Mobil Nindya berhenti di jalanan yang sudah dihafalnya dengan baik. Daun-daun kering yang beterbangan menyambutnya. Bi Ijah pasti belum sempat menyapu halaman.
Dibukanya pintu pagar yang jarang dikunci jika siang. Dipandanginya rumahnya sesaat, tak banyak berbeda dari saat mereka membelinya dulu. Nindya bahkan hafal berapa langkah dari pagar menuju pintu utama.
Diketuknya pintu. Ada bel di pagar namun sengaja tak dipencetnya, khawatir Bi Ijah sedang tidur siang. Diketuknya lagi pintu rumahnya sendiri.
“Nduk...” sapa Bi Ijah setelah membuka pintu. Tubuhnya langsung memeluk Nindya.
Dengan rasa bersalah dan rindu, dipeluknya kembali Bi Ijah yang sudah lama mengenalnya. Bi Ijah adalah pelayan Mama yang sejak dulu ditugaskan untuk menjaga Nindya. Nindya membawa Bi Ijah setelah dia dan Bima menikah.
Saat Nindya memutuskan untuk pergi dari rumah, ia hanya pamit tanpa mengatakan alasannya pada Bi Ijah. “Bi... Maaf ya, Bi, Nindya tidak pernah menjenguk Bi I
Nindya mematikan api kompor lalu mulai menata makanan matang di atas piring saji. Dia jarang sekali memasak. Hanya sesekali saat Bima ingin makan sesuatu yang Bi Ijah tidak bisa lakukan.Malam ini Dewi akan datang ke apartemennya. Nindya ingin menjamu Mamanya. Sejak prahara rumah tangganya, acara makan malam keluarga sudah 3 kali tidak diadakan.Ditatanya makanan di meja makan sederhana. Tak semewah hidangan dari Bi Suti tapi Nindya merasa cukup bangga akan masakannya. Dia pun merindukan Dewi.Ingin Nindya pergi ke Mamanya untuk bercerita, atau sekedar agar dia tak merasa sendirian. Namun, dia tahu posisi Mamanya juga tidak mudah. Ada Laras di sana.Kenapa harus Laras, Bim? Pikir Nindya.Pukul setengah tujuh malam, pintu apartemen Nindya diketuk dari luar. Buru-buru dibukanya pintu tersebut. Wajah Dewi yang selalu memancarkan kesan damai muncul di baliknya.“Ma...” sambut Nindya sambil memeluk Dewi.“Nin.” Dewi
Mobil Nindya berhenti di jalanan yang sudah dihafalnya dengan baik. Daun-daun kering yang beterbangan menyambutnya. Bi Ijah pasti belum sempat menyapu halaman.Dibukanya pintu pagar yang jarang dikunci jika siang. Dipandanginya rumahnya sesaat, tak banyak berbeda dari saat mereka membelinya dulu. Nindya bahkan hafal berapa langkah dari pagar menuju pintu utama.Diketuknya pintu. Ada bel di pagar namun sengaja tak dipencetnya, khawatir Bi Ijah sedang tidur siang. Diketuknya lagi pintu rumahnya sendiri.“Nduk...” sapa Bi Ijah setelah membuka pintu. Tubuhnya langsung memeluk Nindya.Dengan rasa bersalah dan rindu, dipeluknya kembali Bi Ijah yang sudah lama mengenalnya. Bi Ijah adalah pelayan Mama yang sejak dulu ditugaskan untuk menjaga Nindya. Nindya membawa Bi Ijah setelah dia dan Bima menikah.Saat Nindya memutuskan untuk pergi dari rumah, ia hanya pamit tanpa mengatakan alasannya pada Bi Ijah. “Bi... Maaf ya, Bi, Nindya tidak pernah menjenguk Bi I
