LOGINMalam itu hangat dan lembap, udara dipenuhi aroma bunga yang bermekaran dan klorin dari kolam renang. Rani melangkah keluar ke teras, mencari ketenangan dan udara segar setelah seharian melayani setiap keinginan Tasya.
Kolam renang berkilauan mengundang di bawah cahaya bulan, permukaannya tenang dan mulus. Rani berjalan perlahan ke arahnya, kaki telanjangnya menjejak rumput yang sejuk. Saat mencapai tepi kolam, ia duduk di kursi santai terdekat, menghela napas pelan sambil bersandar pada bantal. Keheningan hanya dipecah oleh dengung lembut suara jangkrik dan suara mobil yang lewat di jalan yang jauh. Ia memejamkan mata, membiarkan dirinya rileks sejenak, ketika tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Matanya langsung terbuka, dan ia menoleh untuk melihat Dimas muncul dari kegelapan, handuk melingkar rendah di pinggulnya. Dadanya telanjang, berkilauan dengan tetesan air yang menangkap cahaya bulan. Napas Rani tercekat saat melihat penampakan fisik tubuh Dimas yang kekar. "Rani," kata Dimas lembut, suaranya hampir berbisik. "Aku tidak menyangka akan menemukanmu di sini." Rani segera berdiri, tiba-tiba menyadari betapa tidak pantasnya ia berada di sini sendirian bersamanya dalam keadaan setengah telanjang seperti ini. "Ma-maaf," gagap Rani, "Aku hanya sedang beristirahat. Aku bisa pergi jika Kak Dimas ingin privasi." Dimas menggelengkan kepalanya sedikit, melangkah mendekati Rani. "Tidak, tetaplah di sini," bisiknya. "Malam ini damai," tatapannya intens saat menatap Rani. "Dan aku butuh teman." Jantung Rani berpacu saat Dimas memperpendek jarak di antara mereka, panas dari kulit telanjangnya terpancar ke arah Rani. Ia bisa mencium aroma sabun yang samar dan sesuatu yang unik maskulin, kombinasi yang membuat kepalanya pusing. "Kak," bisik Rani, mencoba mempertahankan kesan profesional meskipun suasananya intim. "Apakah kamu yakin ini pantas?" Suaranya sedikit bergetar, mengkhianati kegugupannya. Seringai kecil muncul di sudut bibir Dimas. "Pantas?" gema suara Dimas lembut. "Siapa bilang ini pantas?" Ia mengulurkan tangan, ujung jarinya dengan ringan menyentuh lengan Rani, mengirimkan getaran listrik ke seluruh tubuhnya. Rani tahu ia harus menjauh, tetapi ia lumpuh oleh sentuhan Dimas dan intensitas tatapannya. "Kak Dimas," Rani menghembuskan napas pelan, nama itu keluar dari bibirnya seperti doa. "Apa yang kamu lakukan? seharusnya kamu tidak melakukan ini" "Ssst," bisik Dimas, menempelkan jari ke bibir Rani. "Jangan berpikir, Rani. Rasakan saja." Tangannya yang lain melingkari pinggang Rani, menariknya hingga menempel di dada Dimas. Rani bisa merasakan detak jantung Dimas di bawah telapak tangannya, menyamai irama denyut nadinya yang berpacu. Bibir Dimas menyentuh bibir Rani dengan sentuhan ringan seperti bulu yang mengirimkan gelombang kejutan ke seluruh tubuh Rani. Itu adalah pertanyaan, undangan, tantangan dan Rani menanggapi dengan menekan dirinya lebih dekat pada Dimas, memperdalam ciuman dengan urgensi yang putus asa. Handuk di pinggang Dimas jatuh saat ciuman mereka menjadi lebih bersemangat, lebih menuntut. Tangan Dimas menjelajahi tubuh Rani, menarik-narik kain gaunnya dengan tidak sabar. Rani membantu Dimas, melepaskan gaun itu dari bahunya dan membiarkannya jatuh ke kaki, hingga ia berdiri di hadapan Dimas hanya dengan pakaian dalamnya. Momen intim itu hancur oleh suara pintu yang terbanting menutup di suatu tempat di rumah. Mereka membeku, tubuh mereka masih terjalin dan jantung mereka berdebar kencang. Gangguan