Suasana kantor kembali sibuk sejak kepulangan Rafael dan Alya dari Singapura. Di meja-meja kerja, tumpukan dokumen dan bunyi ketikan laptop berpadu dengan suara telepon yang tak henti-henti berdering. Namun bagi Alya, semuanya terasa seperti gema jauh dari pusat pikirannya. Ia duduk di ruangannya, menatap layar kosong selama hampir lima menit tanpa menyentuh keyboard.
Ada sesuatu yang berubah sejak perjalanan itu. Bukan hanya dalam cara Rafael memandangnya, tapi juga dalam hatinya sendiri. Perasaan yang selama ini ia tekan perlahan merangkak naik ke permukaan. Alya merasa takut. Bukan karena Rafael bersikap buruk justru sebaliknya. Ia takut karena Rafael mulai memperlakukannya dengan kelembutan yang membuatnya lupa bahwa ia sedang berada di dunia bisnis yang keras dan kejam. Pintu ruangannya diketuk. Alya segera tersadar dari lamunannya. "Masuk," katanya cepat, mencoba terdengar tenang. Rafael muncul di ambang pintu, mengenakan kemeja putih lengan panjang yang tergulung hingga siku. Wajahnya terlihat lelah, tapi sorot matanya tajam seperti biasa. Tapi hari ini, ada yang berbeda dalam cara ia memandang Alya. Tidak sekaku biasanya. Lebih... manusiawi. "Ada waktu untuk bicara?" Alya menelan ludah. "Tentu, Pak. Silakan." Rafael duduk di kursi tamu, tidak seperti biasanya yang langsung berbicara to the point. Ada jeda aneh yang membuat detak jantung Alya semakin cepat. "Aku ingin minta maaf soal malam itu," kata Rafael akhirnya, suaranya pelan, nyaris seperti bisikan. "Kalau aku terlalu pribadi, atau membuatmu tidak nyaman. Itu bukan maksudku." Alya menggeleng cepat. "Tidak, Pak. Saya justru... berterima kasih. Itu adalah malam yang... berbeda." Mereka saling menatap. Ada keheningan panjang yang seolah menggantung di antara kata-kata tak terucap. Mata Rafael tampak redup, seperti menyimpan cerita yang tak ia izinkan keluar. "Kadang, aku lupa kalau aku juga manusia," ujar Rafael. "Selama bertahun-tahun, aku mengurung diriku dalam dunia di mana semua orang ingin menjatuhkanmu. Tapi waktu bersamamu... rasanya berbeda." Alya merasakan jantungnya mengempis dan membesar secara bersamaan. Ingin rasanya ia berkata bahwa ia merasakan hal yang sama. Tapi lidahnya kelu. Dan dalam diam itu, ia hanya mampu mengangguk perlahan. Rafael berdiri, seperti hendak pergi, namun sebelum benar-benar melangkah, ia menatap Alya untuk terakhir kali. "Tapi dunia ini tidak akan membiarkan kita begitu saja. Kalau kamu memilih mendekat, kamu harus tahu risikonya. Aku bukan pria yang bisa memberi janji." Lalu ia pergi. Begitu pintu tertutup, Alya jatuh terduduk. Kata-kata Rafael membekas dalam. Ia tahu, hubungan ini bukan seperti kisah cinta yang manis. Ini adalah dunia penuh duri, dan jika ia melangkah ke dalamnya, ia harus siap terluka. --- Di sudut lain kantor, seorang wanita berdiri di balik kaca berwarna gelap, memperhatikan percakapan Rafael dan Alya yang baru selesai. Senyum miring terbentuk di wajahnya. "Jadi kamu mulai jatuh cinta, Rafael?" gumamnya pelan. "Kita lihat siapa yang lebih kuat." Wanita itu adalah Clara mantan kekasih Rafael sekaligus pemilik saham minoritas yang selama ini diam di balik layar. Ia telah menunggu saat yang tepat untuk kembali masuk dalam kehidupan Rafael. Dan kini, dengan kehadiran Alya, ia menemukan celah sempurna untuk memulai permainan. Clara menyalakan rokoknya, menyandarkan tubuh ke dinding kaca. Pandangannya tajam, dan senyumnya semakin melebar. "Kau akan belajar, Alya," bisiknya, "bahwa pria sepertinya tidak bisa dimiliki tanpa pertarungan. Dan aku tidak akan kalah kali ini." --- Malam itu, Alya