Keheningan membentang, ruang kerja megah itu berubah mencekam. Aura intimidasi begitu terlihat jelas. Belum ada suara yang terucap, akibat ketegangan dari sebuah permintaan Ethan Reynolds. Embusan napas gelisah samar-samar mulai terdengar, tetapi tetap tak ada lidah yang menyusun kata.
Aria berdiri mematung seraya menelan ludahnya berat, dan beberapa kali wanita cantik itu mengerjapkan matanya beberapa kali, demi mengumpulkan kesadaran setelah sekian lama pikirannya mengawang jauh. Ya, dia masih belum bisa berkata apa pun, mencoba mencerna dengan baik kata demi kata yang telah diucapkan oleh Ethan Reynolds.
“M–maaf, apa maksud Anda, Tuan?” tanya Aria pelan, tetap mencoba tenang guna menjaga kewarasan otak.
“Aku rasa apa yang aku katakan tadi sudah jelas, Nona Scott,” jawab Ethan mendominasi, seraya menatap dalam mata Aria.
Aria mencoba mencari kewarasan di dalam dirinya. Kali ini dia tertawa canggung, seakan apa yang dia dengar barusan adalah sebuah lelucon. “Tuan, saya tidak menyangka kalau Anda ternyata pandai mencairkan suasana,” katanya merasa yakin bahwa pasti Ethan Reynolds hanya bercanda saja.
Ethan terus menatap Aria, tampak jelas tatapannya mengunci ke mata cokelat terang wanita itu. “Apa aku terlihat seperti orang yang bercanda?”
Tawa yang Aria paksakan barusan seketika lenyap di udara. Wanita cantik itu tidak bisa lari ke mana pun lagi saat ini. Jantungnya berdebar tak karuan—seakan ingin lompat dari tempatnya.
Ya Tuhan! Salah apa aku sampai harus berurusan dengan pria ini? batin Aria dengan raut wajah panik.
Jika tidak mengingat fakta bahwa pria di depannya ini adalah sumber uang, Aria tidak akan menahan dirinya untuk tidak meninggalkan jejak kemerahan di pipi Ethan. Pria itu berani bicara kurang ajar padanya.
Ethan tersenyum sinis, tetapi ekspresi itu justru membuat wibawanya terlihat lebih seksi di mata Aria. “Kau hanya punya dua pilihan, Nona Scott. Menerima tawaranku, atau kembali ke kantor dengan tangan kosong.”
“Aku cukup tahu bagaimana sosok Tuan Sinatra, dia sangat membenci kegagalan. Kau bisa bayangkan, bagaimana reaksinya jika kau memilih pilihan kedua,” lanjut Ethan lagi, menyudutkan.
Sejujurnya saat ini Aria tengah mengisi batinnya dengan segala sumpah serapah untuk Ethan. Pria itu benar-benar pandai mendominasi situasi hingga dia merasa terpojok.
Ethan menyandarkan punggungnya ke sofa, dengan kedua tangan tersampir santai di sisi kanan dan kiri tubuhnya. Pria tampan itu seakan membiarkan Aria tenggelam dalam kebimbangan yang sama sekali tidak menguntungkannya.
Aria menggeser tubuhnya, mencari posisi yang nyaman untuk bicara. “Maaf, Tuan, bukankah apa yang Anda tawarkan tadi bukan bagian dari urusan pekerjaan?” balasnya mencoba tetap profesional.
“Bukankah kau sendiri yang bilang, kau akan melakukan apa pun demi memenuhi ekspektasiku?” tanya Ethan seraya mengukirkan seringai di wajah tampannya.
Bibir Aria langsung bungkam saat Ethan kembali mengingatkan ucapan yang terlontar kurang dari lima belas menit lalu. Wajah wanita itu kini pias, seakan darah berhenti mengalir di tubuhnya.
“Tapi, jika kau keberatan dengan tawaranku, tidak masalah. Aku akan mengatakan pada Tuan Sinatra bahwa manajer kesayangannya ini gagal meyakinkan aku untuk berinvestasi,” ucap Ethan lagi dengan penekanan di setiap kalimat.
Aria seperti sedang berdiri di tepi jurang. Wanita itu diberi dua pilihan tetapi tidak satupun yang bisa membuatnya bernapas lega. Tangannya sedikit mengepal, menunjukkan dia berusaha keras menahan amrah di dalam dirinya.
