Pertanyaan itu menggantung berat di udara, menuntut jawaban yang tak ia miliki. Tenggorokannya menyempit, jantungnya berdebar saat menatapnya.
"Aku… entahlah. Kadang aku merasa seperti orang asing dalam hidupku sendiri." Dimas mengulurkan tangan, hampir menyentuh pipinya. Nafas Rani tersangkut, ingin menjauh tapi juga ingin merasakan sentuhannya. Tiba-tiba, suara langkah kaki memecah ketegangan itu. Dimas menarik tangannya, ekspresinya menegang saat pintu ruang cuci terbuka. Tasya tersenyum muncul di ambang, menatap antara mereka. "Itu dia, sayang. Aku mencarimu kemana-mana." Hati Rani tenggelam melihat Tasya menempel pada lengan Dimas. Keintiman mereka membuat perutnya berputar dengan rasa cemburu baru. "Kita harus segera berangkat." Dimas menatap Rani beberapa saat sebelum beralih pada Tasya. "Tentu. Biarkan aku selesai di sini, nanti aku menemanimu." Tasya mengangguk, tersenyum, tapi sempat melirik Rani, sebuah tatapan penuh makna, tanda perang diam-diam yang sedang terjadi. Begitu Tasya hilang, Dimas menatap Rani, sedikit melunak. "Maafkan interupsi istriku. Silakan lanjutkan pekerjaanmu." Rani mengangguk, tangan gemetar saat meraih kemeja lain. Tapi pikirannya terus berputar tentang pertanyaan dan perasaan Dimas, tentang masa lalu yang terasa familiar tapi hilang. Ada lebih dari sekadar hubungan keluarga dengan Dimas, ia bisa merasakannya. Cara dia menatap, menyentuh seolah mengenalnya secara intim. Tapi Rani tak punya ingatan itu. Saat ia melipat kemeja dengan presisi, pikirannya tertuju pada Tasya. Kecemburuan itu membuatnya bertanya-tanya "apa yang Mbak Tasya ketahui tentang masa laluku yang aku sendiri tidak ingat?" Meski Tasya dan Dimas sudah pergi ke pesta itu, Rani masih duduk beberapa saat, jantungnya berdegup cepat saat mengingat tatapan Dimas yang lama ia rasakan, seolah mengenalnya lebih dari yang seharusnya. Tangannya gemetar saat melipat kemeja terakhir, mencoba menenangkan diri. Di dalam rumah, suasana sunyi. Para pelayan lain sudah beristirahat, hanya detik jam dinding yang sesekali terdengar dari ruang tengah. Saat itu, Rani masih sibuk di dapur, menyeka meja yang sebenarnya sudah bersih sejak tadi. Gerakannya terhenti ketika suara pintu depan terbanting keras, menggema sampai ke lantai di bawah kakinya. Langkah kaki berat menghentak lantai lorong. Rani mengenali iramanya, itu langkah Dimas. Cepat, berat, dan tidak beraturan. Sesaat kemudian, langkah Tasya menyusul, lebih ringan namun sama terburu-buru. Rani menunduk, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Tapi suara Dimas terdengar jelas dari ruang tengah, rendah namun sarat tekanan. “Aku tidak pernah memberimu hak untuk mempermalukanku seperti tadi.” Tubuh Rani menegang. Lap di tangannya terhenti di tengah meja. Ia tidak berniat menguping, tapi suara itu terlalu keras untuk diabaikan. Balasan Tasya datang, tajam dan menyakitkan telinga Rani. “Aku bisa melakukan apa pun yang aku mau. Kau bukan ayahku, Dimas.” Hening beberapa detik, lalu suara Dimas kembali, dingin menusuk. “Kau sedang bermain api, Tasya. Suatu hari nanti, kau akan mendorongku melewati batas.” Rani menahan napas, merasakan udara seakan membeku. “Dimas, hentikan. Kau terlalu dramatis!” suara Tasya meninggi, penuh kejengkelan. “Itu hanya tarian, hanya sentuhan—” “Dan ciuman, Tasya!” potong Dimas keras. “Aku melihat dengan mataku sendiri Elano menempelkan bibirnya ke bibirmu, sementara kau… kau malah membalasnya. Di depan puluhan orang!” Jari-jari Rani bergetar. Lap di tangannya terlepas, jatuh ke lantai. Kata-kata itu menghantam keras dadanya, membuatnya sulit bernapas. Tasya tak kalah meninggi suaranya. “Kau kira aku tidak boleh bersenang-senang? Kau kira aku harus duduk manis jadi istri yang patuh, sementara kau sibuk dengan duniamu sendiri? Elano membuatku merasa… hidup!” Setiap kata itu menusuk telinga Rani. Rasanya seperti mendengar rahasia yang tidak seharusnya ia tahu, tapi telinganya tak sanggup menutup diri. Hening sesaat, sebelum suara Dimas kembali, rendah namun sarat ancaman. “Hidup? Dengan membiarkan pria lain meraba tubuhmu, mencium