Minggu-minggu berikutnya berlalu dalam kecepatan tinggi bagi Alya. Sejak Rafael menyerahkan proyek ekspansi Asia Tenggara kepadanya, hidup Alya berubah drastis. Jam kerja panjang, pertemuan bertubi-tubi, tekanan tiada henti, dan tuntutan kesempurnaan seolah menjadi udara yang ia hirup sehari-hari. Ada saat-saat ia merasa nyaris runtuh, tapi justru di tengah tekanan itu, semangat dalam dirinya tumbuh dan menguat, perlahan tapi pasti.
Dalam tempo singkat, Alya belajar banyak hal. Ia membiasakan diri mengambil keputusan dalam tekanan waktu, mengasah ketajaman analisa, dan memperhalus intuisi bisnisnya. Tiap rapat yang ia pimpin semakin membuat suaranya terdengar mantap. Tatapan penuh percaya diri mulai menggantikan keraguan yang dulu sering terlihat di matanya. Suatu sore, saat sinar matahari condong ke barat dan membalut langit Jakarta dengan warna keemasan, Rafael memanggil Alya ke ruangannya. "Bagaimana progresnya?" tanya Rafael, nada suaranya datar, tapi sorot matanya tajam. Alya menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Saya sudah memetakan potensi pasar di tiga negara target utama: Malaysia, Singapura, dan Thailand. Data demografis, tren konsumen, serta analisa kompetitor sudah saya rinci, Pak." Rafael mengangguk kecil, lalu bersandar di kursinya. "Presentasikan." Dengan sigap, Alya menghubungkan laptopnya ke layar besar di ruang rapat. Slide demi slide dipaparkan dengan runtut: kebutuhan pasar, peluang ekspansi, strategi pemasaran berbasis karakter lokal, hingga potensi risiko dan cara mitigasinya. Rafael memperhatikan tanpa menginterupsi, hanya sesekali mengernyitkan dahi atau menyipitkan mata saat data tertentu menarik perhatiannya. Alya tetap berbicara, mencoba mempertahankan ritme dan ketenangannya, meski jantungnya berdebar keras. Empat puluh menit kemudian, presentasi berakhir. Ruangan itu hening. Alya berdiri di depan, menunggu keputusan seolah berdiri di hadapan palu hakim. Perlahan, Rafael berdiri dan mendekati layar. Ia mengamati grafik terakhir, lalu membalikkan badan. "Lebih baik dari yang kukira," katanya. Alya menghela napas lega, meski tak berani menunjukkannya terlalu jelas. "Namun," lanjut Rafael, menatapnya tajam, "konsep tanpa eksekusi hanyalah ilusi." "Saya siap membuktikannya, Pak," kata Alya, suaranya mantap. Senyum kecil, hampir tak terlihat, mengambang di sudut bibir Rafael. "Minggu depan, ikut ke Singapura. Kita ketemu dengan calon mitra. Bersiaplah." Alya mengangguk penuh semangat. Baginya, ini bukan hanya tantangan, tapi sebuah pembuktian diri. --- Malam itu, di apartemennya yang mungil, Alya berdiri di balkon, membiarkan angin malam menyapu wajahnya. Lampu-lampu kota berkilauan seperti lautan bintang, memantulkan gemerlap harapan di hatinya. Dengan secangkir teh di tangan, Alya mengenang perjalanan sejauh ini. Ia teringat masa-masa awalnya di kantor direndahkan, diremehkan, dianggap sebelah mata. Kini, ia berdiri di ambang perubahan besar dalam kariernya. "Aku bisa," bisiknya. "Aku akan sampai ke puncak, tidak peduli seberapa sulit jalannya." Tekad itu menghangatkan hatinya lebih dari teh yang ada di genggamannya. --- Sementara itu, di penthouse Rafael yang megah, pria itu masih duduk di ruang kerjanya. Berkas-berkas menumpuk di meja, namun pikirannya tak lagi sepenuhnya tertuju pada bisnis. Ia menatap lampu kota dari balik jendela kaca lebar. Sosok Alya kembali berkelebat dalam benaknya. Semangat gadis itu, keberaniannya menghadapi tekanan, kemampuannya bertahan di tengah badai kritik semua itu mengusik sisi manusiawinya. "Kamu berbeda," gumam Rafael tanpa sadar. Ia sadar, perasaannya perlahan bergeser. Tidak sekadar mengagumi profesionalisme Alya, tapi