu fokus pada pekerjaannya untuk menyadari jebakan yang mulai disusun di sekelilingnya. Ia menghabiskan malam-malam panjang mempelajari laporan, membuat prototipe, menyusun strategi pemasaran digital, dan mengatur koordinasi antar divisi.

Tidak jarang, Rafael memanggilnya secara mendadak untuk presentasi progress. Tatapan tajam pria itu selalu membuat detak jantung Alya berpacu lebih cepat, tapi ia selalu berusaha tampil setenang mungkin.

"Kamu pikir ini cukup?" Rafael mengangkat satu alis saat melihat paparan Alya tentang campaign media sosial.

Alya menggigit bibir, menahan diri untuk tidak membela diri secara impulsif. Ia tahu, Rafael lebih menghargai perbaikan daripada pembelaan diri.

"Belum, Pak. Saya akan sempurnakan lagi." jawab Alya mantap.

Senyum sekilas muncul di wajah Rafael, namun segera lenyap.

"Baik. Kamu punya waktu dua hari lagi. Buat aku terkesan, atau aku cari orang lain," katanya datar, lalu membalikkan tubuh, mengisyaratkan bahwa pertemuan selesai.

Keluar dari ruangan itu, Alya menghela napas berat. Kakinya terasa lemas, tapi tekadnya justru makin menguat. Ia tidak akan menyerah.

---

Di sudut lain kantor, Fani dan komplotannya mulai menggerakkan rencana mereka. Mereka mengutak-atik dokumen pendukung proyek Alya, membuat data simulasi keuangan tampak kurang akurat. Mereka tahu, dalam presentasi besar dua hari lagi, satu kesalahan kecil saja bisa menghancurkan kredibilitas Alya.

"Kita lihat seberapa pintar si sok-suci itu," gumam Fani puas.

Tanpa mereka sadari, seseorang memperhatikan gerak-gerik mereka. Dimas, kepala divisi inovasi, yang sejak awal sudah curiga dengan Fani, mulai memasang telinga. Ia diam-diam mengumpulkan bukti-bukti kecil. Dimas bukan orang yang suka drama, tapi ia juga tak tahan melihat ketidakadilan di depan matanya.

"Kalau Alya jatuh bukan karena kesalahannya sendiri, aku nggak akan diam," batinnya.

---

Dua hari berlalu seperti kilat. Hari presentasi tiba. Seluruh jajaran direksi, termasuk Rafael, duduk di ruang rapat utama. Alya berdiri di depan, menyiapkan laptopnya. Tangan dingin, tapi wajahnya tetap tenang.

Ia memulai presentasinya, menjelaskan konsep dengan runtut. Grafik dan data yang ditampilkan di layar tampak meyakinkan. Tapi saat sesi tanya jawab, Fani mengangkat tangan.

"Saya menemukan kejanggalan di bagian analisis keuangan," kata Fani, suaranya dibuat-buat seolah prihatin.

Alya tersentak dalam hati, tapi tetap menjaga wajahnya.

"Bisa dijelaskan kenapa prediksi revenue growth kamu terlalu optimis, bahkan untuk standar industri kita?"

Ruangan menjadi hening. Semua mata tertuju pada Alya. Rafael menatap tajam, menunggu.

Alya menahan napas. Ia cepat-cepat membuka file cadangan yang ia simpan di flashdisk pribadinya. Untungnya, beberapa malam sebelumnya, ia menyimpan semua data asli sebelum finalisasi.

Dengan tenang, Alya membandingkan data yang ditampilkan dengan datanya sendiri.

"Sepertinya ada file yang tidak sesuai dengan versi terakhir yang saya submit," kata Alya. "Ini data asli saya, lengkap dengan timestamp dan histori revisi."

Ia menampilkan data itu di layar, membuktikan bahwa ia tidak membuat kesalahan yang dituduhkan.

Para direksi mulai berbisik-bisik. Rafael tetap diam, tapi matanya berkilat tajam. Ia mengamati ekspresi Fani yang kini mulai pucat.

"Siapa yang bertugas mengompilasi file untuk presentasi hari ini?" tanya Rafael tajam.