Pria bajingan! Kelihatannya dia memang sengaja menempatkan aku di posisi sulit. Apa tujuan dia melakukan ini padaku? batin Aria menjerit
“Bagaimana, Nona Scott? Kau sudah menghabiskan waktu lima belas menitku dengan percuma. Jika kau masih ragu, kembalilah ke kantormu dan hadapi resikonya. Waktuku terlalu berharga untuk berhadapan dengan orang plin-plan!” kata Ethan tak sabar. Pria tampan itu sudah hendak beranjak dari tempat duduknya. Pandangannya turun, menatap Aria di bawahnya sekilas lalu mulai melangkah.
“Tunggu, Tuan Reynolds!” panggil Aria, menghentikan langkah Ethan yang hendak pergi. Tangannya refleks menarik sebelah tangan Ethan yang paling dekat dengannya, lalu mengangkat kepala dengan sorot memohon. Ethan langsung menoleh, menatap tangan yang dijegal Aria. “Mari kita buat kesepakatan dan mendiskusikannya lebih detail,” ucapnya ambigu.
Sejenak dua orang itu hanya saling melempar tatap penuh arti, tetapi isi pikiran keduanya, sama-sama tengah mencari celah keuntungan satu sama lain.
***
Aria baru saja turun dari taksi, melangkah ke lobi dengan elegan tetapi di balik itu, batinnya berteriak keras. Beberapa staf kantor yang berpapasan dengannya, menyapa ramah dan dia hanya membalas dengan senyum yang dipaksakan.
Wajah wanita itu menegang, di balik riasan paripurna yang susah payah dia poles tadi pagi. Suara ketukan lantang sepatu di lantai marmer, menegaskan bagaimana isi pikiran Aria saat ini. Membuat beberapa orang yang berada di lift bersamanya, dibungkam kebisuan.
Saat dia keluar dari lift dia terkejut karena mendapati area kerja karyawan kosong melompong. Beberapa komputer masih menyala. Uap panas dari gelas kopi di beberapa meja staff terlihat mengenaskan setelah dicampakkan oleh pemiliknya.
“Ke mana perginya mereka?” ucap Aria seraya melirik jam di pergelangan tangan. “Belum waktunya jam istirahat tapi mereka absen dari pekerjaan.”
Ketika dia hendak memasuki ruang kerjanya, Aria semakin mendesah kesal karena tidak menemukan Rachel di tempatnya. “Sepertinya mereka memang sengaja membuat aku jadi sasaran empuk Tuan Frank.”
Bersama segala perasaan yang berkecamuk di dada, dan pikiran carut-marut, Aria melangkah masuk ke ruangannya. Tepat ketika membuka pintu, betapa terkejutnya dia melihat segerombol orang sudah berkumpul di sana.
Kedatanganya disambut dengan riuh tepuk tangan para staff. Disusul suara Frank yang muncul di tengah-tengah mereka.
“Aria, sudah kuduga, kau memang selalu bisa diandalkan,” ucap Frank dengan dada yang membusung bangga. Dia menghampiri Aria, lalu menepuk pelan pundak wanita itu. “Aku sudah mendengar kabar dari Tuan Reynolds. Dia sangat menyukai caramu mempresentasikan proyek kita ini dan dia bersedia memberikan suntikan dana bahkan tiga kali lipat dari yang kau ajukan. Fantastis! Good job, Aria! Aku sangat bangga padamu!”
Tepuk tangan Frank disambut riuh suara para staf di belakangnya. Tanpa ada yang tahu, di tengah euforia keberhasilan Aria memenangkan proyek ini, ada sebuah pengorbanan yang tidak bisa dia ungkapkan.
Aria mengulas senyum palsu, demi menutupi perasaan bergejolak yang ditahan di dada. Mengedar pandangannya pada satu per satu wajah yang ikut berbahagia dengan pencapaian besarnya.
“Terima kasih, Tuan Frank dan semua rekan. Saya hanya berusaha memberikan yang terbaik untuk perusahaan ini,” ucap Aria dengan senyuman yang dia paksakan.
Rachel yang berdiri di belakang Tuan Frank, maju dengan sebuah buket bunga di tangan. “Selamat, atas pencapaian besarmu, Aria. Kau adalah pimpinan panutan kami.”
“Terima kasih, Rachel. Ini semua juga berkat dukungan kalian.” Aria membalas. Penciumannya disambut oleh aroma lembut dari rangkaian bunga mawar yang disusun indah.
Frank mengeluarkan secarik amplop dari saku jasnya kemudian menyerahkan benda itu pada Aria. “Aria, sesuai dengan ucapanku di rapat, ini adalah cek tunai dengan nominal bonus yang aku janjikan.”
Aria tidak tahu bagaimana harus bereaksi ketika amplop itu sudah sampai di tangannya. Wanita itu hanya mematung, menatap amplop itu dengan tatapan hampa dan perasaan tak minat lagi.
