Share

Kontraksi

Selama satu bulan saja pesanan datang hampir setiap hari. Dengan bantuan para tetangga yang ikut mempromosikan masakan Rania, membuat banyak orang yang memesan padanya.

"Kalau nambah orang lagi gimana ya, Mbak? Ini udah mendekati lahiran dan pesanan makin banyak, kalau mau ditolak sayang juga," ucap Rania pada Yati, orang yang membantunya melayani pesanan nasi. Kini ia juga mulai menerima pesanan kue, mencicil peralatan sedikit demi sedikit akhirnya kini peralatan untuk membuat kue semakin lengkap.

"Kalau emang butuh, nanti aku ajak keponakan. Ada dua yang udah lulus sekolah dan belum bekerja kerena ijazah cuma SMP, mau lanjut sekolah nggak ada biaya," jelas Yati.

"Nggak pa-pa, Mbak, pokoknya mau kerja keras. Itung-itung sekalian bantu mereka belajar bekerja."

Akhirnya Rania menerima dua keponakan Yati untuk membantunya dan satu orang tetangga lagi yang baru pensiun dari pabrik roti, lumayan bisa membantu saat banyak pesanan snack boks dan kue ulang tahun.

Rania semakin semangat mengubah nasib, kehamilan yang sudah mendekati waktunya lahir tidak membuat Rania berdiam diri. Ia tetap sibuk membantu membuat kue meski tidak sesibuk dulu, urusan nasi dan lauknya sudah ia percayakan pada Yati.

"Pinggangku kok sakit ya, Mbak dari kemarin," ucap Rania pada Yati saat mereka sudah menyelesaikan pekerjaan.

"Ini udah waktunya apa belum?" Yati tidak paham, karena di usianya yang sudah memasuki empat puluh lima tahun ia belum pernah hamil.

"Kurang lima hari," jelas Rania.

"Periksa aja, Mbak, kan, juga belum pernah hamil jadi nggak tau rasanya. Nanti setelah nganter pesanan, Mbak kembali ke sini, kamu siap-siap dulu."

Rania hanya mengangguk, beruntung Yati dan para tetangga begitu baik padanya. Mereka selalu siap membantu ketika Rania kesulitan. Begitu juga Rania, ia tidak segan memberi pada tetangga saat ada masakan berlebih. Hal itu membuat hubungan mereka semakin erat bak keluarga.

Sejenak Rania termenung, ia jadi teringat ibu dan kakaknya. Meski apa yang ibunya perbuat, Rania tidak bisa mendendam. Mungkin ibunya terlalu kecewa hingga membuatnya memperlakukan Rania dengan buruk.

Sebenarnya ingin sekali ia menghubungi Kakaknya, tapi memakai apa? Saat ia tinggalkan, sang Kakak bahkan tidak memiliki handphone. Hidup mereka cukup sulit, hanya membeli sesuatu yang dibutuhkan dan saat itu mereka tidak membutuhkan sebuah handphone. Rania juga tidak memiliki nomor siapapun karena ia pergi untuk menghapus kenangan masa lalunya.

"Sudah siap?" ucapan Yati menyentak Rania dari lamunan.

"Udah, Mbak. Mbak udah izin sama suami?" tanya Rania.

"Udah, kebetulan Mas Gusti masuk malam jadi dia ada di rumah," jawab Yati. Suami Yati bekerja sebagai petugas keamanan di salah satu bank, "mau ke bidan apa ke klinik aja?"

"Klinik aja, Mbak, bidan jam segini biasanya masih di puskesmas."

Yati mengangguk, ia melajukan motornya dengan pelan setelah Rania duduk di belakangnya.

Mereka sampai di klinik lima belas menit kemudian, Yati membantu Rania menuju ruang tunggu sementara dia mendaftar.

"Ini sudah bukaan lima, langsung dirawat aja ya," ucap salah satu petugas medis.

"Kok bisa, Sus? Katanya masih lima hari lagi?" Yati masih bingung dengan penjelasan sang perawat.

"Itu bisa saja terjadi, Bu, karena tanggal itu hanya perkiraan," jelas si perawat.

Rania berbaring di ranjang sementara Yati mengurus administrasi.

Air mata Rania menetes. Harusnya saat ini ia ditemani suami saat akan melahirkan seorang bayi, setidaknya itu yang ia bayangkan dulu. Kini Rania harus siap berjuang sendiri, ia harus kuat demi sang buah hati yang akan terlahir ke dunia ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status