menangis sendirian di apartemennya. Ia tidak tahu apa yang lebih menyakitkan kata-kata Rafael, atau kenyataan bahwa hatinya telah jatuh terlalu dalam. Ia mencoba menenangkan diri dengan membaca laporan yang belum sempat diselesaikan, tapi huruf-huruf di layar hanya menari-nari tanpa makna. Akhirnya, ia menutup laptop dan berdiri di depan cermin. Matanya sembab, wajahnya lelah. "Apa aku bodoh?" gumamnya lirih. Namun di balik luka itu, ada nyali kecil yang tetap menyala. Sebuah keyakinan bahwa apapun yang akan terjadi, ia tak akan menyesali perasaannya. Karena untuk pertama kalinya, ia merasa hidupnya lebih dari sekadar kerja keras dan angka-angka. Ia mulai mengenal rasa. Dan rasa itu... bernama Rafael. Ia menatap langit malam dari balkon, berharap angin malam bisa membawa jawaban yang menenangkan hatinya. Tapi yang datang hanya sunyi. Tak jauh dari sana, Rafael juga terjaga. Di penthouse nya yang mewah dan sunyi, ia berjalan mondar-mandir sambil menatap layar ponsel yang kosong dari pesan. Jari-jarinya bergetar, seolah ingin menulis sesuatu untuk Alya, namun setiap kata terasa salah. Ia menyesap segelas anggur merah, mencoba melupakan apa yang sebenarnya tak bisa ia abaikan: wajah Alya yang tersenyum gugup, suaranya yang mantap saat presentasi, dan caranya menatap dunia dengan tekad yang hampir mengingatkan Rafael pada dirinya sendiri di masa muda. "Kenapa kamu muncul sekarang... saat aku sudah berhenti percaya?" gumamnya sendiri. Tapi ia tahu, hidup tak memberi jeda. Esok, mereka akan kembali bertemu sebagai atasan dan bawahan. Namun malam ini, masing-masing menanggung luka yang diam-diam tumbuh menjadi sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa. Bersambung!!!!!! mohon maaf jika ada kata kata TypoPagi itu, langit Kuningan tampak mendung, seolah mencerminkan hati Alya yang sedang bergejolak. Ia berdiri di depan cermin apartemennya, menatap pantulan wajahnya sendiri. Matanya sedikit sembab karena malam tanpa tidur, dan pikirannya masih penuh oleh kata-kata Clara yang menohok.“Pastikan dia cukup kuat untuk berdiri di sisimu.”Alya menarik napas dalam, membenahi rambutnya lalu mengambil tas kerja. Hari ini, ia harus menunjukkan bahwa dirinya lebih dari cukup kuat. Bukan hanya untuk Rafael, tetapi untuk dirinya sendiri.Di perjalanan menuju kantor, radio mobil memutar lagu lawas yang mengiris hati. Alya mematikan volume, mencoba mengusir segala pikiran yang berisik di kepalanya. Namun, keraguan tetap menyusup seperti udara dingin yang menyelinap melalui celah kecil jendela.Saat sampai di kantor, Alya disambut oleh Lisa yang langsung memberikan tumpukan dokumen.“Ini laporan kinerja bulanan yang diminta Pak Rafael. Dia juga ingin kamu ikut dalam pitching dengan klien baru siang in
Pagi itu, kantor Rafael kembali riuh. Tapi ada aroma berbeda yang menyusup di antara kopi panas dan tumpukan laporan pagi aroma konflik yang belum kentara, namun siap meledak kapan saja.Alya berjalan memasuki gedung dengan langkah sedikit ragu. Ia tahu, setelah percakapan malam itu, semua hal kecil yang dulu terasa netral kini jadi terasa berarti. Seperti senyuman resepsionis yang lebih lama, tatapan dari staf lain yang mengintip, atau bahkan sapaan ramah dari bagian keuangan yang biasanya kaku. Langkah-langkahnya menyusuri koridor tampak ragu, namun sorot matanya mantap. Dalam benaknya, kata-kata Rafael semalam masih terngiang. "Kamu bukan cuma pegawai, Alya. Kamu lebih dari itu." Tapi benarkah? Di dunia Rafael, semua orang punya niat tersembunyi.“Pagi, Mbak Alya,” ujar Lisa, sekretaris pribadi Rafael, dengan senyum penuh arti. “Pak Rafael sudah menunggu di ruang meeting.”Alya mengangguk, mencoba tetap tenang meski hatinya melompat. Saat ia memasuki ruang meeting, Rafael sedang be
