"Aku takut, Mbak," ujar Rania pada Yati. Yati memegang tangan kanan Rania, tangan yang satunya mengusap perut Rania. "Nggak usah takut, Mbak temenin kamu di sini. Kalau sakit kamu bilang," ujar Yati."Makasih ya, Mbak.""Sama-sama. Kamu udah Mbak anggep sebagai Adik sendiri. Jangan sungkan.""Tarik nafas yang dalam, Bu, lalu buang dari mulut. Nanti kalau sudah bukaan lengkap saya ke sini lagi," ucap seorang dokter pada Rania.Rania kini tengah berbaring miring, ia merasakan sakit yang semakin sering datangnya. Rania tidak mengeluh, ini adalah salah satu nikmat Tuhan. Anak yang ada dalam kandungannya tidak salah, yang salah adalah perbuatan orang tuanya."Kamu kuat Ran, Mbak bantu doa," ucap Yati. Ia membantu mengelus pinggang Rania."Iya, Mbak, makasih sudah jagain Rania. Kalau nggak ada Mbak Yati, mungkin Rania sendiri di sini." Rania mengusap air matanya yang mengalir."Sudah, jangan menangis. Di sini kita sesama perantau adalah saudara. Kamu harus kuat demi calon bayimu, dia adala
Yati mengurai pelukan mereka. Ia lalu duduk di dekat Rania. "Jangan nangis lagi, kamu sudah jadi ibu sekarang."Rania tersenyum bahagia, ia lalu mengusap air matanya."Udah dapet makan apa belum?" Yati tidak melihat ada apa pun di meja nakas."Belum, Mbak. Tadi sudah dibilangin sama perawat kalau makannya diantar setengah jam lagi. Mbak udah makan apa belum?""Udah, tadi setelah mengurus administrasi, Mbak makan di kantin. Ini tas kamu, Mbak tadi ambil uang buat bayar jaminan sama buat makan," jelas Yati, ia menyerahkan tas Rania."Mbak bawa aja, siapa tau nanti butuh uang lagi. Aku nggak bisa ngapa-ngapain, pokoknya semua urusan aku serahin sama Mbak Yati," ujar Rania.Yati mengambil kembali tas itu, "aku masukin sini ya, nanti aku ambil kalau emang perlu. Habis ini aku pulang dulu ambil baju ganti, nanti mbak Sari yang gantian jagain kamu.""Mbak Sari nggak kerja? Apa nggak ngerepotin? Aku sendiri dulu nggak pa-pa kok mbak," ucap Rania."Nggak pa-pa, Mbak Sari nggak keberatan kok. D
Sebuah ruko tingkat dua yang terletak di pinggir jalan raya, cukup besar dan selalu ramai setiap harinya. Berawal dari menerima pesanan dari para tetangga, kini Rania sudah berhasil membeli sebuah ruko yang cukup strategis.Rasa yang enak dan selalu menjaga kualitas membuat catering Rania cukup digemari. Mulai dari kalangan biasa sampai para pejabat sudah banyak yang berlangganan di tempatnya. Rania memberi harga yang berbeda untuk tiap kalangan, ia tidak hanya mengejar keuntungan yang tinggi. Rania juga selalu membantu jika ada yang menginginkan catering dengan harga terjangkau kalangan menengah kebawah.Tujuh tahun adalah waktu yang ia butuhkan untuk mengembangkan usahanya dan kini sudah empat tahun ia membeli ruko ini, jadi total sudah sebelas tahun sejak ia pergi dari rumah. Jagoan kecilnya kini sudah beranjak besar, semakin besar rupa sang anak semakin mirip dengan lelaki yang menitipkan benih padanya.Rania tidak membenci, hanya kadang ada perasaan tidak nyaman saat melihat putr
"Revan maunya ngasih apa? Kalau Bunda, kan, dulu kalau ada teman yang ulang tahun ya kadonya buku sama pensil," terang Rania."Mau kado mobil-mobilan, Bunda mau kan anterin beli?""Jam berapa? Sekarang Bunda masih banyak kerjaan, sama Mbak Ami nggak bisa?" Rania melihat masih ada tiga kue yang harus ia hias. Acara ulang tahun anak seorang pejabat, jadi dia harus benar-benar teliti dalam menghias."Nggak pa-pa Bun, acaranya malem kok. Revan maunya sama Bunda aja, udah lama nggak jalan-jalan sama Bunda," ucap Revan yang membuat Rania kembali menoleh pada putranya.Revan memang masih kecil, tapi soal sikap dan kata-kata romantis untuk sang ibu, ia jagonya."Ya udah kamu main aja dulu, Bunda selesein ini. Nanti kalau udah selesai Bunda panggil," ucap Rania.Revan mengangguk lalu ia pergi menuju kamarnya, Revan memilih belajar daripada bermain. Ia bercita-cita menjadi orang sukses agar bisa membahagiakan sang ibu, jadi dia harus menjadi anak yang pintar.Pergaulan yang terbatas semenjak ke
