Share

Saatnya Bertarung

Author: AwenX
last update Last Updated: 2025-04-27 10:47:46

Pagi itu, Alya kembali terjaga lebih awal. Namun kali ini, tubuhnya terasa lebih lelah dari sebelumnya. Satu minggu penuh di tim Inovasi Bisnis bukanlah perjalanan yang mudah. Meskipun mendapat sedikit pujian dari Pak Dimas dan rekan-rekannya, ia masih merasa bahwa ia harus lebih keras berusaha jika ingin memenangkan hati Rafael.

Hari itu, ia tahu, akan ada rapat besar. Semua divisi akan hadir, dan Rafael akan memimpin langsung. Alya bisa merasakan ketegangan yang menggantung di udara. Ada sesuatu yang besar yang sedang menunggu.

---

Di sisi lain, Rafael Kurniawan sudah berada di ruang kerjanya sejak pagi buta. Dihadapkan dengan tumpukan laporan yang harus diselesaikan, ia tampak seperti biasa: dingin, terfokus, dan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Hanya kopi hitam yang setia menemani sepanjang hari.

Ia menatap layar laptopnya, membaca salah satu laporan Alya. Ada yang berbeda dari laporan itu. Tidak hanya soal data yang rapi, tetapi cara berpikir Alya yang lebih tajam, sedikit lebih berani. Mungkin perempuan itu memang punya potensi. Tapi potensi itu hanya bisa terlihat jika ia mau membuka mata, dan Rafael meski ia tidak akan mengakuinya sudah mulai melihatnya.

"Jangan terburu-buru," gumamnya pada diri sendiri, sambil meremas secangkir kopinya.

---

Pukul 10 pagi, rapat dimulai. Alya sudah berada di ruang konferensi, menatap meja panjang yang penuh dengan wajah-wajah serius. Pak Dimas duduk di salah satu ujung, sementara Rafael duduk di kursi kepala meja dengan tatapan yang menusuk.

“Alya, bisa kamu jelaskan lebih detail mengenai ide simulasi pelanggan yang kemarin kamu presentasikan?” tanya Pak Dimas, mengalihkan perhatian ke arah Alya.

Alya berdiri, menarik napas dalam-dalam, dan mulai menjelaskan dengan percaya diri. Tidak ada keraguan di suaranya. Ia menguraikan berbagai strategi yang telah ia susun dan bagaimana hal itu dapat menguntungkan perusahaan. Semua orang di ruangan mendengarkan dengan seksama, bahkan Rafael yang biasanya cenderung lebih acuh, kali ini tampak lebih fokus.

Namun, ada satu orang yang tidak senang dengan perkembangan Alya. Fani, salah satu anggota senior tim, tampak gelisah. Ia tidak suka melihat Alya mulai mendapat perhatian lebih. Fani sudah berada di perusahaan ini jauh lebih lama dan merasa posisi-posisi seperti ini adalah haknya.

Alya menyelesaikan presentasinya, lalu duduk kembali, hanya untuk melihat Fani yang menyeringai. Fani tak tinggal diam.

“Menarik,” kata Fani dengan nada dingin, “tapi bagaimana kalau ide ini gagal di lapangan? Kita semua tahu bahwa teori tidak selalu bisa diterapkan dengan mudah.”

Alya menahan diri untuk tidak membalas, meskipun rasa kesal mulai menjalar. Ia tahu ini adalah ujian, dan Fani ingin menggoyahkan kepercayaan dirinya.

Namun, Alya tidak ingin menunjukkan kelemahan di depan Rafael. Ia menatap Fani dengan tenang, lalu menjawab, “Setiap ide pasti punya risiko, Bu Fani. Tapi, justru karena itu saya menyusun beberapa alternatif strategi yang bisa langsung dieksekusi, jika ide ini ternyata tidak berjalan dengan baik.”

