"Mbak Rania bisa bikin nasi kotak?" tanya salah satu tetangga Rania.
Ini sudah tiga bulan Rania berjualan, cukup banyak orang yang mampir untuk sekedar minum es atau kopi dan ada beberapa juga yang memesan mi instan.Baru satu minggu ini Rania berani membuat gorengan. Hanya bakwan dan pisang goreng, tapi nyatanya cukup laris karena mereka bilang rasanya enak dan harganya terjangkau."Buat acara apa, Mbak?" Rania mengaduk kopi, ia lalu menyerahkan pada orang yang menunggu di depannya. Setelah itu Rania duduk di sebelah tetangga yang bertanya tadi."Buat ulang tahun anak saya, Mbak. Nggak banyak kok. Kalau Mbak Rania mau, kan, enak. Nggak usah cari yang jauh."Kandungan Rania sudah masuk tujuh bulan, bayi yang pintar. Tidak pernah menginginkan sesuatu yang disebut ngidam oleh kebanyakan orang, karena jika benar-benar menginginkan sesuatu maka ia akan langsung membelinya."Emang acaranya kapan, Mbak?" tanya Rania."Kopi satu, Mbak," sela seseorang yang baru tiba."Iya, Pak," jawab Rania. Ia lalu beranjak untuk membuat kopi."Minggu depan, Mbak. Cuma dua lima bungkus kok. Masakan Mbak Rania enak, saya nyobain pas acara Mbak Sari waktu itu," jelas tetangganya."Saya usahain ya, Mbak. Mau apa aja isinya?"Tangannya masih sibuk membuat kopi pesanan pelanggannya."Samain kayak punya Mbak Sari aja. Ini uang DP-nya ya mbak." Diletakkannya dua lembar uang seratus ribuan di tangan Rania."Makasih, Mbak, semoga nggak mengecewakan ya."Memang sudah beberapa kali Rania dipesani nasi kotak oleh para tetangga, tapi ia hanya menerima jika jumlahnya tidak begitu banyak. Alasan kesehatan dan warung yang tidak bisa ia tinggal, membuat ia hanya berani menerima dalam skala kecil saja."Kalau snack boks sekalian bisa nggak, Mbak?""Kalau itu belum bisa, Mbak. Alatnya belum punya," jawab Rania."Ya sudah saya permisi ya, Mbak, makasih sebelumnya."Rania mengangguk saat tamunya pergi, ia segera menyelesaikan pekerjaannya. Rania memang mahir memasak dan membuat kue, dulu saat masih sekolah menengah pertama ia pernah ikut di rumah budhenya. Karena budhenya punya usaha catering maka secara otomatis di setiap hari membantu memasak dan membuat kue, karena suka maka ia juga belajar memasak dan membuat kue. Ternyata pengalaman itu sangat berguna untuk hidupnya kini, perlahan ia mulai bisa bangkit dari keterpurukan."Gorengannya sudah habis, Ran?" tanya ibu pemilik kontrakan."Habis, Bu. Cuma bikin dikit tadi," jawab Rania."Walah, telat ke sininya. Bapak kemarin cuma kebagian satu, sekarang suruh beliin lagi. Kenapa nggak ditambahin gorengnya?""Takut nggak habis, Bu," ujar Rania."Pasti habis, gorengan buatanmu enak. Coba besok bikin lebih banyak. Ibu tolong disisain ya," pinta ibu kontrakan."Iya, Bu. Besok saya sisihkan. Ibu mau kopi atau mi?""Mi aja, yang goreng. Kasih cabenya tiga."Dengan semangat Rania langsung membuatnya. Ibu kontrakan adalah salah satu orang yang berjasa dalam proses hidup Rania.Satu minggu berlalu, Rania berhasil menyelesaikan dengan baik pesanan yang ia terima. Karena makanan yang enak maka kini Rania semakin sering menerima pesanan, ia sampai meminta bantuan tetangganya yang tidak bekerja.Kehidupan Rania berangsur membaik. Ia mampu membuka lapangan kerja untuk anak putus sekolah dan orang-orang yang tidak bisa bekerja karena suatu hal. Rani kini juga bisa membeli apa saja yang ia inginkan."Lain kali jangan makan sambal terlalu banyak ya, kasihan kalau ibu hamil sakit perut, rasanya pasti tidak nyaman," ucap dokter yang menangani Rania.Memang kemarin Rania memakan rujak buah, sambalnya sangat pedas karena memakai cabai lima. Rania begitu menikmati makanannya hingga ia menghabiskan semua sendiri, hingga akhirnya ia sakit perut.Rania mengangguk, hal ini cukup membuatnya malu karena mengira akan melahirkan.Setelah mendapat resep vitamin, Rania dan Damar pamit pada dokter tersebut."Aku tadi ngiranya kamu bener-bener mau lahiran," ucap Damar saat mereka sudah masuk mobil."Aku juga gitu, kirain si adik mau lahir sebelum waktunya. Perut mules, pinggang sakit, udah kayak mau lahiran Revan dulu," jelas Rania."Lain kali jangan gitu lagi, kasian adek kalau diajakin makan pedes mulu." Rania hanya tersenyum mendengar nasihat suaminya, karena ia tahu kalau kali ini ia memang membuat kesalahan.Hari ini Damar memilih memasak sendiri untuk makan siang mereka, ikan goreng dan osen
Semakin hari nafsu makan Rania semakin meningkat, selama dua bulan saja berat badannya sudah naik enam kilo, perutnya sudah semakin membuncit seperti hamil tujuh bulan, padahal kehamilannya baru memasuki bulan ke empat."Nanti mau dibawain apa?" tanya Damar saat akan berangkat bekerja."Mau roti bakar rasa coklat," jawab Rania. Saat ini ia masih sibuk merajut, baru satu bulan yang lalu Rania memutuskan untuk belajar merajut."Mau bikin apalagi?" Damar mendekat pada istrinya yang masih sibuk sendiri."Bikin topi, baru dapet satu. Besok mau bikin sepatu," jawab Rania. Ini adalah dunia baru dan Rania sangat menikmatinya. Rania sangat bersungguh-sungguh untuk belajar merajut."Kok warnanya merah sama merah muda, kalau anaknya cowok gimana?""Ya nanti aku bikin warna biru, jadi kalau anaknya cowok masih bisa dipakek," jawab Rania tanpa menoleh pada Damar."Iya deh. Kalau gitu mas berangkat dulu, ya." Saat Damar berpamitan, Rania baru merespon dengan menerima uluran tangan dari suaminya lal
"Selamat ya, Bu, usia kehamilan Ibu sudah masuk enam tujuh minggu," ucap seorang dokter kandungan pada Rania.Hari ini Rania menuruti ucapan Yati, ia memang merasa ada sesuatu yang mengganjal pada perutnya. Sebelum ini Rania mengira itu hanya karena buang air besarnya yang selama ini kurang lancar, ternyata ada janin dalam rahimnya yang saat ini sedang bertumbuh."Terimakasih, dok," ucap Rania terbata, ia masih belum percaya pada kenyataan yang ia alami."Mulai sekarang asupan makanan harus di jaga, jangan banyak pikiran dan hindari pekerjaan yang berat. Di trimester awal biasanya akan mengalami mual dan tidak berselera makan, itu hal yang biasa, jadi Ibu tidak perlu khawatir," jelas dokter itu pada Rania."Tapi saya tidak mengalami mual-mual atau tidak nafsu makan, justru saya sangat suka makan. Apa itu wajar, dok?" tanya Rania."Kalau begitu Ibu harus bersyukur, tidak banyak calon Ibu yang tidak mengalami gejala muntah dan mual pada trimester pertama, tapi itu tetap termasuk hal yan
"Kamu beneran mau makan ini?" tanya Damar pada Rania.Rania saat ini sedang menyantap nasi goreng petai dengan lahap, ia sama sekali tidak terganggu dengan bau menyengat dan rasa getir pada petai itu.Revan dan Damar hanya saling pandang, mereka heran dengan tingkah Rania. Biasanya dia akan sangat marah hanya dengan mencium aroma petai, tapi sekarang Rania justru sangat menikmati seakan petai adalah makanan ternikmat di dunia."Enak, Bun?" tanya Revan."Enak banget, Bunda mau nambah petenya aja bisa nggak ya?" "Bisa, mau Revan pesenin?" Revan sangat antusias karena selama ini dia begitu menyukai makanan itu tapi Ibunya selalu melarang tiap kali dia ingin memakannya.Rania segera mengangguk, ia juga tidak tahu mengapa begitu menikmati makanan yang biasanya sangat ia benci. Yang Rania rasakan saat ini makanan itu adalah makanan ternikmat dari banyaknya makanan yang sudah ia makan.Setelah selesai makan, mereka memilih untuk pulang. Rania sudah mengeluh kalau kakinya terasa pegal, Reva
Dua minggu setelah kejadian kebakaran di toko Rania, fakta baru terungkap. Polisi akhirnya menetapkan Mely sebagai tersangka bersama dua orang temannya.Teman Mely adalah orang yang pernah dipecat oleh Damar karena kasus korupsi di kantornya, latar belakang sakit hati membuatnya mendukung Mely untuk melenyapkan istri Damar.Mely terancam hukuman seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun penjara seperti yang tertuang dalam pasal 340 KUHP karena tuduhan berencana merampas nyawa orang lain."Kamu yakin mau ketemu sama dia?" tanya Damar pada Rania.Hari ini rencananya Rania akan menemui Mely bersama Tania, Tania yang mengatakan pada Rania kalau Mely ingin bertemu dengannya."Iya, lagian nanti di sana ada Tania juga," jawab Rania.Damar hanya bisa mengizinkan istrinya.Rania berangkat bersama Tania yang menjemputnya di rumah."Mbak, maafin Mely ya, aku sebagai sahabat merasa ikut bersalah karena kenekatan Mely. Aku nggak nyangka kalau dia bisa berbuat sejauh itu,
"Bunda!" Revan segera berlari mendekat pada Ibunya dan seseorang yang tidak ia kenal, dengan sekuat tenaga Revan mendorong tubuh Mely hingga Mely terhuyung ke samping."Bunda nggak apa-apa?" tanya Revan saat membantu Ibunya berdiri.Rania segera memeluk anaknya, sekuat apapun Rania, jika yang dihadapi membawa senjata sementara dirinya hanya dengan tangan kosong, apa yang bisa Rania lakukan selain minta tolong dan pasrah?"Alhamdulillah, Bunda nggak apa-apa sayang. Makasih banyak karena Revan datang tepat waktu," ucap Rania.Mely mencoba untuk berdiri, ia masih berusaha mencari pisau yang terpental jauh darinya. Benturan yang cukup keras membuat kaki Mely terkilir, dengan susah payah dia menyeimbangkan tubuhnya."Siapa kamu? Kenapa ikut campur urusan orang lain? Anak kecil, lebih baik pergi sana!" bentak Mely pada Revan. Ia masih menyeimbangkan tubuhnya dengan berpegangan pada tiang teras rumah Rania."Anda yang siapa? Bagaimana bisa anda berbuat kejahatan di rumah orang lain!" bentak