"Ada apa ribut-ribut?!" Bunda tiba-tiba muncul sambil menatap sinis wajahku."Ini loh, Bun. Mas Azis maksa pengen ketemu sama Safaras."Oh, jadi mereka memberi nama anakku Safaras. Tega sekali mereka memberi nama putraku tanpa izin ataupun persetujuan dari diriku. Padahal. Aku ini ayah biologisnya. Orang yang paling berhak atas anak itu."Nggak. Nggak bisa! Faras sedang tidur dan tidak sedang menerima tamu!" sungut wanita berhijab panjang itu dengan sombongnya."Tapi dia itu anak saya, Bunda.""Lah, memangnya siapa yang bilang kalau dia anak Hamzah atau Dimas. Yang selalu berkata seperti itu 'kan kamu sama ibu kamu. Yang menganggap anak Rania bukan darah daging kamu juga 'kan kalian berdua. Aneh!" Ibu Rania melipat tangan di depan dada seraya mencebik bibir.Benar-benar keluarga ini. Berhijab semua akan tetapi tidak ada yang memiliki akhlak bagus. Suul adab semuanya. Penampilan dengan sifatnya tidak seimbang."Saya sudah melakukan tes DNA dan hasilnya DNA saya dan anaknya Rania cocok.
“Gue tidak takut, Azis. Gue nggak akan pernah gentar dengan ancaman elo!” Dia menatap nyalang wajahku.“Bedebah! Dasar Onta Arab!” makiku kesal.Hamzah mengangkat satu ujung bibirnya kemudian melenggang pergi meninggalkan diriku.Sialan!Bakalan gagal mendapatkan Rania dan meminjam uang untuk membeli sepeda motor kalau begini. Bisa habis aku dimaki Mbak Zalfa dan Ibu nanti.“Hamzah, tunggu!” cegatku menghalangi jalannya.“Apa lagi?”“Pinjamin gue duit sepuluh juta. Motor kakak gue ilang. Gue harus ganti motor itu biar nggak dapet masalah.”Lagi. Dahi laki-laki sok tampan itu berkerut sambil menatapku dengan mimik mengejek.“Gue minjem. Nggak minta!” sungutku kesal.“Nggak ada. Gue nggak megang duit sebanyak itu.”“Dasar sombong. Mentang-mentang anak orang kaya, elo sekarang semena-mena sama gue. Awas saja lo!”Aku melenggang pergi menghampiri anak buah Hamzah yang sepertinya sedang memberikan kembalian kepada pelanggan yang telah selesai menyervis mobilnya.“Gue minta selembar!” Menar
"Bun. Nanti setelah selesai masa nifas, aku mau cari kerja supaya tidak terus-menerus merepotkan Bunda dan Kak Dimas. Aku malu karena dari hamil, biaya melahirkan, semua Bunda yang tanggung. Sekarang, ASI aku malah nggak keluar. Faras harus minum susu formula yang harganya juga lumayan cukup menguras isi dompet” ungkapku ketika sedang makan malam bersama."Memangnya kamu mau kerja apa, Ran? Kamu itu 'kan tidak punya pengalaman sama sekali?" tanya Bunda seraya menatap lekat wajah ini."Apa saja yang penting halal. Tidak mungkin 'kan, selamanya menggantungkan hidup kepada orang lain?"Bunda mengambil napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan. Dia terlihat kurang setuju dengan perkataanku, akan tetapi juga tidak mendebat. Mungkin mulai berpikir kalau semua yang aku katakan itu benar. Apalagi, semakin hari kebutuhan Safaras semakin banyak. Kak Dimas juga sebentar lagi mempunyai keluarga baru."Asal jangan kerja terlalu capek saja, Ran.""Iya, Bun. Mudah-mudahan masih ada perusahaan yang
Aku menangis tergugu sambil menatap Safaras yang terus saja menangis. Bingung, pusing, merasa menjadi seorang ibu yang gagal karena hanya memberikan air susu ibu saja aku tidak bisa.“Ya Allah, Ran. Sayang. Kamu kenapa?” Bunda berjalan tergopoh menghampiri.“Bawa Faras keluar, Bun. Dia nangis terus. Berisik!” titahku kesal.“Sini sama Eyang Uti dulu yuk!” Bunda mengangkat putraku dan membawanya keluar dari kamar.Aku duduk memeluk lutut di atas tempat tidur, sambil terus membiarkan air mata ini mengalir deras tanpa berusaha menghapusnya. Siapa tahu dengan menangis beban mental ini akan berkurang dan rasa sesak yang mengimpit dada segera menghilang.“Assalamualaikum, Ran!”Aku hanya menjawab salam tersebut dari dalam hati. Dokter Kayla menghampiri dan segera duduk di tepi ranjang dengan posisi berhadap-hadapan denganku.“Kamu kenapa? Ada masalah?” Dengan intonasi sangat lembut dia bertanya.“Ran, kalau kamu sedang ada masalah, jangan sungkan curhat sama Kakak. Biar beban kamu sedikit b