sesuatu yang lebih dalam, lebih pribadi. Ia berusaha mengabaikannya, berpegang pada prinsip keras yang selalu ia jalani: jangan campur adukkan bisnis dan perasaan. Namun hati, seperti biasa, punya kehendaknya sendiri. Rafael menunduk, memijit pelipisnya. Ia tahu hubungan profesional mereka kini berada di ujung tipis sebuah benang. Satu langkah keliru, dan semua yang ia bangun bertahun-tahun bisa runtuh. "Aku harus menjaga jarak," katanya lirih. Tapi bahkan saat mengucapkan itu, ia tahu, menjaga jarak dari Alya akan jauh lebih sulit daripada menutup kesepakatan bisnis bernilai miliaran. Malam itu, tanpa suara, dua hati yang berbeda latar belakang mulai mendekat, seperti dua kutub magnet yang bertolak belakang namun tak kuasa menolak tarikan alami di antara mereka. Dan di tengah ambisi dan tekanan, benih-benih yang tertanam di hati Rafael dan Alya mulai tumbuh, perlahan, namun tak terelakkan. --- Hari-hari berikutnya, Rafael semakin sering melibatkan Alya dalam pertemuan-pertemuan penting. Ia mulai mengajaknya dalam diskusi strategi, bahkan terkadang meminta pendapat pribadinya tentang keputusan besar. Bagi Alya, perhatian itu membawa rasa campur aduk. Ia merasa dihargai, namun di sisi lain, ada tekanan baru yang tak bisa diabaikan: sorot mata rekan-rekan kerjanya. Bisik-bisik iri mulai terdengar, seakan menganggap keberhasilannya semata karena kedekatannya dengan Rafael. Alya memilih untuk tetap fokus. Ia tahu, satu-satunya jawaban terhadap keraguan adalah prestasi. Namun di hatinya, Alya tidak bisa membohongi diri sendiri. Ada sesuatu tentang Rafael dinginnya, ketegasannya, sekaligus sekilas perhatian kecil yang kadang muncul tanpa sengaja yang mulai menggetarkan pertahanannya. Setiap kali Rafael memuji kerjanya, bahkan dalam kata-kata singkat dan kaku, jantung Alya berdetak lebih cepat. Setiap tatapan intens pria itu, setiap momen ketika tangan mereka bersentuhan tanpa sengaja, menyalakan percikan kecil yang sulit dipadamkan. Dan entah sejak kapan, Alya mulai menantikan saat-saat itu. ---Pagi itu, langit Kuningan tampak mendung, seolah mencerminkan hati Alya yang sedang bergejolak. Ia berdiri di depan cermin apartemennya, menatap pantulan wajahnya sendiri. Matanya sedikit sembab karena malam tanpa tidur, dan pikirannya masih penuh oleh kata-kata Clara yang menohok.“Pastikan dia cukup kuat untuk berdiri di sisimu.”Alya menarik napas dalam, membenahi rambutnya lalu mengambil tas kerja. Hari ini, ia harus menunjukkan bahwa dirinya lebih dari cukup kuat. Bukan hanya untuk Rafael, tetapi untuk dirinya sendiri.Di perjalanan menuju kantor, radio mobil memutar lagu lawas yang mengiris hati. Alya mematikan volume, mencoba mengusir segala pikiran yang berisik di kepalanya. Namun, keraguan tetap menyusup seperti udara dingin yang menyelinap melalui celah kecil jendela.Saat sampai di kantor, Alya disambut oleh Lisa yang langsung memberikan tumpukan dokumen.“Ini laporan kinerja bulanan yang diminta Pak Rafael. Dia juga ingin kamu ikut dalam pitching dengan klien baru siang in
Pagi itu, kantor Rafael kembali riuh. Tapi ada aroma berbeda yang menyusup di antara kopi panas dan tumpukan laporan pagi aroma konflik yang belum kentara, namun siap meledak kapan saja.Alya berjalan memasuki gedung dengan langkah sedikit ragu. Ia tahu, setelah percakapan malam itu, semua hal kecil yang dulu terasa netral kini jadi terasa berarti. Seperti senyuman resepsionis yang lebih lama, tatapan dari staf lain yang mengintip, atau bahkan sapaan ramah dari bagian keuangan yang biasanya kaku. Langkah-langkahnya menyusuri koridor tampak ragu, namun sorot matanya mantap. Dalam benaknya, kata-kata Rafael semalam masih terngiang. "Kamu bukan cuma pegawai, Alya. Kamu lebih dari itu." Tapi benarkah? Di dunia Rafael, semua orang punya niat tersembunyi.“Pagi, Mbak Alya,” ujar Lisa, sekretaris pribadi Rafael, dengan senyum penuh arti. “Pak Rafael sudah menunggu di ruang meeting.”Alya mengangguk, mencoba tetap tenang meski hatinya melompat. Saat ia memasuki ruang meeting, Rafael sedang be