bibirmu di club tadi? Kau istriku, Tasya. Dan malam ini… kau membuatku hampir kehilangan akal sehatku.” Detak jantung Rani semakin cepat. Kata-kata itu bergaung di kepalanya, memunculkan bayangan yang tak ingin ia pikirkan. Tiba-tiba jeritan Tasya terdengar. “Lepaskan aku, Dimas! Jangan kau berani menyentuhku dengan cara itu!” Suara langkah berat menghentak lantai, diikuti benturan keras, entah meja atau kursi yang tersenggol. Rani menutup mulutnya dengan tangan, tubuhnya bergetar hebat. Ia tahu seharusnya ia pergi, berpura-pura tidak mendengar apa pun. Tapi kakinya seperti terkunci di lantai. Telinganya menolak melepaskan tiap kalimat yang menyesaki udara malam itu. Rani menarik napas panjang, mencoba kembali fokus pada pekerjaannya. Namun kata-kata yang baru saja ia dengar menempel kuat di pikirannya, sulit dihapus meski ia memaksa. Ia buru-buru menegakkan punggungnya, menaruh lap di meja, lalu mengeringkan tangan dengan handuk. Saat itu, Dimas muncul di ambang pintu. Dasinya longgar, rambutnya sedikit berantakan, dan wajahnya tampak lelah. Tubuh ramping Rani yang terbalut gaun sederhana langsung menarik tatapan Dimas. Lelaki itu sempat terdiam sesaat, pandangannya menyapu cepat ke arah tubuhnya sebelum kembali ke wajah. “Rani,” sapanya singkat, suaranya terdengar lebih berat dari biasanya. “Aku tak menyangka kamu masih terjaga.” Rani menundukkan kepala sedikit, berusaha menyembunyikan rona hangat yang merayap di pipinya. “Aku baru saja menyelesaikan pekerjaan di dapur, Kak,” ujarnya pelan. “Ada yang bisa aku bantu?” Dimas menggeleng perlahan, melangkah masuk. “Tidak… tidak ada. Aku hanya…” ucapannya terputus, seolah ragu melanjutkan. Rani memperhatikannya dengan hati-hati. Gerak-gerik Dimas tampak canggung, dan meski ia berusaha mengendalikan diri, pandangan matanya selalu kembali padanya. Rani merasa jantungnya berdetak lebih cepat, membuatnya tanpa sadar menyilangkan tangan di depan dada. Dimas berdehem pelan, lalu mengalihkan pandangan. “Sebenarnya, ada satu hal,” katanya akhirnya. “Aku butuh minuman. Yang kuat.”Keesokan paginya, Rani bangun lebih awal. Sejak semalam pikirannya dipenuhi rasa penasaran tentang liontin itu. Ia pun memutuskan untuk menanyakannya langsung pada Tasya. Saat masuk ke dapur, ia menemukan Tasya sedang duduk santai, menyeruput kopi sambil menggulir ponselnya.“Selamat pagi, Mbak Tasya. Boleh aku tanya sesuatu?” Rani membuka percakapan hati-hati.Tasya mendongak, wajahnya tampak agak jengkel. “Apa? Cepat saja, aku sibuk hari ini.”Rani sempat ragu, lalu mengeluarkan liontin yang ditemukannya. “aku menemukan ini tadi malam di tepi kolam renang. Mbak tahu ini milik siapa?”Mata Tasya sempat melebar sebelum kemudian menyipit curiga. “Kamu menemukannya di mana?”“Di tepi kolam renang,” jawab Rani pelan. “Ada inisial kita di sini… RP dan DES.”Tasya tiba-tiba meraih liontin itu dengan kasar. “Berikan padaku!”Rani terkejut oleh sikapnya yang mendadak agresif. “M-Mbak Tasya? Kenapa? Apa ini milik Mbak?”Tasya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. “Bukan. Itu b
Dimas mengambil ponsel dari Rani, rahangnya menegang saat menatap layar. "Ini semakin sering terjadi," jawabnya pelan, nada muram. "Tasya banyak berpesta akhir-akhir ini. Pulang terlambat, kadang bahkan tidak pulang sama sekali." Dia meletakkan ponsel di atas meja, kemudian mengusap rambutnya dengan frustrasi. "Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana," katanya, suaranya berat karena kekhawatiran. "Dia tidak mau mendengarkanku. Dia… dia terus mendorongku menjauh." Rani menaruh tangan secara naluriah di lengan Dimas, memberi sentuhan yang menenangkan. "Maaf," gumamnya lembut. "Pasti sangat sulit bagimu." Dimas tampak mengalami sesuatu yang aneh di dadanya, kehangatan yang sepertinya sudah lama hilang darinya. Matanya menatap Rani benar-benar menatapnya dan Rani bisa merasakan kepedulian dan empati yang tulus di sorot matanya. Sesuatu yang begitu berbeda dari sikap dingin dan egois Tasya. Dimas mengulurkan tangannya dan dengan lembut mengambil gelas dari tangan Rani yang gemetar.
