Suara kilat petir sesekali terdengar menembus dinding kaca ruang kantor Nindya. Di luar, awan mencurahkan air hujan tiada ampun. Bisa jadi Jakarta akan tergenang banjir jika hujan tak berhenti sebentar lagi.
Nindya memainkan mouse di hadapannya. Pandangannya tertuju pada layar laptop, meski pikirannya kembali ke makan malam keluarga, Sabtu lalu.Perut Laras semakin besar. Senyum lebar Mamanya sudah tak bisa disembunyikan di hadapannya. Bima pun sudah bisa tertawa, larut dalam obrolan netral seakan semua yang terjadi adalah hal yang semestinya.Setelah itu, hari-harinya akan diisi dengan berbagai pertanyaan. Apakah dirinya kurang berusaha untuk menerima? Kenapa susah sekali, meskipun hanya untuk berpura-pura?Sisca muncul dari balik pintu dan membuyarkan lamunannya. Sudah waktu makan siang. Ajakan sahabatnya itu untuk makan ke lantai 4 tak diiyakannya. Seninnya selalu buruk setelah acara makan malam.Suara getaran ponsel di meja menarik peSehari sebelum kelahiran Nico, malam datang lebih cepat. Sejak sore, Jakarta gelap diguyur hujan. Untung setelah tengah malam, hujan perlahan mundur menyisakan gerimis kecil yang masih bertahan hingga Laras merasakan keanehan di ranjangnya.Sepreinya basah. Seketika napas Laras memburu. Air ketubannya telah merembes sebelum waktunya.Panik, Laras berteriak-teriak memanggil Mamanya dan Suti. Dewi terburu-buru masuk ke kamar Laras, disusul Suti yang lalu diminta menemui satpam untuk menyiapkan mobil. Bertiga mereka memapah tubuh Laras yang dingin ke dalam mobil.Dewi sendiri yang mengendarai mobil menerjang gerimis, membawa Laras yang ketakutan, ke rumah sakit. Sesampainya di sana, Laras langsung dibaringkan di kamar periksa. Tak lama, dokter meminta Dewi untuk melakukan pendaftaran rawat inap.Derap langkah petugas rumah sakit dan roda-roda tempat tidur beradu ketika Laras dipindahkan ke ruang rawat. Bau antiseptik perlahan memudar digantikan denga
Suara kilat petir sesekali terdengar menembus dinding kaca ruang kantor Nindya. Di luar, awan mencurahkan air hujan tiada ampun. Bisa jadi Jakarta akan tergenang banjir jika hujan tak berhenti sebentar lagi.Nindya memainkan mouse di hadapannya. Pandangannya tertuju pada layar laptop, meski pikirannya kembali ke makan malam keluarga, Sabtu lalu.Perut Laras semakin besar. Senyum lebar Mamanya sudah tak bisa disembunyikan di hadapannya. Bima pun sudah bisa tertawa, larut dalam obrolan netral seakan semua yang terjadi adalah hal yang semestinya.Setelah itu, hari-harinya akan diisi dengan berbagai pertanyaan. Apakah dirinya kurang berusaha untuk menerima? Kenapa susah sekali, meskipun hanya untuk berpura-pura?Sisca muncul dari balik pintu dan membuyarkan lamunannya. Sudah waktu makan siang. Ajakan sahabatnya itu untuk makan ke lantai 4 tak diiyakannya. Seninnya selalu buruk setelah acara makan malam.Suara getaran ponsel di meja menarik pe
Laras memberikan senyum pada muridnya yang terakhir sebelum berjalan keluar ruangan. Jam mengajarnya baru saja usai. Dilepaskannya apron yang sedari tadi ia kenakan untuk melindungi pakaiannya dari percikan cat minyak.Dipandanginya sketsa yang ia kerjakan. Sudah lama sekali rasanya ia tidak mengajar kelas pemula. Murid-muridnya yang terdahulu sudah banyak yang keluar. Kini, kelas-kelas baru diisi oleh para pemula meski jelas bakat mereka sudah tampak di atas kanvas.“Mbak Laras,” Nadia muncul dari balik pintu. “Ada yang ingin aku kenalkan sama Mbak Laras.”“Oke, sebentar.” Laras membersihkan tangannya di wastafel sebelum mengikuti Nadia keluar.Di lobi, sudah ada seorang pria yang langsung berdiri menyambutnya. “Ini Mas Dimas,” Nadia mengenalkan pada Laras. “Mas Dimas ini sudah beberapa kali membeli lukisan di galeri, Mbak.”Laras mengulurkan tangannya pada Dimas yang langsung disambut hangat oleh pria tersebut.“Dimas,” katanya
