Home / Romansa / Benci CEO Cinta Tanpa Rencana / Luka yang Belum Sembuh

Share

Luka yang Belum Sembuh

Author: AwenX
last update Last Updated: 2025-05-07 14:32:54

Suasana kantor kembali sibuk sejak kepulangan Rafael dan Alya dari Singapura. Di meja-meja kerja, tumpukan dokumen dan bunyi ketikan laptop berpadu dengan suara telepon yang tak henti-henti berdering. Namun bagi Alya, semuanya terasa seperti gema jauh dari pusat pikirannya. Ia duduk di ruangannya, menatap layar kosong selama hampir lima menit tanpa menyentuh keyboard.

Ada sesuatu yang berubah sejak perjalanan itu. Bukan hanya dalam cara Rafael memandangnya, tapi juga dalam hatinya sendiri. Perasaan yang selama ini ia tekan perlahan merangkak naik ke permukaan. Alya merasa takut. Bukan karena Rafael bersikap buruk justru sebaliknya. Ia takut karena Rafael mulai memperlakukannya dengan kelembutan yang membuatnya lupa bahwa ia sedang berada di dunia bisnis yang keras dan kejam.

Pintu ruangannya diketuk. Alya segera tersadar dari lamunannya.

"Masuk," katanya cepat, mencoba terdengar tenang.

Rafael muncul di ambang pintu, mengenakan kemeja putih lengan panjang yang tergulung hingga siku. Wajahnya terlihat lelah, tapi sorot matanya tajam seperti biasa. Tapi hari ini, ada yang berbeda dalam cara ia memandang Alya. Tidak sekaku biasanya. Lebih... manusiawi.

"Ada waktu untuk bicara?"

Alya menelan ludah. "Tentu, Pak. Silakan."

Rafael duduk di kursi tamu, tidak seperti biasanya yang langsung berbicara to the point. Ada jeda aneh yang membuat detak jantung Alya semakin cepat.

"Aku ingin minta maaf soal malam itu," kata Rafael akhirnya, suaranya pelan, nyaris seperti bisikan. "Kalau aku terlalu pribadi, atau membuatmu tidak nyaman. Itu bukan maksudku."

Alya menggeleng cepat. "Tidak, Pak. Saya justru... berterima kasih. Itu adalah malam yang... berbeda."

Mereka saling menatap. Ada keheningan panjang yang seolah menggantung di antara kata-kata tak terucap. Mata Rafael tampak redup, seperti menyimpan cerita yang tak ia izinkan keluar.

"Kadang, aku lupa kalau aku juga manusia," ujar Rafael. "Selama bertahun-tahun, aku mengurung diriku dalam dunia di mana semua orang ingin menjatuhkanmu. Tapi waktu bersamamu... rasanya berbeda."

Alya merasakan jantungnya mengempis dan membesar secara bersamaan. Ingin rasanya ia berkata bahwa ia merasakan hal yang sama. Tapi lidahnya kelu. Dan dalam diam itu, ia hanya mampu mengangguk perlahan.

Rafael berdiri, seperti hendak pergi, namun sebelum benar-benar melangkah, ia menatap Alya untuk terakhir kali.

"Tapi dunia ini tidak akan membiarkan kita begitu saja. Kalau kamu memilih mendekat, kamu harus tahu risikonya. Aku bukan pria yang bisa memberi janji." Lalu ia pergi.

Begitu pintu tertutup, Alya jatuh terduduk. Kata-kata Rafael membekas dalam. Ia tahu, hubungan ini bukan seperti kisah cinta yang manis. Ini adalah dunia penuh duri, dan jika ia melangkah ke dalamnya, ia harus siap terluka.

---

Di sudut lain kantor, seorang wanita berdiri di balik kaca berwarna gelap, memperhatikan percakapan Rafael dan Alya yang baru selesai. Senyum miring terbentuk di wajahnya.

"Jadi kamu mulai jatuh cinta, Rafael?" gumamnya pelan. "Kita lihat siapa yang lebih kuat."

Wanita itu adalah Clara mantan kekasih Rafael sekaligus pemilik saham minoritas yang selama ini diam di balik layar. Ia telah menunggu saat yang tepat untuk kembali masuk dalam kehidupan Rafael. Dan kini, dengan kehadiran Alya, ia menemukan celah sempurna untuk memulai permainan.

Clara menyalakan rokoknya, menyandarkan tubuh ke dinding kaca. Pandangannya tajam, dan senyumnya semakin melebar.

"Kau akan belajar, Alya," bisiknya, "bahwa pria sepertinya tidak bisa dimiliki tanpa pertarungan. Dan aku tidak akan kalah kali ini."

---

Malam itu, Alya menangis sendirian di apartemennya. Ia tidak tahu apa yang lebih menyakitkan kata-kata Rafael, atau kenyataan bahwa hatinya telah jatuh terlalu dalam.