Rafael mengangkat alis tipis, seolah tertarik dengan cara Alya menjawab. Namun, ia tetap menjaga ekspresi datar. Setelah beberapa detik hening, Rafael berbicara, “Fani, kalau kamu merasa ragu, aku ingin kamu lakukan evaluasi langsung. Cek kelayakan ide ini di lapangan.”

Fani melongo, merasa seolah dihadapkan dengan tantangan baru. Sementara itu, Alya merasa kemenangan kecil itu sudah cukup untuk membuktikan bahwa ia berada di jalur yang benar.

---

Setelah rapat berakhir, suasana kantor kembali tegang. Fani menatap Alya dengan tatapan tajam, sementara rekan-rekannya mulai mengalihkan perhatian. Alya tahu, ini belum selesai. Tetapi untuk pertama kalinya sejak ia mulai bekerja di Kurniawan Corp, ia merasa bahwa ia bisa bertahan, dan mungkin, sedikit lebih dari itu.

Keesokan harinya, Alya mendapat tugas besar. Bukan hanya untuk menindaklanjuti ide simulasi pelanggan yang baru saja ia presentasikan, tetapi juga untuk mengkoordinasi beberapa tim yang berbeda dan itu tidak mudah. Fani yang terus mengawasinya, serta tantangan lain yang datang dari berbagai arah, semakin menguji ketangguhan Alya.

Namun, satu hal yang jelas: Rafael Kurniawan, sang CEO dingin itu, mulai memperhatikannya lebih serius.

Setelah rapat besar yang penuh ketegangan, Alya merasakan ada sesuatu yang berubah di udara perusahaan. Meski para rekan-rekannya lebih memilih untuk menghindari percakapan lebih lanjut, Alya bisa merasakan perhatian yang mulai mengarah kepadanya. Terutama dari Rafael, meskipun dia masih menunjukkan sikap dingin seperti biasanya. Di sisi lain, ada Fani yang terus mengawasi setiap langkah Alya, berharap menemukan kesalahan yang bisa digunakan untuk menjatuhkan wanita itu.

Alya tahu betul, ini belum selesai. Perjalanan di dunia bisnis tak pernah semudah yang ia bayangkan.

Hari-hari setelah rapat itu menjadi semakin penuh tantangan. Alya, yang kini bertugas untuk memimpin tim kecil yang menyusun strategi pemasaran dan distribusi produk baru, harus menghadapi berbagai rintangan. Fani terus melontarkan keraguan, sementara beberapa anggota tim lainnya mulai merasa terancam oleh dominasi ide-idenya yang terus berkembang. Bahkan, ada beberapa yang mulai menyampaikan komentar sinis di belakangnya.

Namun, di tengah tekanan tersebut, Alya semakin percaya diri. Setiap tugas yang diberikan Rafael kepadanya, ia kerjakan dengan penuh dedikasi, memperlihatkan tidak hanya kerja keras tetapi juga kecerdikan. Bahkan, ia mulai berpikir bahwa mungkin inilah yang sebenarnya dicari oleh Rafael kemampuan untuk berpikir cepat dan bertindak tanpa ragu.

Suatu pagi, Alya kembali mendapat pesan singkat dari Rafael yang meminta rapat langsung dengan tim kecilnya. Ia merasa sedikit gugup, tapi lebih banyak merasa bahwa ini adalah kesempatan besar. Tanpa ragu, ia memimpin rapat dengan percaya diri. Ia menyampaikan presentasi dengan jelas, menunjukkan berbagai data dan analisis yang mendalam, dan menjelaskan potensi keuntungan yang bisa didapatkan perusahaan dari langkah-langkah yang telah mereka rencanakan.

Rafael mendengarkan dengan seksama, kadang mengangguk pelan, kadang mengerutkan kening. Alya tahu, ini bukan tentang mendapatkan pujian. Ini adalah ujian untuk melihat apakah ia benar-benar mampu menanggapi tantangan dengan solusi yang tepat.

"Tapi," kata Rafael setelah rapat berakhir, "sepertinya kamu masih perlu waktu untuk memahami gambaran besar dari proyek ini. Ini bukan hanya tentang ide brilian. Ini tentang pelaksanaan yang tepat."

