Suara pintu berbunyi.Kaila melangkahkan kakinya masuk ke apartemen. Kepalanya pusing dan pandangannya tidak jelas. Jordan mengantarnya, sama seperti biasa. Jordan memang satu-satunya teman yang tidak meninggalkan dirinya meskipun ia sudah tahu latar belakang Kaila.Kaila mengambil satu buah gelas dan mengisinya dengan air. Tenggorokkannya terasa sangat kering meskipun ia sudah minum banyak di bar tadi.“Aish.” Ia memegang bibirnya yang luka karena pemuda tadi. “Kenapa digigit sih?” keluhnya.Ciuman mereka berdua terjadi cukup panas. Kaila ingat ketika ia menekan kepala pemuda itu untuk terus mempertahankan dan memperdalam ciumannya, tapi bukan berarti ia boleh menggigit bibir Kaila.“Lo baru pulang?”Angkasa keluar dari kamarnya dan melihat Kaila dari atas kepala sampai kaki. Ia mengerutkan dahinya dan terkejut dengan keadaan gadis yang ada di depannya. Penampilannya cukup kacau, dan ia benar-benar terlihat mabuk.“Lo mabok?” tanya Angkasa lagi dan berjalan mendekat. “Ow, lo minum be
Kaila tidak percaya kalau ia juga harus bertemu dengan Angkasa lagi hari ini. Di kampus.Angkasa menatap Kaila dengan ekspresi datar, seakan mereka berdua tidak pernah bertemu sebelumnya, selain kejadian kemarin yang ada di depan pintu dan disaksikan oleh banyak orang.Sekarang Kaila disuruh untuk meminta maaf pada Angkasa oleh teman-teman di kelasnya karena kemarin sudah mendorong Angkasa dan lari begitu saja. Para gadis juga sibuk menyebut nama Kak Asa, Kaila jengah mendengarnya.“Dia juga belum minta maaf ke gue karena buka pintu tiba-tiba,” ujar Kaila dan menatap teman-temannya.“Tapi kan itu salah lo yang tiba-tiba berdiri di depan pintu padahal udah disuruh untuk jangan keluar kelas dulu,” sahut salah satu teman sekelasnya, lagi-lagi Kaila tidak mengingat nama gadis itu.“Dia juga gak sengaja karena gak tau kalo ada lo di sana,” timpal seseorang lagi. Jelas seorang gadis juga.Kaila mendecih pelan. Ia ingin tertawa mendengar suara-suara gadis yang sedang mengerumuninya saat ini.
“Dek, kan udah abang bilang abang aja yang jemput, kenapa malah naik sepeda? Kaki lo kan masih sakit.” Baru saja datang tapi pemuda itu langsung mengomeli adiknya, yang Kaila tebak adalah Rania. Pemuda itu masih belum menyadari keberadaan Kaila karena tatapannya hanya terfokus pada adiknya. “Ah, ribet banget. Lagian ini juga udah gak sakit lagi,” balas Rania. Adrian menghela napas. “Om tanya, kalian berdua ngapain di sini?” tanyanya lagi karena pertanyaan tadi tidak dijawab oleh Rania. “Ya mau liat kafe Om, lah. Kemarin pas opening gak sempet ke sini karena aku kecelakaan sepeda.” Rania menjelaskan, dan ia baru ingat akan sesuatu. “Tangannya Kak Kai masih sakit?” tanya Rania pada Kaila, ia berjalan mendekati Kaila dan saat itulah pemuda itu menatap Kaila. Matanya terbuka lebar. Kaila tidak mempedulikan tatapan pemuda itu. Ia memperhatikan Rania yang meraih tangannya. Rania terlihat kaget karena Kaila sudah membuka kapas dan perbannya sejak kemarin,
Kaila diam di tempatnya. Matanya menatap obat yang masih ada di samping tempat cuci piring, begitu juga dengan Bumi yang masih berdiri di sana. Ia baru saja berniat untuk pergi dari sana tapi dihentikan oleh Kaila. “Tunggu,” ujar Kaila. Bumi berhenti dan menoleh. Kaila mengambil obat itu dan memberikannya pada Bumi. Pemuda itu mengernyitkan dahinya. “Gak usah, udah gue obatin,” ujarnya dengan tangan yang masih menggantung di udara sembari memegang obat. Bumi tidak segera mengambilnya. Dahinya masih berkerut dan menatap Kaila dengan lekat. “Tangan gue pegel nih,” ujar Kaila karena obat itu tak kunjung diambil oleh Bumi. Kaila mengambil tangan Bumi dan meletakkan obat itu di tangannya. Bumi tidak bereaksi apa-apa, ia seperti orang bodoh saat ini. Masalahnya ini kali pertama niat baiknya ditolak oleh seorang gadis, apalagi oleh gadis yang sudah mencuri ciuman pertamanya. Ya, semalam adalah ciuman pertama Bumi. Kaila mencurinya. Bumi mengatakan itu karena memang Kaila yang mulai