Ia mencoba menenangkan diri dengan membaca laporan yang belum sempat diselesaikan, tapi huruf-huruf di layar hanya menari-nari tanpa makna. Akhirnya, ia menutup laptop dan berdiri di depan cermin. Matanya sembab, wajahnya lelah.

"Apa aku bodoh?" gumamnya lirih.

Namun di balik luka itu, ada nyali kecil yang tetap menyala. Sebuah keyakinan bahwa apapun yang akan terjadi, ia tak akan menyesali perasaannya. Karena untuk pertama kalinya, ia merasa hidupnya lebih dari sekadar kerja keras dan angka-angka. Ia mulai mengenal rasa.

Dan rasa itu... bernama Rafael.

Ia menatap langit malam dari balkon, berharap angin malam bisa membawa jawaban yang menenangkan hatinya. Tapi yang datang hanya sunyi.

Tak jauh dari sana, Rafael juga terjaga. Di penthouse nya yang mewah dan sunyi, ia berjalan mondar-mandir sambil menatap layar ponsel yang kosong dari pesan. Jari-jarinya bergetar, seolah ingin menulis sesuatu untuk Alya, namun setiap kata terasa salah.

Ia menyesap segelas anggur merah, mencoba melupakan apa yang sebenarnya tak bisa ia abaikan: wajah Alya yang tersenyum gugup, suaranya yang mantap saat presentasi, dan caranya menatap dunia dengan tekad yang hampir mengingatkan Rafael pada dirinya sendiri di masa muda.

"Kenapa kamu muncul sekarang... saat aku sudah berhenti percaya?" gumamnya sendiri.

Tapi ia tahu, hidup tak memberi jeda. Esok, mereka akan kembali bertemu sebagai atasan dan bawahan. Namun malam ini, masing-masing menanggung luka yang diam-diam tumbuh menjadi sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa.

Bersambung!!!!!!

mohon maaf jika ada kata kata Typo

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Ancaman dalam Bayangan

    Alya menatap Rafael, yang kini membeku menatap layar ponselnya. Wajahnya mengeras, tapi di balik itu, matanya menunjukkan sesuatu yang belum pernah Alya lihat sebelumnya—takut.“Apa itu... ancaman?” tanya Alya pelan, seolah tak ingin percaya apa yang baru mereka lihat.Rafael mengangguk, lalu meletakkan ponsel di meja. “Nomor tak dikenal. Tapi mereka tahu gerak kita.”Alya menggigit bibir. “Berarti ini bukan cuma soal bisnis. Ini sudah personal.”Suasana di apartemen seketika berubah mencekam. Udara malam yang sejuk terasa menyesakkan. Alya berdiri, berjalan mondar-mandir. Ia mencoba berpikir jernih.“Kita harus amankan data-data penting. Semua dokumen buyback, pergerakan saham, bahkan email internal. Kalau mereka bisa mengakses informasi kita, mereka bisa sabotase dari dalam.”Rafael menyalakan laptopnya. “Aku akan hubungi tim IT. Kita harus audit semua server malam ini.”Sementara Rafael mengurus pengamanan digital, Alya menghubungi Dira. “Dira, aku butuh bantuannya lagi. Cek siapa

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Ombak yang Tak Kunjung Reda

    Tiga hari setelah keputusan dewan direksi yang mengeluarkan Clara dari jajaran eksekutif, Rafael memutuskan menggelar konferensi pers resmi. Bukan hanya untuk menjaga reputasi Kurniawan Corp, tapi juga demi menenangkan investor yang mulai gelisah.Konferensi digelar di ballroom hotel mewah di pusat Kuningan. Ruangan dipenuhi para wartawan, kamera siaran langsung, dan deretan pemegang saham yang ingin mendengar langsung dari sang CEO.Rafael berdiri di podium, jasnya rapi, wajahnya tenang meski sorotan kamera terasa menekan."Dengan berat hati, kami umumkan bahwa Clara Wibisono tidak lagi menjabat sebagai Direktur Operasional di Kurniawan Corp. Keputusan ini diambil setelah melalui pertimbangan matang oleh dewan direksi dan tim etika perusahaan."Suara kilatan kamera memenuhi ruangan."Namun kami menghormati hak beliau sebagai pemegang saham, dan sampai saat ini, beliau masih memegang 18% saham perusahaan. Kami berkomitmen menjaga integritas, profesionalisme, dan stabilitas perusahaan