Alya mengangguk. "Saya mengerti, Pak."

"Bagus. Mulai besok, kamu akan bekerja lebih dekat dengan tim eksekusi," lanjut Rafael, "Mereka akan menjadi ujian terakhirmu."

Alya menghela napas dalam-dalam. Ia tahu bahwa ini adalah tantangan besar, tetapi ia juga tahu bahwa jika ia berhasil melewatinya, ia akan benar-benar mendapatkan tempat di perusahaan ini dan mungkin lebih dari itu.

Di sisi lain, Fani yang selalu mencari celah untuk menjatuhkan Alya, mulai merencanakan sesuatu. Ia merasa Alya mulai menguasai ruang yang sebelumnya ia anggap miliknya. Dengan niat yang tidak baik, Fani mulai mempengaruhi beberapa anggota tim untuk meragukan keputusan Alya dan menggoyahkan kepercayaan diri wanita itu. Meski begitu, Alya bertekad untuk tetap fokus pada pekerjaannya dan menghindari perangkap yang bisa menjatuhkannya.

Setiap hari adalah perjuangan. Alya tahu bahwa kesuksesannya tidak hanya bergantung pada kemampuan profesionalnya, tetapi juga pada kemampuannya untuk bertahan di tengah tekanan yang semakin kuat.

Malam itu, Rafael kembali berada di ruang kerjanya. Ia menatap laporan terbaru yang disusun oleh Alya, kali ini lebih rinci dan lebih terstruktur. Meski masih terkesan dengan kerja kerasnya, Rafael tetap bersikap dingin. Ia tahu, tidak ada yang gratis di dunia ini. Dan baginya, meski Alya memberikan banyak harapan, tetap saja, itu belum cukup untuk membuktikan bahwa ia pantas berada di tim inti Kurniawan Corp.

Namun, ada sesuatu dalam diri Alya yang tidak bisa ia abaikan. Ketenangan dan rasa percaya diri yang dipancarkan oleh wanita muda itu, seolah membawa energi baru dalam dunia bisnis yang sudah lama didominasi oleh kebijakan kaku dan tak terduga.

"Alya," gumam Rafael pada dirinya sendiri. "Apakah kamu benar-benar sehebat itu?"

Senyum tipis muncul di wajahnya, namun segera ia singkirkan. Ia mengalihkan pandangannya ke layar laptop, memfokuskan diri pada tugas-tugas berikutnya.

Keesokan harinya, Rafael mengundang Alya ke ruang kerjanya. Tanpa kata-kata, ia menyerahkan sebuah proyek baru yang jauh lebih besar. Alya menatapnya dengan rasa penasaran, sebelum akhirnya ia membuka amplop yang berisi dokumen tersebut.

"Proyek ini," kata Rafael, "akan menguji kemampuanmu sejauh mana kamu bisa membawa tim ini ke arah yang benar. Aku harap kamu siap."

Alya menelan saliva, merasa jantungnya berdebar keras. "Tentu, Pak. Saya siap."

"Saya tidak ingin ada kegagalan," Rafael menegaskan. "Jika kamu gagal, semuanya akan berakhir."

Alya mengangguk, berusaha tetap tenang. "Saya tidak akan mengecewakan Anda, Pak."

Meskipun ia tidak mengungkapkan kata-kata tersebut dengan penuh keyakinan, di dalam hatinya, Alya tahu bahwa ini adalah kesempatan terbesar dalam hidupnya.

Namun, di luar sana, Fani yang diam-diam memerhatikan dari kejauhan, mulai merancang langkah-langkah selanjutnya untuk menumbangkan Alya dari posisinya. Ketegangan semakin memuncak. Tak hanya Rafael yang menjadi ancaman, tetapi juga para pesaing internal yang tidak senang melihat Alya mulai mendapat perhatian lebih.

