Lidah Aria tiba-tiba saja mendadak menjadi kelu. Otaknya benar-benar tak berfungsi dengan baik. Dia sampai memejamkan mata beberapa kali, guna memastikan apa yang dia lihat ini adalah mimpi. Tidak hanya sekadar memejamkan mata saja, tetapi dia juga sampai mencubit jemarinya agar yakin bahwa dirinya sekarang berada di dunia mimpi.
Namun, hasilnya Aria merasakan sakit merasakan cubitan yang dia ciptakan. Itu yang membuat dirinya merasa benar-benar seperti tertimpa tangga. Sosok di hadapannya adalah sosok yang dia harap tak dia temui lagi, tetapi apa-apan ini? Kenapa malah dirinya kembali bertemu dengan pria itu lagi? Takdir mengajaknya bercanda.
‘Bagaimana mungkin? Astaga! Pria ini? Dia yang tidur denganku malam itu!’
batin Aria, dengan raut wajah menunjukkan rasa kesal.Aria memandangi ekspresi wajah yang kontras dengan terakhir kali dia pandangi waktu itu. Bibir bervolume dengan alis tebal menukik, membingkai sepasang mata tajam dan penuh ketegasan begitu tampak sempurna. Oh! Dia baru menyadari, terakhir kali dia menatap sosok itu, dia merasakan vibrasi yang begitu kuat. Namun, bukan vibrasi penuh intimidasi seperti ini yang dia harapkan. Minimal, sosok pria yang kini menatapnya lurus menunjukkan sedikit lengkungan ramah di wajahnya.
“Kau boleh pergi,” kata pria tampan bernama Ethan Reynolds, meminta sang asisten untuk pergi.
Suara berat Ethan masih membekas di ingatan Aria dan tidak pernah tumpul sedikitpun. Suaranya yang rendah, seksi, dan penuh gairah, mengisi bayang-bayang memori di kepalanya dengan kurang ajarnya!
“Baik, saya permisi, Tuan.” Tommy menundukkan kepala, lalu pamit undur diri.
Sang asisten yang menjadi penengah di antara dua kubu es itu hendak pamit. Mulut Aria rasanya ingin meneriaki Tommy agar tidak meninggalkan dirinya berdua saja dengan sang investor. Sayangnya, harapan Aria kandas di ujung lidah. Tubuhnya yang kaku seolah sengaja membiarkan ketegangan semakin mencekiknya.
Sebelum pergi, Tommy sengaja meninggalkan sepatah kalimat yang justru membuat laju adrenalin Aria berantakan. “Selamat berjuang, Nona Aria Scott. Tolong ingat pesanku tadi,” ucapnya kemudian pergi meninggalkan ruangan itu.
Setelah pintu ruangan ditutup, fokus Aria kembali pada pria itu. Tatapannya, seakan memiliki magnet agar dia tidak bisa bergerak ke mana pun. Dia merasa dipenjara, apalagi saat pria itu mulai bangkit dari duduk, berjalan semakin dekat ke arahnya.
“Rencana apa yang kau siapkan?” tanya pria itu dingin, dan datar.
Aria masih mematung di tempatnya, sekilas dia melirik papan nama yang terpajang di atas meja kerja. Chief Executive Officer - Ethan Reynolds. Dia menelan ludah berat, pengalamannya menghadapi berbagai macam karakter orang-orang, mendadak lenyap dari dirinya. Dia seperti kehilangan sebagian nyawanya. Sebab, hanya dengan tatapan Ethan saja, mampu meruntuhkan rasa percaya diri Aria.
Aria mengatur napasnya berusaha untuk tetap tenang. Tidak ada jalan untuk mundur. Semua sudah ada di hadapannya—bagaikan rintangan yang memang harus dia hadapi. Dia tak mau sampai karier yang dia bangun susah payah harus hancur berantakan.
“Sebelumnya, perkenalkan Saya Aria Scott, Tuan … Ethan. Senang mendapat kesempatan untuk mempresentasikan proyek kami,” kata Aria sebagai pembukaan.
Saat sosok pria bernama Ethan itu berdiri di hadapan Aria, semerbak aroma musk mahal menusuk lembut penciumannya. Dari balik jas mahal yang pria itu kenakan, Aria masih mengingat bagaimana lengan kekar itu mengungkung tubuh Aria malam itu.
