Shahin Albyanshah menolak mentah-mentah rencana perjodohan yang dicetuskan kedua orang tuanya dengan salah satu putri teman baik ibunya. Laki-laki berpsras rupawan itu sudah memiliki kekasih dan ia sudah berjanji untuk segera melamar wanitanya tersebut. Seiring berjalannya waktu, Shahin seolah lelah terus-terusan di desak. Ia frustasi lalu akhirnya setuju dengan rencana itu. Akan tetapi, Shahin tetap mengajukan syarat untuk Alana, sang calon istri jika ingin meneruskan perjodohan ini. Yaitu, menandatangani surat perjanjian yang isinya bisa membuat Alana mendadak gila. Kendati begitu, apakah Alana bersedia atau menyerah sampai di situ saja.
View MoreAlana Prameswari, gadis berusia dua puluh tahun berparas jelita itu tersenyum-senyum sendiri ketika ia secara tak sengaja mendengar obrolan antara ibu dan teman baiknya.
Dari balik tembok penghalang, Alana yang hendak keluar pun hanya terdiam di tempat tatkala ada nama seseorang yang ia kagumi tercetus dari obrolan itu.“Iya Jeng, lebih cepat lebih baik, apa lagi kan Jeng Dewi mau pergi ke luar negeri, bagus kalau Alana ada yang jaga,” ucapnya kian serius.Sang lawan bicara pun tersenyum hangat seraya menyeruput teh hangat yang disajikan empunya rumah. “Setuju, Jeng Sis. Saya kan kadang khawatir meninggalkan Alana di sini, kalau kemarin-kemarin kan ada kakaknya jadi saya tidak waswas sama sekali. Sekarang kakaknya sudah menikah, Alana di sini dengan siapa?” jawabnya tak kalah riang.Sementara Alana, yang menjadi pusat pembicaraan semakin semringah dengan sorot mata berbinar-binar. Bagaimana tidak, sudah lama ia mengagumi sosok yang akan dijodohkan dengannya itu, sempat berpikir ratusan kali cara untuk mendekati kini justru lampu merah, kuning, hijau, di langit biru seperti membuka jalan lebar-lebar.Bahkan tidak perlu susah payah melakukan pendekatan apalagi harus menyatakan perasaan terlebih dulu. Selain gengsi, Alana tidak berani melakukan itu, dan yang Alana dengar lagi tidak lama dari rencana perjodohan akan dilangsungkan acara lamaran. Sudah pasti hati Alana semakin berbunga-bunga dibuatnya, jika saja tidak memiliki rasa malu, Alana akan berteriak sekencangnya sejak tadi saking senangnya.Merasa senang bukan main, kaki Alana kemudian melangkah kembali. Ia membalikkan badan lalu melangkah menuju kamarnya yang luas. Lalu apalagi, selain berjingkrak di atas kasurnya yang empuk sampai detak jantungnya seakan habis mengajaknya lomba lari ratusan kilo meter.Terbukti saat ini, selain aliran darah yang seakan menggelitik setiap urat nadi, ribuan kupu-kupu pun tak kalah menggelikan beterbangan dari dalam perutnya. Bibirnya menguraikan senyum tanpa henti, pipinya memerah bak tomat yang baru dipetik dari tangkainya.Pokoknya, Alana merasa tak sabar untuk segera menyandang status sebagai istri dari dosennya sendiri, Shahin Albyanshah.Sepoi angin yang mengusir helaian kain yang membentang sebagai penutup jendela kamar Alana. Entah berapa jam ia tertidur di atas karpet berbulu halus yang melapisi lantai ruangan pribadinya, yang pasti gadis itu terbangun ketika langit sudah mulai temaram. Dengan langkah lunglai, Alana mendekati pintu jendela dan menutupnya rapat. Angin sore ini benar-benar dingin, Baru saja Alana mengunci bingkai kaca itu, suara ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya, disusul suara Bi Hanum memanggil-manggil nama Alana, segera gadis muda itu melangkah kaki menuju pintu.