Pada akhirnya, hasil apa pun yang dia terima, Aria hanya ingin kestabilan dalam karirnya. Dia tidak mau munafik bahwa dirinya juga menyukai uang. Namun, saat dihadapkan pada seorang Ethan Reynolds, uang sepuluh ribu dolar pun tak lagi membuatnya ambisius.
Para staf yang menyaksikan itu bergumam iri. Membayangkan mereka yang ada di posisi Aria saat ini—di mana mendapatkan bonus besar dari bos mereka.
Lamunan Aria mendadak buyar saat Frank mengucapkan sebuah hal yang membuatnya melotot. “Tidak hanya bonus yang kau terima dariku, Aria. Aku masih punya bonus lain untuk staf berprestasi sepertimu,” ucap Frank lagi. Ekspresinya menyimpan sebuah rencana yang tidak bisa Aria tafsirkan maksudnya. Sialnya, hal itu justru membuat Aria merinding sekaligus penasaran.
“Aku akan memberikan bonus cuti tiga hari ke depan, karena kau telah bekerja keras selama dua minggu ini,” lanjut Frank dengan senyuman di wajahnya.
Sekian lama kehilangan minat, baru detik ini Aria merasakan hatinya tergugah. “Benarkah, Tuan? Aku boleh libur selama beberapa hari?” Dia bertanya dengan antusias. Reaksinya kontras dengan ekspresi yang ditunjukkan saat baru datang tadi.
Frank mengangguk, untuk pertama kalinya, semua staf Sinatra Group melihat senyum manis di wajah CEO mereka. “Ya, tidak hanya itu, Tuan Reynolds juga memberikan hadiah voucher liburan bersamaan dengan cuti yang aku berikan. Jadi, kau bisa beristirahat sejenak mulai besok dan jangan lupa untuk mengucapkan terima kasih padanya.”
Tubuh Aria membeku, dengan ekspresi wajah yang sulit untuk diartikan.
Mengetahui nama Ethan Reynolds terlibat dalam segala fasilitas yang diberikan untuknya, bulu romanya meremang. Wanita itu menyadari bahwa bahaya benar-benar ada di hadapannya.
Gurat langit malam dihiasi taburan bintang di luar jendela, menjadi lukisan paling apik malam ini. Setelah puas membeli banyak barang, ini waktunya Aria kembali ke dalam sangkar emasnya—unit penthouse milik Ethan. Hingar bingar lampu perkotaan di bawah kaki gedung yang memiliki jumlah lantai 63 itu, kontras dengan sunyi yang menemani Aria yang berdiri di depan cermin di kamar mandi seluas kamar apartemennya.Sudah sepuluh menit Aria berdiri di sana, menatap lingerie malam warna merah marun dengan hiasan renda dan belahan rendah di bagian dada, mengekspos sepasang payudaranya terlihat menantang.Lingerie itu adalah satu dari sekian banyak lingerie yang dipilih Ethan untuk dia kenakan. Jangan tanya berapa banyak yang Aria beli. Seperti yang dijanjikan Ethan, Aria diizinkan membeli apa pun termasuk semua kostum dinas malam yang jumlah puluhan.Terdengar sangat gila. Ini kesepakatan yang ada. Aria telah terjebak dengan kesepakatan yang sudah dia setujui. Namun, dia kembali mengingat bahwa
Hamparan gedung-gedung pencakar langit di depannya tak henti membuat Aria menatap kagum akan pemandangan luar biasa itu. Angin berembus menerpa, menyentuh kulit mulusnya. Udara menyejukan di musim semi seakan memberikan kedamaian. Namun, fakta yang ada adalah dirinya sudah lama tak lagi merasakan sebuah kedamaian.Aria berdiri di balkon sebuah penthouse mewah. Jelas, ini bukan miliknya. Dia tak memiliki banyak uang untuk membeli sebuah penthouse mewah. Meski memiliki jabatan baik di perusahaan, tetapi tak mungkin membuat dirinya memiliki hunian mewah ini.Saat memasuki penthouse, hal yang pertama kali dipikirkan Aria adalah sempurna. Siapa pun yang tinggal di hunian mewah ini pasti akan selalu merasakan kenyamanan luar biasa. Apalagi dekorasi yang mendukung—membuatnya benar-benar merasakan sensasi hangat serta ketenangan.Wanita cantik itu tak menampik bahwa ini pertama kali dia menginjakkan kaki di sebuah hunian mewah ini. Lift dibangun khusus untuk langsung menuju penthouse. Sangat