“Jangan melamun, Ran.”Aku mencoba menarik kedua ujung bibir.“Ran, air mandi Faras sudah Bunda siapin. Yuk! Kita mandiin dedek. Mau kamu yang mandiin atau Bunda?” Bunda menghampiri dan mengambil Safaras dari pangkuanku.“Aku saja, aku bisa, kok!”“Ya sudah. Ayo! Nak Hamzah ngobrol sama Om dulu ya. Tante mau bantuin Rania mandiin anaknya.”“Iya, Tante.”Aku mengekor di belakang Bunda tanpa berucap sepatah kata pun.Setelah sampai di kamar mandi, aku lihat Bunda membuka baju Faras, menyerahkan bayi itu kepadaku dan mengajariku cara memandikannya. Biasanya, dia selalu melarangku untuk melakukan pekerjaan tersebut, seolah aku memang tidak bisa mengurus anakku sendiri dan membuat diri ini merasa semakin tidak berguna.“Siram kepalanya hati-hati ya, sayang,” nasihat Bunda.Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala, sebab entah mengapa mulut ini seakan terkunci dan sulit sekali untuk berbicara.“Ini handuknya!” Wanita berdaster merah muda itu menyodorkan sebuah handuk kecil dan menyuruhku s
Aku lihat mata Rafika sudah basah. Banyak sekali bekas cakaran di wajah cantiknya, juga bibir seksinya sudah mengeluarkan darah.“Ran, sayang. Ya Allah. Kamu yang sabar. Istigfar, Rania. Istigfar!” Kak Hamzah mencoba mengangkat tubuhku yang ternyata sudah duduk di atas perut mantan adik ipar.Entah setan apa yang merasuki sehingga mempunyai keberanian melawan Rafika, bahkan berani menyakiti fisiknya hingga hampir semua pengunjung menyemut melihat adegan anarkis yang tengah aku lakukan. Mungkin setelah ini akan viral karena banyak pengunjung yang sepertinya mengabadikan kejadian itu dan pasti akan mengunggahnya di sosial media.“Dengar ya, Fika. Safaras itu bukan anak haram. Dia itu anak kakak kamu, keponakan kamu sendiri. Dan aku, bukan pelacur seperti kamu!” Menunjuk wajah Rafika yang sudah terlihat begitu berantakan.Perempuan berambut merah itu segera beranjak dan hampir saja menarik hijabku. Akan tetapi Kak Hamzah segera memegangi tangan Rafika seraya menatap menghunus mata dengan
“Ayo, silakan masuk, Rania. Sini Farasnya biar Tante gendong. Kangen Jiddah nggak ketemu Faras tiga hari!” Dengan senyum terus terkembang ibunya Kak Hamzah mengambil Safaras dari gendonganku dan membawanya masuk ke dalam ruang keluarga.Ragu. Aku berjalan mengekor di belakang Kak Hamzah, duduk di sebelah Tante Nafsiah yang sedang asyik menimang-nimang Faras layaknya cucu sendiri.Tidak lama kemudian Om Beni pulang dari kantor. Aku menunduk malu saat ayah Kak Hamzah menatapku, merasa tidak percaya diri bertamu di rumah ini karena dulu pernah menolak Kak Hamzah ketika masih gadis. Sekarang, ah, aku tidak tahu ataukah harus menerima dia atau menolaknya kembali.“Kapan kamu akan menghalalkan Rania, Zah?” Aku terkesiap mendengar pertanyaan Om Beni kepada anaknya. Terbuat dari apa hati keluarga ini, sehingga mau menerimaku dengan kedua tangan terbuka. Padahal statusku saat ini adalah seorang janda beranak satu.“Kan enak kalau begini. Pulang kerja ada cucu menyambut, rasanya capek di badan
Aku mencebik bibir mendengar Ibu mengaku-ngaku kalau Safaras adalah cucunya.“Dari dulu ke mana saja, Bu. Kenapa baru sekarang mengakui kalau Faras itu cucu Ibu. Bukankah Ibu yang sudah menentang mati-matian dan mengatakan kalau Faras itu bukan anak Mas Azis? Sekarang, Ibu malah mengaku-ngaku kalau dia cucu Ibu. Tapi saya paham banget kok maksud Ibu itu apa. Paling nanti ujung-ujungnya Ibu meminta sejumlah uang sama keluarga aku. Ibu ‘kan mata duitan!” Entah mendapatkan keberanian dari mana, aku bisa mengatakan semua itu kepada mantan mertua.“Kamu ngomong apa, Rania. Dasar wanita tidak punya akhlak. Songong kamu sama orang tua!” sungut Ibu seperti orang sedang kebakaran jenggot.“Memangnya kenyataannya seperti itu ‘kan? Yang ada di pikiran Ibu itu hanya ada uang dan uang. Dan soal masalah aku sama Rafika, saya tidak takut kalau Ibu dan Fika melaporkan saya ke polisi. Banyak saksi di sana yang melihat, siapa yang terlebih dahulu memulai keributan saat itu!”“Pokoknya saya tidak mau ta