“Ada apa, Bi?” tanya Alana masih dengan wajah bangun tidurnya.“Di bawah ada Den Shahin, Non,” ujarnya.“Hah! Beneran?” raut wajah Alana seketika berubah begitu mendengar nama sang pujaan.Bi Hanum pun mengangguk pelan sebelum mengiyakan pertanyaan dari majikannya itu. “Iya, Non. Ditunggu katanya,” ucap wanita tersebut.Alana tampak senang, tetapi bingung saat bersamaan. Dalam benaknya ia bertanya, kenapa se-mendadak ini? Apakah rencana perjodohan atau lamaran itu akan dilaksanakan secepat ini?“Non.”“Bilang aja, Bi. Tunggu sekitar tiga puluh menit lagi, Al segera turun,” ungkap Alana lalu masuk kembali ke dalam kamarnya. Namun baru beberapa langkah, ia sudah kembali ke pintu yang masih sedikit terbuka itu."Bi, Bi Hanum,” panggilnya.Bi Hanum menoleh ke belakang, lalu berjalan kembali ke tempat semula di mana ada Alana berdiri di muka pintu. “Bikinin kopi sama ada cake coklat di kulkas, terus suguhin ke Kak Shahin, oke!” titahnya.“Nggeh, Non."“Oke Bi, makasih!” ucapnya riang sebelum menutup bentangan ukiran kayu kokoh itu.Empat puluh menit berselang, Alana baru keluar dari kamar pribadinya. Ia sudah berdandan cantik dengan setelan khas anak muda jaman sekarang. Celana jeans longgar, dan kemeja ukuran double size menjadi pilihan outfitnya malam ini. Sungguh, ia terlambat sepuluh menit lamanya hanya untuk bergonta-ganti pakaian, sedang ia tak tahu tema apa untuk malam ini.“Hari ini ada makan malam keluarga, dan kamu mau berpenampilan seperti itu?” protes Shahin tanpa aba-aba.Alana tercekat di ujung tangga mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut Shahin yang tentu saja selalu berdamage di mata Alana. Padahal intonasi suaranya terkesan sangat jutek sekali.“Apa aku harus berganti pakaian?” tanyanya.Shahin menggeleng. “Sebaiknya jangan, itu akan menambah waktu semakin lama,” ujar pria itu seraya membalikkan badan dan bergegas berjalan menuju pintu.“Mama nggak bilang kalo malam ini ada makan malam," ujar Alana bingung.“Coba cek ponsel kamu,” ujar Shahin.Alana menurut, ia merogoh tas untuk mengambil benda pilih bermata tiga di bagian belakang ponselnya. Ia meneliti setiap pesan yang masuk, dan hanya menemukan notifikasi dari panggilan tak terjawab.“Mungkin mama telepon tadi, Alnya lagi tidur,” tukasnya.“Tidur? Kamu baru bangun?”“Huum. Al ketiduran tadi,”“Al, nggak baik tahu tidur sore-sore,” tegur Shahin tanpa menoleh ke Alana.“Ketiduran, Kak. Nggak sengaja,” sahutnya agak sedikit manja.“Tetap saja, cari kegiatan apa kek. Oh, iya, tugas udah kamu kerjain?”Alana tak langsung menjawab, ia lupa jika putra dari teman baik ibunya itu memberinya tugas yang sama sekali belum ia kerjakan. Jangankan ingat, buku tugasnya saja ia tidak tahu di mana menyimpannya.“Eheee!” Alana malah menyengir.Shahin yang sudah fasih akan tabiat Alana hanya menggelengkan kepala. “Katanya mau jadi ahli psikologi, masa di kasih tugas segitu aja kamu malas."“Bukan malas, Kak,” elak Alana.“Lalu?”“Lupa,” jawabnya pelan.