itu berfungsi sebagai pengingat yang keras tentang di mana mereka berada dan betapa berbahayanya situasi mereka. Dimas sedikit menarik diri, matanya mencari mata Rani dengan campuran hasrat dan kekhawatiran. "Seseorang bangun," bisik Dimas mendesak. "Kita tidak bisa ketahuan seperti ini." Tatapannya beralih ke rumah, mendengarkan dengan seksama tanda-tanda gerakan apa pun. Rani mengangguk dalam diam, pikirannya dipenuhi kepanikan. Memikirkan akan ketahuan dalam posisi yang begitu membahayakan mengirimkan rasa dingin ke tulang punggungnya. Ia dengan cepat meraih gaunnya, menariknya kembali dengan tangan gemetar. Dimas mengawasi Rani sejenak sebelum membungkuk untuk mengambil handuknya. Ia melilitkannya di pinggangnya sekali lagi, menutupi ketelanjangannya tepat saat langkah kaki mulai bergema di lorong di dalam. "Rani," bisik Dimas lembut, suaranya rendah dan mendesak. Matanya menembus mata Rani, dipenuhi dengan intensitas yang ganas. "Kita akan menyelesaikan apa yang sudah kita mulai."Elano bersandar santai di dinding kamar pribadi Tasya, tangannya dilipat di dada sambil memperhatikan Tasya yang berjalan gelisah bolak-balik. "Kamu terlalu memikirkan hal ini," katanya dengan suara tenang, sangat kontras dengan energi gelisah Tasya. Tasya berbalik menatapnya, matanya berkedip marah. "Terlalu banyak mikir? Bentaknya. "Pelacur kecil itu mencoba mencuri suamiku dari bawah hidungku, dan kamu bilang aku terlalu memikirkannya?" Elano mengangkat bahu santai, tidak terganggu oleh kemarahan Tasya. "Dia cuma seorang gadis," ujarnya datar. "Gadis naif dan bodoh yang nggak tahu tempatnya." "Dan bagaimana dengan Dimas?" Tasya menuntut, suaranya meninggi. "Dia yang menyemangatinya, memberi harapan bahwa mungkin ada sesuatu di antara mereka." Ekspresi Elano jadi gelap, senyum kejam menyungging di bibirnya. "Mungkin sudah saatnya mengingatkan Dimas tentang tugasnya," katanya lembut, melangkah dari dinding dan mendekati Tasya. "Mengingatkannya bahwa kesetiaannya ada di keluarga,
Rani menelan ludah, pikirannya berpacu mencari alasan yang masuk akal. "Aku nggak tahu apa yang kamu omongin, Tasya." Mata Tasya menyipit berbahaya saat Rani terus menyangkal. Ia mendekat, suaranya berubah menjadi bisikan yang mengancam. "Jangan bohong sama aku," desisnya. "Aku tahu ada sesuatu yang terjadi antara kamu dan Dimas." Darah Rani membeku saat mendengar nama Dimas, dan ia berusaha tetap tenang. "Itu nggak masuk akal," ucapnya, berusaha meyakinkan. "Dimas itu suami kamu. Kenapa aku harus ada hubungan sama dia?" Bibir Tasya menyunggingkan senyum sinis, tatapannya tak pernah lepas dari wajah Rani. "Karena kamu itu cewek bodoh yang ngira bisa dapetin semuanya," ejeknya. "Kamu pikir aku nggak tahu soal tatapan-tatapan curi pandang itu? Percakapan bisik-bisik? Cara dia ngeliatin kamu pas aku nggak merhatiin?" "Dan kamu cemburu cuma karena dia ngeliatin aku? Aduh, bukan salahku kalau dia ngelakuin itu, kan kamu sendiri yang bawa aku ke rumah ini." Wajah Tasya memerah karena
Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi buruk bagi Rani. Ia merasa Tasya terus mengawasinya, memperhatikan setiap gerakannya dengan intensitas yang membuatnya merinding. Bisik-bisik mulai terdengar di antara para staf rumah tangga, percakapan yang tiba-tiba berhenti saat Rani masuk ke ruangan, tatapan curiga yang mengikutinya saat ia berjalan di lorong. Rani berusaha mengabaikan perasaan tidak nyaman itu, dan fokus pada tugasnya dan hubungannya dengan Dimas. Namun, semakin sulit untuk berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja, karena setiap sel dalam tubuhnya berteriak untuk lari, menjauh dari suasana curiga dan tidak percaya yang mencekik itu. Suatu malam, saat Rani membantu Afqlah mengerjakan pekerjaan rumah di perpustakaan, ia melihat Tasya berdiri di ambang pintu, mengamati mereka dalam diam. Bulu kuduk Rani meremang saat merasakan tatapan Tasya yang dingin dan menusuk. Rani berusaha fokus pada soal matematika di hadapan Afqlah, tangannya sedikit gemetar saat meraih p
"Apa yang mau kamu omongin?" tanya Rani hati-hati, berusaha menenangkan diri. Tasya menatap Rani dengan tajam, seolah bisa melihat menembus dirinya. "Aku perhatiin ada yang berubah dari kamu belakangan ini," ucapnya perlahan sambil duduk di kursinya dan meletakkan jari-jarinya di bawah dagu. Rani menelan ludah, berusaha tetap tenang. "Berubah?" tanyanya, berharap suaranya terdengar acuh tak acuh. "Iya," lanjut Tasya sambil bersandar di kursinya. "Kamu kelihatan... beda. Lebih gelisah. Dan kamu jadi deket banget sama Afqlah." Rani merasakan keringat dingin di lehernya. Ia tahu ia harus berhati-hati agar Tasya tidak semakin curiga. "Aku... mungkin lagi banyak pikiran belakangan ini," aku Rani hati-hati. "Tapi nggak ada yang perlu dikhawatirin kok... cuma stres karena harus menyesuaikan diri sama peran baru di sini," lanjut Rani sambil tersenyum kecil. "Dan Afqlah itu anak yang manis. Gampang banget sayang sama dia." Tasya menyipitkan matanya, menatap wajah Rani. "Sayang?" ulangny
"Selamat pagi," sapa Rani sambil tersenyum, berusaha menghilangkan sisa-sisa hasratnya dan fokus pada tugasnya. Aysha mendongak dan membalas senyum Rani. "Pagi, Rani. Nyenyak tidurnya?" Rani mengangguk, mendekati Aysha. "Iya, makasih." Ia terdiam sejenak sebelum bertanya, "Ada yang bisa kubantu?" "Sebenarnya ada," jawab Aysha, menyodorkan semangkuk buah ke Rani, "Bisa tolong buat salad buah? Kayaknya enak kalau dimakan sama pancake." "Boleh," jawab Rani, mulai memotong stroberi dan pisang. Sambil bekerja, ia berusaha fokus pada tugasnya dan tidak memikirkan Dimas. Tapi itu sulit, sentuhan Dimas masih terasa di kulitnya, bisikannya terngiang di telinganya "Rani?" Suara Aysha membuyarkan lamunan Rani, dan Rani tersadar bahwa ia sedang menatap talenan tanpa memotong apa pun. "Ya?" jawabnya, memaksakan senyum. "Maaf, aku cuma... lagi banyak pikiran." Aysha menatap Rani dengan khawatir. "Kamu baik-baik aja?" tanyanya lembut. "Kamu kelihatan nggak fokus hari ini." "Aku b
Pagi itu, Rani terbangun dengan rasa pegal di sekujur tubuhnya dan rasa ngilu di antara kedua kakinya, kenangan indah dari malam sebelumnya. Ia menggeliat malas, meringis kecil saat merasakan otot-ototnya tertarik. Di sampingnya, Dimas masih terlelap, tangannya melingkari pinggang Rani. Rani tersenyum lembut, mengamati wajah Dimas. Bahkan saat tidur, ia terlihat gagah dan berwibawa. Dengan hati-hati, agar tidak membangunkan Dimas, Rani melepaskan diri dari pelukannya dan diam-diam pergi ke kamar mandi. Ia menyalakan shower, merasakan kelegaan saat air hangat itu membasahi tubuhnya dan meredakan rasa pegal. Sambil mandi, pikiran Rani melayang ke pertemuan mereka semalam, tangan Dimas di kulitnya, bibirnya menjelajahi setiap inci tubuhnya, dan tubuhnya yang mengisi dirinya sepenuhnya. Ia merinding membayangkan semua itu. Tangan Rani menyentuh perutnya yang masih rata. Di bawah telapak tangannya, ia seolah bisa merasakan kehidupan kecil yang tumbuh di dalam dirinya, hasil dari cin