Suasana kantor kembali sibuk sejak kepulangan Rafael dan Alya dari Singapura. Di meja-meja kerja, tumpukan dokumen dan bunyi ketikan laptop berpadu dengan suara telepon yang tak henti-henti berdering. Namun bagi Alya, semuanya terasa seperti gema jauh dari pusat pikirannya. Ia duduk di ruangannya, menatap layar kosong selama hampir lima menit tanpa menyentuh keyboard.Ada sesuatu yang berubah sejak perjalanan itu. Bukan hanya dalam cara Rafael memandangnya, tapi juga dalam hatinya sendiri. Perasaan yang selama ini ia tekan perlahan merangkak naik ke permukaan. Alya merasa takut. Bukan karena Rafael bersikap buruk justru sebaliknya. Ia takut karena Rafael mulai memperlakukannya dengan kelembutan yang membuatnya lupa bahwa ia sedang berada di dunia bisnis yang keras dan kejam.Pintu ruangannya diketuk. Alya segera tersadar dari lamunannya."Masuk," katanya cepat, mencoba terdengar tenang.Rafael muncul di ambang pintu, mengenakan kemeja putih lengan panjang yang tergulung hingga siku. W
Matahari pagi di Bandara Soekarno-Hatta bersinar malu-malu di balik tirai awan. Suasana di ruang tunggu penuh hiruk-pikuk suara koper bergeser, panggilan boarding, dan langkah-langkah tergesa. Di tengah keramaian itu, Alya berdiri rapi, mengenakan blouse putih sederhana dipadu dengan blazer abu-abu, serta celana bahan hitam yang mempertegas aura profesionalnya. Walau begitu, tangan Alya tetap berkeringat dingin.Ini adalah perjalanan bisnis pertamanya ke luar negeri. Bersama Rafael.Dan hanya berdua.“Kalem, Alya. Ini cuma kerja,” gumamnya, mencoba menenangkan diri.Namun begitu Rafael muncul dari kejauhan, dengan setelan biru navy yang membalut tubuh tingginya sempurna, semua mantra ketenangan Alya runtuh. Pria itu seolah membawa hawa dingin sekaligus pesona yang sulit diabaikan."Siap?" tanya Rafael singkat tanpa senyum.Alya mengangguk cepat. "Siap, Pak."Tanpa banyak bicara, mereka berdua berjalan menuju boarding gate. Sepanjang perjalanan, suasana canggung menggantung di antara m
Minggu-minggu berikutnya berlalu dalam kecepatan tinggi bagi Alya. Sejak Rafael menyerahkan proyek ekspansi Asia Tenggara kepadanya, hidup Alya berubah drastis. Jam kerja panjang, pertemuan bertubi-tubi, tekanan tiada henti, dan tuntutan kesempurnaan seolah menjadi udara yang ia hirup sehari-hari. Ada saat-saat ia merasa nyaris runtuh, tapi justru di tengah tekanan itu, semangat dalam dirinya tumbuh dan menguat, perlahan tapi pasti. Dalam tempo singkat, Alya belajar banyak hal. Ia membiasakan diri mengambil keputusan dalam tekanan waktu, mengasah ketajaman analisa, dan memperhalus intuisi bisnisnya. Tiap rapat yang ia pimpin semakin membuat suaranya terdengar mantap. Tatapan penuh percaya diri mulai menggantikan keraguan yang dulu sering terlihat di matanya. Suatu sore, saat sinar matahari condong ke barat dan membalut langit Jakarta dengan warna keemasan, Rafael memanggil Alya ke ruangannya. "Bagaimana progresnya?" tanya Rafael, nada suaranya datar, tapi sorot matanya tajam. Aly