“Gak gak gak, enak aja.”Angkasa menggerakkan tangannya sembari menggelengkan kepalanya di depan Kaila yang berkacak pinggang.“Gue tadi udah mau cuci piring, tapi temen gue nelpon dan butuh sesuatu di laptop gue, makanya belum gue cuci,” bela Angkasa.Kaila menyipitkan matanya. “Tiga ratus ribu!”“Ya!” Angkasa tidak terima.“Apa?” tantang Kaila.Mereka berdua menatap satu sama lain dengan perasaan kesal yang terlihat jelas di raut wajah mereka berdua. Angkasa dengan kaos putih polos dan rambut yang masih sedikit berantakan, sedangkan Kaila yang sudah rapi dan siap untuk pergi ke kampus.Ini masih jam setengah delapan pagi, tapi kedua orang ini sudah ribut masalah cuci piring yang tidak dilakukan oleh Angkasa, padahal pemuda itu sendiri yang bilang untuk selalu cuci piring setelah makan dan masak.“Ini gue cuci, Kai,” balas Angkasa dan mulai menghidupkan keran. Ia mengangkat spons dan menunjukkannya pada Kaila.“Tiga ratus ribu.” Kaila tidak bergeming dari tempatnya berdiri.Angkasa m
Kaila menaiki angkot tanpa tahu kalau ponsel yang ia pegang sekarang adalah ponsel milik Angkasa.Sebelumnya Kaila memang memegang ponselnya di tangan kanannya sedangkan dia mengeluarkan ponsel Angkasa dari saku kemejanya menggunakan tangan kirinya. Saat itulah ia lupa dan malah memberikan ponselnya alih-alih ponsel Angkasa.Angkotnya baru saja pergi ketika Angkasa tiba di lantai bawah. Pemuda itu melihat ke kiri dan ke kanan mencari keberadaan Kaila tanpa tahu kalau sang gadis sudah pergi dengan angkot yang ia lihat sekilas tadi.Pemuda itu mengacak rambutnya.Masalahnya, mereka tidak punya nomor satu sama lain.“Aish Kai,” rutuknya dan kembali ke dalam gedung.---Kaila merasa tasnya terus saja bergetar.Ia sedang mendengarkan dosen menjelaskan dan dia mendapat kursi di depan sekali. Ia datang terlambat karena berdebat dengan Angkasa pagi tadi, jadinya hanya kursi depan yang tersisa.Tangan gadis itu sedang menulis di kertas sembari matanya bolak-balik dari papan tulis dan ke binder
Kaila menatap ponsel itu dalam diam. Ia tidak bisa membuka ponsel milik Angkasa karena pemuda itu menggunakan password dan sidik jari, tapi pop up notifnya memunculkan isi chat, makanya Kaila bisa melihat chat yang dikirim oleh seseorang bernama Henni itu. Ponselnya kembali bergetar hebat. Ada banyak pesan yang masuk. Semuanya dari Henni. Henni: Sa, kangen Henni: Asaaaa Henni: Kamu kenapa jauhin aku sih? Henni: Aku liat kamu naik motor, mau ke mana? Henni: Sayang Kaila memutuskan untuk memasukkan ponsel itu ke dalam tasnya. Ia tidak ingin melihat isinya lagi meskipun sekarang ponsel itu masih terus bergetar. Ia mengedarkan pandangannya dan melihat beberapa mahasiswa berlalu-lalang di koridor tempatnya sekarang. Semuanya punya partner mengobrol, kecuali dirinya. Hanya dirinya satu-satunya yang tidak punya teman di sini. Kaila menghela napas dan kembali membaca isi mading. Ada banyak informasi mengenai beasiswa di sana, sedangkan Kaila tidak mungkin bisa ikut beasiswa karena n
Kaila masih berdiri di tempatnya. Ia bisa melihat Angkasa yang menatap dirinya bingung. Kaila juga bisa mendengar langkah kaki semakin mendekat ke arahnya. Kak Eric semakin mendekati dirinya. “Ngapain?” tanya Kak Eric tepat di samping Kaila. Gadis itu mengeras. Raut wajahnya terlihat datar. Selama ini ia selalu kabur dari Kakaknya. Ia tidak ingin bertemu dengan Kakaknya, ia benci dengan Kakaknya yang meninggalkan dirinya sendirian dengan beban yang banyak sedangkan Kakaknya hidup dengan damai bersama Papanya. Kaila tidak menoleh sedikit pun dan langsung hendak pergi dari sana, tapi tidak semudah itu. Eric langsung menahan tangan Kaila dengan cepat. “Mau ke mana lagi, Kai?” tanyanya. “Lo udah kabur dari rumah selama satu minggu,” lanjutnya. “Gue gak kabur,” balas Kaila. “Gue diusir.” Angkasa bisa mendengar percakapan kedua kakak beradik itu karena jarak mereka masih sangat dekat, hanya terpisahkan beberapa jengkal kaki. “Mama gak pernah niat buat ngusir lo,” ujar Kak Eric denga