Matahari pagi di Bandara Soekarno-Hatta bersinar malu-malu di balik tirai awan. Suasana di ruang tunggu penuh hiruk-pikuk suara koper bergeser, panggilan boarding, dan langkah-langkah tergesa. Di tengah keramaian itu, Alya berdiri rapi, mengenakan blouse putih sederhana dipadu dengan blazer abu-abu, serta celana bahan hitam yang mempertegas aura profesionalnya. Walau begitu, tangan Alya tetap berkeringat dingin.
Ini adalah perjalanan bisnis pertamanya ke luar negeri. Bersama Rafael. Dan hanya berdua. “Kalem, Alya. Ini cuma kerja,” gumamnya, mencoba menenangkan diri. Namun begitu Rafael muncul dari kejauhan, dengan setelan biru navy yang membalut tubuh tingginya sempurna, semua mantra ketenangan Alya runtuh. Pria itu seolah membawa hawa dingin sekaligus pesona yang sulit diabaikan. "Siap?" tanya Rafael singkat tanpa senyum. Alya mengangguk cepat. "Siap, Pak." Tanpa banyak bicara, mereka berdua berjalan menuju boarding gate. Sepanjang perjalanan, suasana canggung menggantung di antara mereka. Alya mencuri-curi pandang ke arah Rafael yang terlihat fokus menatap ponselnya. Diam-diam ia bertanya-tanya, bagaimana seseorang bisa tampak begitu sempurna bahkan dalam keheningan? Di dalam pesawat, Alya duduk di sebelah jendela, sementara Rafael mengambil kursi lorong. Alya berusaha memusatkan perhatian ke buku strategi bisnis di pangkuannya, namun sesekali matanya melirik Rafael yang tengah membaca dokumen dengan serius. Turbulensi kecil membuat pesawat sedikit bergetar. Alya refleks mencengkeram sandaran kursi. "Takut?" Rafael bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari dokumennya. "Sedikit," jawab Alya malu-malu. Rafael hanya mengangguk ringan. Anehnya, tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia memindahkan lengannya, membuat semacam penghalang antara tubuh Alya dan lorong pesawat seolah-olah ingin melindunginya dari guncangan. Gesti kecil itu, tanpa kata-kata, membuat jantung Alya berdetak tidak karuan. Setiba di Bandara Changi, mereka langsung menuju hotel tempat pertemuan akan diadakan. Hotel itu megah, berkelas lima bintang, dengan lobi beraroma bunga segar dan lantai marmer mengilap. “Kita check in dulu, setelah itu persiapan meeting jam tiga,” kata Rafael, tegas. Saat resepsionis memberikan kartu kamar, Alya sempat terkejut. Dua kartu. "Kamar terpisah, tentu saja," kata Rafael datar, membaca ekspresi heran Alya. Alya cepat-cepat mengangguk, malu sendiri karena sempat berpikir yang tidak-tidak. Begitu masuk kamarnya, Alya menjatuhkan tubuh di ranjang empuk. Ia menghela napas panjang. Di balik rasa gugup, ada rasa bangga. Ini momen penting dalam hidupnya. Tapi waktu bersantai tidak lama. Segera, ia harus bersiap untuk meeting. Ruang pertemuan di lantai 15 itu dipenuhi pebisnis bersetelan rapi. Rafael membuka pembicaraan dengan percaya diri, sementara Alya mendampingi dengan slide presentasi yang ia buat sendiri. Alya berbicara dalam bahasa Inggris lancar, menjelaskan strategi ekspansi dengan runtut. Beberapa kali, Alya menangkap sorot mata Rafael yang... entah kenapa, terasa berbeda. Ada sedikit rasa bangga di sana. Sebuah pengakuan diam-diam. Meeting berjalan sukses. Para mitra memberikan persetujuan prinsip untuk ekspansi. Begitu semua selesai, Alya nyaris melompat kegirangan, tapi ia menahan diri. Rafael mendekat dan, untuk pertama kalinya, menepuk ringan bahunya. "Kerja bagus," katanya singkat, tapi tulus. Dan itu terasa seperti penghargaan terbesar yang pernah Alya terima. Malam itu, Rafael mengajak makan malam santai sebagai ucapan selamat. Mereka duduk di sebuah restoran rooftop dengan pemandangan gemerlap kota Singapura. Untuk pertama kalinya, Rafael melepaskan dasi dan menggulung lengan kemejanya. Ia tampak jauh lebih santai, lebih