Dengan proyek besar di hadapannya, Alya tidak hanya dihadapkan pada pekerjaan yang luar biasa sulit, tetapi juga pada persaingan yang semakin sengit. Ia harus menunjukkan lebih dari sekadar kemampuan, tetapi juga keberanian untuk bertarung melawan segala tantangan yang ada di depannya.

Namun, Alya sudah membuat keputusan. Ia akan bertahan, dan membuktikan bahwa ia lebih dari sekadar wanita muda yang dipandang sebelah mata.

Bersambung!!!!!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Ancaman dalam Bayangan

    Alya menatap Rafael, yang kini membeku menatap layar ponselnya. Wajahnya mengeras, tapi di balik itu, matanya menunjukkan sesuatu yang belum pernah Alya lihat sebelumnya—takut.“Apa itu... ancaman?” tanya Alya pelan, seolah tak ingin percaya apa yang baru mereka lihat.Rafael mengangguk, lalu meletakkan ponsel di meja. “Nomor tak dikenal. Tapi mereka tahu gerak kita.”Alya menggigit bibir. “Berarti ini bukan cuma soal bisnis. Ini sudah personal.”Suasana di apartemen seketika berubah mencekam. Udara malam yang sejuk terasa menyesakkan. Alya berdiri, berjalan mondar-mandir. Ia mencoba berpikir jernih.“Kita harus amankan data-data penting. Semua dokumen buyback, pergerakan saham, bahkan email internal. Kalau mereka bisa mengakses informasi kita, mereka bisa sabotase dari dalam.”Rafael menyalakan laptopnya. “Aku akan hubungi tim IT. Kita harus audit semua server malam ini.”Sementara Rafael mengurus pengamanan digital, Alya menghubungi Dira. “Dira, aku butuh bantuannya lagi. Cek siapa

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Ombak yang Tak Kunjung Reda

    Tiga hari setelah keputusan dewan direksi yang mengeluarkan Clara dari jajaran eksekutif, Rafael memutuskan menggelar konferensi pers resmi. Bukan hanya untuk menjaga reputasi Kurniawan Corp, tapi juga demi menenangkan investor yang mulai gelisah.Konferensi digelar di ballroom hotel mewah di pusat Kuningan. Ruangan dipenuhi para wartawan, kamera siaran langsung, dan deretan pemegang saham yang ingin mendengar langsung dari sang CEO.Rafael berdiri di podium, jasnya rapi, wajahnya tenang meski sorotan kamera terasa menekan."Dengan berat hati, kami umumkan bahwa Clara Wibisono tidak lagi menjabat sebagai Direktur Operasional di Kurniawan Corp. Keputusan ini diambil setelah melalui pertimbangan matang oleh dewan direksi dan tim etika perusahaan."Suara kilatan kamera memenuhi ruangan."Namun kami menghormati hak beliau sebagai pemegang saham, dan sampai saat ini, beliau masih memegang 18% saham perusahaan. Kami berkomitmen menjaga integritas, profesionalisme, dan stabilitas perusahaan

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Bayangan yang Belum Pergi

    Hari-hari setelah dikeluarkannya Clara dari posisi eksekutif Kurniawan Corp terasa seperti badai yang mereda—tenang di permukaan, tapi menyisakan jejak ketegangan. Alya Putri tahu betul, ini belum benar-benar selesai. Rafael duduk di ruangannya yang kini lebih lengang sejak kepergian Clara. Di hadapannya, tumpukan laporan akuisisi dan pemindahan otoritas masih belum semua ditandatangani. Meski Clara telah dicopot dari jabatan strategisnya, satu hal masih menjadi duri dalam daging: Saham. Clara masih memiliki 15% saham di Kurniawan Corp—warisan dari ayah Rafael yang dulu memercayainya lebih dari sekadar rekan bisnis. Dan selama saham itu belum berpindah tangan, Clara tetap memiliki suara. Meski kecil, cukup untuk menyulitkan jalannya rapat penting. Cukup untuk jadi ancaman tersembunyi. “Dia bisa sewaktu-waktu kembali, dan dengan cara yang tidak terduga,” ucap Alya pelan ketika mereka duduk berdampingan di ruang kerja Rafael malam itu, meninjau hasil rapat tahunan internal direksi.