Kini semesta memang sengaja bercanda dengan Aria. Setelah luka diselingkuhi, tidur dengan pria asing tanpa sengaja, dan kini dia terlibat kerja sama bisnis dengan sosok yang dia … tiduri. Kesalahan satu malam, membuat hidupnya seakan kacau berantakan.
Sial! Kenyataan itu semakin membuat Aria kesulitan bernapas.
Ethan melirik Aria sekilas, dengan sorot penuh arti khusus “Aku tahu, tapi kau belum menjawab pertanyaanku,” katanya ketika mereka sudah duduk berhadapan. Suaranya datar, cenderung tak minat.
Kontras dengan itu, Aria mati-matian menahan gejolak di dada. Tentang fakta yang tidak bisa disanggah. Dia harus terlibat lagi dengan pria itu.
Aria terkesiap seraya menampilkan senyuman yang dia paksakan. “Oh, hari ini saya membawa beberapa rencana proyek yang bisa kau pelajari terlebih dahulu,” jawabnya sopan seraya memberikan beberapa lembar dokumen penting pada pria tampan pemilik rahang tegas itu lalu kembali menjelaskan, “Rencana pembangunan mall akan dimulai tahun depan. Target pasar yang dituju adalah kalangan menengah ke atas dengan memfokuskan promosi bergaya elit. Kami juga mengundang merek ternama untuk mengisi slot tenant mulai dari fashion, hobi dan hiburan, dan juga merek makanan dan minuman dengan daftar lengkap ada di sini.”
Aria menjelaskan dengan sisa rasa percaya diri yang dia punya. Hanya ada dua kemungkinan yang akan terjadi saat ini … pertama, pria itu akan mengenali dirinya dan mengingat malam panas mereka waktu itu dan Aria akan kehilangan muka, atau pria itu tidak ingat sama sekali.
‘Aku berharap dia tidak mengingat apa pun,’ batin Aria terus berteriak, sedang mulutnya kini bungkam. Dia membiarkan pria tampan dan kharismatik itu mempelajari dokumen dalam diam. Bahkan saat membaca data saja, dia bisa melihat gairah ambisi yang begitu pekat dalam diri sang investor.
‘Sialan! Aku terjebak lagi dalam situasi rumit seperti ini,’ batin Aria lagi menjerit.
Keheningan ruangan itu memihak pada Aria, dia membiarkan setan-setan kecil dalam dirinya terus memaki. Memaki apa pun, termasuk takdir konyol yang terjadi padanya. Ah! Siapa yang pernah menduga kalau dia akan merasakan pepatah sudah jatuh, tertimpa tangga? Jika dia tahu lebih awal, dia akan menemui sosok ini lagi, jelas dia akan menghindar.
Kini Aria sibuk memandangi setiap lekuk di wajah pria itu yang sudah dia hafal di luar kepala. Jika tadi dia mendengar suara pria itu yang berat dan sedikit serak, kali ini dia menjelajah pandang pada pundak lebar dan tangan besar milik Ethan. Sejauh ini dia tidak menunjukkan tanda-tanda mengenalinya atau bahkan mengingat skandal gelap yang melibatkan mereka berdua. Bukankah seharusnya itu aman?
Kurang dari lima menit dokumen itu di baca oleh Ethan, pria tampan itu langsung menutup map keras dokumen dalam sekali hentakan. “Aku tidak berminat,” ucapnya dingin, dan menusuk.
Tiga kata itu langsung mengundang efek kejut di jantung Aria. Sejenak dia tergagap, “A-apa maksud Anda, Tuan?” tanyanya bingung. Mana mungkin Ethan tidak tertarik dengan proyek maha megah ini. Segala materi dan rencana sudah dipaparkan dengan jelas, visioner, dan yang paling penting–menguntungkan, telah dipersiapkan dengan matang.
“Konsep proyek seperti ini sudah biasa. Kalau hanya mengandalkan merek terkenal sebagai tenant, aku bisa membangun mall sendiri dengan uangku,” tandas Ethan menegaskan. Lagi-lagi ekspresi dinginnya membuat harga diri Aria seakan tercabik.
Ethan mengatakan itu seolah waktu dua minggu yang dihabiskan Aria untuk bekerja lembur hingga menginap di kantor tak ada harganya. Napas Aria mulai menderu cepat, sesekali dia mengalihkan pandangan demi mengendalikan diri. Minimal, dia tidak menghabisi pria ini dengan cubitan iblisnya.
