Home / Romansa / Benci CEO Cinta Tanpa Rencana / Percikan di Tengah Ambisi

Share

Percikan di Tengah Ambisi

Author: AwenX
last update Last Updated: 2025-04-27 11:06:29

Minggu-minggu berikutnya berlalu dalam kecepatan tinggi bagi Alya. Sejak Rafael menyerahkan proyek ekspansi Asia Tenggara kepadanya, hidup Alya berubah drastis. Jam kerja panjang, pertemuan bertubi-tubi, tekanan tiada henti, dan tuntutan kesempurnaan seolah menjadi udara yang ia hirup sehari-hari. Ada saat-saat ia merasa nyaris runtuh, tapi justru di tengah tekanan itu, semangat dalam dirinya tumbuh dan menguat, perlahan tapi pasti.

Dalam tempo singkat, Alya belajar banyak hal. Ia membiasakan diri mengambil keputusan dalam tekanan waktu, mengasah ketajaman analisa, dan memperhalus intuisi bisnisnya. Tiap rapat yang ia pimpin semakin membuat suaranya terdengar mantap. Tatapan penuh percaya diri mulai menggantikan keraguan yang dulu sering terlihat di matanya.

Suatu sore, saat sinar matahari condong ke barat dan membalut langit Jakarta dengan warna keemasan, Rafael memanggil Alya ke ruangannya.

"Bagaimana progresnya?" tanya Rafael, nada suaranya datar, tapi sorot matanya tajam.

Alya menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Saya sudah memetakan potensi pasar di tiga negara target utama: Malaysia, Singapura, dan Thailand. Data demografis, tren konsumen, serta analisa kompetitor sudah saya rinci, Pak."

Rafael mengangguk kecil, lalu bersandar di kursinya. "Presentasikan."

Dengan sigap, Alya menghubungkan laptopnya ke layar besar di ruang rapat. Slide demi slide dipaparkan dengan runtut: kebutuhan pasar, peluang ekspansi, strategi pemasaran berbasis karakter lokal, hingga potensi risiko dan cara mitigasinya.

Rafael memperhatikan tanpa menginterupsi, hanya sesekali mengernyitkan dahi atau menyipitkan mata saat data tertentu menarik perhatiannya. Alya tetap berbicara, mencoba mempertahankan ritme dan ketenangannya, meski jantungnya berdebar keras.

Empat puluh menit kemudian, presentasi berakhir. Ruangan itu hening. Alya berdiri di depan, menunggu keputusan seolah berdiri di hadapan palu hakim.

Perlahan, Rafael berdiri dan mendekati layar. Ia mengamati grafik terakhir, lalu membalikkan badan.

"Lebih baik dari yang kukira," katanya.

Alya menghela napas lega, meski tak berani menunjukkannya terlalu jelas.

"Namun," lanjut Rafael, menatapnya tajam, "konsep tanpa eksekusi hanyalah ilusi."

"Saya siap membuktikannya, Pak," kata Alya, suaranya mantap.

Senyum kecil, hampir tak terlihat, mengambang di sudut bibir Rafael. "Minggu depan, ikut ke Singapura. Kita ketemu dengan calon mitra. Bersiaplah."

Alya mengangguk penuh semangat. Baginya, ini bukan hanya tantangan, tapi sebuah pembuktian diri.

---

Malam itu, di apartemennya yang mungil, Alya berdiri di balkon, membiarkan angin malam menyapu wajahnya. Lampu-lampu kota berkilauan seperti lautan bintang, memantulkan gemerlap harapan di hatinya.

Dengan secangkir teh di tangan, Alya mengenang perjalanan sejauh ini. Ia teringat masa-masa awalnya di kantor direndahkan, diremehkan, dianggap sebelah mata. Kini, ia berdiri di ambang perubahan besar dalam kariernya.

"Aku bisa," bisiknya. "Aku akan sampai ke puncak, tidak peduli seberapa sulit jalannya."

Tekad itu menghangatkan hatinya lebih dari teh yang ada di genggamannya.

---

Sementara itu, di penthouse Rafael yang megah, pria itu masih duduk di ruang kerjanya. Berkas-berkas menumpuk di meja, namun pikirannya tak lagi sepenuhnya tertuju pada bisnis.

Ia menatap lampu kota dari balik jendela kaca lebar. Sosok Alya kembali berkelebat dalam benaknya. Semangat gadis itu, keberaniannya menghadapi tekanan, kemampuannya bertahan di tengah badai kritik semua itu mengusik sisi manusiawinya.

"Kamu berbeda," gumam Rafael tanpa sadar.

Ia sadar, perasaannya perlahan bergeser. Tidak sekadar mengagumi profesionalisme Alya, tapi sesuatu yang lebih dalam, lebih pribadi. Ia berusaha mengabaikannya, berpegang pada prinsip keras yang selalu ia jalani: jangan campur adukkan bisnis dan perasaan.