“Pokoknya, nggak mau tahu, sehabis dari makan malam kamu harus selesaikan tugas dan besok harus sudah ada di meja saya,” tekan Shahin tanpa ragu.Shahin dan Alana, keduanya memiliki perbedaan usia cukup jauh, sekitar dua belas tahun. Saat Shahin baru kelas enam sekolah dasar, Alana baru terlahir ke dunia.Akan tetapi, itu tidak membuat Shahin dan Alana terlihat canggung satu sama lain. Sebab sedari kecil Shahin sudah terbiasa dengan Alana, dan Alana pun begitu. Bahkan dari kebanyakan teman laki-laki yang Alana punya, Shahin tetap tak terganti. Tentu saja, Shahin sudah berhasil merebut perhatian Alana sejak gadis itu masuk ke kelas satu sekolah menengah atas.Alana yang banyak digoda oleh anak laki-laki di sekolahnya itu sering kali merasa risih dan mengadu pada Shahin. Sampai suatu saat, Shahin yang sering mengantar jemput Alana pun memberitahukan pada anak baru gede yang ada di sekolah Alana, kalau Alana adalah pacarnya.Dari sana, entah terbawa perasaan atau keduanya sering bertemu, tanpa Alana sadari putik-putik asmara mendobrak hatinya, dan itu bertahan sampai detik ini."Kamu di rumah?""Ya, tentu saja. Memang mau ke mana lagi.""Katanya mau menginap di rumah Andre."Alana menggeleng. "Nggak jadi, kejauhan. Aku bawa Kaelina pulang ke sini aja.""Oh!""Kakak tumben baru pulang?""Mmm, tadi pertemuannya agak telat.""Udah makan, belum?""Udah.""Oke.""Saya masuk dulu kalau gitu, gerah pingin mandi." Ucap Shahin lantas menggeser tungkai kaki dari hadapan Alana untuk menuju ke kamarnya.Alana mengangguk pelan, matanya kembali melihat nyala api kompor yang sedang merebus air untuknya membuat sereal. Ada helaan napas berat saat itu. Sedikit banyak, Alana berharap suaminya mau sedikit memerhatikan dirinya lagi. Semisal, bertanya seperti ia menanyakan perihal sisa kegiatannya hari ini. Dan tentang apa ia sudah makan atau belum.Sayang, Alana memang harus menelan bulat-bulat rasa kecewa lagi dan lagi. Tatkala harus sadar diri jika Shahin memang sudah berubah..Keesokan pagi, Shahin sudah siap-siap untuk pergi. Alana yang sedang membuat sarapan untuk Kaelina
"Kamu hari ini berangkat bareng saya," kata Shahin sewaktu Alana sudah berjalan mencapai pintu."Kok tumben?" tanya Alana keheranan."Satu arah, satu tempat," ujarnya beralasan."Kakak nggak takut mereka curiga?" Alana bertanya sekaligus mengingatkan suaminya itu."Saya nggak perlu takut, mereka sudah tahu sejak lama saya sering antar jemput kamu." Pungkasnya lantas meraih tas jinjing berisikan laptop dan dan beberapa berkas di sana."Ya, sudah. Ini, bukan aku yang minta, ya." Ucap Alana, lalu mengikuti Shahin yang berjalan mendahului dirinya.Jangan tanyakan bagaimana ekspresi Alana sekarang. Bahkan perutnya terasa digelitiki ratusan kupu-kupu yang beterbangan di sana."Mimpi apa aku semalam?" Benaknya bertanya pada diri sendiri.Cuaca pagi ini, sangat cerah sekali. Matahari menyorot sempurna mengiringi perjalanan Alana dan Shahin menuju kampus. Meski keduanya saling diam, tetapi ekor mata Shahin diam-diam melirik sekilas pada Alana yang sedang membalas pesan."Pesan dari siapa?" Pri
"Kamu tidur di sana, saya biar tidur di bawah saja.""Di surat perjanjian tertulis, tidur di satu tempat yang sama, bukan di tempat berbeda.""Al.""Kakak mau ya, aku menghubungi Mama Siska, sekarang?"Shahin tidak menjawab, ia sudah sangat lelah berdebat bersama Alana. Terbukti, rahangnya kini terlihat mengeras disertai tatap mata menyipit tajam tertuju pada Alana, itu sudah bisa menyimpulkan bahwa kegeraman yang pria itu simpan telah melewati batas seharusnya.Dengan perasaan kesal, ia mendengkus napasnya kasar. Bantal yang sudah ia pegang pun ia simpan setengah melempar ke atas ranjang. Lalu, mengempaskan buntalan pinggulnya di antara busa empuk yang biasa ia kuasai sendiri, kini di sisi lain sudah ditempati oleh istrinya, Alana.Sejak pernikahan mereka, baru kali ini pasangan yang sudah dua bulan menikah itu berada dalam satu ruang sama untuk tidur selain kamar hotel tempo hari ketika Alana dan Shahin sah menjadi suami istri. Meski terlihat jelas Shahin tidak setuju, tapi Alana e
