Dua pekan setelah keputusan telak telah dicetuskan oleh sang CEO, Aria disibukkan dengan berbagai pekerjaan yang menumpuk. Bosnya itu menuntut kesempurnaan dalam hal apa pun, termasuk ekspektasinya terhadap keberhasilan presentasi yang akan dia akukan di hadapan sang investor.
Selama itu juga tidur Aria tak nyenyak, karena banyak sekali kekhawatiran yang melanda dirinya. Hal yang terus berputar di kepalanya hanya tentang keberhasilan tugas ini dan kestabilan karier yang dia dambakan. Tentu, tak menampik rasa takut itu menggerogoti dirinya.
Perkataan Frank seakan-akan mutlak tidak bisa dibantak sedikit pun. Ingin rasanya Aria complaint, tetapi dia sangat sadar akan posisinya. Meski memiliki jabatan cukup baik, tetap saja dia hanya seorang karyawan.
“Susah payah aku berada di posisi ini. Jangan sampai hanya karena satu kesalahan, aku keluar dari tempat yang aku perjuangkan!” Aria bergumam seraya menatap cermin.
Kantung mata sebesar bola golf Aria tutupi dengan riasan wajah yang sedikit lebih tebal di area mata. Saat ini dia sedang berada di toilet pribadi di ruangannya. Hanya sunyi yang setia mendengarkan keluh kesahnya atas rasa lelah yang tidak bisa dia bagikan pada siapapun.
Sekali lagi, Aria menatap tampilan wajahnya di cermin, benar saja, riasan hari ini terlihat lebih mencolok dari biasanya demi menutupi penampilannya yang tidak optimal. “Aku harus mampu mengurus semuanya.” Sambil memoles lisptik di kedua lapis bibirnya yang tebal, dia membulatkan tekad kuat.
Jam di tangan yang melingkar di pergelangan tangan Aria menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, masih ada waktu dua setengah jam menuju jam kerja yang seharusnya, tetapi dia sudah berada di sini. Mengadu lelah pada sunyi dan semua benda mati di sekitarnya seolah itu semua adalah teman.
Ya, hampir dua minggu sudah Aria menginap di kantor, karena materi untuk presentasi di depan investor harus dipastikan sempurna tanpa cela. Peringatan terakhir dari Frank waktu itu, terus berputar di kepalanya seperti alarm. Dia tidak pernah menyangka, selain perjalanan cintanya yang penuh tantangan, beban pekerjaan pun tak kalah menegangkan.
Aria menutup tas riasnya, di mana segala jenama pemoles wajah ada di sana. Wanita cantik itu beralih kembali ke ruangannya, dan menemukan Rachel baru saja masuk ke ruangan itu dengan senyum lebar yang khas.
“Morning, Aria,” sapa Rachel hangat, seraya mendekati Aria dengan langkah anggun bak putri bangsawan.
“Morning, Rachel. Ada hal apa kau datang lebih awal?” Sekali lagi, Aria melirik jam di pergelangan tangannya, memastikan berada dalam mode sepenuhnya sadar saat melihat jam tadi. “Ini masih terlalu pagi.”
Kini dua wanita itu sudah berdiri berhadapan. Mata Aria awas menatap pergerakan Rachel yang menaruh tasnya di sofa. Sementara satu tangan Rachel yang lain tidak datang dengan tangan kosong.
“Aku lihat kau sudah menginap di kantor hampir dua minggu. Pasti tidak nyaman tinggal di sini seorang diri. Jadi, khusus hari ini, sebelum kau pergi menemui investor, aku membuatkan sedikit makanan untuk sarapan,” ucap Rachel tulus.
Aria menurunkan pandangannya, menatap satu kotak bekal makanan yang disodorkan Rachel padanya. Kotak makanan itu terbuat dari kaca, tanpa perlu dibuka tutupnya, dia tahu menu apa yang dibuat oleh Rachel.