"Anak ini?" Raut terkejut nampak dari pria di depan Rania, "dia anak kamu?"Rania hanya mengangguk, sementara Revan menatap lekat sosok di depan sang ibu.Pria itu semakin mendekat, membuat Rania waspada. "Hai, boleh kenalan?" Pria itu mengulurkan tangannya.Revan dengan ragu menyambut uluran tangan itu, "Revan.""Damar." Setelah saling mengucapkan nama, mereka mengurai tangan yang bertaut."Revan mau yang ini, Bun." Revan mengangkat satu set mainan yang ia pilih.Rania mengangguk lalu mengajak Revan menuju kasir. Setelah beberapa lama mereka keluar. Rania cukup terkejut karena ternyata Damar masih menunggu mereka."Mau makan bareng?" tawar Damar, "atau Revan mau makan es krim sama Om?"Revan menatap ibunya. Ragu-ragu ia menjawab. Setelah beberapa saat diam, akhirnya ia bersuara."Emang boleh, Bun?" tanya Revan pada sang ibu. Bagaimanapun sikap dewasanya selama ini, Revan tetaplah anak-anak yang sangat menyukai es krim."Revan mau?" tanya Rania. Meski ia tidak suka bertemu dengan Da
"Bun, itu temen Revan. Revan mau ke sana boleh?""Iya, tapi jangan lama-lama. Kita mau pulang. Jam tujuh kamu harus ke acara ulang tahun, takutnya nanti terlambat," ucap Rania mengingatkan sang anak.Revan mengangguk lalu menemui temannya yang berada tidak jauh dari meja mereka."Ini punya anda," ucap Rania setelah menyerahkan sesuatu yang ia ambil dengan dompetnya."Apa ini?" Damar cukup tau apa itu, tapu ia tidak percaya kalau Rania akan mengembalikannya."Dulu aku pernah pakek uang kamu, tapi aku sudah mengembalikannya. Terimakasih atas bantuannya waktu itu, karena sekarang kita bertemu di sini jadi sekalian aku kembalikan ini." Rania memang selalu menaruh kartu itu di dompetnya, tidak tahu kapan bisa bertemu dengan Damar tapi dia memang sudah merencanakan jika bertemu dengan Damar akan langsung mengembalikannya."Kenapa harus dikembalikan, ini punya kamu," ujar Damar."Bukan, itu punya kamu. Aku sudah cukup dengan apa yang aku punya, terima dan jangan di tolak agar aku bisa tenan
"Bun, tadi ada undangan dari sekolah. Yang lain dihadiri sama Ayahnya, kerena Revan nggak punya Ayah jadi Bunda aja yang dateng," ucap Revan. Hal-hal seperti inilah yang kadang membuat Rania merasa bersalah, ia tidak bisa memberikan keluarga yang utuh untuk sang anak."Acaranya kapan?" tanya Rania. Mereka kini tengah duduk di taman belakang, Rania baru saja menyelesaikan pesanan kue sementara Revan baru pulang dari sekolah."Lusa, sama pengumuman libur sekolah. Bunda bisa kan?" Karena biasanya saat ibunya banyak pesanan maka akan diwakilkan."Iya, hari itu nggak ada pesanan kue ulang tahun. Kamu mau liburan ke mana?" Karena jarang sekali mereka bisa berlibur, waktu liburan sekolah kali ini Rania sengaja meluangkan waktu untuk sang anak."Emang Bunda bisa?" tanya Revan heran."Bisa, mbak Yati udah bisa gantiin Bunda hias kue. Emang kamu mau liburan ke mana?""Belum tau sih, belum kepikiran. Tapi Revan mau kita ke pantai, udah lama banget kita nggak ke pantai," ujar Revan antusias."Si
"Sakit apa?" Ada nada khawatir dari ucapan Rania, sedih itu menyelimuti hatinya yang beku."Darah tinggi sama lambungnya kambuh, minggu depan jadwal operasi kecil di rumah sakit," jelas Risa, "Ibu sering nanyain kamu."Deg. Jantung Rania berdetak lebih cepat, ia bingung harus berbuat apa. Satu sisi ia ingin sekali pulang menemui sang Ibu, tapi di sisi lain ia takut penolakan itu kembali ia terima saat ia membawa sang anak pulang."Ran," panggil sang Kakak setelah sekian menit adiknya tidak bersuara."Iya mbak," jawab Rania."Kami dengerin mbak ngomong kan?" tanya Risa memastikan, "kalau kamu belum siap nggak usah pulang, mbak nggak maksa. Tapi kamu harus mikirin juga kesehatan Ibu, beliau ingin ketemu kamu. Mbak cuma nggak mau kamu menyesal setelah Ibu tiada nanti," jelas Risa."Iya mbak, aku ngerti. Nanti aku ngomong sama Revan dulu."Apa yang harus Rania lakukan?**Ai**Dua hari setelah pembicaraan itu, Rania belum bisa mengambil keputusan karena Revan kecelakaan. Tidak begitu parah