Pertanyaan itu menggantung, berat dan penuh makna yang tak terucap. Tatapan Dimas semakin dalam, lengannya menegang seolah takut melepaskan. "Baik?" ia mengulang, dengan senyum tipis yang getir. "Itu yang kamu pikir ini? Sekadar baik?" Ia menggeleng, lirih. "Tidak, Rani. Jauh dari sekadar baik." Tangannya terangkat, menyentuh wajahnya. Ibu jarinya menyapu pelan bibir bawahnya, membuat napas Rani tercekat. "Kamu sadar nggak, apa yang kamu lakukan padaku?" suaranya semakin rendah, nyaris berbisik. "Setiap kali aku melihatmu... rasanya seperti ada yang menghantam dadaku. Setiap senyummu, tawamu, semua tentangmu... membuatku gila." Dimas tampak menyadari ketegangan momen itu, lalu cepat-cepat menjauh sambil berdehem. "Ayo," katanya dengan nada kasar, berdiri sambil menawari tangannya pada Rani. "Mari kita hangatkan tubuhmu dengan sedikit makanan." Rani menggenggam tangannya, membiarkannya membantunya berdiri. Dia bersandar padanya, kaki yang berdenyut nyeri membuatnya bergantung
Pagi itu cerah. Rani menyapu halaman dengan tenang, poni jatuh ke wajah hingga ia menggulung rambut memakai jepit plastik bening. Dimas yang hendak berangkat kerja terhenti di ambang pintu, menatapnya dengan sorot aneh, seolah pernah melihat gerakan itu sebelumnya. “Kau selalu rapi,” ucapnya singkat, suaranya dingin. Rani menoleh cepat, kaget mendengar suaranya. “Oh… maaf kalau aku menghalangi jalan Kak Dimas.” “Tidak.” Tatapan Dimas bertahan sedikit terlalu lama sebelum akhirnya ia berbalik menuju mobilnya. Rani mengikuti punggungnya dengan pandangan penuh tanya. Dadanya berdebar karena intensitas sorot mata itu. "Kenapa dia melihatku seperti itu? Seolah aku… lebih dari sekadar orang baru di rumah ini." Degup jantung Rani masih berderu saat bayangan Dimas menghilang. Kata-katanya terngiang, membuatnya yakin tatapan itu menyimpan sesuatu yang tak ia mengerti. Sambil menyapu, matanya jatuh pada jepit rambut plastik bening di tangannya, tiba-tiba terasa berat, seolah menyimpan
Dimas berlutut di sampingnya. Tubuh tegapnya menghalangi cahaya, membuat Rani merasa terkurung dalam ruang kecil hanya berisi mereka berdua. Ia membuka balutan seadanya, meneliti luka dengan kening berkerut. “Cukup dalam,” gumamnya sambil mengambil kapas antiseptik. “Kamu beruntung tidak terluka lebih parah.” Rani terdiam, memperhatikan setiap gerakannya. Cekatan, telaten, tapi juga lembut. Kontras dengan sikap kerasnya yang biasanya dingin. “Kenapa kamu melakukan ini?” tanyanya akhirnya, lirih. “Aku bisa membersihkannya sendiri.” Dimas sempat terhenti, lalu menautkan tatapannya pada mata Rani. Degup jantung Rani makin kacau. “Kamu tidak seharusnya melakukannya sendirian,” ucapnya dalam. “Selama kamu di bawah atapku, aku yang bertanggung jawab menjagamu.” Kata-kata itu membuat Rani menggigil tipis. Ia menunduk, berbisik, “Tapi aku hanya saudara iparmu… Aku bukan tanggung jawabmu.” Namun genggaman Dimas justru mengencang. Tatapannya tajam. “Kamu bukan sekadar adik ipark
Dimas mendekat, mengambil pisau lain untuk memotong bawang di sebelahnya. Ruang di antara mereka terlalu sempit. Sesekali lengan pria itu menyentuh bahunya. Rani menahan napas. Lalu, tanpa sengaja jari mereka bersentuhan saat sama-sama meraih piring kecil di meja. Waktu seolah berhenti. Pisau di tangan Dimas berhenti bergerak. Rani refleks menarik tangannya, tapi gerakan itu justru membuat pisau menyayat ujung jarinya. Rani berbisik pelan, menahan perih. “Ah…” Setetes darah muncul di ujung jarinya. Dimas langsung meraih tangannya tanpa ragu. Genggamannya hangat, kuat, terlalu intim untuk dapur yang dingin itu. “Kau ceroboh. Jangan biarkan darahmu menodai meja ini,” katanya dingin tapi tegas. Kalimatnya terdengar keras, tapi caranya menekan luka dengan tisu justru sangat teliti. Rani menatap wajahnya, dingin dan serius, namun ada sesuatu di balik sorot mata itu… sesuatu yang membuat dadanya bergetar. Rani buru-buru menarik tangannya kembali, berusaha menenangkan diri. Tapi ra