Nindya terpaku melihat sosoknya sendiri di depan cermin. Sebuah gaun terusan berwarna biru muda membalut tubuhnya yang langsing. Dia masih terlihat cantik dan menarik meski usianya tak bisa dibilang muda.Tapi, mungkin matanya mengecohnya. Mungkin teman-temannya hanya ingin menyenangkannya. Nyatanya, suaminya berselingkuh. Dengan adiknya sendiri.Dilepaskannya gaun biru muda itu. Digantinya dengan kemeja lengan panjang dan bawahan setengah betis, seperti yang biasa dia gunakan jika akan keluar dengan temannya.Malam ini Nindya menyetujui ajakan makan malam dengan Bima. Ini adalah kali pertama sejak tiga bulan setelah Nindya pindah ke apartemennya.Dia belum memaafkan Bima, dan mungkin tak akan pernah. Namun, Nindya ingin melihat, apakah masih ada yang bisa diselamatkan dari pernikahan ini. Bisakah dia melihat Bima kembali sebagai suami.Bunyi pintu apartemen diketuk dari luar. Nindya melihat jam dinding. Itu pasti Bima.Diambilny
Bau pengharum ruangan tercium ketika Nindya berjalan ke luar dari kantornya. Bangku Risa sudah kosong, begitu juga bangku-bangku lainnya. Jam makan siang memang sudah dimulai sejak lima belas menit yang lalu.Nindya menggunakan lift menuju lantai dasar. Sebenarnya di gedung ini ada food court yang biasa dijadikan sasaran tempat makan siang para pegawai. Namun, Nindya sedang tak ingin ke sana.Sejak rumor tentang rumah tangganya, dia bisa melihat tatapan selidik para rekan kerjanya. Hal ini karena Nindya tak pernah mengatakan apa pun soal kenapa dia belum kembali ke rumah. Tak hadirnya Bima di acara kantor kemarin juga menjadi petanda yang semakin menguatkan.Nindya hanya berjalan beberapa meter di pedestrian sebelum membelokkan kakinya ke sebuah restoran bergaya eropa. Wangi kopi dan pasta langsung menyambut hidungnya. Dipilihnya tempat duduk tepi jendela, tak terlalu dekat pintu masuk namun juga tidak terlalu masuk ke dalam.Setelah seorang pelay
Nindya melihat ponselnya. Dibacanya pesan dari Bima. Suaminya kembali mengajaknya makan malam.Sudah dua bulan lebih. Sudah mampukah dia melihat Bima kembali? Apakah dia harus kembali pada suaminya?Dilihatnya apartemen yang dari dulu tak pernah seperti rumah. Bagi Nindya, ini adalah tempat singgah setelah kerja, sebelum kerja kembali.Dulu Bima adalah rumahnya, namun sekarang, melihat Bima adalah mengingat kembali lukanya. Tapi Nindya tahu dia tak bisa seperti ini terus menerus. Dia harus membuat pilihan.Digulirnya lagi pesan di ponselnya. Ada pesan dari Sisca. Jangan lupa besok jam 11 aku jemput. Acara kantor. Makan siang bersama para penulis dan perilisan beberapa buku baru.Sejak gosip dirinya pindah ke apartemen, teman-temannya lebih sering mengajaknya pergi. Apalagi sudah dua bulan lebih dia belum kembali ke rumah. Entah rumor apa yang sudah beredar.Dirinya sendiri tak pernah ditanyai langsung, pun dia tak perna
Bima membuka pintu kamar tidurnya. Kamar tidur dirinya dan Nindya dulu. Sekarang, hanya dia yang selalu tidur di sana. Dilemparnya tas kerja ke atas meja. Jika ada Nindya, pasti tak akan dilakukannya. Istrinya sangat menyukai keteraturan. Tak ada orang yang diajaknya berbicara kecuali bi Ijah di dapur. Itu pun tak dilakukannya lama-lama. Bima tak tahan melihat tatapan bi Ijah yang mengasihaninya. Ah, apakah dirinya masih pantas dikasihani? Dilangkahkannya kakinya ke kamar mandi. Hanya suara air mengalir yang terdengar. Sebenarnya tak ada yang membuatnya semangat untuk pulang setelah kerja. Tak ada siapa-siapa yang menunggu. Tapi, mau ke mana dia? Semua temannya selalu sibuk dengan pekerjaan dan keluarga. Toh mereka memang bukan remaja yang sering berkumpul setelah kerja. Karyawannya juga enggan kalau harus menemani bos yang sedang tak ada istri di rumah. Pergi keluar sendiri? Bim