Fani mencoba berbicara, tapi Dimas melangkah maju.

"Saya rasa perlu diselidiki lebih lanjut, Pak. Ada indikasi file Alya diakses dan dimodifikasi tanpa izin."

Rafael mengangguk sekali, lalu berdiri.

"Rapat ini ditunda sementara. Saya ingin audit internal dilakukan. Sekarang."

Alya berdiri di tempatnya, gemetar. Bukan karena takut, tapi karena perasaan lega bercampur kemarahan. Ia hampir dijebak. Tapi ia selamat... untuk kali ini.

Di sisi lain, Fani menggenggam erat tangan di pangkuannya, menahan kemarahan. Ini belum berakhir, pikirnya. Ini baru permulaan.

---

Hari-hari berikutnya di Kurniawan Corp terasa lebih berat bagi Alya. Meskipun kebenaran akhirnya terungkap bahwa ada manipulasi data, suasana kantor tetap terasa dingin. Beberapa rekan kerjanya kini menatapnya dengan campuran rasa hormat dan cemburu, sementara sebagian lain, termasuk Fani, mulai menyusun strategi baru dalam diam.

Alya tahu bahwa bertahan di tempat ini bukan hanya soal bekerja keras, tapi juga bertahan dari politik kantor yang kejam.

Di ruang kerjanya yang kecil, Alya merapikan file proyek. Kepalanya penuh dengan rencana-rencana untuk presentasi tahap dua. Ia menyadari bahwa kepercayaan Rafael bukan sesuatu yang mudah didapat, dan jauh lebih sulit dipertahankan.

Sore itu, Dimas menghampirinya.

"Alya, ada waktu?" tanyanya sambil mengetuk pintu kaca.

"Tentu, Pak. Silakan masuk."

Dimas duduk, wajahnya serius. "Saya ingin kamu tahu, apa yang kamu lakukan kemarin sangat luar biasa. Tidak banyak orang baru yang bisa bertahan menghadapi tekanan seperti itu."

Alya tersenyum kecil. "Terima kasih, Pak Dimas. Tapi saya sadar ini baru permulaan."

Dimas mengangguk. "Benar. Dan kamu perlu lebih hati-hati. Fani dan kawan-kawannya tidak akan menyerah begitu saja."

Alya mencatat itu dalam hati. Ia berjanji pada dirinya sendiri, ia akan lebih cermat.

---

Beberapa hari kemudian, Rafael memanggil Alya ke ruangannya. Tidak seperti biasanya, hari itu Rafael tampak lebih santai, melepas jasnya dan hanya mengenakan kemeja putih tergulung di siku.

"Duduk," katanya tanpa basa-basi.

Alya menurut.

"Aku sudah pelajari proposal finalmu. Bagus. Lebih matang dari ekspektasiku."

Alya membungkukkan kepala sedikit. "Terima kasih, Pak."

"Tapi," Rafael menatapnya tajam, "dunia nyata lebih kejam dari sekadar angka dan grafik. Kamu harus belajar membaca orang."

Alya mengangguk pelan. "Saya mengerti."

Rafael bersandar di kursinya. "Saya ingin kamu ikut dalam proyek besar berikutnya. Bukan sekadar magang. Kamu akan berada di garda depan." Ia melemparkan sebuah berkas ke meja.

Alya mengambil berkas itu. Isinya: proyek ekspansi ke pasar Asia Tenggara.

"Kamu punya tiga minggu untuk menyiapkan strategi awal. Jika berhasil, kamu akan resmi bergabung sebagai staf tetap. Jika gagal..." Rafael mengangkat bahu ringan. "Ya, kamu tahu konsekuensinya."

Tantangan itu begitu berat, tapi Alya tidak gentar. Ia menatap Rafael dengan mata penuh tekad.

"Saya akan memberikan yang terbaik, Pak."

---

Malamnya, Alya berjalan keluar dari gedung, menatap langit malam Jakarta yang bertabur lampu. Di dalam hatinya, ada campuran rasa takut dan semangat. Ia tahu jalannya tidak akan mudah. Musuh dalam selimut, tekanan kerja, ekspektasi dari Rafael semuanya seperti beban yang mengikatnya.