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Bayangan yang Belum Pergi

    Hari-hari setelah dikeluarkannya Clara dari posisi eksekutif Kurniawan Corp terasa seperti badai yang mereda—tenang di permukaan, tapi menyisakan jejak ketegangan. Alya Putri tahu betul, ini belum benar-benar selesai. Rafael duduk di ruangannya yang kini lebih lengang sejak kepergian Clara. Di hadapannya, tumpukan laporan akuisisi dan pemindahan otoritas masih belum semua ditandatangani. Meski Clara telah dicopot dari jabatan strategisnya, satu hal masih menjadi duri dalam daging: Saham. Clara masih memiliki 15% saham di Kurniawan Corp—warisan dari ayah Rafael yang dulu memercayainya lebih dari sekadar rekan bisnis. Dan selama saham itu belum berpindah tangan, Clara tetap memiliki suara. Meski kecil, cukup untuk menyulitkan jalannya rapat penting. Cukup untuk jadi ancaman tersembunyi. “Dia bisa sewaktu-waktu kembali, dan dengan cara yang tidak terduga,” ucap Alya pelan ketika mereka duduk berdampingan di ruang kerja Rafael malam itu, meninjau hasil rapat tahunan internal direksi.

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Keputusan yang Menentukan

    Alya melangkah ke kantor dengan perasaan campur aduk. Promosi yang diberikan Rafael membuatnya merasa terhargai, tetapi sekaligus semakin terperangkap dalam intrik dunia korporat yang keras. Ia tidak bisa menahan diri untuk bertanya, apakah ini jalan yang tepat untuknya, ataukah ia hanya menjadi pion dalam permainan besar yang tak pernah ia pilih? Pagi itu, Alya duduk di meja kerjanya, menatap tumpukan dokumen yang menunggu untuk diproses. Laporan tahunan, analisis pasar, dan proposal untuk klien yang akan datang. Semuanya menumpuk, dan di tengah kesibukan itu, ia menerima pesan dari Rafael. Rafael: “Alya, ada hal penting yang perlu kita bicarakan. Bisa ke ruanganku siang ini?” Alya menatap layar ponselnya, ragu sejenak. Ada kecemasan yang menggelayuti hatinya. Apa yang ingin dibicarakan Rafael? Apakah ini tentang Clara, atau lebih lanjut tentang peran baru yang kini ia emban di Kurniawan Corp? Siang itu, setelah makan siang, Alya menuju ruang Rafael. Pintu yang biasanya terbuka

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Langkah Balasan

    Hari-hari setelah pertemuannya dengan Clara terasa berbeda bagi Alya. Ia bukan lagi wanita yang hanya bertahan dalam senyap. Kali ini, ia akan menyusun strategi, bukan hanya untuk melindungi dirinya, tapi juga membalas semua yang selama ini diam-diam menjatuhkannya. Langkah pertama yang ia ambil adalah memperkuat dukungan dari dalam. Alya mulai mendekati beberapa kepala divisi yang selama ini bekerja sama dengannya—mereka yang diam-diam menghargai profesionalismenya. “Pak Arif, saya tahu audit mendadak ini bukan murni inisiatif perusahaan,” ujar Alya di ruang kopi bersama kepala divisi keuangan yang sudah senior itu. Arif hanya mengangguk pelan. “Kami tahu ini bukan soal data. Ini soal politik. Tapi saya akan bersaksi sesuai fakta, Nona Alya. Kamu orang yang bekerja paling bersih di ruangan ini.” Alya tersenyum kecil. Dukungan seperti ini adalah fondasi awal. Langkah berikutnya, ia menemui Lisa dan membicarakan sesuatu yang sudah ia rencanakan semalaman. “Aku butuh kamu bantu k

  • Benci CEO Cinta Tanpa Rencana   Api di Balik Senyuman

    Langit Kuningan malam itu tidak lagi semendung sebelumnya, tapi hati Alya justru terasa lebih gelap. Tatapan Rafael, permintaan maafnya, bahkan pengakuan bahwa ia ingin menjadi lebih baik demi Alya semuanya begitu mengejutkan sekaligus membingungkan.Namun satu hal yang lebih mengganggunya adalah sosok Clara. Tatapan penuh kemarahan dari balik mobil yang tidak disadari Rafael, tapi begitu jelas terasa oleh Alya. Ia tahu, badai yang sesungguhnya baru akan dimulai.Keesokan paginya, suasana kantor tampak lebih tegang dari biasanya. Beberapa pegawai tampak membisikkan sesuatu, pandangan mereka sesekali mengarah pada Alya yang baru saja keluar dari lift.“Ada apa, ya?” tanya Alya pelan pada Lisa.Lisa menatap sekeliling sebelum mendekat dan berbisik, “Clara mengumpulkan bukti untuk menjatuhkanmu. Dia bilang kamu menyalahgunakan jabatan, dan... ada rumor tentang hubunganmu dengan Pak Rafael.”Alya menarik napas dalam. “Cepat juga dia bergerak.”Lisa menatapnya khawatir. “Kamu harus hati-ha

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status