Suasana kantor kembali sibuk sejak kepulangan Rafael dan Alya dari Singapura. Di meja-meja kerja, tumpukan dokumen dan bunyi ketikan laptop berpadu dengan suara telepon yang tak henti-henti berdering. Namun bagi Alya, semuanya terasa seperti gema jauh dari pusat pikirannya. Ia duduk di ruangannya, menatap layar kosong selama hampir lima menit tanpa menyentuh keyboard.Ada sesuatu yang berubah sejak perjalanan itu. Bukan hanya dalam cara Rafael memandangnya, tapi juga dalam hatinya sendiri. Perasaan yang selama ini ia tekan perlahan merangkak naik ke permukaan. Alya merasa takut. Bukan karena Rafael bersikap buruk justru sebaliknya. Ia takut karena Rafael mulai memperlakukannya dengan kelembutan yang membuatnya lupa bahwa ia sedang berada di dunia bisnis yang keras dan kejam.Pintu ruangannya diketuk. Alya segera tersadar dari lamunannya."Masuk," katanya cepat, mencoba terdengar tenang.Rafael muncul di ambang pintu, mengenakan kemeja putih lengan panjang yang tergulung hingga siku. W
Matahari pagi di Bandara Soekarno-Hatta bersinar malu-malu di balik tirai awan. Suasana di ruang tunggu penuh hiruk-pikuk suara koper bergeser, panggilan boarding, dan langkah-langkah tergesa. Di tengah keramaian itu, Alya berdiri rapi, mengenakan blouse putih sederhana dipadu dengan blazer abu-abu, serta celana bahan hitam yang mempertegas aura profesionalnya. Walau begitu, tangan Alya tetap berkeringat dingin.Ini adalah perjalanan bisnis pertamanya ke luar negeri. Bersama Rafael.Dan hanya berdua.“Kalem, Alya. Ini cuma kerja,” gumamnya, mencoba menenangkan diri.Namun begitu Rafael muncul dari kejauhan, dengan setelan biru navy yang membalut tubuh tingginya sempurna, semua mantra ketenangan Alya runtuh. Pria itu seolah membawa hawa dingin sekaligus pesona yang sulit diabaikan."Siap?" tanya Rafael singkat tanpa senyum.Alya mengangguk cepat. "Siap, Pak."Tanpa banyak bicara, mereka berdua berjalan menuju boarding gate. Sepanjang perjalanan, suasana canggung menggantung di antara m
Minggu-minggu berikutnya berlalu dalam kecepatan tinggi bagi Alya. Sejak Rafael menyerahkan proyek ekspansi Asia Tenggara kepadanya, hidup Alya berubah drastis. Jam kerja panjang, pertemuan bertubi-tubi, tekanan tiada henti, dan tuntutan kesempurnaan seolah menjadi udara yang ia hirup sehari-hari. Ada saat-saat ia merasa nyaris runtuh, tapi justru di tengah tekanan itu, semangat dalam dirinya tumbuh dan menguat, perlahan tapi pasti. Dalam tempo singkat, Alya belajar banyak hal. Ia membiasakan diri mengambil keputusan dalam tekanan waktu, mengasah ketajaman analisa, dan memperhalus intuisi bisnisnya. Tiap rapat yang ia pimpin semakin membuat suaranya terdengar mantap. Tatapan penuh percaya diri mulai menggantikan keraguan yang dulu sering terlihat di matanya. Suatu sore, saat sinar matahari condong ke barat dan membalut langit Jakarta dengan warna keemasan, Rafael memanggil Alya ke ruangannya. "Bagaimana progresnya?" tanya Rafael, nada suaranya datar, tapi sorot matanya tajam. Aly