Tapi ia juga tahu, ini adalah kesempatan yang tidak semua orang dapatkan. Ia tidak akan menyia-nyiakannya.

Sementara itu, dari lantai 25, Rafael berdiri di balik jendela kaca besar, memperhatikan sosok kecil Alya yang berjalan menuju halte bus.

Dalam diam, ia tersenyum tipis.

"Jangan kecewakan aku, Alya Putri," gumamnya pelan.

Tanpa mereka sadari, malam itu telah menandai awal dari kisah yang jauh lebih rumit daripada sekadar relasi atasan dan bawahan. Ada sesuatu di antara mereka yang perlahan tumbuh, samar, seperti gerakan di balik bayangan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Ancaman dalam Bayangan

    Alya menatap Rafael, yang kini membeku menatap layar ponselnya. Wajahnya mengeras, tapi di balik itu, matanya menunjukkan sesuatu yang belum pernah Alya lihat sebelumnya—takut.“Apa itu... ancaman?” tanya Alya pelan, seolah tak ingin percaya apa yang baru mereka lihat.Rafael mengangguk, lalu meletakkan ponsel di meja. “Nomor tak dikenal. Tapi mereka tahu gerak kita.”Alya menggigit bibir. “Berarti ini bukan cuma soal bisnis. Ini sudah personal.”Suasana di apartemen seketika berubah mencekam. Udara malam yang sejuk terasa menyesakkan. Alya berdiri, berjalan mondar-mandir. Ia mencoba berpikir jernih.“Kita harus amankan data-data penting. Semua dokumen buyback, pergerakan saham, bahkan email internal. Kalau mereka bisa mengakses informasi kita, mereka bisa sabotase dari dalam.”Rafael menyalakan laptopnya. “Aku akan hubungi tim IT. Kita harus audit semua server malam ini.”Sementara Rafael mengurus pengamanan digital, Alya menghubungi Dira. “Dira, aku butuh bantuannya lagi. Cek siapa

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Ombak yang Tak Kunjung Reda

    Tiga hari setelah keputusan dewan direksi yang mengeluarkan Clara dari jajaran eksekutif, Rafael memutuskan menggelar konferensi pers resmi. Bukan hanya untuk menjaga reputasi Kurniawan Corp, tapi juga demi menenangkan investor yang mulai gelisah.Konferensi digelar di ballroom hotel mewah di pusat Kuningan. Ruangan dipenuhi para wartawan, kamera siaran langsung, dan deretan pemegang saham yang ingin mendengar langsung dari sang CEO.Rafael berdiri di podium, jasnya rapi, wajahnya tenang meski sorotan kamera terasa menekan."Dengan berat hati, kami umumkan bahwa Clara Wibisono tidak lagi menjabat sebagai Direktur Operasional di Kurniawan Corp. Keputusan ini diambil setelah melalui pertimbangan matang oleh dewan direksi dan tim etika perusahaan."Suara kilatan kamera memenuhi ruangan."Namun kami menghormati hak beliau sebagai pemegang saham, dan sampai saat ini, beliau masih memegang 18% saham perusahaan. Kami berkomitmen menjaga integritas, profesionalisme, dan stabilitas perusahaan

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Bayangan yang Belum Pergi

    Hari-hari setelah dikeluarkannya Clara dari posisi eksekutif Kurniawan Corp terasa seperti badai yang mereda—tenang di permukaan, tapi menyisakan jejak ketegangan. Alya Putri tahu betul, ini belum benar-benar selesai. Rafael duduk di ruangannya yang kini lebih lengang sejak kepergian Clara. Di hadapannya, tumpukan laporan akuisisi dan pemindahan otoritas masih belum semua ditandatangani. Meski Clara telah dicopot dari jabatan strategisnya, satu hal masih menjadi duri dalam daging: Saham. Clara masih memiliki 15% saham di Kurniawan Corp—warisan dari ayah Rafael yang dulu memercayainya lebih dari sekadar rekan bisnis. Dan selama saham itu belum berpindah tangan, Clara tetap memiliki suara. Meski kecil, cukup untuk menyulitkan jalannya rapat penting. Cukup untuk jadi ancaman tersembunyi. “Dia bisa sewaktu-waktu kembali, dan dengan cara yang tidak terduga,” ucap Alya pelan ketika mereka duduk berdampingan di ruang kerja Rafael malam itu, meninjau hasil rapat tahunan internal direksi.