Rintik hujan di siang hari membuat suhu ibukota tak sepanas biasanya. Hujan siang ini tak banyak diiringi petir seperti dua malam sebelumnya. Meski begitu, basahnya mampu membuat siapa saja malas untuk keluar.Nindya mengamati laptopnya. Dibacanya satu per satu jadwal operasional editorial, judul-judul mana yang akan dicetak dan dipromosikan bulan ini, acara apa yang akan diadakan oleh perusahaan, hingga feedback pembaca dari kolom redaksional.Meski perusahaan ini bukan miliknya, namun Nindya adalah salah satu editor pertama yang berperan penting dalam perkembangannya. Kini, mereka tak hanya harus bersaing dengan penerbit lain, namun juga harus mengakali minat baca masyarakat yang semakin turun.Diliriknya penanda waktu di bagian kanan bawah toolbar. Sudah jam makan siang. Sebenarnya sejak makan malam di rumah Dewi dua hari lalu, selera makannya tak pernah benar-benar kembali. Meski Bima mengajaknya makan ke luar keesokan harinya, tak banyak yang bisa mas
Suara hujan masih terdengar meski tak sederas sebelumnya. Kilatan petir sesekali mengagetkan meski tak selalu diiringi dengan gegar suaranya.“Apa kau yakin kita akan ke rumah Mama malam ini?” Bima merapikan kemeja lengan panjangnya. Seharusnya malam ini tak secanggung malam saat mereka memberi pengakuan pada Dewi, namun rasanya sama saja.Pertanyaan Bima adalah pertanyaan yang sama yang Nindya terus tanyakan pada dirinya sendiri sejak mengiyakan undangan Dewi. “Kita tak bisa terus-terusan menghindar. Mereka keluargaku,” jawab Nindya akhirnya, sambil merapikan rambut.Bima menatap istrinya. “Aku minta maaf, aku telah menempatkan kita di situasi seperti ini.”“Tolong, Bim. Berhentilah meminta maaf setiap kali ada hal seperti ini. Itu tidak mengubah apa pun.” Nindya memutar badannya, ditatapnya Bima kini. “Dan lebih sering, hal itu justru lebih melukai diriku.”Bima menelan ludahnya. Dia mengangguk. “Baiklah.”Jalanan di Jakarta le
Petugas kebersihan baru saja keluar dari galeri ketika Laras masuk ke dalam. Wangi kayu dari pengharum ruangan tercium samar. Sinar matahari pagi masuk melalui beningnya kaca jendela. Rasa rindu menyusup pelan di dada Laras.Sudah lebih dari satu bulan dia tidak mengajar. Dia rindu berbicara soal lukisan. Dia rindu melihat mata-mata yang bersinar saat kuas mereka menyentuh kanvas.Tapi apa yang didapat Laras sebelumnya adalah mata-mata yang penasaran mengenai apa yang terjadi padanya. Siapa yang kira-kira bertanggung jawab atas kehamilannya, atau suami mana yang ia rebut dari istrinya, hingga tak ada pernikahan yang bisa dirayakan.Itu sebulan lalu, sebelum dia berdamai dengan ketakutannya. Dia tak bisa selamanya bersembunyi di rumah, dalam perlindungan Mamanya.Kini Laras kembali berdiri di Pramudita Galeri, satu-satunya tempat di mana dulu dia bisa merasa cukup, merasa penting. Akan dikembalikannya kondisi itu. Hanya ini yang bisa dia banggakan