Pagi di Jakarta berhembus lembut, membawa aroma hujan semalam yang belum sepenuhnya kering. Namun, di lantai 25 Kurniawan Corp, suasana justru makin memanas. Alya, dengan map proyek di tangan, melangkah cepat menuju ruang rapat. Sorot mata kolega-koleganya mengikuti setiap gerakannya, beberapa penuh rasa ingin tahu, yang lain... dengki.Proyek barunya adalah pengembangan divisi inovasi digital, sebuah program ambisius yang Rafael canangkan untuk membawa perusahaan mereka masuk lebih dalam ke dunia teknologi modern. Tapi di balik proyek besar ini, banyak tangan-tangan yang ingin melihat Alya gagal.Fani, tentu saja, berada di garis depan. Bersama dua orang senior lainnya, ia mulai menyusun rencana licik. Mereka tak suka melihat Alya mendapatkan kepercayaan besar dari Rafael, apalagi mengingat betapa singkatnya waktu Alya bergabung."Kita buat dia terpeleset sendiri," bisik Fani kepada Tyo, salah satu senior tim pengembangan."Gimana caranya?" Tyo menyipitkan mata."Kita manipulasi data
Pagi itu, Alya kembali terjaga lebih awal. Namun kali ini, tubuhnya terasa lebih lelah dari sebelumnya. Satu minggu penuh di tim Inovasi Bisnis bukanlah perjalanan yang mudah. Meskipun mendapat sedikit pujian dari Pak Dimas dan rekan-rekannya, ia masih merasa bahwa ia harus lebih keras berusaha jika ingin memenangkan hati Rafael. Hari itu, ia tahu, akan ada rapat besar. Semua divisi akan hadir, dan Rafael akan memimpin langsung. Alya bisa merasakan ketegangan yang menggantung di udara. Ada sesuatu yang besar yang sedang menunggu. --- Di sisi lain, Rafael Kurniawan sudah berada di ruang kerjanya sejak pagi buta. Dihadapkan dengan tumpukan laporan yang harus diselesaikan, ia tampak seperti biasa: dingin, terfokus, dan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Hanya kopi hitam yang setia menemani sepanjang hari. Ia menatap layar laptopnya, membaca salah satu laporan Alya. Ada yang berbeda dari laporan itu. Tidak hanya soal data yang rapi, tetapi cara berpikir Alya yang leb
Malam itu, langit Jakarta seakan ikut bersekongkol, menumpahkan hujan deras yang tak kunjung reda. Tapi Alya Putri tetap duduk tegak di depan meja kecil di apartemennya, dikelilingi tumpukan kertas, laptop menyala, dan secangkir kopi ketiga yang mulai kehilangan kehangatan. Ia baru saja menyelesaikan membaca keseluruhan proyek yang Rafael Kurniawan lemparkan begitu saja padanya siang tadi. Dan satu kesimpulan melintas di kepalanya: "Ini bukan proyek biasa. Ini kayak tes bertahan hidup." Proyek itu meminta Alya merancang konsep baru untuk lini bisnis Kurniawan Corp dalam waktu dua hari saja. Bukan hanya ide kreatif, tapi juga strategi pemasaran, analisis kompetitor, dan simulasi keuangan sederhana. Bagi seseorang yang baru saja melamar kerja, ini nyaris mustahil. "Oke," gumam Alya, mengetik cepat. "Kamu mau main kasar, Pak CEO? Fine." Ia membagi kertas kosong menjadi tiga kolom besar: Ide, Strategi, Simulasi. Tangannya bergerak cepat, menulis brainstorming tanpa peduli coretan-core
Hari itu langit Jakarta seolah ikut memperburuk suasana hati Alya Putri. Awan kelabu menggantung berat, udara terasa gerah, dan kemacetan membuatnya hampir gila. Dengan tergesa, ia berlari-lari kecil memasuki lobi gedung pencakar langit yang menjulang megah di tengah kota. Logo 'Kurniawan Corp' berkilau di atas pintu utama, seolah mengingatkannya: di tempat inilah nasibmu akan berubah."Selamat pagi, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" sapa resepsionis dengan senyum profesional."Alya Putri. Saya... saya dijadwalkan interview dengan Pak Rafael Kurniawan," jawabnya, sedikit terengah karena berlari.Senyum resepsionis itu sedikit meredup, seperti refleks alami. Seolah nama itu saja sudah cukup membuat siapa pun gugup. Dengan cepat, wanita itu mengangguk dan memberi isyarat agar Alya mengikuti seorang staf ke lantai atas.Sepanjang perjalanan di lift, Alya merapikan rambutnya, menarik napas dalam-dalam, dan berusaha mengusir rasa gugup yang tiba-tiba melanda. Ia sudah mendengar banyak cerit