Namun hati, seperti biasa, punya kehendaknya sendiri.

Rafael menunduk, memijit pelipisnya. Ia tahu hubungan profesional mereka kini berada di ujung tipis sebuah benang. Satu langkah keliru, dan semua yang ia bangun bertahun-tahun bisa runtuh.

"Aku harus menjaga jarak," katanya lirih. Tapi bahkan saat mengucapkan itu, ia tahu, menjaga jarak dari Alya akan jauh lebih sulit daripada menutup kesepakatan bisnis bernilai miliaran.

Malam itu, tanpa suara, dua hati yang berbeda latar belakang mulai mendekat, seperti dua kutub magnet yang bertolak belakang namun tak kuasa menolak tarikan alami di antara mereka.

Dan di tengah ambisi dan tekanan, benih-benih yang tertanam di hati Rafael dan Alya mulai tumbuh, perlahan, namun tak terelakkan.

---

Hari-hari berikutnya, Rafael semakin sering melibatkan Alya dalam pertemuan-pertemuan penting. Ia mulai mengajaknya dalam diskusi strategi, bahkan terkadang meminta pendapat pribadinya tentang keputusan besar.

Bagi Alya, perhatian itu membawa rasa campur aduk. Ia merasa dihargai, namun di sisi lain, ada tekanan baru yang tak bisa diabaikan: sorot mata rekan-rekan kerjanya. Bisik-bisik iri mulai terdengar, seakan menganggap keberhasilannya semata karena kedekatannya dengan Rafael.

Alya memilih untuk tetap fokus. Ia tahu, satu-satunya jawaban terhadap keraguan adalah prestasi.

Namun di hatinya, Alya tidak bisa membohongi diri sendiri. Ada sesuatu tentang Rafael dinginnya, ketegasannya, sekaligus sekilas perhatian kecil yang kadang muncul tanpa sengaja yang mulai menggetarkan pertahanannya.

Setiap kali Rafael memuji kerjanya, bahkan dalam kata-kata singkat dan kaku, jantung Alya berdetak lebih cepat. Setiap tatapan intens pria itu, setiap momen ketika tangan mereka bersentuhan tanpa sengaja, menyalakan percikan kecil yang sulit dipadamkan.

Dan entah sejak kapan, Alya mulai menantikan saat-saat itu.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Ancaman dalam Bayangan

    Alya menatap Rafael, yang kini membeku menatap layar ponselnya. Wajahnya mengeras, tapi di balik itu, matanya menunjukkan sesuatu yang belum pernah Alya lihat sebelumnya—takut.“Apa itu... ancaman?” tanya Alya pelan, seolah tak ingin percaya apa yang baru mereka lihat.Rafael mengangguk, lalu meletakkan ponsel di meja. “Nomor tak dikenal. Tapi mereka tahu gerak kita.”Alya menggigit bibir. “Berarti ini bukan cuma soal bisnis. Ini sudah personal.”Suasana di apartemen seketika berubah mencekam. Udara malam yang sejuk terasa menyesakkan. Alya berdiri, berjalan mondar-mandir. Ia mencoba berpikir jernih.“Kita harus amankan data-data penting. Semua dokumen buyback, pergerakan saham, bahkan email internal. Kalau mereka bisa mengakses informasi kita, mereka bisa sabotase dari dalam.”Rafael menyalakan laptopnya. “Aku akan hubungi tim IT. Kita harus audit semua server malam ini.”Sementara Rafael mengurus pengamanan digital, Alya menghubungi Dira. “Dira, aku butuh bantuannya lagi. Cek siapa

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Ombak yang Tak Kunjung Reda

    Tiga hari setelah keputusan dewan direksi yang mengeluarkan Clara dari jajaran eksekutif, Rafael memutuskan menggelar konferensi pers resmi. Bukan hanya untuk menjaga reputasi Kurniawan Corp, tapi juga demi menenangkan investor yang mulai gelisah.Konferensi digelar di ballroom hotel mewah di pusat Kuningan. Ruangan dipenuhi para wartawan, kamera siaran langsung, dan deretan pemegang saham yang ingin mendengar langsung dari sang CEO.Rafael berdiri di podium, jasnya rapi, wajahnya tenang meski sorotan kamera terasa menekan."Dengan berat hati, kami umumkan bahwa Clara Wibisono tidak lagi menjabat sebagai Direktur Operasional di Kurniawan Corp. Keputusan ini diambil setelah melalui pertimbangan matang oleh dewan direksi dan tim etika perusahaan."Suara kilatan kamera memenuhi ruangan."Namun kami menghormati hak beliau sebagai pemegang saham, dan sampai saat ini, beliau masih memegang 18% saham perusahaan. Kami berkomitmen menjaga integritas, profesionalisme, dan stabilitas perusahaan