manusiawi. "Alya," katanya tiba-tiba, memanggil nama tanpa embel-embel "Bu" atau "Saudari". Alya terkejut, tapi mencoba tetap tenang. "Ya, Pak?" "Rafael," koreksinya, suaranya lembut. Alya terdiam sejenak, mencoba mencerna perubahan kecil itu. Ia mengangguk pelan. "Baik, Rafael." Ada keheningan singkat. Lalu Rafael bertanya, "Kenapa kamu ngotot bekerja sekeras ini?" Alya mengaduk minumannya, berpikir sejenak sebelum menjawab. "Karena saya tidak mau hidup saya bergantung pada orang lain. Saya ingin membuktikan kalau saya bisa berdiri sendiri," jawabnya jujur. Rafael mengangguk, menatap Alya dengan sorot mata yang... lembut. "Aku juga dulu berpikir begitu," gumamnya, nyaris tak terdengar. Alya mengangkat kepala, penasaran, tapi Rafael cepat-cepat mengalihkan topik. Malam itu, entah kenapa, batasan-batasan formal di antara mereka mulai mengendur. Mereka berbicara lebih santai. Tentang makanan favorit, tentang kota impian, tentang ketakutan terbesar. Alya menemukan sisi Rafael yang selama ini tersembunyi di balik dinginnya sikap: seorang pria yang pernah merasa kesepian, dikhianati, dan kehilangan kepercayaan pada dunia. Dan Rafael melihat sisi Alya yang lebih dari sekadar kerja keras: ketulusan, keberanian, dan luka yang ia sembunyikan dengan senyuman. Mereka tertawa, mereka saling mengejek ringan, mereka menikmati kebersamaan yang tak pernah mereka duga akan mereka miliki. Larut malam, saat mereka kembali ke hotel, Rafael berhenti di depan pintu kamar Alya. Ada sesuatu di udara. Sebuah ketegangan halus, tapi nyata. "Alya," katanya pelan. Alya menoleh, jantungnya berdebar. "Terima kasih," kata Rafael, menatapnya lurus. "Bukan cuma untuk kerja kerasmu. Tapi... untuk mengingatkan aku kalau dunia ini masih punya orang-orang yang tulus." Alya tertegun. Kata-kata itu, keluar dari mulut Rafael, terasa berat, jujur, dan... personal. Sebelum Alya sempat membalas, Rafael melangkah mundur dan pergi ke kamarnya sendiri. Meninggalkan Alya berdiri di sana, dengan hati yang berdegup kencang, dan perasaan asing yang mulai tumbuh perlahan. Benci? Mungkin dulu iya. Tapi malam ini, sesuatu berubah. Dan perubahan itu, tak bisa lagi disangkal. Setelah pintu kamar Rafael tertutup, Alya masih berdiri terpaku. Tangannya yang memegang kartu kamar bergetar sedikit. Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya yang bergejolak. "Bodoh," gumamnya, menampar pipinya sendiri pelan. "Ini semua urusan kerja, Alya. Jangan terbawa perasaan." Namun sekeras apapun ia mencoba menyangkal, kenyataannya malam ini meninggalkan bekas yang tak mudah dihapus. Ada sesuatu dalam cara Rafael menatapnya bukan lagi sekadar atasan kepada bawahan. Lebih dalam. Lebih pribadi. Alya masuk ke kamarnya dan melemparkan diri ke atas ranjang. Ia menatap langit-langit kosong, membiarkan pikirannya mengembara. Bayangan senyum tipis Rafael, suaranya yang mendadak hangat, semua berputar di kepala. "Mungkin dia cuma menghargai kerja kerasmu," kata suara rasional dalam dirinya. Tapi sisi lain dalam hatinya sisi yang mulai rapuh membisikkan harapan-harapan kecil yang bahkan belum berani ia akui. Keesokan paginya, Alya bangun lebih pagi dari biasanya. Ia berdiri di depan cermin, menatap refleksi dirinya. "Alya yang pintar, Alya yang kuat," katanya pada dirinya sendiri. "Bukan Alya yang baper." Ia merapikan rambut, memakai blazer abu-abu muda, dan memasang senyum profesional. Hari ini, ada rapat lanjutan dengan pihak mitra dari Singapura. Tak boleh ada celah untuk perasaan pribadi. Saat turun ke restoran hotel untuk sarapan, Alya melihat Rafael sudah duduk di sudut ruangan, sibuk dengan laptopnya. Ia ragu sejenak, lalu memberanikan diri menghampiri. "Pagi," sapa Alya, suara setenang mungkin. Rafael mengangkat kepalanya. Untuk sesaat, mata