Share

🖤 EPISODE 10

last update Last Updated: 2025-09-02 18:54:26

Matahari terbenam, memancarkan cahaya hangat di lingkungan mewah Citra Asmarayudha. Di salah satu rumah, sebuah pesta kecil sedang berlangsung—perayaan ulang tahun yang cukup bersejarah.

Rani berdiri di pinggir kerumunan, menggenggam segelas punch. Matanya menyapu dekorasi mewah dan gaun para tamu yang semuanya berkilauan. Ia sadar betul gaun sederhananya jauh berbeda dengan busana para sosialita—apalagi Tasya dan gengnya.

Tasya, seperti biasa, jadi pusat perhatian. Suaranya lantang, tawanya renyah.

“Jadi kemarin aku ke Paris,” katanya, matanya berbinar. “Kalian harus lihat koleksi musim terbaru di butik Avenue Montaigne. Desainernya langsung nyambut aku, bayangin! Aku bahkan dapat akses private showroom. Beneran… rasanya kayak mimpi.”

Orang-orang di sekitarnya terkekeh, mengangguk-angguk, terpesona oleh cerita yang ia lontarkan. Rani hanya diam, mendengarkan, separuh kagum, separuh iri.

Zenira mendekat, berbisik di telinga Rani dengan nada penuh rahasia.

“Luar biasa, ya? Tasya itu… selalu punya cerita paling wah. Kadang aku mikir, hidupnya kayak dongeng.”

Rani mengangguk setengah hati. Pandangannya masih tertuju pada senyum Tasya yang bersinar terang di tengah lingkaran penggemarnya. Ada sesuatu yang menusuk di dadanya—cemburu, mungkin juga keinginan.

Zenira menambahkan, kali ini dengan tatapan nakal.

“Tapi… katanya nggak semua semewah kelihatannya.” Ia menoleh kanan-kiri, lalu merendahkan suara. “Aku dengar, Tasya sama Dimas itu… yah, pernikahannya nggak sekuat cincin berlian yang dia pamerin.”

Mata Rani membesar. Hatinya berdegup kencang. Ia memang pernah merasakan ketegangan di antara Tasya dan Dimas, tapi mendengar gosip itu membuat semuanya terasa lebih nyata—dan jauh lebih menarik.

Kata-kata Zenira membuat Rani merinding. Tanpa sadar, matanya melirik ke seberang ruangan—ke arah Dimas. Ia berdiri gagah di tengah kelompok pria, tertawa kecil sambil mengangguk pada percakapan mereka. Rapi, percaya diri, dan menawan.

Seolah sadar sedang diperhatikan, Dimas menoleh. Pandangan mereka bertemu. Rani langsung menahan napas, dan ketika ia melihat senyum tipis itu—senyum yang seakan hanya untuknya—dadanya bergetar hebat.

Sayangnya, momen itu buyar seketika. Tawa keras Tasya meledak, memenuhi ruangan, menarik semua mata kembali padanya.

Zenira menoleh dengan senyum penuh arti.

“Lihat, kan?” bisiknya nakal. “Tasya boleh punya harta dan kemewahan, tapi Dimas… ada sesuatu di dirinya yang bikin penasaran.”

Rani tersipu. Cepat-cepat ia memalingkan wajah, menyesap punch-nya, berharap bisa mengusir pikiran aneh yang mulai berputar di kepalanya.

Tak lama, langkahnya membawanya makin dekat ke tempat Dimas berdiri. Ia pura-pura meneliti lukisan di dinding, padahal telinganya fokus menyimak percakapan para pria.

“Kontrak baru sama Hartono Industries kayaknya menjanjikan,” ujar salah satu pria dengan nada setengah iri. “Pak Satya pasti senang.”

Dimas hanya mengangguk tenang.

“Kesepakatan besar,” katanya singkat. “Tapi, tentu saja, ada tantangannya.”

Nama itu—Hartono Industries—langsung membuat jantung Rani berdegup lebih cepat. Ia teringat desas-desus Zenira tentang Tasya dan Elano Hartono. Apakah ada kaitannya?