Pagi di Jakarta berhembus lembut, membawa aroma hujan semalam yang belum sepenuhnya kering. Namun, di lantai 25 Kurniawan Corp, suasana justru makin memanas. Alya, dengan map proyek di tangan, melangkah cepat menuju ruang rapat. Sorot mata kolega-koleganya mengikuti setiap gerakannya, beberapa penuh rasa ingin tahu, yang lain... dengki.Proyek barunya adalah pengembangan divisi inovasi digital, sebuah program ambisius yang Rafael canangkan untuk membawa perusahaan mereka masuk lebih dalam ke dunia teknologi modern. Tapi di balik proyek besar ini, banyak tangan-tangan yang ingin melihat Alya gagal.Fani, tentu saja, berada di garis depan. Bersama dua orang senior lainnya, ia mulai menyusun rencana licik. Mereka tak suka melihat Alya mendapatkan kepercayaan besar dari Rafael, apalagi mengingat betapa singkatnya waktu Alya bergabung."Kita buat dia terpeleset sendiri," bisik Fani kepada Tyo, salah satu senior tim pengembangan."Gimana caranya?" Tyo menyipitkan mata."Kita manipulasi data
Pagi itu, Alya kembali terjaga lebih awal. Namun kali ini, tubuhnya terasa lebih lelah dari sebelumnya. Satu minggu penuh di tim Inovasi Bisnis bukanlah perjalanan yang mudah. Meskipun mendapat sedikit pujian dari Pak Dimas dan rekan-rekannya, ia masih merasa bahwa ia harus lebih keras berusaha jika ingin memenangkan hati Rafael. Hari itu, ia tahu, akan ada rapat besar. Semua divisi akan hadir, dan Rafael akan memimpin langsung. Alya bisa merasakan ketegangan yang menggantung di udara. Ada sesuatu yang besar yang sedang menunggu. --- Di sisi lain, Rafael Kurniawan sudah berada di ruang kerjanya sejak pagi buta. Dihadapkan dengan tumpukan laporan yang harus diselesaikan, ia tampak seperti biasa: dingin, terfokus, dan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Hanya kopi hitam yang setia menemani sepanjang hari. Ia menatap layar laptopnya, membaca salah satu laporan Alya. Ada yang berbeda dari laporan itu. Tidak hanya soal data yang rapi, tetapi cara berpikir Alya yang leb
Malam itu, langit Jakarta seakan ikut bersekongkol, menumpahkan hujan deras yang tak kunjung reda. Tapi Alya Putri tetap duduk tegak di depan meja kecil di apartemennya, dikelilingi tumpukan kertas, laptop menyala, dan secangkir kopi ketiga yang mulai kehilangan kehangatan. Ia baru saja menyelesaikan membaca keseluruhan proyek yang Rafael Kurniawan lemparkan begitu saja padanya siang tadi. Dan satu kesimpulan melintas di kepalanya: "Ini bukan proyek biasa. Ini kayak tes bertahan hidup." Proyek itu meminta Alya merancang konsep baru untuk lini bisnis Kurniawan Corp dalam waktu dua hari saja. Bukan hanya ide kreatif, tapi juga strategi pemasaran, analisis kompetitor, dan simulasi keuangan sederhana. Bagi seseorang yang baru saja melamar kerja, ini nyaris mustahil. "Oke," gumam Alya, mengetik cepat. "Kamu mau main kasar, Pak CEO? Fine." Ia membagi kertas kosong menjadi tiga kolom besar: Ide, Strategi, Simulasi. Tangannya bergerak cepat, menulis brainstorming tanpa peduli coretan-core
Hari itu langit Jakarta seolah ikut memperburuk suasana hati Alya Putri. Awan kelabu menggantung berat, udara terasa gerah, dan kemacetan membuatnya hampir gila. Dengan tergesa, ia berlari-lari kecil memasuki lobi gedung pencakar langit yang menjulang megah di tengah kota. Logo 'Kurniawan Corp' berkilau di atas pintu utama, seolah mengingatkannya: di tempat inilah nasibmu akan berubah."Selamat pagi, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" sapa resepsionis dengan senyum profesional."Alya Putri. Saya... saya dijadwalkan interview dengan Pak Rafael Kurniawan," jawabnya, sedikit terengah karena berlari.Senyum resepsionis itu sedikit meredup, seperti refleks alami. Seolah nama itu saja sudah cukup membuat siapa pun gugup. Dengan cepat, wanita itu mengangguk dan memberi isyarat agar Alya mengikuti seorang staf ke lantai atas.Sepanjang perjalanan di lift, Alya merapikan rambutnya, menarik napas dalam-dalam, dan berusaha mengusir rasa gugup yang tiba-tiba melanda. Ia sudah mendengar banyak cerit