Aria kembali mengatur napas, memupuk sabar lebih banyak di hatinya. Sebab tidak ada jalan lain selain kesabaran. “Hm, apa Anda tidak ingin mempelajari rencana lainnya lebih dulu, Tuan? Anda baru membaca sampai halaman tiga dokumen ini, saya rasa itu belum cukup.”
Sebelah alis Ethan naik, “Bahkan tanpa membaca ujung halaman pun, aku tahu ke mana proyek ini akan tertuju,” balasnya, dengan nada dingin, dan menusuk tajam. “Lagipula, proyek semacam ini sudah banyak. Dan kalian berasal dari perusahaan ternama, bagaimana mungkin ide kalian pasaran?”
“Kalau begitu, mungkin Anda bisa memberikan beberapa catatan untuk kami, Tuan. Dengan begitu, kami akan melakukan pengembangan dengan ide baru kami yang lain. Anda tidak perlu khawatir, Tuan, dokumen ini bisa kami revisi sesuai dengan keinginan Anda,” ucap Aria lembut dengan senyum mautnya mulai dia keluarkan.
Seulas senyum samar muncul di wajah Ethan. Sialnya Aria menganggap itu sebagai ancaman. Berbagai kemungkinan muncul di kepala Aria, dari yang paling baik sampai yang terburuk. Ini memang sudah gila.
“Sesuai keinginanku, ya?” Ethan mengulag ucapan Aria, dengan seringai di wajahnya. “Kau yakin sanggup memenuhi ekspektasiku jika memutuskan untuk berinvestasi?”
Aria mengangguk cepat tanpa berpikir panjang. “Saya akan memberikan yang terbaik, apa pun untuk kepuasan Anda, Tuan Reynolds.”
Keseriusan Aria itu berubah jadi keterkejutan saat Ethan bertepuk tangan. “Kau memang luar biasa,” katanya dengan nada sedikit penuh maksus “Kau rela melakukan apa pun demi jabatanmu, hm?” Seringai licik muncul di wajah pria tampan itu, jarak wajahnya kini hanya sekian sentimeter dari wajah Aria.
Ruangan ber-AC itu sama sekali tidak mampu menolong Aria menghindar dari hawa panas dan peluh sebesar biji jagung mulai turun ke pelipis. Dalam posisi ini, pikiran sialan Aria memutar ulang malam panas mereka di hotel.
Tubuh pria itu, bibirnya, pagutan yang tercipta, dan sesuatu yang mengeras dan menerobos liang kenikmatan Aria, segala tentang Ethan dan malam itu hampir menenggelamkan realita.
“Melihat ambisi kau yang begitu besar, aku setuju memberikan dana investasi untuk proyek ini, tapi dengan satu syarat,” kata Ethan datar, tetapi dengan seringai di wajahnya.
“Syarat apa, Tun?” tanya Aria tak sabar ingin tahu.
Ethan menatap Aria, dengan sorot mata memancarkan sesuatu hal rencana. “Jadilah teman tidurku,” bisiknya dengan nada rendah, tegas, dan sontak membuat Aria melebarkan mata terkejut.Lidah Aria tiba-tiba saja mendadak menjadi kelu. Otaknya benar-benar tak berfungsi dengan baik. Dia sampai memejamkan mata beberapa kali, guna memastikan apa yang dia lihat ini adalah mimpi. Tidak hanya sekadar memejamkan mata saja, tetapi dia juga sampai mencubit jemarinya agar yakin bahwa dirinya sekarang berada di dunia mimpi.Namun, hasilnya Aria merasakan sakit merasakan cubitan yang dia ciptakan. Itu yang membuat dirinya merasa benar-benar seperti tertimpa tangga. Sosok di hadapannya adalah sosok yang dia harap tak dia temui lagi, tetapi apa-apan ini? Kenapa malah dirinya kembali bertemu dengan pria itu lagi? Takdir mengajaknya bercanda.‘Bagaimana mungkin? Astaga! Pria ini? Dia yang tidur denganku malam itu!’ batin Aria, dengan raut wajah menunjukkan rasa kesal.Aria memandangi ekspresi wajah yang kontras dengan terakhir kali dia pandangi waktu itu. Bibir bervolume dengan alis tebal menukik, membingkai sepasang mata tajam dan penuh ketegasan begitu tampak sempurna. Oh! Dia bar