"Apa-apaan ini? Nggak, saya nggak setuju.""Ya, udah kalau nggak setuju. Aku juga nggak maksa, tapi jangan salahin aku kalau besok-besok mama kamu tahu kelakuan kamu." Kata Alana tetap tenang di tempat duduknya."Al, masih ada jalan lain, kan. Atau kita bisa mengganti syarat nomor lima dengan yang lain. Apa pun itu yang kamu mau," pujuk Shahin.Alana mencebikkan bibir, lalu kemudian menarik napas dalam-dalam. Sejenak, perhatiannya teralihkan oleh bunyi teko yang bersiul menandakan air sudah matang."Seingatku, sewaktu kemarin aku meminta surat perjanjian bikinan kakak sedikit direvisi. Kakak, menolak, bukan. Jadi, apa alasanku untuk mengubah berkas yang ada di tanganmu." Timpal Alana sembari beranjak dari kursi meja makan menuju kompor, untuk mematikan bara api yang menyala-nyala di sana.Mau tidak mau, Shahin bungkam untuk beberapa saat. Perkataan istrinya barusan, tentu saja membuat Shahin geram. Namun, tak memiliki alasan lagi untuk memperpanjang argumentasi yang jelas-jelas akan d
Shahin menatap tak percaya dengan apa yang ada di bawah kakinya sekarang. Potongan kertas yang berisikan surat perjanjian pernikahan kini berjatuhan tak berbentuk lagi.Usai itu, mata Shahin beralih pada Alana yang menatapnya bengis. Jelas saja, hatinya terlampau sakit menerima kenyataan pahit tentang adanya wanita lain yang tidak suaminya itu lepaskan kendati sudah menikahi dirinya. Parahnya lagi, perempuan yang masih menetap di luar negeri itu akan segera pulang dan meminta dinikahi oleh suaminya."Al, apa-apaan kamu?""Membuat surat perjanjian, aku juga bisa, Kak.""Tapi ini ... ""Aku akan membuat ulang surat itu seperti kemauanku sendiri, dan mulai detik ini surat perjanjian darimu, aku anggap batal." Pungkasnya dengan intonasi suara sangat serius."Al, nggak gini. Kita bisa bicarakan ini tanpa kamu harus merusak surat perjanjian itu.""Aku nggak mau tahu, kamu setuju dengan surat perjanjian baru atau akan kulaporkan kelakuanmu pada mama?""Al.""Oke. By!" Alana berlalu melewati
Hari minggu yang cerah, Shahin baru pulang dari lari pagi dan pria itu menemukan Alana sedang duduk di atas karpet dengan laptop terbuka juga beberapa tumpukan buku di ata meja."Ngapain kamu?" tanya Shahin.Alana melirik sekilas. "Main karet," jawabnya asal."Saya nanya serius, loh," protes Shahin."Ya lagian emangnya aku lagi apa? Harusnya kakak tahu sendiri dong." Pungkasnya."Ribet ngomong sama kamu." Ucapnya lantas melengos dari hadapan Alana.Di meja makan, sudah terhidang sarapan. Shahin yang awalnya hendak mandi, malah membelokkan langkah kaki menuju meja makan."Ini siapa yang masak?""Aku," sahut Alana."Memang kamu, bisa?""Kakak baru saja meragukan keahlianku," gerutu Alana sedikit menekuk wajah."Bukan begitu, selama mengenal kamu, saya belum pernah melihat kamu memasak," terang Shahin."Kakak, kan enggak dua puluh empat jam berada di sisiku, memerhatikanku. Memangnya aku anak manja yang bisanya menghambur-hamburkan uang milik orang tua. Cantik-cantik begini aku juga pun
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments