Share

Chapter 15

Author: Alexa Rd
last update Last Updated: 2025-07-24 11:00:31

Nindya mematikan api kompor lalu mulai menata makanan matang di atas piring saji. Dia jarang sekali memasak. Hanya sesekali saat Bima ingin makan sesuatu yang Bi Ijah tidak bisa lakukan.

Malam ini Dewi akan datang ke apartemennya. Nindya ingin menjamu Mamanya. Sejak prahara rumah tangganya, acara makan malam keluarga sudah 3 kali tidak diadakan.

Ditatanya makanan di meja makan sederhana. Tak semewah hidangan dari Bi Suti tapi Nindya merasa cukup bangga akan masakannya. Dia pun merindukan Dewi.

Ingin Nindya pergi ke Mamanya untuk bercerita, atau sekedar agar dia tak merasa sendirian. Namun, dia tahu posisi Mamanya juga tidak mudah. Ada Laras di sana.

Kenapa harus Laras, Bim? Pikir Nindya.

Pukul setengah tujuh malam, pintu apartemen Nindya diketuk dari luar. Buru-buru dibukanya pintu tersebut. Wajah Dewi yang selalu memancarkan kesan damai muncul di baliknya.

“Ma...” sambut Nindya sambil memeluk Dewi.

“Nin.” Dewi

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 24

    Sudah mulai musim hujan. Suara rintik air jatuh di pagi hari dan mendung yang menutupi matahari membuat Bima menarik kembali selimutnya.“Mau tidur lagi?” tanya Nindya di sampingnya.“Hari Minggu kenapa harus bangun pagi?” jawabnya sambil memeluk tubuh Nindya. Matanya kembali terpejam.Nindya memandang suaminya. Sudah satu bulan sejak Bima keluar dari rumah sakit. Kini dia sudah bisa makan dan beraktivitas seperti biasa. Sejak itu juga, Bima tidur kembali di kamar mereka.Sakitnya Bima membawa pengaruh besar pada kehidupan rumah tangga mereka. Perlahan, Nindya mulai menerima kehangatan Bima kembali.Meski bayang-bayang masa lalu masih sering hadir, namun dia tak lagi mundur atau berhenti. Dia ingin rumah tangganya utuh kembali.“Bangun, Bim. Sudah waktunya sarapan, ingat perutmu.”“Setengah jam lagi, ya...” Bima tak bergeming. Dipeluknya Nindya makin erat.Nindya tersenyum sambil mengelus rambut ikal suaminya. B

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 23

    Saat Nindya sampai di rumah Dewi, kue-kue kecil sudah ditata dengan rapi dari halaman dan teras rumah. Di sampingnya disediakan minuman sirup serta air mineral.Yuni, orang kepercayaan Mamanya, hilir mudik mengatur pegawai katering yang mengantarkan aneka makanan serta bingkisan. Pasti Yuni sudah lama tahu kondisi Laras.“Semangat, Yuni,” sapa Nindya.“Iya, Mbak Nindya,” Yuni tersenyum ramah.Nindya melangkah ke dalam. Ruang tamu disulap menjadi aula besar. Tak ada kursi yang biasanya terletak membelah ruangan. Semua perabot digantikan dengan karpet tebal dan hangat.Dewi menunjuk-nunjuk meja yang masih belum terisi makanan pada pegawai katering. “Nin, kamu sudah datang.”“Ada yang bisa Nindya bantu, Ma?”“Sudah selesai kok.” Dewi memandangi petugas katering terakhir meletakkan nampan lalu menghampiri Nindya. “Sebentar lagi Paman dan Bibimu akan datang. Mama tak ingin masih banyak orang di sini.”Nindya mengangg