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Keputusan yang Menentukan

    Alya melangkah ke kantor dengan perasaan campur aduk. Promosi yang diberikan Rafael membuatnya merasa terhargai, tetapi sekaligus semakin terperangkap dalam intrik dunia korporat yang keras. Ia tidak bisa menahan diri untuk bertanya, apakah ini jalan yang tepat untuknya, ataukah ia hanya menjadi pion dalam permainan besar yang tak pernah ia pilih? Pagi itu, Alya duduk di meja kerjanya, menatap tumpukan dokumen yang menunggu untuk diproses. Laporan tahunan, analisis pasar, dan proposal untuk klien yang akan datang. Semuanya menumpuk, dan di tengah kesibukan itu, ia menerima pesan dari Rafael. Rafael: “Alya, ada hal penting yang perlu kita bicarakan. Bisa ke ruanganku siang ini?” Alya menatap layar ponselnya, ragu sejenak. Ada kecemasan yang menggelayuti hatinya. Apa yang ingin dibicarakan Rafael? Apakah ini tentang Clara, atau lebih lanjut tentang peran baru yang kini ia emban di Kurniawan Corp? Siang itu, setelah makan siang, Alya menuju ruang Rafael. Pintu yang biasanya terbuka

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Langkah Balasan

    Hari-hari setelah pertemuannya dengan Clara terasa berbeda bagi Alya. Ia bukan lagi wanita yang hanya bertahan dalam senyap. Kali ini, ia akan menyusun strategi, bukan hanya untuk melindungi dirinya, tapi juga membalas semua yang selama ini diam-diam menjatuhkannya. Langkah pertama yang ia ambil adalah memperkuat dukungan dari dalam. Alya mulai mendekati beberapa kepala divisi yang selama ini bekerja sama dengannya—mereka yang diam-diam menghargai profesionalismenya. “Pak Arif, saya tahu audit mendadak ini bukan murni inisiatif perusahaan,” ujar Alya di ruang kopi bersama kepala divisi keuangan yang sudah senior itu. Arif hanya mengangguk pelan. “Kami tahu ini bukan soal data. Ini soal politik. Tapi saya akan bersaksi sesuai fakta, Nona Alya. Kamu orang yang bekerja paling bersih di ruangan ini.” Alya tersenyum kecil. Dukungan seperti ini adalah fondasi awal. Langkah berikutnya, ia menemui Lisa dan membicarakan sesuatu yang sudah ia rencanakan semalaman. “Aku butuh kamu bantu k

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Api di Balik Senyuman

    Langit Kuningan malam itu tidak lagi semendung sebelumnya, tapi hati Alya justru terasa lebih gelap. Tatapan Rafael, permintaan maafnya, bahkan pengakuan bahwa ia ingin menjadi lebih baik demi Alya semuanya begitu mengejutkan sekaligus membingungkan.Namun satu hal yang lebih mengganggunya adalah sosok Clara. Tatapan penuh kemarahan dari balik mobil yang tidak disadari Rafael, tapi begitu jelas terasa oleh Alya. Ia tahu, badai yang sesungguhnya baru akan dimulai.Keesokan paginya, suasana kantor tampak lebih tegang dari biasanya. Beberapa pegawai tampak membisikkan sesuatu, pandangan mereka sesekali mengarah pada Alya yang baru saja keluar dari lift.“Ada apa, ya?” tanya Alya pelan pada Lisa.Lisa menatap sekeliling sebelum mendekat dan berbisik, “Clara mengumpulkan bukti untuk menjatuhkanmu. Dia bilang kamu menyalahgunakan jabatan, dan... ada rumor tentang hubunganmu dengan Pak Rafael.”Alya menarik napas dalam. “Cepat juga dia bergerak.”Lisa menatapnya khawatir. “Kamu harus hati-ha

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status