Tepat pukul tujuh malam, Aria baru menapaki apartemen yang dia tinggali seorang diri. Aroma pengharum ruangan menyeruak keindra penciuman, memberikan ketenangan jiwa. Kamar yang selalu bersih, seakan memberikan terapi di dalam dirinya yang sedang kacau.Ya, dia memang paling tak suka jika meninggalkan apartemen dalam keadaan berantakan. Meski selalu dilanda kesibukan, tetapi dia berupaya menjaga apartemennya untuk tetap selalu bersih—meski jujur ada momen di mana apertemennya berantakan, tapi itu tidak akan lama, karena dia benci ruangan yang tak rapi.Aria menaruh tasnya sembarang di atas ranjang, dia beralih menuju kamar mandi untuk membasuh diri. Tubuh lelahnya tak sabar untuk menjamah ranjang empuk yang sudah dia tinggalkan dua minggu lamanya. Jika biasanya dia akan melepas penat dengan berendam di bath tub, kali ini, dia mengambil keputusan lain. Setelah menanggalkan pakaian kerjanya, dia masuk ke dalam kubikal shower.Bermandikan rintik air dingin yang terasa menusuk tulang. Di
Keheningan membentang, ruang kerja megah itu berubah mencekam. Aura intimidasi begitu terlihat jelas. Belum ada suara yang terucap, akibat ketegangan dari sebuah permintaan Ethan Reynolds. Embusan napas gelisah samar-samar mulai terdengar, tetapi tetap tak ada lidah yang menyusun kata.Aria berdiri mematung seraya menelan ludahnya berat, dan beberapa kali wanita cantik itu mengerjapkan matanya beberapa kali, demi mengumpulkan kesadaran setelah sekian lama pikirannya mengawang jauh. Ya, dia masih belum bisa berkata apa pun, mencoba mencerna dengan baik kata demi kata yang telah diucapkan oleh Ethan Reynolds. “M–maaf, apa maksud Anda, Tuan?” tanya Aria pelan, tetap mencoba tenang guna menjaga kewarasan otak.“Aku rasa apa yang aku katakan tadi sudah jelas, Nona Scott,” jawab Ethan mendominasi, seraya menatap dalam mata Aria.Aria mencoba mencari kewarasan di dalam dirinya. Kali ini dia tertawa canggung, seakan apa yang dia dengar barusan adalah sebuah lelucon. “Tuan, saya tidak menyang
Lidah Aria tiba-tiba saja mendadak menjadi kelu. Otaknya benar-benar tak berfungsi dengan baik. Dia sampai memejamkan mata beberapa kali, guna memastikan apa yang dia lihat ini adalah mimpi. Tidak hanya sekadar memejamkan mata saja, tetapi dia juga sampai mencubit jemarinya agar yakin bahwa dirinya sekarang berada di dunia mimpi.Namun, hasilnya Aria merasakan sakit merasakan cubitan yang dia ciptakan. Itu yang membuat dirinya merasa benar-benar seperti tertimpa tangga. Sosok di hadapannya adalah sosok yang dia harap tak dia temui lagi, tetapi apa-apan ini? Kenapa malah dirinya kembali bertemu dengan pria itu lagi? Takdir mengajaknya bercanda.Bagaimana mungkin? Astaga! Pria ini? Dia yang tidur denganku malam itu! batin Aria, dengan raut wajah menunjukkan rasa kesal.Aria memandangi ekspresi wajah yang kontras dengan terakhir kali dia pandangi waktu itu. Bibir bervolume dengan alis tebal menukik, membingkai sepasang mata tajam dan penuh ketegasan begitu tampak sempurna. Oh! Dia baru me
Dua pekan setelah keputusan telak telah dicetuskan oleh sang CEO, Aria disibukkan dengan berbagai pekerjaan yang menumpuk. Bosnya itu menuntut kesempurnaan dalam hal apa pun, termasuk ekspektasinya terhadap keberhasilan presentasi yang akan dia akukan di hadapan sang investor. Selama itu juga tidur Aria tak nyenyak, karena banyak sekali kekhawatiran yang melanda dirinya. Hal yang terus berputar di kepalanya hanya tentang keberhasilan tugas ini dan kestabilan karier yang dia dambakan. Tentu, tak menampik rasa takut itu menggerogoti dirinya.Perkataan Frank seakan-akan mutlak tidak bisa dibantah sedikit pun. Ingin rasanya Aria complaint, tetapi dia sangat sadar akan posisinya. Meski memiliki jabatan cukup baik, tetap saja dia hanya seorang karyawan.“Susah payah aku berada di posisi ini. Jangan sampai hanya karena satu kesalahan, aku keluar dari tempat yang aku perjuangkan!” Aria bergumam seraya menatap cermin. Kantung mata sebesar bola golf Aria tutupi dengan riasan wajah yang sediki