Aria tersenyum haru, dia benar-benar tulus memasang senyum lebar di wajahnya karena merasa diperhatikan. “Aku terharu, kau pasti susah payah menyiapkan ini untukku, seharusnya kau tidak perlu repot-repot,” balanya, sembari menerima kotak makan itu dengan sorot mata lapar kebetulan sejak semalam dia belum mengisi perut. Dua minggu penat selama persiapan materi presentasi perlahan pudar dengan ketulusan dan perhatian Rachel.
Rachel kini menemani atasan sekaligus temannya itu menyantap dua potong sandwich klasik buatan rumah di sofa tamu. “Sebenarnya, ada hal lain yang mengganjal di hatiku,” ucapnya pelan.
Gerakan tangan Aria yang hendak menggigit roti terhenti. Raut wajahnya berubah kecut ketika mendeteksi ada sebuah tujuan dibalik usaha Rachel. “Jadi kau datang pagi-pagi dan membawakanku sarapan karena ada sesuatu?” tanyanya merasa ada yang tak beres.
“Kurang lebih begitu.” Deretan gigi Rachel yang putih dipamerkan. “Tapi, sungguh, aku memang berniat melakukannya sebagai teman. Percayalah,” lanjutnya dengan senyuman di wajahnya.
Ruang kerja Aria memiliki salah satu sisi dinding yang sengaja dibuat transparan dari kaca sehingga memudahkan wanita itu melakukan pengawasan meski dia tidak beranjak dari sana. Akan tetapi, suasana di luar sana masih sepi. Dia melihat bayangan petugas kebersihan berlalu-lalang menyiapkan area kerja staff, sedang dua orang ini mulai tenggelam dalam suasana serius.
“Katakan saja apa yang ingin kau katakan,” kata Aria dengan nada tenang, tetapi memiliki makna serius. Wanita cantik itu mengunyah potongan roti dan sayur seperti sepotong pizza, meski begitu dia tetap menaruh fokusnya pada Rachel yang terlihat ragu. “Aku mendengarkan keluhanmu. Bicara jujur lebih baik daripada dipendam dan menimbulkan masalah baru.”
Sebelum bicara, Rachel sibuk mencari posisi duduk yang nyaman. “Sejujurnya aku merasa bersalah tentang gigolo yang seharusnya menemui kau malam itu–”
Suara Rachel cukup keras untuk di dengar siapapun di tengah keheningan kantor. Cepat-cepat Aria menginjak ujung kaki Rachel dengan sepatunya. Sebab, bertepatan dengan itu, Seorang petugas kebersihan lewat di sekitar ruangan Aria. Dari balik jendela kaca yang membatasi ruangan Aria dan area kubikal karyawan, sang petugas keamanan memberikan senyum hormat sebagai sapaan dari luar sana tak lama menghilang dari pandangan.
Rachel merintih ngilu kesakitan, hendak melayangkan protes tapi Aria lebih dulu bicara. Namun, belum dia memprotes, Aria sudah lebih dulu memberikan teguran keras padanya.
“Aku memang memintamu bicara terus terang, tapi tidak dengan melantangkan suaramu. Bagaimana jika semua orang tahu bahwa aku melakukan hal konyol seperti itu?” kata Aria sambil mendengkus pelan.
Rachel, terkekeh kecil tanpa rasa bersalah. Dia baru paham kenapa Aria melakukan tindakan refleks tadi. “Ups! Maafkan aku, Aria.”
“Aria, jujur awalnya aku tidak menyangka kau akan mengambil keputusan gila itu,” balas Rachel tak percaya. “Tapi, aku tidak mau menghakimimu. Aku tahu perasaan diselingkuhi pasti hancur,” lanjutnya empati.
Dua pekan ini fokus Aria teralihkan oleh pekerjaan, seketika dia merasakan kakinya seakan mencair seperti balok es yang terpapar sinar matahari, panas dan dingin berbaur menjadi satu. Kepalanya berdenyut, begitu juga dengan degup dadanya yang kompak memompa jantung lebih cepat. Kata itu, sudah berhasil meninggalkan luka mendalam di hatinya.