Dua pekan setelah keputusan telak telah dicetuskan oleh sang CEO, Aria disibukkan dengan berbagai pekerjaan yang menumpuk. Bosnya itu menuntut kesempurnaan dalam hal apa pun, termasuk ekspektasinya terhadap keberhasilan presentasi yang akan dia akukan di hadapan sang investor. Selama itu juga tidur Aria tak nyenyak, karena banyak sekali kekhawatiran yang melanda dirinya. Hal yang terus berputar di kepalanya hanya tentang keberhasilan tugas ini dan kestabilan karier yang dia dambakan. Tentu, tak menampik rasa takut itu menggerogoti dirinya.Perkataan Frank seakan-akan mutlak tidak bisa dibantak sedikit pun. Ingin rasanya Aria complaint, tetapi dia sangat sadar akan posisinya. Meski memiliki jabatan cukup baik, tetap saja dia hanya seorang karyawan.“Susah payah aku berada di posisi ini. Jangan sampai hanya karena satu kesalahan, aku keluar dari tempat yang aku perjuangkan!” Aria bergumam seraya menatap cermin. Kantung mata sebesar bola golf Aria tutupi dengan riasan wajah yang sedik
Keluar dari taksi, kaki jenjang Aria melangkah cepat menuju lobi salah satu gedung kantor di bilangan pusat kota New York. Tubuh langsingnya dibalut setelan blazer putih, dengan celana panjang bahan katun warna senada. Berjalan anggun layaknya model papan atas membelah kesibukan di sana. Dia memasuki lift berdesakan dengan orang-orang yang sama-sama mengejar waktu.Bibir Aria merah muda, bersungut-sungut dalam diam. Pikiran wanita cantik itu kacau balau, hatinya berantakan. Lengkap sudah penderitaan yang dialami Aria belakangan ini. ‘Awas saja kalau aku bertemu denganmu, Rachel!’ batin Aria menggerutu. Ya, Rachel Brown adalah sekretaris Aria sekaligus teman yang dia percayai mencarikan gigolo untuknya. Namun sial, dia malah mendapatkan kekacauan.Sambil melangkah keluar lift, kaki Aria menapaki langkah dengan ketukan keras. Wajahnya sedikit menegang, menimbulkan banyak pertanyaan dari beberapa staff. Namun, dia tidak peduli bisikan-bisikan angin itu. Khusus hari ini, dia tidak ingin
Pening menghantam kepala Aria dengan keras. Tubuhnya terasa kosong setelah mengetahui fakta mencengangkan itu. Sebelah tangannya menepuk dahi, merutuk, memaki, dan menyalahkan diri karena nasib sial tak jengah menyapanya sejak kemarin. Bibirnya bergetar pelan, paras cantik dilapis riasan naturalnya berubah pias. Sosok yang membelakanginya kini, terlelap begitu dalam. Pundak pria itu naik turun perlahan, menegaskan betapa lelah tubuhnya berpacu dengan kenikmatan semalam. “Kenapa aku bodoh sekali?!” Aria memaki, dengan dua tangannya sudah hinggap di kepala, menarik helai demi helai surainya yang sedikit berantakan. “Jadi semalam aku menuntut seorang pria asing untuk menanamkan benih di rahimku? Astaga! Ini gila! Apa yang kau lakukan, Aria?!” Gumaman frustasi di mulutnya tertahan. Setingkat lagi suaranya naik oktaf, masalah besar akan kembali menyapa. Kamar itu terasa lebih dingin, sedingin hati dan pikiran Aria yang kini kosong. Dia menyangga sebagian tubuhnya dengan siku, mengedar p
Sebuah kelab malam yang megah, suasana dipenuhi dengan cahaya berwarna-warni yang berkilauan, menciptakan atmosfer yang penuh energi dan kegembiraan. Musik berdentum keras dari sistem suara canggih, menggetarkan lantai dan membuat setiap orang bergerak mengikuti irama.Gemerlap lampu diskotik berpendar menyilaukan mata. Dentum musik DJ menghentak cepat diikuti debar jantung yang mulai naik. Seorang wanita cantik bernama Aria hampir terkapar di sofa paling dekat dengan area lantai dansa yang ada di kelab malam itu.Rambut panjang wanita cantik itu jatuh terurai menutupi paras cantiknya. Tampak jelas pipinya merona merah efek dari alkohol yang baru dia tengguk. Ya, dia terlihat payah dalam hal meminum alkohol.“Pria sialan! Mati saja kau!” Suara Aria meracau cukup keras, tetapi disinilah tempat semua orang melepas penat yang mereka bawa dari dunia luar. Pengunjung lain yang berpasangan di kelab malam itu sekilas melirik Aria yang duduk seorang diri, lalu berakhir tidak peduli.Aria men