mereka bertemu dan ada sesuatu di sana. Sebuah percikan kecil yang tak bisa sepenuhnya mereka sembunyikan. "Pagi," balas Rafael. Mereka sarapan dalam suasana setengah canggung. Sesekali ada percakapan ringan, tapi sebagian besar waktu dihabiskan dalam diam yang nyaman. Alya heran, bagaimana bisa keheningan di antara mereka terasa begitu... akrab? Meeting berjalan lancar. Rafael tampil sebagai negosiator ulung, dan Alya mendukungnya dengan presentasi data yang akurat. Ketika semua pihak menandatangani kesepakatan prinsip, Rafael melirik Alya sejenak tatapan itu berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Selesai acara resmi, Rafael mengajak Alya berjalan kaki menyusuri Marina Bay Sands. Langit mulai berwarna jingga, memantulkan cahaya emas di permukaan air. "Biasanya aku benci acara-acara formal seperti ini," kata Rafael tiba-tiba. Alya tertawa kecil. "Kalau saya, malah baru pertama kali ikut." Rafael menoleh, memperhatikan ekspresi polos Alya. "Kamu cepat belajar," katanya. "Banyak orang butuh bertahun-tahun untuk bisa berada di posisimu." Alya merasa pipinya memanas. Ia menunduk, membuang pandangan ke sepatu hak rendahnya. "Mungkin karena saya terbiasa tidak punya banyak pilihan," gumamnya. Rafael mengangkat alis. "Maksudmu?" Alya ragu. Bagian dari dirinya ingin tetap menjaga jarak profesional, tapi ada sisi lain sisi yang lebih jujur yang ingin membuka diri. "Saya dibesarkan oleh ibu tunggal," kata Alya akhirnya. "Kami pernah tinggal di rumah kontrakan kecil, makan seadanya. Saya belajar sejak kecil, kalau saya mau hidup lebih baik, saya harus bekerja keras." Rafael mendengarkan tanpa menyela. Untuk pertama kalinya, Alya merasa benar-benar didengarkan, bukan dihakimi. "Ayahku meninggalkan kami saat aku masih balita," lanjut Alya. "Jadi, saya tidak punya banyak ruang untuk bermimpi naif. Hidup nyata butuh perjuangan." Angin malam bertiup pelan, membawa aroma asin laut. Rafael menatap Alya lama, seolah mencoba membaca setiap luka yang tersembunyi di balik senyumannya. "Alya," katanya pelan. "Kamu jauh lebih kuat daripada banyak orang yang aku kenal." Alya tersenyum tipis. "Saya hanya bertahan, Rafael. Bukan kuat." "Tidak," Rafael membantah. "Ada perbedaan besar antara sekadar bertahan dan memilih untuk terus maju." Kata-kata itu sederhana tapi tulus membuat dada Alya terasa sesak. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa tidak sendirian dalam perjuangan ini. Mereka berjalan beriringan, membiarkan keheningan berbicara. Di antara kerlip lampu kota, dua hati yang terluka perlahan menemukan kenyamanan satu sama lain. Di dalam kamarnya malam itu, Alya memandang ke luar jendela, ke arah cahaya kota yang gemerlap. "Apa aku mulai jatuh cinta?" bisiknya kepada dirinya sendiri. Pertanyaan itu menakutkan sekaligus membebaskan. Sementara itu, di kamar seberang, Rafael duduk di kursi, memandangi secangkir kopi yang mulai dingin di tangannya. Ia tahu dirinya mulai melanggar prinsip-prinsip yang selama ini ia pegang erat. Jangan pernah terlibat perasaan dengan rekan kerja. Jangan pernah membiarkan kelemahan masuk ke dalam dunia bisnis yang keras. Tapi apa yang ia rasakan pada Alya... bukan sesuatu yang bisa ia abaikan begitu saja. Ada ketulusan dalam diri gadis itu. Sebuah cahaya yang tak bisa ia temukan di dunia yang penuh manipulasi dan ambisi ini. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Rafael bertanya pada dirinya sendiri: "Apakah aku berani membiarkan seseorang masuk lagi?" Pertanyaan itu tetap menggantung di udara, tidak terjawab. Tapi jauh di dalam hatinya, Rafael tahu, jawabannya sudah mulai terbentuk. Keesokan harinya, mereka kembali ke Jakarta. Hubungan di antara mereka tetap profesional di mata dunia luar. Tapi di balik rapat-rapat serius dan laporan-laporan bisnis, ada dinamika baru yang mulai tumbuh. Sebuah tarikan halus, magnetik, yang tak lagi bisa mereka abaikan. Senyum kecil di sudut bibir Alya saat mata mereka bertemu. Pandangan Rafael yang menjadi sedikit terlalu lama setiap kali Alya berbicara. Sebuah kedekatan yang tak lagi bisa disangkal. Namun, keduanya tahu semakin dekat mereka melangkah satu sama lain, semakin besar risiko yang mengintai. Dunia Rafael penuh intrik dan pengkhianatan. Dunia Alya masih terlalu rapuh untuk terluka lagi. Dan di balik semua itu, musuh-musuh lama Rafael mulai mengendus sesuatu yang bisa mereka gunakan untuk menghancurkannya. Cinta mereka, yang baru saja mulai tumbuh, sudah berada dalam bahaya bahkan sebelum sempat mekar. Bersambung!!!!!Alya menatap Rafael, yang kini membeku menatap layar ponselnya. Wajahnya mengeras, tapi di balik itu, matanya menunjukkan sesuatu yang belum pernah Alya lihat sebelumnya—takut.“Apa itu... ancaman?” tanya Alya pelan, seolah tak ingin percaya apa yang baru mereka lihat.Rafael mengangguk, lalu meletakkan ponsel di meja. “Nomor tak dikenal. Tapi mereka tahu gerak kita.”Alya menggigit bibir. “Berarti ini bukan cuma soal bisnis. Ini sudah personal.”Suasana di apartemen seketika berubah mencekam. Udara malam yang sejuk terasa menyesakkan. Alya berdiri, berjalan mondar-mandir. Ia mencoba berpikir jernih.“Kita harus amankan data-data penting. Semua dokumen buyback, pergerakan saham, bahkan email internal. Kalau mereka bisa mengakses informasi kita, mereka bisa sabotase dari dalam.”Rafael menyalakan laptopnya. “Aku akan hubungi tim IT. Kita harus audit semua server malam ini.”Sementara Rafael mengurus pengamanan digital, Alya menghubungi Dira. “Dira, aku butuh bantuannya lagi. Cek siapa
Tiga hari setelah keputusan dewan direksi yang mengeluarkan Clara dari jajaran eksekutif, Rafael memutuskan menggelar konferensi pers resmi. Bukan hanya untuk menjaga reputasi Kurniawan Corp, tapi juga demi menenangkan investor yang mulai gelisah.Konferensi digelar di ballroom hotel mewah di pusat Kuningan. Ruangan dipenuhi para wartawan, kamera siaran langsung, dan deretan pemegang saham yang ingin mendengar langsung dari sang CEO.Rafael berdiri di podium, jasnya rapi, wajahnya tenang meski sorotan kamera terasa menekan."Dengan berat hati, kami umumkan bahwa Clara Wibisono tidak lagi menjabat sebagai Direktur Operasional di Kurniawan Corp. Keputusan ini diambil setelah melalui pertimbangan matang oleh dewan direksi dan tim etika perusahaan."Suara kilatan kamera memenuhi ruangan."Namun kami menghormati hak beliau sebagai pemegang saham, dan sampai saat ini, beliau masih memegang 18% saham perusahaan. Kami berkomitmen menjaga integritas, profesionalisme, dan stabilitas perusahaan
Hari-hari setelah dikeluarkannya Clara dari posisi eksekutif Kurniawan Corp terasa seperti badai yang mereda—tenang di permukaan, tapi menyisakan jejak ketegangan. Alya Putri tahu betul, ini belum benar-benar selesai. Rafael duduk di ruangannya yang kini lebih lengang sejak kepergian Clara. Di hadapannya, tumpukan laporan akuisisi dan pemindahan otoritas masih belum semua ditandatangani. Meski Clara telah dicopot dari jabatan strategisnya, satu hal masih menjadi duri dalam daging: Saham. Clara masih memiliki 15% saham di Kurniawan Corp—warisan dari ayah Rafael yang dulu memercayainya lebih dari sekadar rekan bisnis. Dan selama saham itu belum berpindah tangan, Clara tetap memiliki suara. Meski kecil, cukup untuk menyulitkan jalannya rapat penting. Cukup untuk jadi ancaman tersembunyi. “Dia bisa sewaktu-waktu kembali, dan dengan cara yang tidak terduga,” ucap Alya pelan ketika mereka duduk berdampingan di ruang kerja Rafael malam itu, meninjau hasil rapat tahunan internal direksi.