Aria memelankan suaranya, “Au baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir. Banyak hal yang membuat fokusku teralih.” Dia menghela napas pelan setelah menghabiskan potongan terakhir rotinya. “Tapi, setidaknya sekarang aku tidak terlibat lagi dengan mantanku yang sialan itu. Dia sudah aku enyahkan selamanya dari hidupku,” lanjutnya dengan nada berapi-api.
“Aku senang mendengar kau sudah melupakan matan kekasihmu, tapi bagaimana dengan gigolo itu? Apa kau akan memesan jasanya lagi? Kemarin dia menghubungiku menanyakan apa kau jadi memesannya atau tidak, tapi aku belum menjawab karena ingin berdiskusi denganmu lebih dulu,” tutur Rachel lembut.
Ah, lagi-lagi obrolan mereka hanya berputar di topik tentang gigolo. Aria menunjukkan raut wajah kesal, bagaimana mungkin dia memesan gigolo yang sama untuk kedua kalinya sedangkan dia sudah meniduri pria lain malam itu? Sialan!
“Lupakan saja. Jika memang aku membutuhkannya, aku akan cerita padamu,” ucap Aria dingin, dan datar.
Ya, Aria memutuskan untuk tidak menceritakan pada Rachel tentang apa yang terjadi. Sebab, jika dia menceritakan sekarang, dia tak tahan malu. Harusnya dia meniduri gigolo yang dia sewa, tetapi malah dia meniduri pria lain—yang entah siapa dia sendiri tak mengenalnya.
***
Obrolan Aria dengan Rachel sedikit mampu mengurangi canggung yang Aria rasakan sejak dua pekan lalu. Mengetahui sosok yang akan dia temui saat ini adalah sosok yang lebih rumit dari petinggi negara, dia harus pintar-pintar memilih kata.
Saat ini Aria sudah berada di lobi salah satu gedung pencakar langit tertinggi, Reynolds Group—tempat di mana sang investor yang terkenal ganas itu berdiam diri membesarkan perusahaan dengan lini bisnis segudang!
“Apa Anda Nona Aria Scott?” tanya seorang pria memakai setelan jas lengkap warna abu-abu menyambut kedatangan Aria dengan senyum ramah dan hangat.
Aria tersenyum tipis. “Ya, aku Aria Scott. Aku dari perwakilan dari Sinatra Group ingin bertemu dengan Tuan Reynolds.”
“Senang bertemu dengan Anda, Scott. Saya Tommy, asisten pribadi Tuan Ethan Reynolds. Kedatangan Anda sudah ditunggu oleh CEO kami,” tuturpria bernama Tommy itu dengan sopan.
Aria tersenyum sopan, membalas ucapan Tommy.
“Mari ikut saya, Nona. Saya akan tunjukan ruang kerja Tuan Reynolds,” ucap Tommy sopan.
Aria mengangguk, menanggapi ucapan Tommy. Detik itu juga, dia diarahkan untuk masuk ke dalam lift. Hening sesaat merajai keduanya sampai mereka menginjakkan kaki di satu lantai tertinggi gedung ini.
“Nona Scott, sekedar informasi saja. Tuan Reynolds adalah orang yang tidak suka berbasa-basi dan beliau sangat memuja kesempurnaan dan detail. Saya harap Anda bisa memberikan presentasi dengan lugas, jelas, detail, dan tidak bertele-tele,” ucap Tommy membelah keheningan yang sempat membentang.
Aria mengangguk, meski ada kecemasan yang menelusup di dalam dirinya. “Aku akan berusaha memberikan yang terbaik. Terima kasih sudah memberi tahu,” jawabnya, dengan jantung yang berdebar kencang. Padahal dia belum bertemu dengan sosok Ethan Reynolds, tetapi sialnya kecemasan sudah menyergap dirinya.
“Mungkin beliau akan mengajukan beberapa pertanyaan umum, tetapi tidak jarang juga beliau mengajukan pertanyaan tidak terduga. Penilaian beliau tergantung dari bagaimana kau memberikan reaksi,” ucap Tommy lagi menemani langkah Aria menuju ruang kerja besar di ujung koridor.
Aria hanya mengangguk pelan dan tersenyum setipis helai tisu, tetapi di balik itu, dia berusaha keras menahan degup jantungnya yang berantakan. Dia akan menemui seorang investor, di mana biasanya mereka adalah sosok yang visioner dan terbuka dengan berbagai ide. Sayangnya, alih-alih berambisi, mendengar penuturan sekretaris itu, bulu romanya langsung berdiri.
Kini Aria sudah berada di ruang kerja sang investor di temani oleh Tommy. Desain interior ruang kerja sosok Ethan Reynolds tampak mewah karena di kelilingi oleh patung-patung abstrak di setiap sisi.
“Selamat pagi, Tuan. Nona Aria Scott, perwakilan dari Sinatra Group sudah datang,” ucap Tommy sopan, pada sosok pria gagah duduk di kursi kebesarannya.
Posisi pria itu sedikit menyulitkan Aria untuk memandangi seluruh ketampanan yang dimiliki pria itu. Akan tetapi, tiba-tiba betapa terkejutnya Aria ketika sosok yang diselimuti aura dingin dan penuh intimidasi itu menggeser duduknya sedetik kemudian menghadapnya.
Selama beberapa detik pandangan Aria dan pria itu bertemu. Seperti kaset rusak, bayangan kejadian malam itu mendadak berputar di kepalanya. Sosok di hadapannya tidak asing, sebagian ingatannya muncul meski patah-patah diselipi keraguan. Ketika pria itu bersuara, jantungnya rasanya mau meledak. Bahkan dia merasakan kakinya benar-benar seperti jelly yang sulit membuatnya tetap berdiri tegak.
“Jadi, kau yang akan mengurus proyek ini?” tanya pria tampan itu dengan nada bicara sedingin es, dan sorot mata tak lepas menatap Aria yang mematung di hadapannya. Suaranya dingin, tetapi menunjukkan jelas wibawanya.
Lidah Aria tiba-tiba saja mendadak menjadi kelu. Otaknya benar-benar tak berfungsi dengan baik. Dia sampai memejamkan mata beberapa kali, guna memastikan apa yang dia lihat ini adalah mimpi. Tidak hanya sekadar memejamkan mata saja, tetapi dia juga sampai mencubit jemarinya agar yakin bahwa dirinya sekarang berada di dunia mimpi.Namun, hasilnya Aria merasakan sakit merasakan cubitan yang dia ciptakan. Itu yang membuat dirinya merasa benar-benar seperti tertimpa tangga. Sosok di hadapannya adalah sosok yang dia harap tak dia temui lagi, tetapi apa-apan ini? Kenapa malah dirinya kembali bertemu dengan pria itu lagi? Takdir mengajaknya bercanda.‘Bagaimana mungkin? Astaga! Pria ini? Dia yang tidur denganku malam itu!’ batin Aria, dengan raut wajah menunjukkan rasa kesal.Aria memandangi ekspresi wajah yang kontras dengan terakhir kali dia pandangi waktu itu. Bibir bervolume dengan alis tebal menukik, membingkai sepasang mata tajam dan penuh ketegasan begitu tampak sempurna. Oh! Dia bar
Dua pekan setelah keputusan telak telah dicetuskan oleh sang CEO, Aria disibukkan dengan berbagai pekerjaan yang menumpuk. Bosnya itu menuntut kesempurnaan dalam hal apa pun, termasuk ekspektasinya terhadap keberhasilan presentasi yang akan dia akukan di hadapan sang investor. Selama itu juga tidur Aria tak nyenyak, karena banyak sekali kekhawatiran yang melanda dirinya. Hal yang terus berputar di kepalanya hanya tentang keberhasilan tugas ini dan kestabilan karier yang dia dambakan. Tentu, tak menampik rasa takut itu menggerogoti dirinya.Perkataan Frank seakan-akan mutlak tidak bisa dibantak sedikit pun. Ingin rasanya Aria complaint, tetapi dia sangat sadar akan posisinya. Meski memiliki jabatan cukup baik, tetap saja dia hanya seorang karyawan.“Susah payah aku berada di posisi ini. Jangan sampai hanya karena satu kesalahan, aku keluar dari tempat yang aku perjuangkan!” Aria bergumam seraya menatap cermin. Kantung mata sebesar bola golf Aria tutupi dengan riasan wajah yang sedik
Keluar dari taksi, kaki jenjang Aria melangkah cepat menuju lobi salah satu gedung kantor di bilangan pusat kota New York. Tubuh langsingnya dibalut setelan blazer putih, dengan celana panjang bahan katun warna senada. Berjalan anggun layaknya model papan atas membelah kesibukan di sana. Dia memasuki lift berdesakan dengan orang-orang yang sama-sama mengejar waktu.Bibir Aria merah muda, bersungut-sungut dalam diam. Pikiran wanita cantik itu kacau balau, hatinya berantakan. Lengkap sudah penderitaan yang dialami Aria belakangan ini. ‘Awas saja kalau aku bertemu denganmu, Rachel!’ batin Aria menggerutu. Ya, Rachel Brown adalah sekretaris Aria sekaligus teman yang dia percayai mencarikan gigolo untuknya. Namun sial, dia malah mendapatkan kekacauan.Sambil melangkah keluar lift, kaki Aria menapaki langkah dengan ketukan keras. Wajahnya sedikit menegang, menimbulkan banyak pertanyaan dari beberapa staff. Namun, dia tidak peduli bisikan-bisikan angin itu. Khusus hari ini, dia tidak ingin
Pening menghantam kepala Aria dengan keras. Tubuhnya terasa kosong setelah mengetahui fakta mencengangkan itu. Sebelah tangannya menepuk dahi, merutuk, memaki, dan menyalahkan diri karena nasib sial tak jengah menyapanya sejak kemarin. Bibirnya bergetar pelan, paras cantik dilapis riasan naturalnya berubah pias. Sosok yang membelakanginya kini, terlelap begitu dalam. Pundak pria itu naik turun perlahan, menegaskan betapa lelah tubuhnya berpacu dengan kenikmatan semalam. “Kenapa aku bodoh sekali?!” Aria memaki, dengan dua tangannya sudah hinggap di kepala, menarik helai demi helai surainya yang sedikit berantakan. “Jadi semalam aku menuntut seorang pria asing untuk menanamkan benih di rahimku? Astaga! Ini gila! Apa yang kau lakukan, Aria?!” Gumaman frustasi di mulutnya tertahan. Setingkat lagi suaranya naik oktaf, masalah besar akan kembali menyapa. Kamar itu terasa lebih dingin, sedingin hati dan pikiran Aria yang kini kosong. Dia menyangga sebagian tubuhnya dengan siku, mengedar p
Sebuah kelab malam yang megah, suasana dipenuhi dengan cahaya berwarna-warni yang berkilauan, menciptakan atmosfer yang penuh energi dan kegembiraan. Musik berdentum keras dari sistem suara canggih, menggetarkan lantai dan membuat setiap orang bergerak mengikuti irama.Gemerlap lampu diskotik berpendar menyilaukan mata. Dentum musik DJ menghentak cepat diikuti debar jantung yang mulai naik. Seorang wanita cantik bernama Aria hampir terkapar di sofa paling dekat dengan area lantai dansa yang ada di kelab malam itu.Rambut panjang wanita cantik itu jatuh terurai menutupi paras cantiknya. Tampak jelas pipinya merona merah efek dari alkohol yang baru dia tengguk. Ya, dia terlihat payah dalam hal meminum alkohol.“Pria sialan! Mati saja kau!” Suara Aria meracau cukup keras, tetapi disinilah tempat semua orang melepas penat yang mereka bawa dari dunia luar. Pengunjung lain yang berpasangan di kelab malam itu sekilas melirik Aria yang duduk seorang diri, lalu berakhir tidak peduli.Aria men