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 22

    Suara gemericik air yang menyambut Nindya membuatnya teringat kenangan masa kecilnya. Di rumah ini dia dibesarkan, dan tinggal hingga ia menikah.Mungkin sudah dua bulan ia tak datang. Terakhir, saat Mamanya meminta ia datang dua bulan lalu, saat kandungan Laras masih dua bulan. Ia jadi teringat kenapa dia ke sini sekarang.Nindya memencet bel pintu. Dia memang tidak memberi kabar kalau dia akan datang Kamis malam ini. Toh dia sebenarnya kan bukan tamu di rumah ini.Tak terlihat adanya persiapan berlebihan di luar. Tak seperti rumah yang akan menggelar hajatan besar keesokan harinya.Perlahan pintu dibuka dari dalam. Suti terkejut melihat siapa yang datang.“Mbak Nindya....” Buru-buru dibukanya pintu rumah selebar-lebarnya. “Masuk, Mbak.”“Makasih, Suti.” Suti pun tampak canggung melihatnya, pikir Nindya. “Ada Mama?”“Di ruang tengah, Mbak... sama Mbak Laras.” Kata-kata terakhir ditambahkan pelan seakan itu adalah pering

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 21

    Suasana ruang rawat inap pagi itu lebih lengang. Petugas jaga sudah berganti dengan wajah-wajah yang lebih segar karena tidur lebih nyenyak di rumah. Hanya ada dua perawat yang berada di nurse station sambil mengisi status medis pasien. Sisanya mungkin sedang beredar mengganti botol infus, menghampiri kamar pasien yang menekan tombol panggil atau mendampingi dokter spesialis berkeliling.Di dalam kamar 208, Nindya menyuapkan pelan air putih ke mulut Bima. Sudah hari ketiga Bima di rumah sakit, dan hari ini dia sudah boleh diberi air putih dalam jumlah sedikit.“Sudah ya, Bim... nanti lagi,” kata Nindya sambil meletakkan gelasnya di atas meja. Tak tega rasanya melihat Bima yang seperti selalu kehausan. Kalau tak ingat lambungnya baru saja dijahit, sudah diberinya Bima air setiap saat.Bima mengangguk pelan. Dia cukup bersyukur sudah pindah ke kamar rawat inap biasa. Ada Nindya yang selalu menemani. Kadang Ibunya juga datang dan terus menanyakan kapan Bima b

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 20

    Ruangan steril bernuansa putih biru itu hanya mengeluarkan bunyi statis dari dua monitor organ vital yang masing-masing terhubung pada dua pasien pria. Saat Bima perlahan membuka matanya, dia mengenali pemandangan di sekelilingnya.Rumah sakit, pasti kamar ICU, pikirnya setelah melihat ada satu lagi pasien di sebelahnya. Temannya itu sepertinya belum sadar.Tenggorokannya terasa sangat kering. Pikirannya masih berkabut. Ingatannya terhenti pada saat dia mengerang kesakitan di kamar tamu. Dia ingat ada Nindya yang menangis dan menggenggam tangannya.Di manakah Nindya?Seorang perawat masuk lalu melakukan pemeriksaan singkat.“Sebutkan nama Bapak?” tanyanya sambil memegang senter untuk menerangi kedua pupilnya bergantian.“Dirgantara Bima,” jawabnya sambil menelan ludah, berusaha membasahi tenggorokannya. “Di mana istri saya?”“Saya akan panggilkan dokter terlebih dahulu, ya Pak,” kata perawat itu lalu berlalu keluar.

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 19

    Nindya terbangun dari tidur malamnya ketika telinganya sayup-sayup mendengar raungan tertahan. Dibukanya kedua matanya. Ditajamkannya telinganya.Suara dari kamar sebelah. Bima!. Segera Nindya bangun lalu keluar dari kamar. Diketuknya pintu Bima namun tak ada jawaban sementara suara raungan itu semakin terdengar.Nindya membuka pintu dan pemandangan yang pertama dilihatnya adalah tubuh Bima meringkuk di lantai. Tangannya memegang perut, keringatnya bercucuran.Dengan cepat Nindya berjongkok dan memeriksa Bima. Tak ada luka, jelas rasa sakit ini dari dalam. Diambilnya ponsel dari kamarnya lalu dengan tangan bergetar diteleponnya ambulans.“Bim ....” Nindya terus menerus memegang tangan suaminya.Bi Ijah sudah dibangunkan, tapi tak ada apa pun yang bisa mereka lakukan selain menunggu ambulans datang.“Sakit, Nin ....” Hanya itu kalimat yang terus diulang-ulang Bima sambil memegang perutnya. Keringatnya tak berhenti, badannya dingin

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status