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Bayangan yang Belum Pergi

    Hari-hari setelah dikeluarkannya Clara dari posisi eksekutif Kurniawan Corp terasa seperti badai yang mereda—tenang di permukaan, tapi menyisakan jejak ketegangan. Alya Putri tahu betul, ini belum benar-benar selesai. Rafael duduk di ruangannya yang kini lebih lengang sejak kepergian Clara. Di hadapannya, tumpukan laporan akuisisi dan pemindahan otoritas masih belum semua ditandatangani. Meski Clara telah dicopot dari jabatan strategisnya, satu hal masih menjadi duri dalam daging: Saham. Clara masih memiliki 15% saham di Kurniawan Corp—warisan dari ayah Rafael yang dulu memercayainya lebih dari sekadar rekan bisnis. Dan selama saham itu belum berpindah tangan, Clara tetap memiliki suara. Meski kecil, cukup untuk menyulitkan jalannya rapat penting. Cukup untuk jadi ancaman tersembunyi. “Dia bisa sewaktu-waktu kembali, dan dengan cara yang tidak terduga,” ucap Alya pelan ketika mereka duduk berdampingan di ruang kerja Rafael malam itu, meninjau hasil rapat tahunan internal direksi.

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Keputusan yang Menentukan

    Alya melangkah ke kantor dengan perasaan campur aduk. Promosi yang diberikan Rafael membuatnya merasa terhargai, tetapi sekaligus semakin terperangkap dalam intrik dunia korporat yang keras. Ia tidak bisa menahan diri untuk bertanya, apakah ini jalan yang tepat untuknya, ataukah ia hanya menjadi pion dalam permainan besar yang tak pernah ia pilih? Pagi itu, Alya duduk di meja kerjanya, menatap tumpukan dokumen yang menunggu untuk diproses. Laporan tahunan, analisis pasar, dan proposal untuk klien yang akan datang. Semuanya menumpuk, dan di tengah kesibukan itu, ia menerima pesan dari Rafael. Rafael: “Alya, ada hal penting yang perlu kita bicarakan. Bisa ke ruanganku siang ini?” Alya menatap layar ponselnya, ragu sejenak. Ada kecemasan yang menggelayuti hatinya. Apa yang ingin dibicarakan Rafael? Apakah ini tentang Clara, atau lebih lanjut tentang peran baru yang kini ia emban di Kurniawan Corp? Siang itu, setelah makan siang, Alya menuju ruang Rafael. Pintu yang biasanya terbuka

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Langkah Balasan

    Hari-hari setelah pertemuannya dengan Clara terasa berbeda bagi Alya. Ia bukan lagi wanita yang hanya bertahan dalam senyap. Kali ini, ia akan menyusun strategi, bukan hanya untuk melindungi dirinya, tapi juga membalas semua yang selama ini diam-diam menjatuhkannya. Langkah pertama yang ia ambil adalah memperkuat dukungan dari dalam. Alya mulai mendekati beberapa kepala divisi yang selama ini bekerja sama dengannya—mereka yang diam-diam menghargai profesionalismenya. “Pak Arif, saya tahu audit mendadak ini bukan murni inisiatif perusahaan,” ujar Alya di ruang kopi bersama kepala divisi keuangan yang sudah senior itu. Arif hanya mengangguk pelan. “Kami tahu ini bukan soal data. Ini soal politik. Tapi saya akan bersaksi sesuai fakta, Nona Alya. Kamu orang yang bekerja paling bersih di ruangan ini.” Alya tersenyum kecil. Dukungan seperti ini adalah fondasi awal. Langkah berikutnya, ia menemui Lisa dan membicarakan sesuatu yang sudah ia rencanakan semalaman. “Aku butuh kamu bantu k

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Api di Balik Senyuman

    Langit Kuningan malam itu tidak lagi semendung sebelumnya, tapi hati Alya justru terasa lebih gelap. Tatapan Rafael, permintaan maafnya, bahkan pengakuan bahwa ia ingin menjadi lebih baik demi Alya semuanya begitu mengejutkan sekaligus membingungkan.Namun satu hal yang lebih mengganggunya adalah sosok Clara. Tatapan penuh kemarahan dari balik mobil yang tidak disadari Rafael, tapi begitu jelas terasa oleh Alya. Ia tahu, badai yang sesungguhnya baru akan dimulai.Keesokan paginya, suasana kantor tampak lebih tegang dari biasanya. Beberapa pegawai tampak membisikkan sesuatu, pandangan mereka sesekali mengarah pada Alya yang baru saja keluar dari lift.“Ada apa, ya?” tanya Alya pelan pada Lisa.Lisa menatap sekeliling sebelum mendekat dan berbisik, “Clara mengumpulkan bukti untuk menjatuhkanmu. Dia bilang kamu menyalahgunakan jabatan, dan... ada rumor tentang hubunganmu dengan Pak Rafael.”Alya menarik napas dalam. “Cepat juga dia bergerak.”Lisa menatapnya khawatir. “Kamu harus hati-ha

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status