Belum sempat ia menelaah, suara Dimas tiba-tiba menyapanya.

“Rani.”

Rani terlonjak kecil. Semua kepala menoleh. Ia sempat ragu, lalu melangkah maju dengan wajah menunduk.

"Ya, Tuan Satya?” ucapnya pelan.

Tatapan Dimas menelusuri dirinya, ada sesuatu di balik sorot matanya yang sulit dijabarkan.

“Bisa ambilkan dokumen kontrak Hartono? Ada di ruang kerja saya.”

Rani mengangguk cepat, lega punya alasan menjauh dari kerumunan.

“Tentu. Saya segera ambil.”

Ia hendak berbalik ketika tiba-tiba Dimas menahan lengannya. Sentuhan itu lembut, nyaris tak kentara, tapi cukup untuk membuat darahnya berdesir.

“Rani,” suaranya rendah. “Kau… terlihat cantik malam ini.”

Pipi Rani panas. Ia mendongak sepersekian detik, lalu buru-buru menunduk lagi.

“Terima kasih,” bisiknya, cepat-cepat menarik tangannya. “Saya segera kembali.”

Dengan jantung berdebar, ia melangkah pergi, mencoba menenangkan diri—padahal dalam hatinya, kata-kata Dimas terus menggema.

Rani bergegas keluar dari pesta, jantungnya masih berdebar. Sentuhan tangan Dimas… tatapannya… "Kenapa aku merasa seperti ini? Apa maksudnya dia bilang aku cantik?"

Ia menggeleng cepat. "Fokus, Ran. Tugasmu cuma ambil kontrak. Itu saja."

Begitu masuk ke mansion yang sepi, keheningan menusuk telinga. Koridor terasa panjang, langkahnya nyaris bergema. Ia menarik napas panjang di depan pintu ruang kerja yang setengah terbuka.

Perlahan ia dorong pintu—dan membeku.

Tasya berdiri di sana bersama seorang pria asing, tinggi dan tampan. Mereka begitu dekat, tak sadar pintu terbuka.

“…Aku tidak peduli risikonya,” suara Tasya terdengar tajam, mendesis. “Kita sudah terlalu jauh untuk mundur.”

Rani menahan napas. Apa ini?

Pria itu mengusap rambutnya, frustrasi. “Tasya, masuk akal. Kalau Dimas tahu—”

“Kalau Dimas tahu, kita menyangkal. Dia terlalu sibuk dengan bisnisnya untuk curiga.”

Rani berdiri kaku, jantungnya memukul-mukul rusuk. "Ya Tuhan… aku harus pergi. Tapi… aku nggak bisa…"

Pria itu menggeleng. “Ini gila. Kita main api.”

Tasya tiba-tiba mendekat, menempelkan tangannya di dada pria itu. Suaranya berubah lembut. “Elano… kamu nggak percaya padaku?”

Rani ternganga. "Elano? Elano Hartono?!" Potongan-potongan gosip Zenira dan percakapan Dimas berputar di kepalanya. Jadi… mereka…?

Elano akhirnya mengangguk. “Baiklah. Tapi hati-hati. Kalau sampai terbongkar—”

“Itu tidak akan,” potong Tasya penuh percaya diri. “Rani terlalu naif untuk mencurigai apa pun.”

Nama itu—namanya sendiri—membuat darah Rani membeku. "Mereka bicara tentang aku…?" Ia menekan tubuhnya ke dinding, hampir tak berani bernapas.

Mendadak, ponsel Tasya berdering keras. Rani hampir melompat karena kaget.

“Apa?” jawab Tasya cepat, ekspresinya menegang. Lalu ia menatap Elano, wajahnya berubah serius. “Itu Dimas."

Elano mengumpulkan dokumen di meja dengan gerakan kasar. “Kita lanjutkan lain kali. Tetap dekat sama Rani—jangan sampai ada celah.”

Rani merasakan hawa dingin menjalar di punggung. "Apa maksudnya… dekat denganku?"

Tasya menutup telepon, lalu menatap Elano dengan wajah campuran takut dan tekad. “Kamu dengar sendiri. Kita harus keluar sekarang.”