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Keputusan yang Menentukan

    Alya melangkah ke kantor dengan perasaan campur aduk. Promosi yang diberikan Rafael membuatnya merasa terhargai, tetapi sekaligus semakin terperangkap dalam intrik dunia korporat yang keras. Ia tidak bisa menahan diri untuk bertanya, apakah ini jalan yang tepat untuknya, ataukah ia hanya menjadi pion dalam permainan besar yang tak pernah ia pilih? Pagi itu, Alya duduk di meja kerjanya, menatap tumpukan dokumen yang menunggu untuk diproses. Laporan tahunan, analisis pasar, dan proposal untuk klien yang akan datang. Semuanya menumpuk, dan di tengah kesibukan itu, ia menerima pesan dari Rafael. Rafael: “Alya, ada hal penting yang perlu kita bicarakan. Bisa ke ruanganku siang ini?” Alya menatap layar ponselnya, ragu sejenak. Ada kecemasan yang menggelayuti hatinya. Apa yang ingin dibicarakan Rafael? Apakah ini tentang Clara, atau lebih lanjut tentang peran baru yang kini ia emban di Kurniawan Corp? Siang itu, setelah makan siang, Alya menuju ruang Rafael. Pintu yang biasanya terbuka

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Langkah Balasan

    Hari-hari setelah pertemuannya dengan Clara terasa berbeda bagi Alya. Ia bukan lagi wanita yang hanya bertahan dalam senyap. Kali ini, ia akan menyusun strategi, bukan hanya untuk melindungi dirinya, tapi juga membalas semua yang selama ini diam-diam menjatuhkannya. Langkah pertama yang ia ambil adalah memperkuat dukungan dari dalam. Alya mulai mendekati beberapa kepala divisi yang selama ini bekerja sama dengannya—mereka yang diam-diam menghargai profesionalismenya. “Pak Arif, saya tahu audit mendadak ini bukan murni inisiatif perusahaan,” ujar Alya di ruang kopi bersama kepala divisi keuangan yang sudah senior itu. Arif hanya mengangguk pelan. “Kami tahu ini bukan soal data. Ini soal politik. Tapi saya akan bersaksi sesuai fakta, Nona Alya. Kamu orang yang bekerja paling bersih di ruangan ini.” Alya tersenyum kecil. Dukungan seperti ini adalah fondasi awal. Langkah berikutnya, ia menemui Lisa dan membicarakan sesuatu yang sudah ia rencanakan semalaman. “Aku butuh kamu bantu k

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Api di Balik Senyuman

    Langit Kuningan malam itu tidak lagi semendung sebelumnya, tapi hati Alya justru terasa lebih gelap. Tatapan Rafael, permintaan maafnya, bahkan pengakuan bahwa ia ingin menjadi lebih baik demi Alya semuanya begitu mengejutkan sekaligus membingungkan.Namun satu hal yang lebih mengganggunya adalah sosok Clara. Tatapan penuh kemarahan dari balik mobil yang tidak disadari Rafael, tapi begitu jelas terasa oleh Alya. Ia tahu, badai yang sesungguhnya baru akan dimulai.Keesokan paginya, suasana kantor tampak lebih tegang dari biasanya. Beberapa pegawai tampak membisikkan sesuatu, pandangan mereka sesekali mengarah pada Alya yang baru saja keluar dari lift.“Ada apa, ya?” tanya Alya pelan pada Lisa.Lisa menatap sekeliling sebelum mendekat dan berbisik, “Clara mengumpulkan bukti untuk menjatuhkanmu. Dia bilang kamu menyalahgunakan jabatan, dan... ada rumor tentang hubunganmu dengan Pak Rafael.”Alya menarik napas dalam. “Cepat juga dia bergerak.”Lisa menatapnya khawatir. “Kamu harus hati-ha

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status