Alya melangkah ke kantor dengan perasaan campur aduk. Promosi yang diberikan Rafael membuatnya merasa terhargai, tetapi sekaligus semakin terperangkap dalam intrik dunia korporat yang keras. Ia tidak bisa menahan diri untuk bertanya, apakah ini jalan yang tepat untuknya, ataukah ia hanya menjadi pion dalam permainan besar yang tak pernah ia pilih? Pagi itu, Alya duduk di meja kerjanya, menatap tumpukan dokumen yang menunggu untuk diproses. Laporan tahunan, analisis pasar, dan proposal untuk klien yang akan datang. Semuanya menumpuk, dan di tengah kesibukan itu, ia menerima pesan dari Rafael. Rafael: “Alya, ada hal penting yang perlu kita bicarakan. Bisa ke ruanganku siang ini?” Alya menatap layar ponselnya, ragu sejenak. Ada kecemasan yang menggelayuti hatinya. Apa yang ingin dibicarakan Rafael? Apakah ini tentang Clara, atau lebih lanjut tentang peran baru yang kini ia emban di Kurniawan Corp? Siang itu, setelah makan siang, Alya menuju ruang Rafael. Pintu yang biasanya terbuka
Hari-hari setelah pertemuannya dengan Clara terasa berbeda bagi Alya. Ia bukan lagi wanita yang hanya bertahan dalam senyap. Kali ini, ia akan menyusun strategi, bukan hanya untuk melindungi dirinya, tapi juga membalas semua yang selama ini diam-diam menjatuhkannya. Langkah pertama yang ia ambil adalah memperkuat dukungan dari dalam. Alya mulai mendekati beberapa kepala divisi yang selama ini bekerja sama dengannya—mereka yang diam-diam menghargai profesionalismenya. “Pak Arif, saya tahu audit mendadak ini bukan murni inisiatif perusahaan,” ujar Alya di ruang kopi bersama kepala divisi keuangan yang sudah senior itu. Arif hanya mengangguk pelan. “Kami tahu ini bukan soal data. Ini soal politik. Tapi saya akan bersaksi sesuai fakta, Nona Alya. Kamu orang yang bekerja paling bersih di ruangan ini.” Alya tersenyum kecil. Dukungan seperti ini adalah fondasi awal. Langkah berikutnya, ia menemui Lisa dan membicarakan sesuatu yang sudah ia rencanakan semalaman. “Aku butuh kamu bantu k
Langit Kuningan malam itu tidak lagi semendung sebelumnya, tapi hati Alya justru terasa lebih gelap. Tatapan Rafael, permintaan maafnya, bahkan pengakuan bahwa ia ingin menjadi lebih baik demi Alya semuanya begitu mengejutkan sekaligus membingungkan.Namun satu hal yang lebih mengganggunya adalah sosok Clara. Tatapan penuh kemarahan dari balik mobil yang tidak disadari Rafael, tapi begitu jelas terasa oleh Alya. Ia tahu, badai yang sesungguhnya baru akan dimulai.Keesokan paginya, suasana kantor tampak lebih tegang dari biasanya. Beberapa pegawai tampak membisikkan sesuatu, pandangan mereka sesekali mengarah pada Alya yang baru saja keluar dari lift.“Ada apa, ya?” tanya Alya pelan pada Lisa.Lisa menatap sekeliling sebelum mendekat dan berbisik, “Clara mengumpulkan bukti untuk menjatuhkanmu. Dia bilang kamu menyalahgunakan jabatan, dan... ada rumor tentang hubunganmu dengan Pak Rafael.”Alya menarik napas dalam. “Cepat juga dia bergerak.”Lisa menatapnya khawatir. “Kamu harus hati-ha