Elano mengangguk singkat. “Kamu duluan,” bisiknya pada Tasya. “Aku menyusul sebentar lagi. Kita nggak bisa ketahuan bersama.”

Tasya ragu sejenak, lalu mengangguk. Saat melewati tempat Rani bersembunyi, matanya sempat melirik sekilas. Jantung Rani berhenti sejenak. "Ya Tuhan, dia lihat aku?" Tapi Tasya hanya berjalan terus, menutup pintu di belakangnya.

Rani menghela napas gemetar. "Apa yang barusan aku saksikan… benar-benar nyata?" Ia berdiri beberapa detik, tubuhnya kaku, sebelum akhirnya melangkah masuk.

Ruang kerja itu sudah kosong. Di atas meja, sebuah map kontrak tergeletak rapi. Rani meraihnya, berusaha menenangkan tangannya yang bergetar.

Tiba-tiba, selembar foto terjatuh dari sela kertas. Ia membungkuk, mengambilnya—dan tubuhnya langsung membeku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 41

    Rani ragu sejenak, terbelah antara tugasnya kepada Tasya dan kerinduannya untuk bertemu Dimas. Ia tahu tidak bisa mengabaikan paket itu begitu saja, tetapi mungkin ada cara untuk menyelesaikannya dengan cepat dan tetap sampai ke pertemuan mereka. “Aku akan kembali sesegera mungkin,” gumamnya pada diri sendiri, menyelipkan paket itu dengan aman di bawah lengannya. Dengan napas dalam-dalam, ia menyelinap keluar rumah, hati-hati agar tidak terlihat oleh pelayan yang masih berada di sekitar. Udara malam yang sejuk menyentuh kulitnya saat Rani bergegas menuju gerbang. Ia menundukkan kepala dan melangkah cepat, berharap tidak menarik perhatian. Leganya terasa saat Zafla, yang sedang sibuk dengan ponselnya, hampir tidak menoleh saat ia melambaikan tangan. Jantung Rani berdebar kencang saat ia melangkah ke jalan-jalan yang gelap, paket berat di pelukannya. Tiba-tiba, suara lembut terdengar dari bayangan: “Ya?” Nada itu hati-hati, penuh waspada. Rani menelan ludah, genggamannya pada

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 40

    Penthouse rahasia itu adalah tempat perlindungan bagi Rani, tempat ia bisa melarikan diri dari suasana rumah utama yang mencekik dan dari kesendirian pikirannya sendiri. Dimas telah menyiapkannya dengan segala kenyamanan yang ia sukai: sofa mewah, TV layar datar besar, dapur kecil lengkap, dan kamar tidur luas dengan kamar mandi dalam. Di sinilah Rani dan Dimas bisa benar-benar jujur satu sama lain, tanpa takut dihakimi atau dibalas dendam. Rani duduk di sofa, menyeruput segelas anggur sambil menatap lampu kota yang berkelap-kelip melalui jendela dari lantai hingga langit-langit. Ia tidak bisa menahan rasa bersalah yang terus menghantuinya. Ia tahu apa yang dilakukannya salah—mengkhianati kepercayaan saudara perempuannya dan merusak fondasi keluarga mereka. Namun, di sisi lain, cintanya pada Dimas terlalu kuat untuk ditolak. Suara pintu penthouse yang terbuka menarik Rani keluar dari pikirannya. Ia menoleh dan melihat Dimas masuk, tubuhnya yang tinggi bersiluet di lorong. Ia mengu

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 39

    Afqlah keluar dari kamar, wajahnya masih berkerut karena baru bangun tidur. Dia mendekati Ayah yang sedang membaca koran di ruang tamu, tangan mungilnya memeluk boneka beruang. "Ayah," kata Afqlah mengantuk sambil menggosok matanya dengan tangan yang bebas, "kenapa Tante Rani selalu menghabiskan lebih banyak waktu denganku daripada Mommy?" Dimas menurunkan korannya perlahan, menatap Tasya yang duduk di meja makan, asyik dengan ponselnya seperti biasa. Ia menghela napas pelan sebelum kembali menoleh ke Afqlah. "Baiklah, sayang," katanya lembut. "Ibumu sangat sibuk. Dia punya banyak tanggung jawab yang menyita waktunya." Afqlah mengangguk perlahan, mencerna kata-kata ayahnya. "Tapi Tante Rani sepertinya tidak sibuk," katanya, alis mungilnya berkerut kebingungan. "Dia selalu di sini, bermain denganku dan membantuku mengerjakan pekerjaan rumah." Ekspresi Dimas melunak mendengar pengamatan polos Afqlah. Ia tahu Rani memang menghabiskan jauh lebih banyak waktu dengan putrinya dibandingk

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 38

    Dimas dan Rani duduk di ruang tamu, tenggelam dalam percakapan tenang ketika suara sepatu hak tinggi beradu dengan marmer menandakan kedatangan Tasya. Ia melangkah masuk dengan anggun—gaunnya berkilau, riasannya sempurna—namun ada sedikit goyangan di langkahnya yang menandakan ia sudah terlalu banyak minum di pesta tadi. “Wah, wah,” ucapnya dengan suara tidak jelas, matanya menyipit melihat Dimas dan Rani yang duduk begitu dekat. “Apa yang kita punya di sini?” Dimas berdiri dengan tenang, ekspresinya tetap netral. “Hanya membicarakan beberapa urusan rumah tangga,” katanya datar. “Rani sangat membantu di rumah… sesuatu yang tampaknya sering kamu lupakan.” Bibir Tasya melengkung sinis. “Oh, begitu? Dia?” tanyanya tajam. “Saya yakin dia senang sekali bermain peran sebagai pengurus rumah tangga kita.” Mata Dimas menajam menanggapi nada meremehkannya. “Rani bukan sekadar pengurus rumah tangga,” ucapnya tegas. “Dia keluarga—sesuatu yang sepertinya sudah kamu lupakan dalam usahamu men

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 37

    Setelah semua orang tertidur lelap, Rani diam-diam pergi ke penthouse mini untuk menemui Dimas, sesuai janji mereka. Ia merayap perlahan melewati rumah yang gelap, jantungnya berdebar keras di dada. Rumah itu sunyi—satu-satunya suara hanyalah dengung AC di kejauhan dan sesekali derit dinding yang mengendap. Ia bergerak hati-hati, menghindari bagian lantai yang tahu-tahu bisa berderit di bawah pijakannya. Saat mendekati pintu penthouse mini, Rani ragu sejenak. Tangannya melayang di atas gagang pintu. "Bagaimana kalau seseorang melihatku? Bagaimana kalau Kak Tasya, atau salah satu yang lain, mengikutiku?" Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Sebelum ia bisa mengubah pikirannya, Rani memutar kenop pintu dan menyelinap masuk, menutupnya perlahan di belakang. Ruangan itu gelap, tapi ia bisa melihat siluet Dimas yang duduk di sofa—wajahnya samar diterangi cahaya ponsel. “Rani,” katanya lembut begitu gadis itu mendekat, menyingkirkan ponselnya. “Kau datang.” Rani

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 36

    Adzkiya mengernyit kecil, menatap bergantian antara Tasya dan Rani. “Begitu, ya?” ucapnya pelan. “Padahal aku tadi sempat melihat Dimas menatapnya. Mereka tampak cukup akrab, kalau boleh jujur.” Hati Rani mencelos. Apakah mereka menyadari sesuatu? Apakah mereka mencurigai hubungan rahasianya dengan Dimas? Ia melirik ke arah Tasya, mencoba membaca reaksinya. Wajah Tasya tetap tenang, tetapi Rani sempat melihat rahangnya menegang. “Aku yakin kamu salah,” ujar Tasya dengan manis, suaranya meneteskan kepura-puraan yang lembut. “Dimas hanya bersikap baik pada kerabat kecil kita yang malang. Bagaimanapun, dia memang berhati emas.” Adzkiya mengerutkan bibir, jelas tidak sepenuhnya percaya. Ia menatap Rani dengan pandangan penuh perhitungan. “Hmm... mungkin,” katanya perlahan. “Tapi tetap saja, ada sesuatu yang be

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status